Selasa, 29 Juni 2010

Kredo Kecil Penyair Kecil #14



pada putaran yang ke empat belas ini, Kredo Kecil Penyair Kecil menampilkan 3 penyair lagi dari hasil tim kuratorial yang terdiri dari Nobinobi, Janoary M Wibowo dan Vivi Andriani. para pencari bakat yang peduli pada anak-anak muda ini 'blusukan' di gang-gang sempit di Semarang hanya demi mencari anak-anak muda yang berpotensi namun minim akses. sejatinya mereka ada. hanya orang-orang yang tidak mau tahulah yang meniadakan mereka.
kredo kecil penyair kecil diselenggarakan di Grobak A[r]t Kos jl. Stonen no 29 sampangan semarang. indonesia.
acara pada tanggal 29 Juni 2010 dan dimulai dari pkl 19.30-22.30. selain pembacaan puisi dan sesi curhat penonton akan dihibur oleh penampilan band amatir potensial dari tembalang..
selamat menikmati dan pedulilah. forum ini dibuat karena minimnya kepedulian para pemegang akses kesusastraan di Semarang yang hanya berorientasi hasil tanpa mau tahu proses. pedulilah karena kami hanya peduli pada orang-orang yang mau peduli!

Senin, 28 Juni 2010

Pentas Unjuk Gigi #3 (by RGDKKB)


RODA GILA DAN KELAB KELIP BERSAUDARA mempersembahkan PENTAS UNJUK GIGI #3 dengan penampil Bahana Patria Gupta, Scarecrows, Korgan dan Bagus Taufiqurrahman. Acara dilaksanakan hari Rabu, 30 Juni 2010 di Grobak a(r)t Kos Jl. Stonen 29, Sampangan, Semarang. Kami mungkin hanya menyediakan kopi maka cemilan harap bawa sendiri-sendiri. Kami juga tidak menampik donasi demi keberlangsungan acara.

Bahana Patria Gupta adalah kuli tinta merangkap kolektor barang antik yang cukup rendah hati. dalam acara ini dia berjanji akan membuat gebrakan baru dalam kehidupannya sehari-hari.

Scarecrows adalah Trio Angkasa Show dalam dunia blues Semarang. kita tunggu saja, apakah mereka mampu membuat rabu malam besok menjadi lebih "biru".

Korgan adalah proyekan misterius dari duo tua muda dalam jagad "hiburan" di lokal Semarang. karena "misterius:" ya cuma itu saja informasi yang dapat kami sampaikan, hehehe!!!

Bagus Taufiqurrahman personel Roda Gila dan Kelab Kelip Bersaudara (RGDKKB). kali ini ia akan mempresentasikan karya terbarunya bersama RGDKKB dalam bentuk monolog pendek dengan mengambil ide dasar 'demo visual dan polusi cahaya" !!! wuihh, opo meneh kiii!!! :P (umam)

Minggu, 27 Juni 2010

pameran Poster Propaganda 3rd

Sebuah pameran yang di gagas awal oleh RESPECTA'streetART' gallery. kali ini sakitkuning collectivo berkolaborasi dengan komunitas Hysteria [ semarang] bermaksud melakukan kelanjutan pameran Poster Propaganda ini.

# Isi Acara #
1 - 3 Juli ^Pameran Poster propaganda 3rd
- pembukaan ; musik & performance oleh :
SiM0KLOWNz (T0rino-ITALIA) - 3SOME FROM MARS - Noise Of Terror -TAWAZUN (Jogja) - Ultra Electronis (Kalimantan)
Ready to go -Chipcracker (Semarang)

2 Juli
- Screening dokumentasi # pameran poster propaganda yang sudah terlaksana [ di jakarta]
- bincang dan berbicara tentang streetart bersama : Love HATE Love - Max Kaos - SNORT RAG [melbourne] -sakitkuningcollectivo

3 Juli ^ Penutupan

# Partisipan Pameran #
* Semarang : Karamba art movement -Hysteria -public inv(est)ation -onetwo pm

* Londo : Pippin Frisbie Calder -Max Kaos -cHe.Charrisah -Lielo Dijkstra -Adeitameda

* Eunice Nuh -Tria Ammalia Miranda Zaluska -sinofshine -Lidya Adventa

* Jogja : LY ( Local Youth) -LOVE HATE LOVE and Geng YORC-SURVIVE Garage [inconfirm] -Oi Oi

* Jakarta : ARTCO SQUAD -CAPS -ARKS-ISROL -VITO-Emge Pandeka -BOLSQ -Si Jago Merah (STENZILLA) -Kagunan Grafis -Atap Alis -RHARHARHA -KUAS N ROLL -Kagunan Grafis -Atto, Welly Baskoro, Robo Wobo, Penjol ,Mg.Priggotono,Acip, (PROPAGRAPHIC MOVEMENT) -Betha + Agam +Marijan+Jah Ipul (SAKITKUNINGCOLLECTIVO)-POPO+Ashtwo+Adhi (KAMPUNG SEGART)


info :
Komunitas Hysteria : histeria_sastra@yahoo.com
www.adinhysteria.blogspot.com

Hysteriakomunitas.blogspot.com


sakitkuningcollectivo@gmail.com
http://sakitkuning.blogspot.com/

Ima Ingin Curhat tentang film yang barusan ditontonnya

pemutaran film Hysteria bekerjasama dengan Widya Mitra
tempat: Jl. Singosari II no 12 Semarang
waktu: 29 Juni 2010
pkl: 13.00-selesai
program pemutaran film ini merupakan proram rutin divisi penelitian dan pengembangan komunitas Hysteria bekerjasama dengan Widya Mitra yang tujuannya untuk melatih anggota komunitas kritis serta mempunyai keberanian untuk tampil di hadapan publik. kali ini yang ambil bagian untuk cuap cuap adalah Ima Fitria atau yang lebih suka dipanggil Owchie
selamat menonton

Kamis, 24 Juni 2010

Membaca Amerika lewat Talladega



Oleh: Adin


Yang bergunalah yang benar! Dan kebenaran pada hakikatnya tidak terletak di luar dirinya sendiri melainkan manusialah yang mendefinikan kebenaran melalui tindakannya yang berguna. Yap. Bisa dikatakan pandangan di atas menjadi inti bagi filsafat pragmatism. Filsafat yang dikenalkan William James (1842-1910) di benua Amerika ini sepertinya cocok sekali untuk menjawab industrialisasi yang pada saat itu melanda seluruh dunia. Meskipun belakangan pola pikir pragmatis dikecam banyak kalangan karena kebanyakan orientasi nilainya berupa hal-hal material namun diakui atau tidak lahirnya filsafat ini dilakukan untuk menjawab tantangan zaman dan relevan. Seolah menemukan inti sari dari nilai-nilai yang ada di masyarakat sebagaimana penggalian Bung Karno terhadap Pancasila, Pragmatisme yang dipopulerkan William James pada saat itu dianggap representative bagi bangsa Amerika dan menjadi pandangan hidup mayoritas. Buktinya tidak banyak aliran filsafat lain, misalnya Marxisme, yang tumbuh subur di negeri yang sekarang ini presidennya berkulit hitam.

Bangsa Amerika membutuhkan sesuatu yang riil dan tentu saja berguna pada saat ini dan sekarang ini. Bukan idea-idea Platonian yang kadang tidak membumi tetapi sesuatu yang dekat dengan keseharian dan bisa dinikmati sekarang juga.

Banyak filsuf atau penikmat kajian budaya yang menganalisis fenomena perbedaan pola piker ini yang dapat ditelusuri pada tradisi intelektual orang –orang Amerika. Meskipun warga Amerika kebanyakan pendatang dan membawa tradisi intelektual dari wilayah masing-masing, tetapi tetap saja Amerika telah berhasil merumuskan filsafatnya yang khas. Yang berbeda dengan di Eropa, misalnya. Bahkan Umberto Eco pun merasa perlu untuk mengkajinya.

Perbedaan paradigm ini dapat kita lacak pada banyak hal. Salah satunya film. Saya teringat satu film kocak berjudul Talladega Night. Film yang berkisah tentang balap mobil Nascar ini merupakan film humor yang kalau kita mau mengkajinya serius akan Nampak bagaimana persoalan-persoalan konseptual mengada secara cair. Dialog-dialog maupun adegannya secara tidak langung seakan mau menunjukkan pada kita bahwa ini Amerika bung..

Talladega Night (TL) berkisah mengenai kehidupan Ricky Boby anak seorang pembalap amatir yang kemudian menjadi raja di arena balap. Bukan karena latihan keras namun karena ia mengikuti nalurinya, yakni menjadi yang tercepat. Kemenangan-kemenangan dengan mudah diraih Ricky Boby sampai akhirnya ia bertema pembalap F1 homo bernama Jean Girard. Jean yang membalap sampil minum kopi Macchiato dan terkadang membaca karya Albert Camus lalu menjadi mimpi buruk Ricky. Kemenangan, ketenaran, bahkan istrinya lepas dari genggaman. Tentu saja kejadian di atas tidak terjdi secara melankolis. Karena ini film komedi beberapa kegetiran yang terjadi malah kadang menjadi olok-olok. Seperti kita tahu F1 lebih didominasi oleh pembalap Eropa dan Nascar lebih ke Amerika. Kalau mau cermat dapatlah kita temukan karakteristik antara F1 dan Nascar yang menarik. Bahkan dari pembacaan itu dapatlah kita temukan bagaimana keduanya mempunyai karakteristik yang khas dan sesuai dengan paradigma kedua benua tersebut. Namun tulisan ini tidak akan banyak mengulas hal itu.

Amerika pada awalnya menjadi tanah harapan bagi banyak orang. Ketiadaan budaya asli Amerika (kecuali suku Indian yang perlahan-lahan musnah) hampir-hampir Amerika tidak memiliki budaya asli. Hal itu dapat ditangkap dari perdebatan Girard dengan Ricky perihal asal mula Pizza, Chimichanga bahkan oral seks! Girard sebagai representasi orang Prancis (Eropa) seolah hendak merendahkan bangsa yang tidak mempunyai orisinalitas ini. Ketidakaslian dan ketidakpunyaan akar budaya yang jelas inilah yang terkadang dijadikan olok-olok. Semua yang dipunyai Amerika adalah tiruan yang pada hakikatnya tidak ada yang tahu tiruan ini representasi dari apa. Tidak ada orisinalitas, yang ada hanya meniru dan celakanya tidak ada yang tahu sebenarnya yang ditiru apa (simulacra). Tetapi Girard lupa bahwasanya ketiadaan akar jelas ini membuat bangsa Amerika kaya. Dan sebagai penakluk daratan yang seolah tidak bertuan mereka lalu mempunyai musuh yang jelas: alam. Di alam yang liar segalanya mudah terjadi, lagipula pada saat itu selain ancaman dari Indian Amerika bertanah gersang namun kaya emas. Alasan besar mengapa orang-orang pindah ke benua itu.

Di alam naluri lebih diutamakan daripada berpikir. Yang dihadapi adalah sekarang dan hari ini. Jika hari tidak ada makanan besok pasti mati. Maka segala yang dilakukan harus berdasar nilai guna dan sesuai naluri. Maka terasa rasionallah ucapan manajer Ricky ketika ia dalam keadaan drop karena kalah “Ricky bobby bukan pemikir, tapi pengemudi. Kau tak perlu berpikir, tapi mengemudi, kau butuh kecepatan”. Kecepatan! Itulah poinnya. Di abad yang berlari (meminjam istilah Afrizal Malna) ini yang dibutuhkan adalah kecepatan dan naluri untuk hidup. Kecepatan diperlukan supaya tidak tertinggal dan untuk menjadi nomor satu. Kegilaan terhadap kemenangan dan menjadi nomor satu inilah barangkali yang menjadi kesadaran bersama warga Amerika. Maka wajar saja banyak superhero (terlalu banyak bahkan) yang lahir di tanah ini.

Pada akhirnya Jean Girard pun bisa ditaklukkan. Tetapi bukan dalam adegan adu balap. Nampaknya sang sutradara tidak ingin memperlihatkan ejekan terusterangnya pada F1. Girard dikalahkah pada balap lari sesaat setelah kedua mobil mereka terguling parah. Tampak sekali di situ bagaimana respon keduanya terhadap kejadian yang tidak mereka duga. Ricky lebih dulu merespons sedang Girard Nampak belum menyadarinya. Ia berpikir dulu baru merespons. Hidup di alam liar tentu saja yang akan bertahan adalah yang mengasah nalurinya, seakan itula yang hendak dikatakan film ini. Dan memang pada kenyataannya pada kebudayaan popular yang bisa bertahan adalah yang bisa bersegera meresponsnya dengan baik. Nampaknya itu pula yang diinginkan masyarakat industrial pada era kapitalisme lanjut. Serba cepat, instan, dan kepekaan membaca situasi. Namun nampaknya sampai pada adegan terakhir film ini belum cukup pede untuk mengolok-olok perbedaan cara piker antara Eropa dan Amerika. Nyatanya pada bagian lain sebelum layar benar-benar gelap ada petikan adegan yang menggambarkan sang nenek Ricky bercerita pada cucu-cucunya. Di situ ada karya William Faulkner, salah satu pengarang besar Amerika yang banyak mempengaruhi banyak pengarang di dunia, yang dibacakan sang nenek. Seolah hendak mengatakan ini lho kami juga mempunyai pemikir dan pengarang hebat serta membuktikan bahwa film yang sangat konyol ini dibuat bukan orang sembarangan! Kalau dipikir adegan ini malah malah mengurangi daya satire yang dibangun sejak awal.

Minggu, 20 Juni 2010

mapping project, petakota#1: dalam kamar


Pamflet merupakan salah satu media penyampai informasi paling efektif yang selama ini dipergunakan. Baik sebagai media advertising suatu produk maupun publikasi suatu acara, Acara musik misalnya, hampir selalu menggunakan pamflet sebagai media publikasi mereka. Selain mudah ditemui dimanapun, juga akan selalu sampai dimata masyarakat. Disamping fungsinya sebagai media penyampai informasi, pamflet pula salah satu arsip penting yang terkadang luput untuk didokumentasikan. Tidak hanya dilihat dari segi fungsionarisnya saja, estetika desain juga merupakan bagian vital dari sebuah paflet. Disinilah titik dimana pamflet bakal dilirik atau tidak bagi pembaca.

Divisi dokumentasi merupakan bagian divisi dari komunitas Hysteria, beberapa hal yang menyangkut kearsipan maupun kedokumentasian menjadi tugas yang dimiliki oleh divisi ini, mulai dari mengkliping beberapa kolom sastra dan seni dari koran, pendokumentasian berupa foto-foto acara kesenian dan sastra, video, film, dan pamflet-pamflet acara baik di daerah Semarang maupun luar Semarang.

Disinilah langkah awal kami untuk memberi wadah bagi para pamflet-pamflet yang selama ini telah baiknya menjadi alat menyambung lidah bagi serangkaian acara. Disini pula lah banyak orang dapat melihat progress kegiatan bermusik di Semarang tentunya. Setidaknya, sejauh ini kami belum melihat adanya sebuah pameran yang difokuskan kepada pendokumentasian pamflet. Pamfletnya pun lebih difokuskan pada tiga tahun saja, yaitu dari 2007 – 2009. Dengan mengambil konsep “isi kamar laki-laki” tempat pameran pun di setting menyerupai kamar laki-laki dengan seluruh dinding dipenuhi dengan pamflet-pamflet dengan beberapa barang yang biasa ada dalam kamar.

fixer-pameran alernatif space

Merebut Ruang atau Menegosiasikannya?


Oleh: Adin

Beberapa waktu yang lalu ketika dalam launching antologi puisi di TBJT yang berjudul Kursi yang Malas Menunggu karena kesalahpahaman jadilah aku yang diposisikan untuk mempertanggungjawabkan alasan apa yang mendasari para penyair dimuat dalam antologi ini. Dua alasan aku kemukakan yakni alasan politis yang berkait erat dengan kebutuhanku akan infrastruktur (yang lebih utamanya di Semarang) dan satunya lagi alasan estetis. Nah alasan estetika inilah yang membuatku terjebak dalam situasi tidak nyaman. Karena ketidaksiapan, aku tidak bisa memberikan alasan yang meyakinkan pada sidang pembaca. Toh posisiku sebagai redaktur puisi di zine Hysteria dan kurator dalam Kredo Kecil Penyair Kecil (diskusi sastra rutin di Grobak A[r]t Kos) juga bukan karena alasan intelektual yang benar-benar bisa dipertanggunjawabkan. Artinya tidak ada mekanisme intelektual yang membuatku berkedudukan seperti itu. Karena zine dan diskusi rutin ini memang salah satu penggagasnya adalah aku dan otomatis akulah yang bertanggungjawab setidaknya sampai hari ini. Jadi bisa dipastikan selera, subjektifitas, dan semacam itu akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Bahwa aku kelak perlahan-lahan meningkatkan kapasitas intelektual dan membuat orang lain yakin dengan integritas dan kapasitasku itu adalah hal lain. Di titik ini yang ingin aku tegaskan adalah posisi politis ini aku dapatkan karena aktivitasku. Jadi kalaupun aku akan bersikap semena-mena secara intelektual itu adalah urusanku atau bahkan tidak peduli sekalipun pada pihak-pihak lain. Toh aku tidak perlu mempertanggunjawabkan secara definitif alasan-alasan apa yang menjadi pertimbanganku dalam kuratorial tertutup ini. Nah celakanya dalam forum ‘kecelakaan’ di Solo terungkap sudah kesemena-menaan Adin. Tulisan inipun tidak aku buat untuk membela kenapa aku sewenang-wenang. Justru ingin menegaskan bahwasanya aku juga bisa berlaku sewenang-wenang. Pihak lain boleh teriak, tidak setuju atau memaki-maki tapi the show must go on karena aku yang memegang kekuasaan. Asal orang lain tahu saja bahwasanya ‘kekuasaan’ ini aku dapatkan dengan jerih payah sendiri jadi apa salahnya sekarang aku semena-mena. Nah!
Sampai di sini aku berusaha menganalogikan diriku dengan jabatan redaktur budaya di koran –koran kenamaan. Menurut penuturan beberapa teman untuk menjadi redaktur budaya tidak harus ada seleksi intelektual yang ketat. Karena posisi itu hanya sekrup kecil dalam organisme besar bernama koran. Jadi dalam dunia kesusastraan yang hari ini aku hebohkan, ternyata ‘pusat dari segala pusat’ bernama redaksi budaya itu tidak selalu jabatan yang tersebab hal-hal objektif. Kadang bisa sangat subjektif, misalnya karena si A dekat dengan dengan pemilik koran, atau karena politis, dan tidak selamanya karena inteletual maupun estetika. Celakanya pihak-pihak inilah yang hari ini dianggap menduduki posisi penting dalam dunia kesusastraan. Ia adalah hakim sekaligus eksekutor layak tidaknya karya sastra dimuat. Mereka bernasib lebih baik dari diriku yang ditelanjangi di hadapan forum, orang-orang ini biasanya memilih posisi aman dengan membuat penghargaan—penghargaan dan klaim-klaim kecanggihan estetika yang kesemuanya itu melibatkan kalau dalam istilah Saut, pseudo kritikus sastra. Dari situlah koran merasa telah melegitimasi pantas tidaknya individu sebagai sastrawan. Pengukuhan-pengukuhan ini bisa dilihat misalnya terbitnya antologi cerpen terbaik Kompas dan Anugrah Sastra Pena Kencana yang keduanya memang mengafirmasi sastra koran.
Di luar perdebatan sastra koran itu sendiri yang ingin aku soroti adalah posisi redaktur koran itu sendiri yang seolah tidak tersentuh apapun. Layaknya pejabat, ia kebal hukum dan hanya nurani dirinyalah yang bisa menyelamatkannya apakah kelak ia akan diktator dan melayani kepentingannya sendiri atau menjadi peduli dengan yang lain. Ia tidak perlu membuat pledoi untuk mempertanggungjawabkan pilihannya, cukup dengan membuat event besar dan melibatkan kritikus atau pakar yang telah dipilihnya untuk memperdahsyat efek legitimasinya. Hanya itu.

Begitulah realitas kesusatraan Indonesia hari ini. Anda boleh menolak kondisi ini, menerima, atau menegosiasinya. Dalam strategi perlawanan ada dua pilihan yang yakni melawan sistem (dengan begitu secara otomatis menyiapkan alternatif sistem baru) atau merubah sistem dari dalam. Kalau tidak melakukan dua hal itu berarti memang harus berdamai dan mau tidak mau harus benar-benar tunduk dengan sistem tersebut. Pada pilihan pertama mungkin bisa dialamatkan pada gerakan cybersastra. Namun (barangkali) karena hegemoni media massa dan kooptasi pikiran sekian tahun, gerakan ini rupanya belum merubah sesuatu secara signifikan. Tentu saja model semacam ini masih akan terus berkembang dan sejauh apa nanti perkembangannya mari kita lihat. Sedangkan model kedua terus terang aku belum bisa menunjukkan siapa agennya namun tawaran kedua lebih menelan biaya lebih kecil. Gerakan ini tidak membuat sesuatu yang tidak ada tetapi merevisi sistem yang sudah ada dan menggantinya perlahan-lahan secara evolutif. Metode inilah yang aku ingin tawarkan pada teman-teman kaitannya dalam konteks Semarang.

Dari Nol hingga Malas Menunggu

Mengapa Semarang? Pertama jelas karena karena aku hidup di kota ini, yang kedua Semarang adalah model pertama uji teoriku serta pemilihan wilayah ini untuk membatasi lingkup gerak. Andaipun berhasil, kelak aku harap bisa menjadi insirasi daerah lain mengingat Semarang adalah ibukota provinsi Jawa Tengah.
Sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah tentunya posisi Semarang menjadi strategis. Namun entah mengapa pada posisi strategis ini muncul mitos ‘Semarang kuburan seni’. Beberapa pihak berusaha menyangkal mitos ini pihak lain malah mengukuhkan dan buktinya pemakaman komunitas, individu atau seniman yang setiap tahun selalu ada menegaskan bahwa predikat ini memang layak. Dari tahun ke tahun aku berusaha memahami mengapa aku merasa sendirian di kota ini dan tidak tahu harus belajar dari siapa. Selama ini aku juga mencoba memahami mengapa banyak teman-teman yang merasa ‘bunuh diri’. Tidak bisa ditolak yang terjadi kemudian adalah satu persatu teman-teman mulai jenuh, tidak ada progress dan hal yang paling realistis adalah berhenti. Sampai di sini saya teringat film India Three Idiots. Dalam salah satu adegan tokoh utamanya melakukan kritik pada rektornya bahwasanya penyebab beberapa mahasiswanya mati itu dikarenakan beliau. Celakanya para suicider atau pebunuh diri ini selalu disalahkan. Mereka dianggap sebagai individu-individu yang tidak mampu berkompetisi dalam dunia pendidikan yang dicitrakan dahsyat dan tonggak keberhasilan hidup. Sang tokoh utama juga menunjukkan statistik betapa tinggi angka bunuh diri mahasiswa India. Kali ini kasus bunuh diri bukan dipandang sebagai tindakan semata-mata individual semata. Bunuh diri adalah respon atas ketidakmampuan individu menghadapi sistem. Sudut pandang awal dan masyarakat pada umumnya pasti akan selalu menyalahkan pebunuh diri, namun tawaran perspektif lain meyakini bahwasanya ada yang salah dengan sistem. Di sinilah rektor tidak berdiri sebagai rektor an sich. Rektor adalah representasi sistem. Artinya rektor dan lebih luasnya sistem menjadi pihak yang harus disalahkan dalam maraknya kasus bunuh diri. Kalau kita memahami bahwasanya kebudayaan adalah hasil konstruksi tentu saja cara berpikir semacam ini lebih mudah diterima.
Menganalogikan kasus di atas barangkali Semarang mengidap penyakit yang sama. Ada yang tidak beres dalam sistem ini dan pilihan mengahdapi sistem adalah merombak sistem secara keseluruhan yang artinya kita juga mempersiapkan sistem baru atau merubahnya perlahan-lahan dan satu persatu. Tentu saja biayanya akan mahal kalau mau merombaknya serempak. Maka pilihan paling realistis yakni memilih target tertentu (bagian dari sistem yang lebih besar) dan merubahnya satu persatu. Pertama-tama yang menjadi perhatianku adalah persoalan kesusastraan dan karena begitulah esai ini dibuat, yakni untuk membuat perbedaan dalam dunia kesusastraan di kota lunpia ini.

Berpikir mengenai kesusastraan tentu tidak bisa tidak kita harus tahu sarana prasarana apa saja yang dibutuhkan untuk perubahan. Hal ini penting disadari mengingat aktivitas kesusastraan di Semarang seringkali dihebohkan event-event yang sifatnya selebrasi belaka. Perayaan kerumunan yang ujung-ujungnya miskin isi. Dalam literary world kalau mau mengacu art world pihak-pihak yang diperlukan diantaranya penerbitan, fakultas sastra, forum apresiasi, ruang media, kritikus, dll. Kesemuanya itu memang diperlukan untuk kemajuan kehidupan kesusastraan di Semarang. Tanpa itu gerakan yang massif akan sulit diharapkan. Namun tentu naïf jika hal ini semua disiapkan dalam waktu serempak. Untungnya beberapa pihak yang disebutkan itu telah ada namun belum bisa bertemu dalam satu meja.
Namun akan halnya sebuah gerakan, tanpa target yang jelas akan sulit untuk mengukur keberhasilannya. Untuk itu sebagai pihak yang merasa sistem ini sakit maka dengan ini aku mengajak teman – teman untuk merevisi pandangan salah satu pihak yang hari ini memegang peranan besar dalam perkembangan kehidupan kesusastraan di Semarang, yakni TT sebagai pengelola rubrik sastra dan seni di harian SM. Mengapa TT dan mengapa SM, berikut ini hal-hal yang ingin aku yakinkan dan mengapa kita perlu melakukan hal ini.

Sebagaimana telah aku jelaskan di atas bahwa koran menempati posisi istimewa. Dengan redaktur bak tuhan dan kebal hukum serta posisi strategis koran dengan event-event legitimasinya telah membuat pola pikir kebanyakan orang terkooptasi bahwa sah tidaknya menjadi sastrawan adalah dimuat di koran. Untuk itu menduduki posisi strategis ini menjadi hal yang penting dan jangan harap ketika posisi ini ditempati orang yang bebal kepeduliannya akan memperhatikan generasi di bawahnya. Mereka hanya akan melakukan tindakan yang hanya menguntungkan mereka.

Posisi SM yang terletak di pusat Jawa Tengah dan sebagaimana besaran oplah yang dihasilkannya bisa dipastikan koran ini memegang peranan penting dalam hal pengendalian opini dan tentu saja legitimasi ‘kebenaran-kebenaran’ tertentu. Media massa sendiri dalam era sekarang juga diakui sebagai salah satu pihak pengendali opini dan tolok ukur kebenaran sebuah peristiwa atau bahkan ‘kebenaran’ itu sendiri. Dan sastra sebagai bagian kecil dari rubrikasi media massa aku pikir terpengaruh juga oleh sifat-sifat media massa tersebut.
Dunia kesusastraan di Semarang bahkan jawa tengah juga tidak bisa melepaskan diri dari mitos kebesaran harian ini. Diakui atau tidak koran ini akan ikut mempengaruhi kerangka berpikir warganya, termasuk di dalamnya isu-isu sastra. Jadi redaktur dan koran ini memegang kontribusi yang besar pula. Nah apapula jadinya kekuasaan yang besar ini jatuh di tangan yang tidak tepat (baca: tidak punya kepedulian).

Telah kita ketahui bersama bahwa Semarang tidak sepi-sepi amat dalam hal aktivitas kesusastraan. Dari data yang aku kumpulkan tidak kurang dari 7 antologi yang terbit yang sekurang-kurangnya mengorbitkan para penulis muda (kategori usia). Mulai dari antologi Nol hingga Kursi yang Malas Menunggu. Puluhan anak-anak muda yang pernah menisbatkan diri sebagai penyair juga tidak kalah banyaknya . Selain antologi puisi beberapa komunitas sastra juga eksis atau sempat eksis . Beberapa di antaranya ada yang membuat zine sastra sebagian yang lain rajin dalam penyelenggaraan event-event sastra. Jadi bisa dibilang tidak mati-mati amat. Namun fakta yang mencemaskan adalah para ‘penyair’ ini biasanya tidak konsisten dan memilih menyerah. Mengingat banyaknya yang mati dan mengubur diri aku percaya ada yang salah dengan sistem. Dalam hal ini tata kelola TT sebagai redaktur SM turut mengambil bagian karena sikap apatisnya dan tidak mau tahu. Bayangkan dari data yang aku kumpulkan terhitung sejak 2004 akhir hingga tahun 2010 hanya ada dua nama yang setidak-tidaknya aku kenal muncul di rubrik sastra SM. Dari puluhan penyair dan dari tahun ke tahun hanya ada 2 orang. Pertanyaannya apakah para penyair ini sedemikian bebalnya atau redakturnya yang bermasalah?

Tentu tuntutan ini bukan tanpa pijakan. Jika kita mau membandingkan dengan pola-pola yang dilakukan, misalnya Umbu Landu Paranggi, Wan Anwar, Acep Zamzam Noor, Raudal Tanjung Banua, akan terlihat jejak-jejak campur tangan mereka kaitannya dalam regenerasi kesusastraan di tempat masing-masing. Hal ini yang barangkali tidak terjadi -setidaknya dalam skala intens- di Semarang. Sudah jamak diketahui bahwa kondisi infrastruktur kesenian pada umumnya di Indonesia kurang mendapat perhatian pemerintah. Dalam kondisi yatim ini ternyata juga dicemari oleh praktik semena-mena beberapa pihak. Sampai hari ini SM (lebih spesifik mengacu pada rubrik budaya mingguannya) telah menjadi jumawa namun sekaligus inferior. Jumawa karena lebih banyak diisi orang-orang kenamaan, inferior karena tidak percaya pada bibit-bibit potensial. Ibarat orang mereka lebih percaya pada tamu daripada ‘keluarga’ sendiri. Selain itu mereka juga tidak mempunyai kesabaran untuk merawat generasi yang baru tumbuh. Maka jadilah TT dan rubriknya merawat ‘mental penonton’ kota ini. Mental yang terkagum-kagum melihat artis dan menjadi sangat merasa rendah diri pada diri sendiri. Tidak mempunyai kepercayaan diri sama sekali.

Orientasi hasil dan indstrialis semacam ini tentu saja tidak senada dengan semangat sastra untuk memanusiakan manusia sekaligus mendidik pembaca menjadi lebih kritis dan semangat menjadi kreator. Hal ini diperparah dengan ketidakpedulian mengenai lemahnya infrastruktur di Semarang. TT bersikap tak beda jauh pemerintah dalam kasus UAN. Mereka selalu meminta lebih tapi tidak mau tahu infrastruktur. Selalu dituntut bagus tapi tidak diberi fasilitas atau metode bagaimana caranya supaya bagus.

Kasus lain yang membuatku semakin tidak simpatik yakni ketika mengetahui puluhan penyair di sini tidak mendapat kesempatan ikut dalam temu sastra Mitra Praja Utama yang katanya tahun lalu tuan rumahnya Jawa Tengah dengan kurator dahsyat TT dan DRH. Itu hanya sebagian kecil yang aku tahu mengenai distibusi kesempatan yang tidak merata, karena tidak menutup kemungkinan banyak kesempatan lain yang dibagi secara tidak adil atau hanya dikangkangi orang itu-itu saja.

Efek-efek politis yang jalin berkelindan dengan jabatan TT sebagai redaktur SM telah menempatkan TT menjadi sesuatu yang membunuh. Tidak hanya ditribusi kesempatan yang tidak jelas regulasinya namun juga sikap acuhnya terhadap generasi masa depan. Setidaknya aku bisa klaim dalam 10 tahun terakhir ini minim sekali generasi anak muda di Semarang di bidang kesusastraan yang berwibawa. Baik secara tekstual maupun gerakan. Tentu tidak adil jika semua kondisi ini dibebankan pada TT seorang. Namun sebagai sebuah representasi kekuasaan yang strategis, dosa TT cukup besar.

TT sebagai representasi sistem

Seperti yang aku sebutkan di atas, memang tidak semuanya dosa TT. Namun dia memegang peranan penting dalam distribusi kesempatan yang penuh kepentingan ini. Kalau mau menarik jauh ke belakang sebenarnya TT pun adalah anak kandung sistem. Aku membayangkan dia mengalami masa-masa sulit di masa mudanya. Maka tidak heran jika ada anak muda mau sesukses dirinya harusnya lebih berdarah-darah lagi. Barangkali juga dia menempuh hal ini dengan (merasa) sendirian. Pembiaran-pembiaran ini rupanya berlangsung secara turun termurun dan sistematis. Saling membunuh adalah tradisi yang terus dipelihara dan kalaupun ada individu kuat muncul haruslah individu tahan banting macam TT dan kelakpun mungkin memiliki kondisi psikologi mirip dia, jika tidak mampu berdamai dengan lukanya dan masa depan anak-anak muda. Mustahil menginginkan perubahan signifikan di kota ini tanpa mengoreksi sistem dan mempelajari bagaimana sistem itu bekerja. Kalaupun aku mengajak teman-teman untuk kritis pada kondisi ini bukan berarti mengajak teman-teman memusuhi TT an sich. TT itu hebat dan kita mencintainya dengan mengingatkannya bahwa metode-metode yang dia tempuh tidak efektif lagi menjawab tuntutan jaman. Alih –alih melahirkan individu-individu cerdas, metode yang ia tempuh justru telah membunuh puluhan sastrawan potensial di kota ini.

Dalam kasus ini bisa kita analogikan masa-masa orientasi mahasiswa. Pada fakultas tertentu tradisi perploncoan ini masih ada. Alih-alih mendidik, ajang ini bisaanya malah menjadi ajang balas dendam perlakuan senior mereka di masa lalu. TT sebagai representasi sistem saling bunuh sekarang mempraktekkan hal ini. Seperti mengidap psikologi ospek beliau pun mengharapkan anak-anak mudanya semenderita beliau. Sebagai sosok yang bijak idealnya dia bisa menjawab tuntutan jaman dan bisa berdamai dengan seluruh rasa sakit nya. Pun halnya ketika ajakan gerakan ini dilontarkan sejatinya bukan untuk menyerang TT secara personal namun lebih kepada sistem dan semua pihak yang selama ini menutup mata terhadap persoalan ini. Kalaupun persoalan ini dibiarkan berlarut-larut tanpa kesadaran anak-anak muda untuk bergerak warisan sistem saling bunuh dan merasa sendirian akan berlangsung hingga masa-masa yang akan datang.

Sebagai penutup kita tidak bisa menyerang sistem secara serempak tanpa modal yang cukup. Satu-satunya pilihan realistis adalah menyerang (baca: menyadarkan) agen sistem itu satu persatu dan merevisi perspektif mereka demi warisan sistem yang lebih baik dari situlah kita bisa melihat masa depan lebih cerah daripada hari ini.

Dark Justice dan Kegeraman Publik


oleh: Adin

Belakangan ini publik dihebohkan kasus politisasi antara KPK dan Kapolri. Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa pelemahan KPK direncanakan secara sistematis. Isu mafia peradilanpun mulai marak diperbincangkan. Seolah menjadi rahasia umum bahwa jual beli kasus memang ada dan selama ini dibiarkan berlarut-larut. Dan lucunya tindakan-tindakan yang diambil untuk menindak pihak yang dianggap pantas menjadi tersangka dilakukan secara sangat hati-hati. Tentu saja peristiwa ini membuat publik geram karena penyelesaian kasus yang bertele-tele ini seperti melihat telenovela, atau opera sabun yang dipertunjukkan tiap malam. Hanya untuk mengaduk-aduk emosi penonton tanpa ujung. Terlepas dari klaim-klaim kebenaran masing-masing pihak, sepertinya jalan hukum yang baik bagi bersihnya sistem peradilan kita sedang mengalami masa yang paling buruk. Belum lagi pemanggilan pihak kepolisian terhadap dua pimpinan media massa di Jakarta semakin menambah berbelitnya kasus ini.
Telenovela ini mengingatkan saya pada Dark Night. Film besutan Christopher Nolan ini menceritakan bagaimana ia berusaha memberantas kejahatan di Gotham City. Alih-alih dianggap sebagai pahlawan, Batman pada akhirnya merelakan dirinya dicap sebagai penjahat. Film ini dibuka dengan peristiwa perampokan bank yang dilakukan oleh penjahat yang tidak begitu terkenal, Joker. Perlahan-lahan Joker mulai membangun reputasinya. Apalagi satu-persatu bisnis mafia di Gotham mulai memburuk karena satu-persatu ditangkap oleh Batman. Hal itu juga bersinergi dengan munculnya jaksa muda yang berdedikasi bernama Harvey Dent. Bersama letnan James Gordon, ketiganya bahu-membahu dalam memberantas dunia mafia di Gotham. Hampir semua hasil tangkapan mereka dapat diproses secara hukum oleh Harvey. Dan tidak ada yang lolos dari dia. Perlahan-lahanpun Batman merasa bahwa dirinya suatu saat tidak dibutuhkan. Karena bagaimanapun juga model hukum yang dilakukan Batman tidaklah legal. Ia tidak berada di bawah institusi apapun, apalagi bernaung di undang-undang.
Entah bagaimana ide awal Batman, tapi yang jelas dark justice yang dia lakukan barangkali semacam frustasi warga negara terhadap penegakan hukum di Gotham city. Istilah kasarnya Batman dianggap main hakim sendiri karena lemahnya peranan institusi resmi.
Dipercaya atau tidak Batman menjadi solusi bagi kebuntuan supremasi hukum sampai munculnya Harvey Dent. Jaksa yang dengan keberanian dan ketulusan berani memberantas mafia baik alam pemerintahan maupun di luarnya.
Sementara trio penegak hukum ini sibuk dengan para mafia, Joker diam-diam merencanakan sesuatu yang lebih dahsyat dari kejahatan sebelumnya. Joker sebagai penjahat yang sangat berkarakter ini rupanya sedikit banyak mempelajari Anarki. Dan great chaos lah yang menjadi tujuannya. Joker dengan segala ketidakterdugaannya pada akhirnya berhasil membalik keadaan dan menyudutkan Batman karena aksinya yang gila, membunuhi orang satu-persatu sampai Batman membuka identitasnya. Masyarakatpun menyalahkan Batman atas terbunuhnya para polisi dan tokoh-tokoh penting di Gotham.
Pada akhirnya saya masih meyakini bahwa dalam film ini Batman mengalami kekalahan besar karena satu-satunya tokoh yang menjadi tumpuan bagi tegaknya supremasi hukum di Gotham telah dirusak jiwanya. Ya, Harvey karena merasa dikhianati oleh banyak pihak dan kehilangan kekasihnya berubah menjadi orang yang juga tidak mempercayai upaya-upaya legal bagi tegaknya hukum yang baik di Gotham city.
Mengapa Harvey menjadi alas an bagi kemenangan joker? Bagi saya Harvey menempati posisi yang unik. Keberadaannya adalah simbol. Ia menjadi Imam mahdi, Ratu Adil, Heru Cakra yang ditunggu-tunggu dalam menghadapi zaman kalabendhu. Zaman dimana keserakahan, kekacauan, kerusakan, dan kemunafikan merajela. Harvey adalah jawaban bagi kehausan rakyat akan keadilan. Meskipun ada Batman tetap saja praktik yang dilakukan Batman tidaklah sah secara hukum. Dan Harvey mewakili semua harapan itu. Ia bisa menjadi berkah sekaligus menjadi bencana. Maka ketika simbol ini berhasil dijungkirbalikkan oleh Joker melalui serangkai proses ‘kriminalisasi’ maka tidak hanya karakter Harvey yang dirubah tapi juga kepercayaan masyarakat, dan lebih jauh lagi: harapan masyarakat. Ia adalah prototipe agung dan barangkali sejak awal Joker memang mengincar Harvey Dent. Karena salah satu cara menggoyang stabilitas adalah menggoyang representasi simbolik yang sedemikian dipuja pengikutnya. Dan Joker berhasil. Apakah keadaan ini relevan dalam konteks ‘kita’ di ‘sini’? ah gak tau ah..
Lalu Batman harus kembali menanggung kutukan itu, menghadapi kejahatan dalam kegelapan. Seperti telah dia sebutkan dalam film pertamanya. Ia harus menjadi ketakutan itu sendiri untuk mengatasi traumatiknya pada kelelawar. Ia harus menjadi kegelapan itu sendiri untuk melawan kegelapan. Dan benar-benar pas film ini menggambarkan filosofi Batman.
Diam-diam sayapun merindukan sosok seperti Batman. Sosok yang memberikan kepercayaan akan terjaminnya hak-hak sipil mengenai keadilan mengingat saya juga sudah pesimis dengan tata cara penegakan hukum di negara kita.
Dalam film ini, Batman menjadi representasi dari keinginan rakyat. Ia menembus sekat-sekat bahkan sampai lintas internasional. Lihatlah bagaimana ia menyeret penjahat dari China yang kalau secara legal tidak bisa diadukan ke mahkamah internasional mengingat China sangat melindungi warganya dan tidak bisa begitu saja mengekstradisi Lou yang juga merupakan orang penting di China. Tapi Batman bisa. Dan satu-satunya yang bisa menimbangi kenekatan adalah Joker.
Tapi apakah ada figur semacam Batman di negeri ini? Barangkali yang paling mendekati representasi Batman adalah people power yang mungkin menginisiasi metode Batman: main hakim sendiri!
Jujur dalam film ini saya lebih mengagumi Joker daripada karakter manapun. Selain diperankan dengan sangat apik, sosok Joker mewakili manusia yang dipenuhi gairah dan totalitas. Terlepas dari kejahatannya, Joker digambarkan sangat kuat karakternya dan cukup inspiratif.
Kembali ke masalah penegakan hukum di Indonesia, kadang saya merasa nurani kita dibenturkan pada tembok yang keras. Salahkah saya jika tidak percaya? Dan mestikah saya harus dipenjara karena pesimis?
Satu film lagi yang mengingatkan saya akan penegakan hukum yang tidak serius. Yakni The International. Disitu diceritakan agen Salinger hendak membongar kejahatan yang dilakukan oleh bank kenamaan. Satu persatu saksi kunci kejahatan bank tersebut dibunuh. Belakangan diketahui bahwa yang terlibat dalam kejahatan ini tidak hanya satu institusi melainkan lingkaran jaringan trans-nasional. Pembungkaman terhadap salah satu pimpinan (dalam hal ini bankir) rupanya tidak menyelesaikan masalah. Karena yang dihadapi agen Salinger adalah jaringan dengan banyak kepala. Jika salah satu kepala ini dipotong keadaan tidak akan berubah, karena mekanismenya akan melahirkan kepala baru sebagai pimpinan yang barangkali lebih kejam. Dan betapa kecewanya agen Salinger ketika mengetahui ternyata ada salah satu purnawirawan militer yang terlibat. Orang itu juga bukan orang sembarangan. Ia salah satu tentara yang dulunya sangat mendukung komunisme. Namun sekarang terlibat kejahatan trans-nasional. Faktanya adalah ketika Salinger memusuhi satu bank, pada hakikatnya ia telah memusuhi semua pihak yang berkepentingan dengan bank itu, bisa jadi FBI, CIA, bahkan Negara-negara lain. Dia memusuhi jaringan trans-nasional yang bisa dipastikan mereka mempunyai orang-orang kuat juga di pemerintahan. Artinya jikalau kasus ini diselesaikan seccara legal formalpun akan mentah karena kejahatan ini telah menggurita. Jika terjadi penguatan opini publik, mereka akan segera membuat isu baru yang sedianya mengalihkan perhatian rakyat.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu terjadi peristiwa penembakan warga Negara asing di Aceh. Saya bercuriga bahwa ini adalah upaya pengalihan isu. Dan barangkali akan terjadi peristiwa-peristiwa heboh lain terkait alotnya proses peradilan ini. Bukankah seperti yang diungkapkan Milan Kundera bahwasanya perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa?
Berkaca pada kedua film di atas apakah hal ini juga sedang terjadi di negeri ini? Saya hanya bertanya. Hal sederhana yang membuat banyak kawan aktivis dulu hilang atau dihilangkan karena dinilai salah dalam membuka pertanyaan.

Heima, rentang jarak yang mencemaskan


oleh: adin

Barangkali sangat telat bagiku untuk mendengar band bernama Sigur Ros. Bayangkan saja mereka berdiri sejak tahun 1994 dan aku baru mendengar mereka tahun 2009! Rentang waktu yang sangat panjang. Bermula dari magang di Commonroom alternative space yang dikelola Gustaff Hariman dan bertempat di kyai Gede utama 8, Bandung. Suatu malam yang dingin di semacam ruang apresiasi di Commonroom tiba-tiba dari kamar sebelah sayup-sayup mendengar Sigur Ros diputar. Langsung saja aku minta untuk copy annya dalam flashdisk ku yang belakangan aku tahu ternyata temanku personil band Forgotten itu. Langsung saja malam berikutnya aku mendengarkannya sungguh-sungguh dengan fokusku lebih kepada video dokumenter yang berjudul Heima.
Dalam bahasa Inggris Heima berarti at home (di rumah). Dan memang kesan awal yang aku tangkap dari lagu-lagu yang dipilih dalam film ini sangat nglangut dan murung.
Seperti mendengar saran dari kawan untuk melakukan bunuh diri. Segalanya terdengar begitu menyedihkan dan aku merasa dilempar ke sebuah masa yang tidak pernah akan terulang kembali. Seperti diingatkan dalam jeda sebuah perjalanan yang jauh, kita telah meninggalkan banyak hal. Di antaranya: rumah.
Rumah adalah asal-usul, akar sekaligus tempat yang mesti ditinggalkan untuk mencari esensi kehidupan. Dan kemudian menjadi tempat kembali setelah perjalanan yang melelahkan. Resiko tidak meninggalkan rumah bagi kita mungkin mendangkalkan wawasan. Maka itulah lahir istilah katak dalam tempurung. Namun terlalu lama pergi dari rumah kadang membuat kita merasa asing untuk pulang. Bahkan kepada pintu itu sendiri. Apalagi di dalamnya.
Pernah dalam sebuah status di FB kutulis: bagaimana jika kebahagiaan itu terletak di masa lalu. Kita pernah mengalaminya namun terlambat menyadari. Dan begitulah kesanku ketika mendengar Sigur Ros. Sedih, bahagia, rindu. Begitulah rindu: ia memaksa kita memikirkan yang sekarang tidak lagi kita miliki. Rindu adalah milik masa lalu. Ia selalu berjarak, ia selalu bertempat pada waktu yang berbeda. Dan celakanya ia hanya lahir pada saat tiada. Seperti halnya dendam, ia hanya kata lain dari rindu. Barangkali. Keduanya hanya hadir karena kita berjarak. Menuntut pembalasan, menuntut pertemuan. Tapi apa yang kita harapkan dari masa lalu selain mengenangnya!
Dan bukan persoalan masalalu yang menjadi perhatianku melainkan hal-hal dibalik itu. Masa lalu yang aku tulis disini bukan semata bermakna harfiah. Masa lalu disini hadir sebagai metafor: pada sesuatu yang tidak akan mungkin kita kunjungi. Ia semacam utopia dan mengingatkanku juga pada rentang jarak antara idealitas dan kenyataan; antara hasrat akan kebenaran dan kebenaran itu sendiri; antara lubang yang ingin digali dan keterbatasan untuk mencukupi. Jarak-jarak ini membentuk regangan: tegangan, karenanya kita dibuat terasing dan dicekam kecemasan (angst). Kecemasan pada yang sementara dan segala ketidakabadian. Nah apa yang harus dilakukan pada hidup yang sementara, rapuh dan penuh kecemasan ini?
Beberapa orang berniat mengekalkan yang sementara. Bisakah? Mungkin bisa. Setidaknya dalam ingatan.
Kembali pada Heima, film ini dibagi menjadi dua. Yang pertama rekaman konser mereka di negeri asalnya sendiri, Islandia, dan bagian kedua berisi rekaman konser mereka tanpa editing. Terlihat jelas dalam film itu kondisi Islandia yang hening dan santun. Film yang dirilis tahun 2007 ini memang dibuat setelah mereka melakukan tur dunia. Makanya Heima menjadi penting tidak hanya bagi Sigur Ros tetapi juga bagi orang-orang yang merindukan ketenangan. Lanskap yang indah, alam yang tenang, dan suasana murung berhasil dibangun dalam film ini. Mungkin juga latar belakang Islandia yang memang tidak seterkenal tetangga-tetangganya, misalnya Inggris, Irlandia dll, memang cocok bagi lahirnya band semacam ini. Bahasa Islandia yang tidak bisa kumengerti terdengar seperti gumaman atau dengungan rahib-rahib di Tibet yang mengantarku pada suasana sublim dan kesepian teramat. Belum lagi latar belakang Jonsi, vokalisnya, yang gay. Tentu agak berat juga menjadi kaum yang di beberapa negara lain masih ada diskriminasi terhadap orientasi seksual yang dianggap menyimpang. Dan seluruh kemurungan, kemisteriusan nampak mewarnai lagu-lagu Sigur Ros, setidaknya sampai tahun 2007.
Tentu kita ingat kaum gay menjadi bulan-bulanan pada beberapa dasawarsa lalu karena dianggap membawa penyakit kutukan, AIDS. Sebagaimana diketahui kebanyakan orang AIDS pertama kali diderita 5 orang homo dari AS tahun 1981 (meski belakangan ada riset yang menyebutkan penyakit ini pertama kali ada di Congo tahun 1959). Dan kita ingat juga kasus di film Philadelphia yang diilhami kisah nyata tahun 1987 dimana ada seorang pegawai yang dikenai implikasi-implikasi sangat merugikan karena diketahui menderita AIDS sekaligus gay.
Semua wacana-wacana di atas mungkin diketahui Jonsi, dan bayangkan derita psikologis apa yang menerpanya sebelum ia mengakui bahwa dirinya gay. Maka tidak heran kalau dalam lagu-lagu murung dan cenderung misterius ia bisa sangat menghayati. Bisa benar bisa tidak.
Bicara suasana murung dan kelam yang ditimbulkan film ini saya jadi teringat juga film Brokeback Mountain. Berlatar belakang tahun 1963 dan diperankan dengan bagus oleh Heithledger. Kalau melihat setting tempatnya keduanya-Brokeback Mountain dan Heima- ada kemiripan. Juga suasana yang dibangun. Semacam cinta yang malu-malu namun sangat hangat.
Mungkin sukses novel Twilight karena berhasil menghadirkan semua unsur kemurungan ini. Dalam novel itu dikisahkan setting cerita di sebuah kota yang selalu diselubungi mendung sehingga memungkinkan vampir bisa keluar di siang hari dan tidak terasa aneh. Belum lagi tokoh Edward yang diceritakan berwajah pucat dan sangat misterius karena memendam rahasia bahwa ia vampir. Seperti halnya Jonsi yang gay dan buta sebelah semenjak lahir! Sayangnya semua kemurungan dan kemisteriusan ini tidak bisa digali dengan baik dalam film Twilight. Bahkan cenderung gagal total (!). Ah sayang sekali.
Hal lain yang menarik dalam Heima, yakni setting tempat yang mengindikasikan perubahan kota yang perlahan-lahan mati. Misalnya salah satu tempat konser yang dulunya pusat aktivitas nelayan setempat. Dalam rekaman video hitam putih terlihat jelas aktivitas di tempat itu sangatlah ramai dan menjadi pertemuan banyak orang. Namun perlahan-lahan ikannya pergi dan aktivitas ekonomi mengalami kemunduran dan akhirnya berangsur-angsur tempat itu ditinggalkan. Dan secara cerdik sang sutradara memilih tempat itu. Sebuah tempat yang membangkitkan memori kolektif masyarakat. Kita digiring melakukan perjalanan ulang-alik antara masa lalu dan kekinian yang kesemuanya berakhir pada ingatan. Ah..
Kadang hal ini membuat sesak di dada. Ada yang membuncah keluar tetapi sudah tidak bisa melakukan apa-apa.
Ya..Heima telah membuatku merasakan kerinduan akan rumah. Akan sesuatu yang murni, ideal dan semacamnya. Namun dalam realitas yang keras ini seringkali sesuatu yang murni itu akan tercemari. Kita merindukannya seperti masa-masa kanak-kanak yang polos. Kita telanjur dewasa, tidak suci lagi dan tiba-tiba merasa ingin menangis betapa kita dulu bisa teramat polos, cenderung naïf, namun tulus.
Beberapa orang mungkin merasa sudah sangat asing bahkan tidak mengenali rumah itu, asal-usul itu, ibu itu. Beberapa juga membangun rumah yang sangat lain karena rumah (sebagai tradisi) sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan baik psikis maupun material penghuninya. Namun apapun itu sebagai rumah yang baik seharusnya bisa menerima anaknya yang telah lama pergi, bahkan mungkin tersesat. Sehingga tragedi Malin Kundang tidak ada lagi. Semua bisa diterima dalam pelukannya yang ramah. Dalam cintanya yang cenderung diam namun memahami kita.
Satu hal lagi film ini juga relevan untuk menggambarkan Islandia yang sekarang. Kita semua mafhum Islandia menjadi negara yang terancam ambruk perekonomiannya akibat krisis global tahun 2008 lalu. Entah berkaitan atau tidak sepertinya Heima akan menjadi dokumen kemurungan sosio kultural ini. Sesuatu yang akan menggetarkan banyak orang, terutama orang Islandia, untuk mencintai rumahnya yang terancam ambruk dan bersama-sama membangunnya kembali.

Rekontekstualisasi Sedekah Bumi

Oleh: Adin

Beberapa bulan belakangan ini desa-desa kecil yang berada di wilayah kabupaten Rembang terlibat hiruk-pikuk perihal penyelenggaraan acara sedekah bumi. Sebut saja misalnya desa-desa di wilayah kecamatan Kaliori, Sumber maupun kecamatan-kecamatan lain. Sedekah bumi sendiri, yang di beberapa tempat lain dikenal dengan istilah merti bumi, merupakan perayaan tahunan yang digelar dalam rangka syukuran atas hasil panen dan penghargaan terhadap bumi (baca tanah) yang menumbuhkan serta mengubur banyak hal. Dengan pembiayaan ditanggung desa penyelenggara dan diadakan setahun sekali membuat event ini ditunggu banyak orang. Berbagai acara turut menyemarakkan perhelatan ini sebut saja misalnya ketoprak, langen beksan (tayub/ joget/ ronggeng), wayang kulit semalam suntuk, dangdutan campursari hingga pengajian umum. Lebih semarak lagi terkadang di sela-sela acara utama terdapat perlombaan-perlombaan dari yang remeh-temeh macam makan krupuk hingga sepakbola, voli, pacuan kuda bahkan cross road. Tentu saja tidak semua desa menyuguhkan acara-acara itu. Besarnya pesta desa ini ditentukan berdasarkan kesepakatan warga desa untuk membayar iuran. Semakin meriah pestanya semakin banggalah desa yang menyelenggarakan. Dalam hal ini sedekah bumi telah menjadi identitas suatu desa.
Di luar berbagai macam sajian pertunjukan hal yang paling krusial dalam ritual sedekah bumi adalah pemberian sesaji yang biasanya diletakkan di tempat yang dipercaya keramat. Biasanya berupa pohon besar maupun makam leluhur pendiri desa. Sesaji berupa kembang tujuh warna ayam utuh, kemenyan dan lain-lain. Sesaji ini semua disesuaikan dengan tradisi setempat. Karena menurut kepercayaan orang tidak semua desa mempunyai tradisi yang sama. Ada desa-desa yang mewajibkan suatu pementasan tertentu, misalnya tayub atau ronggeng. Jika hal itu tidak dipenuhi desa yang bersangkutan akan terkena kesialan. Ada juga desa yang melarang pertunjukan wayang kulit atau ketoprak dengan membawa lakon tertentu. Aturan-aturan itu tentu saja diciptakan berdasarkan kepercayaan setempat.

Sedekah bumi sebagai ritual purba

Pada awalnya saya menduga bahwa pemberian sesaji ini ditujukan kepada Dewi Sri. Dan ternyata pada desa tertentu, misalnya di Sekararum yang terletak di kecamatan Sumber, sesaji lebih ditujukan para leluhur yang konon bersemayam pada kepunden. Kalau ditilik lebih lanjut jenis kepercayaan inilah yang tertua di nusantara. Sayangnya kepercayaan semacam ini seringkali diartikan sebagai syirik lantas harus disucikan padahal kalau mau membuka diri keercayaan pada benda-benda maupun roh merupakan wujud penyelarasan terhadap alam. Di situ ada mitos-mitos yang diartikan secara mistis sebagai sistem nilai yang menjaga keseimbangan. Kepercayaan ini, yang menurut Tanto Mendut, perlahan-lahan terkikis padahal kata beliau animisme dan dinamisme dalam konteks kekinian dapatlah diartikan sebagai penghargaan terhadap ekosistem dan arkeologi purba.
Saya yakin pendesain sedekah bumi pada masa terdahulu adalah orang-orang sakti (baca intelektual, terpelajar, orang bijak) yang mana tentu mereka pasti ‘membaca’ sehingga sedekah bumi menjadi kontekstual. Sayangnya kontekstualitas ini sepertinya tidak bisa dipertahankan. Lihat saja penyelenggaraan sedekah bumi yang dilaksanakan tanpa peduli waktunya pas atau tidak. Musim telah berubah akibat pemansan global maupun kerusakan alam lain. Musim hujan dan kemarau susah diperkirakan, tidak seperti dahulu. Namun penyelenggaraan acara ini tetap memakai penanggalan lama. Akan lebih baik misalnya jika kelak ada pemrakarasa intelektual yang memahami kondisi sosiologis masyarakat yang memberi ide-ide pencerahan terhadap ritual ini. Karena bukan tidak mungkin event ini bisa dipergunakan untuk menyuarakan banyak hal misalnya isu lingkungan, urbanitas dan semacamnya. Ada kecenderungan di kalangan anak muda tidak menyukai pekerjaan di daerahnya masing-masing mereka lebih suka merantau ke kota. Barangkali permasalahan ini dapat diangkat juga serta dampak sosial apa yang terjadi di daerah yang anak mudanya merantau.
Dan semestinya juga sedekah bumi bisa dijadikan ajang warga untuk mengaktualisasikan dirinya. Tidak hanya menyelenggarakan tontonan yang kesemuanya itu dipesan dari desa lain. Sayangnya dari kebanyakan daerah yang pernah saya kunjungi di Rembang kebanyakan menjadi semacam organisator para seniman yang tampil. Istilahnya ‘tanggapan’ laiknya sebuah perhelatan mantu sang tuan rumah tidak perlu unjuk gigi cukup membayar penampil dan tuan rumah beserta tamu menikmati suguhan itu. Itu sah-sah saja namun akan lebih baik jika yang diberdayakan adalah anggota masayarakatnya. Jadi merti bumi bisa menjadi usaha tersederhana warga dalam mencerna estetika menurut pemahaman masing-masing. Seringkali ekspresi rakyat terpinggirkan oleh banyak hal misalnya berita-berita politik dan gegap gempita siaran televisi. Dari sini akan dapat dilihat tubuh sosial apakah yang terdera di masyarakat kita melalui ekspresi seninya.

Namun selain keluhan di atas ini tidak bisa dipungkiri pula bahwasanya merti bumi telah menjadi sarana ampuh untuk menguatkan tali silaturahmi antar warga. Meskipun kebanyakan acara seringkali diadakan tidak mengguankan disiplin manajerial modern namun acara ini tetap semarak. Dan sepertinya kelak perlu ada orang-orang yang tergerak untuk memperbarui sistem nilai dalam tradisi ini ini jika tidak ingin merti bumi adatu sedekah bumi terjebak pada profanisasi yang marak belakangan atau ditiadakan karena dianggap bid’ah dan menyesatkan!

Nama

oleh: Adin

Memberi nama merupakan aktivitas identifikasi. Mempersempit jarak dan membuat sesuatu yang pada awalnya asing menjadi terkesan familiar. Ada penaklukan pada yang asing itu kepada ruang pengetahuan kita. Objek itu menjadi dikuasai, dibuat jinak, dan membuat perasaan kita menjadi tenang. Jadi tesis Shakespears tentang ‘apalah arti sebuah nama’ berkait dengan kerangka berpikir seperti di atas dimentahkan.
Kita mengenal adanya UFO (Unidentified Flying Object). Pada dasarnya UFO itu sendiri merupakan objek yang tidak bernama. Namun karena adanya penamaan itu, objek yang menakutkan, karena tidak di bawah pengetahuan kita itu, menjadi terkesan akrab.
Nama menjadi sesuatu yang sangat penting kaitannya tidak saja dengan proses pengenalan tetapi juga menyingkap struktur siapakah yang memegang kekuasaan, pengendali pengetahuan: nama-nama. Pada kehidupan pribadi kita seringkali dijumpai penggantian nama jalan maupun tempat. Penggantian nama tersebut hanya menjadi hak bagi pemegang regulasi. Entah itu dengan kepentingan politis ataupun sekedar penanda bagi eksistensi dirinya. Dan kuasa menandai sekali lagi adalah kuasa yang hanya dipegang pada otoritas pemaknaan. Tidak jarang nama-nama yang dianggap mempunyai raport merah dan dianggap mengganggu stabilitas dihapus dari sejarah. Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Pramoedya, Tan Malaka, dan masih banyak lagi pernah menduduki sejarah kelam untuk tidak dianggap, dilupakan. Padahal penghargaan untuk mereka harusnya sebanding dengan perjuangan dan dedikasi mereka selama hidupnya.
Mengingat betapa pentingnya nama tidak heran jika dalam mitos Watugunung hari-hari juga mempunyai nama. Saking pentingnya tradisi memberi nama dalam banyak kepercayaan leluhur kita juga diperingati secara sakral. Tidak jarang untuk menamai sesuatu diperlukan tapa (meditasi, khalwat, laku) terlebih dahulu.
Pada hakikatnya bertapa merupakan aktivitas kontemplatif. Kaitannya dengan ritual yang masih berhubungan dengan yang transenden, bertapa merupakan sarana untuk mendekatkan diri kita pada yang sublim. Kosong namun penuh. Pada bertapa, tubuh dinomorduakan untuk mencapai derajat lebih tinggi. Dalam hal ini tentu saja kita akan menjumpai pandangan klasik Plato tentang dualisme jiwa dan badan. Itu artinya pemberian nama terhadap sesuatu bukanlah hal yang sepele.
Nama juga berarti doa dan harapan. Setiap orang tua tentu saja menginginkan anaknya bernasib mujur. Untuk itulah nama-nama seperti Untung, Bejo, Slamet, Sugeng bertebaran dalam khasanah Jawa. Namun demikian tidak semua orang dalam kepercayaan Jawa mempunyai hak untuk menyandang nama bagus. Di snilah dapat dilihat bahwa pada aktivitas penamaan dapat terjadi juga diskriminasi. Anak seorang buruh tani tidak boleh sama dengan nama para bangsawan. Pengukuhan ini selain sebagi pembeda antara ‘kami’ dengan ‘mereka’ juga dimaksudkan untuk pembeda status yang kelak akan menetukan posisi sosialnya. Ironisnya lagi hal ini diperkukuh dengan mitos sebagai kuasa magis penjaga keberlangsungan struktur yang diskriminatif tersebut.
Saya pernah mendengar ada bayi yang meninggal karena kabotan jeneng (keberatan nama, menanggung nama yang bukan haknya). Ada awalnya bayi tersebut sakit-sakitan lalu atas nasihat tetua bayi itu haru diganti nama untuk membuang sengkala (sial) yang barangkali mendekam di tubuh bayi itu atau di nama yang disandangnya. Nama yang sukup berat tidak akan diterima oleh tubuh yangmemang tidak kuat menanggung takdir nama tersebut. Saya termasuk salah satu bayi yang pernah menangung mitos itu. Nama saya dulu sering berganti-ganti suapya kesialan tidak terus menerus menimpa saya. Konon tubuh saya dulu seirng sakit-sakitan.
Bukti nama yang dianggap doa dan faktor keberuntungan tidak berhenti di situ saja. Untuk mendapat hoki tidak jarang artis-artis mengganti nama kecilnya. Tradisi tersebut bukannya tidak berakar. Pada mitos-mitos pewayangan satu tokoh bisa mempunyai banyak nama. Misalnya Sena sebagai salah satu penyokong Pandawa mempunyai nama dewasa Werkudara dan ketika lolos dari Bale Sigala-gala ia mengganti namanya menjadi Jagal Abilawa. Jabang Tetuka anak Wekudara ketika telah digodok di Kawah Candradimuka menggati namanya menjadi Gatutkaca, tetapi tetap saja ia bernasib tragis! Barangkali untuk itulah beberapa pengarang kita berkepentingan mengganti namanya. Selain untuk gagah-gagahan barangkali juga penanda awal transformasi mereka. Jadi nama, penamaan, menjadi bernama bukanlah proses yang sederhana. Pada proses-proses tersebut dapatlah kita telusuri banyak hal. Pada akhirnya saya ingin bertanya, siapakah kamu? siapakah namamu? Dan kalau ditarik lebih jauh apa harapan orang tuamu dengan namamu? apakah takdir yang disandang oleh namamu? dan oleh apa serta siapa dirimu dinamai?