Minggu, 22 Mei 2016

Mainz



Mainz dari atas benteng
(bagian enam)

Sebuah gedung, kota, bangunan,pun peristiwa dengan sendirinya tak pernah menarik sebelum diisi kisah. Sebelumkita memberinya nama dan makna ia barangkali adalah realitas yang terpisah,berjarak dari kita. Dengan sendirinya ia menjadi asing. Keasingan itu bisa jadimenarik rasa ingin tahu, atau justru malah mengenal karena kita tak punyasejarah dengannya. Namun percayalah, sebuah obyek yang menarik selalu memantiksebuah kisah.
Bertandang ke Mainz, tanpa bekalreferensi sejarah tertentu seperti di hadapkan pada sesuatu yang benar-benarasing. Namun tak tahu kenapa kota ini sungguh menarik perhatianku. Waktu masihtinggal di Russelsheim, Mainz menurutku adalah satu-satunya kota menarik dilintasan Russelsheim-Wiesbaden. Tak heran baru beberapa hari tinggal diRusselsheim aku langsung ingin mengunjungi Mainz. Berbeda dengan Wiesbaden yangkonon lebih disukai kaum manula,Mainz penuh sesak dengan anak muda. AdanyaJohannes Gutenberg Universitat membuat kota ini dipenuhi anak-anak muda. Tiapkali berangkat dari Russelsheim atau perjalanan pulang dari Wiesbaden, selaluada saja anak-anak muda dengan penampilan menarik di kota ini. Jauh sebelummembaca jenis apa kota Mainz, ketertarikanku pada banyaknya anak muda yangturun ke kota ini memantik rasa ingin tahu. Belum lagi lanskap yang bagus saatmelintas di atas Sungai Rhein. Kota yang benar-benar indah.

air mancur di tengah-tengah Scillerplatz menambah adem suasana
Di hari yang cerah entah tanggalberapa akhirnya kuputuskan singgah di kota ini. Aku hanya berjalan-jalan sajadan menemukan gedung-gedung indah bergaya gothic, barok, maupun rococo. Sepertihalnya dengan kota-kota lain di Jerman, sewaktu perang dunia ke dua kota inijuga mengalami rusak parah. Mereka merestorasinya kembali. Hal yang bertolakbelakang dengan keadaan di negeri sendiri, bangunan yang ada ingin segeradihancurkan dan diganti dengan sesuatu yang tak berakar.

taman bunga di Schillerplatz (1)
Keluar dari stasiun aku berjalanlurun mengikuti jalan di depan, sekitar 100 meter belok kiri. Selama beberapamenit tak ada gedung yang menarik, aku bertanya pada orang di mana pusat kota. Ternyataaku menuju arah berlawanan. Tak lama sesudah memutar arah aku temukan sebuahgedung menarik di depannya terdapat taman bunga. Indah sekali karena saat itubunga yang berwarna-warni bermekaran. Saat itu masih musim panas, matahariterbenam lebih lama dan aku leluasa jalan-jalan. Biasanya pukul 21.00 langitbenar-benar gelap.
Tempat pertama yang menarikperhatianku belakangan aku ketahui bernama Schillerplatz. Selain taman bunga ditempat itu juga terdapat air mancur dengan patung miniatur orang-orang didalamnya. Di Schillerplat juga terdapat banyak bangku sehingga kita dudukbersantai menikmati musim panas.
Tak berlama-lama di situ, bersamaseorang kenalan dari Cina aku menuju sebuah gereja bergaya barok. Lama-lama takmengesankan lagi gereja-gereja ini karena di hampir banyak tempat yang akukunjungi interiornya memiliki kemiripan. Namun rupanya aku melewatkan satugereja yang harus dikunjungi, yakni Mainz Chatedral, Mainz Dom atau St MartinKatedral. Ini adalah gereja yang berusia lebih dari 1000 tahun.

taman bunga di Schillerplatz (2)
Sebagaimana tercatat dalamsejarah, Mainz sangat penting pada awal-awal abad pertengahan terutama dalamera Kekaisaran Romawi Suci yang cikal bakalnya sejak Charlemagne (768-814). Ia hampirselalu menjadi wilayah perebutan kerajaan-kerajaan tua. Tak heran sejak eraKerajaan Roma, posisi Mainz sebagai kota benteng cukup strategis. Demikian pulasaat Napoleon Bonaparte mulai mengusai Eropa. Pun Kerajaan Austri dan jugaPrusia mempunyai garnisun yang kuat di wilayah ini. Makanya saat berkelilingaku bertemu dengan banyak sisa benteng namun karena tak mempunyai referensi akuhanya mengambil foto saja.
Selain pemerintahan, kotakelahiran Gutenberg ini juga jadi wilayah penting bagi agama nasrani. Semenjakpemerintahan Charlemagne yang kontroversial karena perang Saxon. Demimengkristenkan dataran Eropa, ia memakai kekerasan. Karena pengaruh kerajaannyayang kuat, Mainz pun ikut menjadi kota penting, juga uskup agung Mainz. Uskupagung di zaman itu, sejak Willigis (975-1011) hingga berakhirnya KerajaanRomawi Suci adalah salah satu dari tujuh pemilih kaisar Jerman. Bisa dibayangkabetapa kuatnya keuskupan di Mainz.
Tak hanya tumbuh kembangnya agamanasrani, bagi orang Yahudi, Mainz juga penting. Di awal-awal millennium pertama,Yahudi berkembang cukup baik. Namun posisinya dari abad ke abad pasang surut.Kadang dilindungi, kadang diusir dan pernah pula dibunuh massal. Misalnya padatahun 1349 sekitar 6000 orang Yahudi dibakar karena dianggap penyebab timbulnyawabah hitam.

aku tak tahu persis ini bangunan apa, tapi kutemukan di kawasan benteng
Ibukota negara bagianRhineland-Palatinate ini juga sempat mendeklarasikan diri sebagai republik saat18 Maret 1793 Kelompok Jakobin Mainz dan 130 kota lainnya melakukan deklarasi.Namun tak bertahan lama karena Kerajaan Prusia tak senang dan mengepung kotahingga 23 Juli di tahun yang sama Jakobin menyerah.
Tak terasa berjalan-jalanseharian waktu sudah cukup sore. Karena kendala hujan aku urung jalan-jalan ditepi sungai Rhein yang indah itu. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

kompleks benteng Mainz

Bersama Saudara Seperantauan

(bagian 5)


Tak terbayangkan keberadaanku di Wiesbaden tanpa bantuan teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Merekalah yang mau bersusah-susah membantu mencari tempat, mengajari masak, membeli hal-hal dasar dan mengajak berkeliling pada periode awal kedatangan. Perkenalan dengan mereka juga cukup dari internet. Anastasia Dwi Rahmi lah yang sedari awal membantu banyak hal, termasuk mendorongku untuk berkenalan dengan para mahasiswa yang ada di sini. Adalah Maya Puspita Sari, mahasiswa Teknik Lingkungan di Hochschule Rhein Main Wiesbaden yang banyak membantuku mencarikan tempat tinggal. Dia juga yang mengenalkanku dengan teman-teman di sini seperti Brilly, Pascal, Nuri, Kiki, Leo, dan lain-lain. Sebelum kenal Maya, Nadia Andhini yang menyarankanku untuk kontak Maya. Sebelumnya entah siapa yang aku hubungi sudah lupa. Tahu-tahu paling intensif sama Maya ini. Terus terang meski Hyteria jadi tempat singgah tak resmi band-band 'backpacker' dari belahan dunia lain tapi aku tak akrab dengan mereka betul-betul, hanya beberapa. Jadi meskipun menjalin hubungan dengan mereka, aku urung minta bantuan.

beberapa teman mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman, main kartu di tempat Nuri
Teman-teman dari negeri asal inilah yang sedemikian ramah memperlakukan teman satu negaranya. Pertama kali datang ke Wiesbaden aku diajak keliling  ke kota, menyaksikan Kurhaus, kasino, jam kikuk raksasa, dan tempat-tempat lain yang aku tak tahu itu tempat apa. Pokoknya bagus saja dan tak tahu namanya. Mereka juga mengajari membeli tiket bulanan supaya murah dan kiat-kiat hidup di sini supaya tak boros. Semua teman yang kukenal rata-rata bisa masak sendiri. Hal itu jauh lebih irit daripada beli di luar. Tak sampai 1 Euro kita bisa beli beras, 3 Euro beli ayam yang tinggal dimasukin open dan sudah bisa makan sehari. Jika dibanding harus beli di luar jauh lebih mahal. Kebanyakan tempat makan eropa untuk merasakan daging harganya di atas 10 euro sekali makan. Alternatif lain kalau jajan di luar yakni beli di kedai kebab Turki. Awal-awal aku sering beli kebab. Harganya variatif, mulai dari 2 Euro hingga 10 an Euro. Karena porsinya besar biasanya beli sekali bisa dimakan dua kali. Pertama belanja sama Maya aku beli seprai, mie instan, dan beberapa kebutuhan lainnya. Bersama Nadia aku diberi tahu tempat-tempat belanja murah di Wiesbaden. Belakangan, pasangan suami istri Pascal dan Nuri banyak membantuku saat awal-awal pindah dari Rüsselsheim ke Wiebaden. Nurilah yang paling rajin mencari informasi saat itu dan mengajariku masak! Di tempat Nuri kami sering makan bersama masakan Indonesia.Seperti aku tulis sebelumnya, di Rüsselsheim aku tak terlalu akrab dengan tetangga, jadi untuk masak, aku segan memakai alat-alat yang ada di sana dan kebetulan rumah yang aku tempati relatif baru, alat-alat masak milik personal. Berbeda dengan saat tinggal di Wiesbaden per 1 Oktober 2013, teman-teman satu rumah lebih akrab dan mereka mengijinku menggunakan alat masak mereka. Praktis sejak itu aku lebih banyak masak di rumah dari pada jajan di luar. Nuri yang kuliah di Johannes Gutenberg Universität Mainz hingga saat ini cukup sabar mengajariku banyak hal.


Menonton Sepakbola di Mainz



para suporter Mainz 05


Sabtu, 19 September kami merencanakan untuk menonton sepak bola bersama di Coface Arena Mainz. Aku, Pascal, Nuri, Brilly, dan Wowon menonton pertandingan sepakbola antara Mainz dan Schalke. Rombongan kami tentu saja mendukung Mainz karena paling dekat dengan tempat kami tinggal. Meski akhirnya Mainz takluk, namun pengalaman singkat itu cukup mengesankan. Jujur di Indonesia aku jarang menonton sepak bola live. Di sini, di sebuah stadiun berkapasitas 34 ribu orang, penonton bertingkah tertib membuat nyaman untuk menonton laga sepakbola. Sempat was-was juga karena banyak tampang-tampang ganas dan sesama suporter saling ejek. Sama sekali tak lucu kalau tiba-tiba ada perang suporter seperti pengalaman di negeri sendiri. Wajar was-was karena beberapa kali sebelumnya sempat mendapat perlakuan agak rasialis. Di sebuah stasiun kereta api aku sempat diteriakin cina dengan nada tak enak. Di Rüsselsheim juga pernah. Kalau dipikir-pikir aneh juga, cina dari mana.. sepertinya orang-orang di sini sulit membedakan dari ras mana, asal Asia pokoknya cina, seperti kesulitan kita saat mengenali orang Eropa dari bagian mana, pokoknya bule.Untunglah itu hanya kecemasan tak berdasar, hingga usai pertandingan penonton pulang secara tertib. Meski banyak yang minum alkohol toh tak terjadi apa yang namanya lepas kontrol. Coface Arena sendiri cukup besar dan megah. Warna merah mendominasi stadiun yang dibangun pada tahun 2011 ini.

ular-ularan penonton setelah pertandingan usai, Sabtu (19/9)
Jarak dari stasiun kereta ke stadiun tak terlalu jauh, cukup naik trem sekali kita sudah langsung menuju lokasi. Perjalanan memakan waktu hanya beberapa menit saja. Kami tak perlu membayar tiket trem karena dalam tiket pertandingan sudah mencakup tiket perjalanan di area pertandingan itu selama sehari penuh. Jadi kalau pada hari itu mau muter menggunakan angkutan publik menggunakan tiket pertandingan sangat mungkin dan gratis. Pintu masuknya cukup banyak, aku tak sempat menghitung namun para penonton harus masuk sesuai dengan pintu yang tertera dalam tiket sehingga masuknyapun tak berdesak-desakkan. Menuju tribun kami disambut orang yang membagikan kerta ukurun 40 centi meter persegi untuk tempat duduk. Meski akhirnya tak benar-benar kami gunakan karena sepanjang pertandingan hampir semua penonton berdiri. Setelah pertandingan kami pun pulang dengan trem yang sama. Meskipun antrian sangat panjang orang masuk secara tertib sehingga perjalanan cukup nyaman. Kami tak langsung pulang, karena Nuri mengajak untuk mampir ke rumah keluarganya Pascal. Di sana kami diperlakukan sangat baik, kehangatan keluarga Eropa. Perlakuan mereka yang hangat membuatku serasa kembali ke rumah, tempat yang sekali waktu aku rindukan sangat.  (Adin)

Coface Arena, dilihat dari atas (courtesy Mainz05.de)

Jumat, 13 Mei 2016

Kunstverein, Fenomena Eropa



Nassauischer Kunstverein Wiesbaden
 (bagian empat)


Selama di Jerman, aku menjalani program residensi di Nassauischer Kunstvereine Wiesbaden (NKV Wiesbaden). Internetlah yang menjadi penghubung bagaimana aku tahu ada tempat semacam ini. Tempatnya terletak di Jalan Wilhelmstrase nomor 15, memiliki 3 lantai dan luasnya sekitar 350 meter persegi. Sebelum aku cerita banyak tentang bagaimana aku sampai di sini dan spesifik tentang NKV Wiesbaden ini ada baiknya menyimak sejarah lembagaKunstverein ini atau terjemah bebasnya klub seni.

Selain NKV Wiesbaden ada ratusan lagi lembagasemacam ini yang tersebar di seantero Jerman, baik di kota kecil maupun besar. Inibukan lembaga pemerintah melainan milik klub pecinta seni yang sudah berusiaratusan tahun. Orang menyebutnya Kunstverein saja, fenomena ini bermula darikeinginan para pecinta seni untuk mengakses karya seni visual yang bagus. Pada awalnyaseni berada di menara gading, jadi simpanan para aristocrat dan bangsawan saja.Ingin membagi pengalaman mencerap karya seni bagus sekelompok pecinta karyaAlbrecht Durer di Nurnberg pada tahun 1792. Mereka mendirikan Albrecht Durer Societysebagai cikal bakal kunstverein pertama di Eropa.

Klub yang diinisiasi golongan menengah, kaum intelektual dan orang-orang progresif ini segera saja menjadi trend dan menyebar ke kota-kota lain. Tahun-tahun 1815 hingga 1850 adalah masa-masa pertumbuhan kunstverein. Hampir semua kota besar terdapat kumpulan ini. Ini adalah rumah bagi para aktivis budaya, intelektual dan menjadi bagian tak terpisahkan dari fenomena urban di Jerman saat itu.

Selain menggelar pameran, mereka juga menjadi tempat bereksperimen, mengadakan seminar,lokakarya dan berbagai kegiatan lainnya untuk menunjang kehidupan berkesenian di kotanya. Kunstverein menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup orangJerman.

Die Suppe ist gegessen VI karya Katerina Seda di NKV wiesbaden
Dari sebuah buku kecil tentang lembaga ini terbitan Arbeitgeimenscahft Deutcher Kunstvereine –ADKV atau Association of German Art Assocoation (asosiasi dari asosiasi kunstverein) dijelaskan bahwa tujuan lembaga yang hingga saat ini berjumah 300an itu adalah mengenalkan dan mendukung perkembangan seni rupa kontemporer. Lembaga ini selain memamerkan karya-karya kontemporer juga menggali potensi seniman muda.

Untuk membiayai kegiatannya mereka mengandalkan dana dari anggotanya dan sponsorsip tentu saja.Total hingga saat ini ada sekitar 150 ribu anggota aktif dan jutaan orang mengunjungi tempat ini. Dengan luas jangkauan dan jumlah sebanyak itu, kunstverein adalah fenomena yang unik di Eropa dan menjadi satu di antarasekian banyak penyokong infrastruktur seni di sini. Mereka juga tak segan memamerkan karya-karya pemula dan gagasan unik yang bahkan disepelekan di kota tersebut.

Dengan mengandalkan sumbangan anggotanya mereka mampu mengembangkan kualitas hidup, mengenalkan kebudayaan, membiasakan tradisi inovasi, dan berkontribusi memajukan kegiatan kebudayaan yang ada di wilayah, kota, maupun komunitas.

Tak hanya melipatgandakan produksi artistik dan inovasi, kunstvereine juga situs pertukaran kebudayaan baik nasional maupun internasional. Lembaga ini juga mendorong diskusi dengan perspektif artistik, dan membawa seni dalam kehidupan kontemporer dengan cara menawarkan pendidikan estetik melalui pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Yang menarik mereja juga mengajak masyarakat berinteraksi langsung dengan isu terkini dalam dunia seni.



Bipholar Sphere karya Lisa Weber and Markus Walenzyk di NKV wiesbaden



Saat ini jenis kunstvereine bermacam-macam dan yang menggembirakan hampir semua asosiasi kunstvereine ini berbagi komitmen untuk memamerkan karya eksperimental baik dalam konteks nasional maupun global. Mereka mendukung artis yang sedang berproses sejak awal sebelum artis ini stabil di pasaran maupun museum. Kunstvereine memberi kesempatan para artis pemula ini untuk belajar dan menemukan cara hidupnya sendiri untuk bereksperimen. Mereka memfasilitasi bagaimana seni rupa kontemporer memainkan peranan dalam kehidupan kekinian di kota atau wilayah masing-masing.

Lembaga ini jugamemberikan pendidikan seni pada masyarakat dengan cara-cara yang menyegarkan.

Untuk memperkuat jaringan di antara kunstverein, pada tahun 1980 dibentuklah Arbeit geimenscahft Deutcher Kunstvereine – ADKV atau Association of German Art Assocoation.Asosiasi ini adalah simpul untuk mempertemukan kunstvereine di seluruh Jerman untuk bersama-sama saling menguatkan dan berbagi program. Mereka saling dukung untuk mendukung dan mempromosikan seni-seni non profit.

Bisa dibayangkanlah kenapa kondisi atau iklim berkesenian di Eropa cukup kental karena tunjangan infrastrukturnya juga bagus.

Adapun NKV Wiesbaden didirikan sejak 1847. Hingga saat ini NKV Wiesbaden masih sangat aktif menggelar program. Berkat NKV Wiesbaden inilah saya perolah beasiswa yang diberikan oleh Rave Foundation Scholarship yang dikelola oleh Institur fur Auslandsbeziehungen di Stutgart, Jerman. (Adin)




Perfect Stranger di Leluhur Opel


tempat tinggalku di Russelsheim
(bagian 3)


Seperti yang kubilang sebelumnya selama sebulan aku tinggal di Russelsheim, sebuah kota kecil dua puluh menit perjalanan dari Wiesbaden ke arah Timur. Cukup satu hari untuk menjelajah kota ini. Kota? Aku pikir terlalu besar untuk disebut kota, lebih tepatnya desa kalo kita perbandingkan dengan di Indonesia sih. Meskipun kecil tapi Russelsheim boleh dibilang cukup nyaman bagi orang-orang yang mencari keheningan.

Russelsheim menyita perhatian banyak orang ketika Adam Opel AG, pendiri Opel membuka usahanya di kota ini. Adanya Opel membuat desa ini ditinggali banyak pekerja. Aku tinggal 20 meter dari perusahaan besar ini. Sangat dekat dengan stasiun kereta api, terminal bus dan juga patung Adam Opel yang berdiri megah di ruang lapang.Adam Opel memulai usahany asejak 1862 dengan memproduksi mesin jahit. Sukses dengan usahanya itu  1886 ia membuat motor lalu membuat mobil pertama kali 1899. Tahun 1911 dan 1945 perusahaan ini mengalami kerusakan hebat. Pasca perang dunia ke dua Opel kembali bangkit dan bertahan hingga sekarang namun tak sehebat sebelum perang dunia kedua. Patung dengan tinggi sekitar dua meter dan terbuat dari perunggu ini cukup mengesankan. Warnanya sudah agak hijau toska dengan postur mendongak. Jalanan di sini juga tak terlalu ramai. Yang menyedihkan adalah saat malam, pukul 19.00 hampir-hampir tak ada orang keluar rumah. Masih mendingan hidup di Sekararum, Sumber,Rembang, desa asalku, sampai malampun tak mati gaya. Saat tiba di sini kebetulan masih musim panas, jadi siangnya agak panjang. Matahari angslup sekitar pukul 21.00 namun hal itu juga tak membuatku rajin ke mana-mana karena memang masih serba bingung. Di kota ini aku benar-benar menjadi ‘perfect stranger’. Tak kenal orang-orang di sini, tak paham bahasa mereka, dan jauh dari keramaian.

Adam Opel AG di depan perusahaan mobil Opel
Masih ingat Maya Puspita Sari? Ya, teman facebookku yang susah payah mencarikan tempat tinggal untukku. Di Jerman tak mudah mencari tempat tinggal untuk mahasiswa jika tak jauh-jauh hari, solusi paling cepat adalah tinggal di Russelsheim, terpenting bagiku adalah dapat tempat tinggal dulu. Maya sendiri adalah seorang mahasiswa teknik lingkungan di Wiesbaden. Aku tak tahu persis nama perguruan tingginya,tapi bisa dibilang ialah yang paling repot saat masa-masa awal kepindahanku. Aparteman yang akutinggali saat itu adalah milik Yongkie, teman Maya yang sedang pulang kampung.

Minggu pertama aku habiskan untuk jalan-jalan mengenali kota dan tempat belanja. Oleh Maya aku diajak keliling untuk mengidentifikasi mana toko Asia, mana kalau mau belanja kebutuhan sehari-hari, dan kebutuhan dasar lainnya. Di apartemen ini,tepatnya share room, aku tinggal di lantai II dengan jendela persis menghadap ke jalan. Teman satu block ada dua orang, dua-duanya orang Jerman. Aku tak terlalu akrab dengan mereka karena sejak pertemuan awal ada nada kurang enak,jadi aku pilih tak banyak berkomunikasi. Toh aku di sini hanya satu bulan. Kamar mandi rumah ada dua dan dapurnya satu. Semua menggunakan alat elektronik. Mengoperasikan alat-alat itu suatu kerepotan sendiri. Maklum di Semarang terbiasa menggunakan kompor gas dan biasa jajan di luar. Di sini kalau mau irit ya masak sendiri. Karena tak berbekal kemampuan teknis dan tak akrab dengan tetangga membuatku kerepotan sendiri.


dapur apartemen, semua alat elektronik, mesin cuci alat masak, oven, kulkas, kompor dan lain lain
Praktis selama hampir sebulan aku hanya makan sereal, mie instan, susu, juz, roti tawar, dan kadang-kadang beli kebab, burger atau sesekali beli nasi goreng di rumah makan asia yang letaknya persis di seberang jalan depan apartemen. Sekali tempo aku sempatkan muter-muter Russelsheim namun tak pernah sekalipun jenak.

Tiap tempat memiliki kisahnya sendiri, begitu pula Russelsheim, di masa perang dunia kedua penduduk dari kota inilah yang pertama kali disidangkan dalam kejahatan perang di Nurnberg. Konon para penduduk yang marah tak menyia-nyiakan kesempatan untuk main hakim terhadap 6 orang tawanan perang dari pihak AS. Sewaktu melintas di Russelsheim, enam dari sembilan tentara yang tertangkap dihajar massa hingga mampus tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1944. Kemarahan ini akibat pada malam sebelumnya, British RoyalAir Force (RAF) memborbardir kota yang saat ini didiami sekitar 60 ribu jiwa.

Selebihnya aku buta sama sekali tentang kota ini. Karena tak ada akses internet kadang aku ke warnet di pusat kota dengan harga 1 euro perjam.


salah satu kedai kebab favoritku di kota
Masih soal adaptasi, sejak tinggal di sini prinsipku adalah makan atau mati. Maka sebisa mungkin makanan yang dihidangkan aku berdamai dengan rasanya. Bagaimanapun dasarnya lidahku adalah jawa tulen dan tak siap dengan makanan eropa. Selain tak terlalu suka, juga ada sentimen aneh soal gaya hidup kebarat-baratan. Seperti kena kutukan di sini aku harus berdamai dengan itu semua. Perdamaian pertama dengan lidah dan perut.

sebulan dari Wiesbaden hingga Bandara Frankfurt am Main


Senin, 09 Mei 2016

Kota Pemandian Padang Rumput



perjalanan ke Wiebaden dalam kereta S9, dari Russelsheim ke Wiesbaden biasanya kalau tidak naik kereta berkode S9 aku naik S8
(bagian 2)

Wiesbaden, kota seperti apakah itu? kota ini merupakan ibukota negara bagian Hesse, terletak di barat daya Jerman dan populasinya sekitar 280 ribu jiwa.Wiesbaden bersama Darmstadt dan Mainz merupakan bagian Frankfurt Main Region,yakni sebuah kota metropolitan dengan total populasi 5,8 juta jiwa. Kalau dari arah Frankfurt am Main kira-kira berjarak 38 km ke arah Timur. Kota ini memang kalah tenar dibandingkan dengan Frankfurt am Main,  tapi kota yang pernah disinggahi Goethe dan konon jadi model setting fiksi ‘Roulettenburg’ karya pengarang Rusia Fyodor Dostoyevsky berjudul The Gambler (Russian Игрок) 1865 ini tetap menarik.

Hari kedua, 28 Agustus aku ke salah satu kota pemandian panas tertua di Eropa ini. Naik kereta berkode S9 perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dari Russelsheim ke Wiesbaden  Di sini, akses ke mana-mana mudah karena transportasi publik disediakan dengan baik. Setibanya di stasiun kereta api Wiesbaden, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan bus bernomor 1 dengan tujuan jalan Wilhelmstrase, tempat di mana Nassauischer Kunstverein Wiesbaden berada, tempatku menjalani residensi. Sepanjang perjalanan aku terkesan dengan ruang publik yang tertata dengan rapi.

Secara harafiah Wiesbaden bermakna ‘pemandian padang rumput’ yang merujuk banyaknya sumber air panas yang terdapat di kota ini. Konon di kota ini ada 27 mata mata air panas yang tersebar di  kota, namun sekarang tinggal sedikit.

gereja yang dibangun menggunakan batu bata, tak jauh dari Jalan Wilhelmstrase

Selama perjalanan dari Russelsheim hingga ke Wilhelmstrase, Wiesbaden, aku penasaran dengan keterangan yang diberikan oleh Wikipedia mengenai kota ini. Jadi terngiang dengan kata Mas Marco  bahwa budaya berkota di negara lain sudah berlangsung sejak lama sedangkan di Indonesia masih muda. Situs Trowulan misalnya, jika dibandingkan dengan peradaban Mesopotamia atau sungai Indus jelas jauh lebih muda. Jadi penasaran bagaimana relasi antara peradaban masa lalu yang ada di sini dengan sekarang sehingga membentuk budaya berkota di sini hari ini.

Mata air panas di sini pertama kali disebut oleh Gayus Plinius Secundus (23 M -79 M) atau dikenal sebagai Pliny the Elder dalam Naturalis Historia. Selain sebagai sumber mata panas, tanah ini juga terkenal sebagai penghasil berbagai mineral yang diperlukan untuk kosmetika gadis gaul Roma. Dulunya tentara kavaleri Roma sering singgah ke sini untuk beristirahat. Tahun 121 M oleh penduduk RomaWiesbaden lalu dikenal sebagai Aquae Mattiacorum (Airnya Mattiaci) pada tahun.Adapun nama Mattiaci sendiri diyakini sebagai nama salah satu suku di Jerman yang masih kerabat dengan Chiati pada era yang sama. Beberapa ratus tahun kemudian, Einhard penulis biografi Charlemagne sekitar tahun 828 – 830 mulai menyebut nama kota ini sebagai Wisabada.

Seiring berjalannya waktu Wiesbaden dikenal sebagai kota spa, peristirahatan yang nyaman serta tempat pertemuan. Kaisar Friedrich Wilhelm Viktor Albrecht von Preußen (1859 –1941), penguasa tertinggi Kerajaan Prusia sering datang ke sini saat musim panas. Bisa dikatakan Wiesbaden semacam istana tak resminya Kaisar Wilhem, yang saat ini namanya menjadi nama jalan tempat tujuanku. Tak hanya di kalangan Prusia saja, orang-orang Rusia juga sering berlibur di sini.


stasiun kereta api atau biasa disebut Hauptbahnhof di Wiesbaden

Saat berkeliling naik bus aku melihat banyak gedung dengan gaya arsitektur ratusan tahun. Masa lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota. Meski sempat mengalami pengeboman di waktu perang dunia ke dua, kota ini segera bisa merestorasi dirinya sendiri. Aku jadi penasaran, mengapa mereka membangun gedung-gedung ini berdasar arsitektur lama, kenapa tak dibuat sama sekali baru?Apa sebenarnya makna masa lalu dan sejarah yang berkesinambungan di sini?

Untungnya kota ini tak banyak mengalami pengeboman karena konon AS hendak meminimalisir kerusakan supaya bisa digunakan sebagai markas pusat Angkatan Darat Amerika Serikat Eropa (United States Army Europe atau USAREUR). Rumor ini konon dibantah karena menurut AS minimalisir pengeboman bukan hendak menjadikan kota ini markas mereka, namun karena kota ini strategis dan penting untuk pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya hingga sekarang kota ini tetap menjadi markas six  military intelligence brigade dan markas 5th signal command Amerika Serikat.


salah satu bangunan yang terdapat di Jalan Wilhelmstrase, Wiesbaden. ini merupakan toko coklat kenaamaan yang sudah ada sejak tahun 1800an
Di era NAZI,Wiesbaden mencatatkan putra daerahnya, Jendral Ludwig Beck sebagai tokoh pahlawan. Ia dinyatakan terlibat dalam peristiwa pembunuhan Hitler yang gagal pada 20 Juli 1944. Beck lalu disuruh bunuh diri. Masih ingat artis power ranger pink Melody Perkins? Ia juga berasal dari kota ini. Satu informasi menarik lainnya adalah kota ini menjadi tempat kelahiran gerakan seni Fluxus pada tahun 1960 an yang menghebohkan sejarah seni eropa pada saat itu.

Di kota inilah pertama kalinya Macuinas bersama rekan-rekannya membuat sebuah festival musik baru bertajuk ‘Fluxus Festspiele Neuester Musik’ yang menghebohkan public pada masa itu. Kelak nama-nama beken seperti Beuys, Allan Kaprow, Dick Higgins, Nam June Paik, Jonas Mekas, Yoko Ono, Benjamin Patterson dan banyak lagi yang lainnya berasal dari lingkaran pergaulan ini.


***
sudut kota di dekat Webergasse

Ke Jerman, Panik Ketinggalan Pesawat!

(bagian 1)


Setelah menunggu sekian lama, akhirnya aku berangkat juga ke Eropa. Perjalanan ini pasti menjadi satu di antara babak penting hidupku. Praktis ini juga menjadi pelampiasan ‘dendam’karena sejak SD hingga lulus kuliah aku tak pernah merasa benar-benar ‘piknik’.Tidak tahu kenapa sejak menempuh pendidikan di institusi formal tak satupun study tour bersesuaian dengan kehendakku. Memendam iri bertahun-tahun hanya gara-gara menyaksikan teman sebayaku habis rekreasi di Bali, Lombok dan kota-kota indah lainnya, kali ini giliranku. Tapi di luar urusan piknik berpiknik, aku berharap pengalaman selama di Eropa bisa menambah ilmu.

Tahun 2008 di Jogja aku sempat magang di Indonesian Visual Art Archieve (IVAA) sebuah lembaga yang pekerjaannya mengarsip seni visual di Indonesia. Selama di sana aku bertemu dan berkenalan dengan banyak komunitas atau individu menarik di Jogja. Juga selama residensi melalui Yayasan Kelola di Common Room, Bandung tahun 2009 aku belajar banyak hal tentang strategi bertahan komunitas-komunitas indie di sana. Sebelum memutuskan ke Bandung, aku cek organisasi tuan rumah apa yang paling cocok dengan visi Hysteria. Aku temukan paling mendekati adalah Common Room. Sesuai perkiraanku,meski tak spesifik apa yang aku pelajari di sana, pertemuanku dengan banyak teman di sana benar-benar sungguh mengayakan!

Pun ketika tahun2011 Mbak Neni (Yustina Neni) memberikan kesempatan untuk terlibat dalam Biennale Jogja XI jelas memberikanku bekal berharga di masa depan. Pertemuan terakhir yang menarik adalah dengan Mas Marco Kusumawijaya pada tahun 2012, saat menjalankan program Unidentified Group Discussion Semarang (UGD Semarang). Wacana kota dengan pendekatan kelestarian memaksaku untuk belajar ulang bagaimana menikmati dan memperlakukan kota. Di Eropa, aku berharap bertemu dengan wacana-wacana yang selama ini hanya aku dengar dari orang lain maupun buku.

terkatung-katung bersama beberapa penumpang lain di Bandara Changi, Singapura


Tak ada persiapan khusus sewaktu hendak ke Wiesbaden, Jerman, nama kota tujuan perjalanan. Oleh satu dua hal aku masih harus disibukkan persoalan di rumah. Hysteria, UGD Semarang adalah hal-hal yang menyita habis waktu. Bahkan hingga tanggal 24 Agustus 2013,aku masih harus mengurus satu festival ‘Kota Milik Bersama’di Banjir Kanal Barat, Semarang. Padahal dua hari sesudahnya aku harus naik pesawat.

Bermodal bahasa inggris yang kacau dan les bahasa jerman 5 hari, aku nekat berangkat setelah April sebelumnya membeli tiket naik Lufthansa. Nekat, inilah prinsip yang sering aku pakai dalam menjalankan program atau kegiatan. Prinsipnya adalah berani dulu,belajar sambil jalan. Terlalu banyak pertimbangan membuat kita tak ke mana-mana kadang-kadang. Tapi beitulah karena bermodal nekat, seperti masuk jurang tanpa mengukur kedalamannya dulu. Kalau sial mati, kalau beruntung akan belaja rbanyak. Tapi aku yakin sesuatu yang gagal membunuhmu akan membuatmu makin kuat,kata Nietzcshe, filosof Jerman yang ingin aku kunjungi pusaranya.


satu di antara jenis makanan yang disuguhkan mbak mbak pramugari



Tepat pukul 19.05 hari Senin, 26 Agustus aku berangkat naik Singapura Airlines dengan nomor duduk SQ963. Tepat? Ah tidak juga, pesawat molor hingga hampir setengah jam. Tak bisa langsung ke Frankfurt, kami harus transit dulu di Singapura. Celaka, tersebab tertunda di Jakarta agak lama, sesampainya di Singapura, Luftansha yang dijadwalkan mengangkutku tak bisa dinaiki. Masih ada harapan untuk mengejarLufthansa, aku dan dua orang penumpang lainnya harus berlari-lari di Bandara Internasional Changi Singapura. Praktis sejak sampai di Singapura sekitar pukul 22.15 kami panik mencari kemungkinan masih bisakah naik pesawat. Setelah berlari-lari hampir 1 km pesawat sudah tak bisa dimasuki lagi karena sudah terlalu telat. Oleh petugas Singapura Airlines kami bertiga, ditambah satu orang lagi jadi berempat, dicarikan solusi untuk penerbangan lain. Namun penerbangan keLufthansa sudah tak ada lagi. Terpaksa naik Singapura Airlines lagi dengan tujuan Zurich, Swiss.

Tiga temanku sudah pergi duluan, sementara aku masih nunggu keputusan pihak Singapura Airlines. Terkatung-katung sendiri di Changi sekitar pukul 00.10 dan tanpa ada koneksi dengan internet membuat aku lumayan panik. Lima belas menit kemudian dipanggillah aku dan diberi keterangan untuk ke Zurich aku harus naik pesawat bernomor SQ346 dengan boarding time pukul 00.20. Alamak, jam di tangan menunjukkan angka 00.30 dan tak tahu harus ke mana menuju. Bandara sepi. Aku naik transportasi dalam bandara menuju tempat yang dituju berbekal tanya sana-sini. Ada kemungkinan lagi-lagi tertinggal dan percayalah, itu adalah malam yang sangat panjang dan melelahkan. Untungnya bisa sampai juga di tempat dan diperbolehkan masuk.

bersama teman yang sama-sama ketinggalan pesawat



Sampai di Zurich sekitar pukul 08.50, aku harus naik lagi pesawat bernomor LH 1185 dengan nomor duduk 18F. Rasa-rasanya ada yang tak pas, benar saja di tiket tak tertera nomor gate dan nomor terminal! Padahal boarding time pukul 09.05. Aku berusahamencari-cari petunjuk di papan pengumuman, pun tak ada keterangan keberangkatan pesawat dengan nomor pesawat tertera di tiket. Satu hal yang melegakan pada saat itu adalah, setidaknya telah sampai di Eropa, tetap lebih baik dari pada terlantar di Singapura. Setelah didera kebingunan dan kepanikan selama perjalanan, pesawat membawaku juga ke Frankfurt. Syukurlah.

Belum selesai, karena Wiesbaden terletak 38 km dari bandara Frankurt, Maya Puspita Sari, temanku dari facebook yang membantu mencarikan tempat tinggal sementara di Jerman sudah pulang duluan karena tak ada kabar dariku. Tak ada cara lain aku harus mencari warung internet, dan sialnya internet per 1 menit 2 euro itu sangat lamban. Berhasil juga aku kontak Maya dan ‘memaksa’ dia untuk menjemputku lagi, konon Maya menungguku dari pukul 07.00 hingga 09.00 di Bandara Frankfurt, karena kekacauan di Jakarta waktunya jadi molor berjam-jam.

Tak langsung keWiesbaden, menggunakan kereta kami turun di Russelsheim, kota kelahiran pabrikmobil terkenal Opel. Di sinilah hingga sebulan kemudian aku menghabiskan waktu, terhitung sejak 27 Agustus 2013.  (adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

dari Zurich menuju Frankfurt