Kamis, 14 November 2019
Muasal Lobang Pertama, Para Penyintas Usia Muda, dan Bahasa Siap Pakai
'bagaimana jika kita gagal mati muda? ya melanjutkan hidup. tapi hidup yang bagaimana?'
Hal terberat bagi saya dalam project puisi pertama ini adalah upaya mengakui dan membongkar luka. bahwa ada yang tidak baikbaik saja. hal ini sangat berbanding terbalik dengan aktivitas saya di berbagai organisasi yang massif dan proyek ambisius yang optimistis. sementara sajaksajak ini depresif, dan sepertinya tidak banyak yang mengkampanyekan kepercayaan diri serta self esteem. butuh waktu untuk mengakui trauma, luka dan perjuangan terus menerus untuk berusaha positif. selain PR bahasa, kerjaan selanjutnya adalah bagaimana membuat apa yang saya rasakan relate dengan pembaca sehingga mereka merasa empati yang sama pada peristiwa, bukan semata adin yang sedang curhat.
memang sulit mempertahankan kesatuan tema dalam seluruh sajak terpilih dalam rentang 2005-2016 karena sebelumnya diniatkan antologi ini memberikan ragam eksplorasi tema maupun gaya bahasa selama berproses 11 tahun terakhir. pilihan judul 'Lobang Pertama' dipilih sebagai framing pada kecenderungan tema tertentu yang lebih dominan di buku ini: muasal kesepian, depresi, trauma, ketidakbahagiaan, unloved, rejected, anxiety, dan cara pandang negatif terutama pada anakanak muda yang mengidap tematema suicidal entah dari kecenderungan dirinya sendiri atau obsesi mati a la rockstar. seiring berjalannya waktu kampanye kesehatan mental dan penolakan terhadap dominasi value maskulinitas yang toxic banyak orang mulai menerima jiwa ambyar a la Didi Kempot yang dulu dihinahina sebagai lelaki cengeng budak cinta. tapi sesungguhnya ini bukan semata perkara hubungan percintaan usia remaja. lubanglubang itu barangkali jauh tercipta sejak lama, sejak anak pegat dengan orang tua karena beda persepsi, bullying di sekolah menengah pertama, perilaku abusive pasangan, pelecehan, dan banyak lagi yang lain yang membuat kepala kita terinstall cara pandang dominan melihat hal buruk daripada hal baik. tidak hanya software yang salah, janganjangan peristiwa traumatis itu mencipta bad sector yang harus kita terima sepanjang hidup!
pada masa tertentu puisipuisi ini menjadi pengganti riklona atau obat penenang lain dan untuk itu menyelamatkan sementara waktu tapi gagal mengusir pikiranpikiran buruk yang bercokol lebih lama. itulah mengapa saya tidak percaya ada kerjaan siasia termasuk menulis sajak yang saya tahu betul susah dijual. ini juga antitesis kerjaan di hysteria yang seolah sangat rasional padahal gagasan di belakangnya bisa jadi impulsif. persis seperti kebanyakan aalternatif space yang dicreate karena ingin menepuk dada 'aku pun bisa' untuk menyalurkan ego saja.
belakangan hal ini saya tekankan dalam beberapa sesi workshop manajemen komunitas. terutama setelah materi visi, misi, metode, dst yang jelas logical frameworknya ternyata ada sisi lain yang bersumber pada bawah sadar, trauma, dan hasrat impulsif lain yang hidup dan menghidupi tumbuh kembangnya komunitas. Lobang Pertama adalah upaya membaca ulang dokumen perasaan yang turut membangun kerjakerja kebudayaan saya di Hysteria sebagai manusia yang terus bergejolak di samping sisisisi rasionalnya, dan terlebih penting antologi ini adalah pengakuan bahwa kita penuh lubang dan samasama mencari jalan keselamatan jiwa. sungguh tidak fair membandingbandingkan tingkat penderitaan masingmasing orang karena tiap jiwa punya kerentanannya sendiri. dan puisi barangkali bukan jalan keluar yang tuntas melainkan kanalkanal alternatif dorongan regresif itu, melengkapi kita sebagai manusia yang berdarah daging.
adapun perihal bahasa, alihalih mencari kebaruan, justru saya lebih banyak mengeksplorasi bahasa pakai, seperti penggunaan benda temuan (found object) atau ready use or made pada seni visual untuk menyusun kalimat puisi. saya bukannya tidak sadar pentingnya eksplorasi bahasa supaya teks kita tak terjebak dalam sekedar curhat, beberapa eksperimen saya merasa sukses sisanya susah payah mencoba berhasil. teknik ini tidak baru, Chairil Anwar (CA) telah melakukannya berpuluh tahun lalu dengan cara memindah konteks penggunaan kata, seperti legenda temuan 'Bung Ayo Bung' yang diambil CA dari sapaan para pelacur dibawa ke konteks ajakan semangat nasionalisme.
misalnya sajak 'Hati' yang bunyinya 'di sini sering terjadi kehilangan'. kita semua tentu tidak asing dengan kalimat itu yang gampang kita temukan terutama di masjid atau mushola perihal peringatan waspada pada barang bawaan. penemuan ini tentu terasa biasa saja seperti semua penemuan yang biasa saja ketika ditemukan, tetapi upaya mencarinya yang menurut saya tidak pernah mudah. dalam pikiran saya, jagad mikro selalu berhubungan dengan makro, ada universalitas dalam partikularitas demikian sebaliknya. bagi saya puisi memberi jeda pada rutinitas lalu mengangkatnya dalam level abstraksi. nah seberapa jauh saya berhasil dalam eksplorasi dan eksperimen ini mungkin para kritikus yang lebih tahu.
Kecemasan Manusia Modern dan Hal-Hal yang Tak Selesai
~
Ardy Kresna Crenata ~
Majunya
peradaban umat manusia kadung dicirikan oleh transformasi sosiologis dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri, dari masyarakat komunal yang begitu
dekat dengan alam ke masyarakat individual yang begitu berjarak dari alam, dari
masyarakat yang masih sangat mengandalkan tubuh untuk melakukan
pemaknaan-pemaknaan ke masyarakat yang telah sangat bergantung kepada teknologi
dalam keseharian mereka. Yuval Noah Harari, misalnya, dalam bukunya yang
terkenal itu, Sapiens: Sejarah Ringkas
Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Alvabet, 2017;
terjemahan Yanto Musthofa), mengatakan bahwa arah evolusi perilaku manusia
adalah dari organisme yang semula menyerahkan penilaian-penilaian ke tangan
sosok abstrak semacam Tuhan menuju organisme yang menyerahkan
penilaian-penilaian ke tangan sesuatu yang bernas dan konkret seperti
algoritma.
Tentu,
ini sebuah simplifikasi, generalisasi, juga linearisasi. Memang arus dominan
transformasi sosiologis yang dialami manusia di planet ini kira-kira seperti
itu, tetapi ada banyak arus lain yang tak bisa diabaikan dan tak semestinya
diabaikan, dan masih bertahannya arus-arus ini menunjukkan betapa mereka
sebenarnya cukup mampu bersaing dengan arus dominan tadi, dan di saat yang sama
menunjukkan betapa tidak sempurnanya sesungguhnya arus dominan itu. Misalnya,
ketika kita bicara soal realitas industri di perkotaan yang memanjakan kita
dengan kepraktisan, kita sejatinya bicara juga soal kehidupan yang gegas, soal
ruang dan waktu yang dimaknai ulang sebagai kapital, soal individu-individu
yang teralienasi dan sekat-sekat maya yang terbentuk bahkan dalam sebuah ruang
hidup yang sempit. Ada studi-studi yang mendapati bahwa masyarakat modern yang
terpisahkan jauh dari alam lebih rentan diserang depresi ketimbang masyarakat
primitif yang, bisa dibilang, masih sangat menyatu dengan alam. Termodernisasinya
ruang-ruang hidup, yang menjadikan realitas semakin kompleks, pada akhirnya melahirkan
masalah-masalah baru, selain tentunya meningkatkan kadar kompleksitas dari masalah-masalah
yang sudah ada.
Dan
sebagai akibatnya masyarakat modern, atau manusia-manusia yang berada di
ruang-ruang hidup termodernisasi, senantiasa dihantam kecemasan demi kecemasan,
baik itu yang diwariskan oleh masyarakat primitif maupun kecemasan-kecemasan
baru. Ada memang kecemasan-kecemasan yang hilang atau berhasil diatasi, seperti
kecemasan akan ancaman predator di alam liar atau ancaman akan maraknya
infantisida, sehingga mungkin kita pun berpikir peradaban memang bergerak maju,
menuju dirinya yang lebih baik. Tetapi sekali lagi, termodernisasinya
ruang-ruang hidup diikuti juga oleh lahirnya kecemasan-kecemasan baru, yang tak
kalah mengganggunya. Misalnya, kecemasan akan kemungkinan tidak memiliki rumah
tinggal, atau kecemasan akan arah pertumbuhan kota yang keliru, atau kecemasan
akan semakin kuatnya perasaan teralienasi seiring semakin kompleksnya
ruang-ruang hidup. Kemajuan itu, tak pelak lagi, pada akhirnya hanyalah
“kemajuan”. Manusia-manusia modern tidak bisa begitu saja dinilai menjalani
hidup yang lebih baik daripada manusia-manusia primitif, tidak sesederhana yang
dipikirkan Yuval Noah Harari di bukunya tadi itu.
___
Dan
nada skeptis-cum-pesimistis inilah yang kita rasakan saat kita membaca
puisi-puisi Adin di dalam buku ini—sebagian besar. Adin menghadirkan sosok-sosok
yang terjebak di ruang-ruang hidup yang telah termodernisasi—kota,
katakanlah—dan, seperti telah kita bahas tadi, senantiasa dihantam kecemasan demi
kecemasan, kekecewaan demi kekecewaan, kegamangan demi kegamangan. Ada seseorang
yang tak bisa tidur di dini hari dan ia merindukan sejumlah hal manis yang
didapatinya di masa lalunya, sekaligus mencemaskan hal-hal pahit yang mungkin
menantinya di masa depan (“Suara Tiang Listrik Dini Hari II”); ada seseorang
yang tidak tahan cuaca dingin dan terperangkap di dalam situasi di mana ia
memikirkan banyak hal yang mengganggunya—rentenir yang cerewet, janji yang
ditagih, utang-utang jatuh tempo—dan kecemasan pun dengan kuat mencengkeramnya
(“Bocor”); ada juga seseorang yang tertinggal sendirian di taman dan berharap
kegelapan yang datang bersama malam akan mengakhiri kecemasan yang dirasakannya
(“Semua Pulang Telah Bersarang”). Adin menonjolkan dan menguatkan kecemasan
sosok-sosok ini dengan memilih frasa-frasa yang gelap seperti “lubang yang
berlarat-larat” dan “kamar-kamar yang angker”—tanda pisah “-”dari saya; atau
diksi-diksi yang dingin seperti “sendirian”, “menggenangi lantai rumah”, dan “
tiang listrik”. Situasi atau ruang-waktu yang dialami sosok-sosok itu pun
begitu: dini hari, dini hari ketika turun hujan, sore hening menjelang malam.
Adin seperti ingin menunjukkan betapa manusia-manusia modern sesungguhnya adalah
sosok-sosok yang rentan dan jauh dari yang mereka cita-citakan, yakni kehidupan
yang sepenuhnya jauh lebih baik.
Dan
kerentanan manusia-manusia modern ini tidak hanya sebagai individu-individu,
namun juga sebagai sebuah entitas kolektif, sebagai sebuah komune. Dalam hal
ini Adin tidak menggunakan aku
melainkan kita, yang berarti ia
menyertakan kita juga selaku pembaca; di mana kita di sini tentu saja sarat dengan kecemasan, kekecewaan, dan
kegamangan tadi. Misalnya, kita kecewa karena capaian-capaian positif yang ada dan
dielu-elukan ternyata tidak benar-benar berdampak pada meningkatnya kualitas
hidup kita (“Bola”); kita kecewa karena hingga saat ini kita masih saja bisa saling
berperang atas nama Tuhan (“Yang Masih”); kita kecewa karena sejarah masih saja
sering kita pahami sebagai sebuah kebenaran objektif yang tunggal dan kaku
(“Yang Sakit”, “Yang Sakit II”). Manusia-manusia modern, yang konon
peradabannya telah jauh lebih maju itu, dalam beberapa hal ternyata masih
begitu-begitu saja, dan mungkin akan selalu begitu-begitu saja. Modernitas jadi
seperti hanya latar, hanya sesuatu yang bergerak tanpa benar-benar menyertakan
mereka, menyertakan kita. Dan kita pun menjadi cemas membayangkan realitas
seperti ini masih akan kita hadapi berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan
beribu-ribu tahun dari sekarang.
Dan
kecemasan-kecemasan ini pada akhirnya menggerogoti kita, membentuk
lubang-lubang yang dalam di dalam diri kita—baik sebagai individu ataupun
komune. Dan sebagai akibatnya kita jadi semakin mudah kecewa, jadi semakin
sulit merasa puas, jadi semakin sukar menikmati apa-apa yang tersaji di hadapan
kita namun tak sesuai dengan ekspektasi kita. Dan sesuatu ini bisa apa saja
mulai dari realitas dan tampilan kota (“Liang”, “Kota I”, “Kota II”) hingga
hubungan percintaan yang biasa (“Hati”, “Memoar Buruk Sim Card”, “Susah
Tidur”). Kita, manusia-manusia modern ini, seakan-akan diciptakan untuk tidak
bahagia, untuk terus mengalami kehilangan demi kehilangan yang berdampak pada
bertambahnya lubang-lubang di dalam diri kita (“Lobang Kedua”, “Lobang Ketiga”,
“Muasal Lubang”).
___
Tetapi
puisi-puisinya Adin sebenarnya tidak melulu bicara soal kecemasan dan hal-hal
gelap lainnya. Tidak hanya itu. Modernisasi, juga kompleksitas yang
mengikutinya, pada momen yang tepat bisa juga membawa cahaya, dalam hal ini cahaya
berupa bangkit dan tumbuhnya kesadaran akan ruang, waktu, juga realitas itu
sendiri. Ini memang sesuatu yang mestinya ada di dalam diri manusia sebagai
makhluk yang berpikir, sebagai organisme yang evolusinya lebih terfokus pada
evolusi perilaku ketimbang evolusi bentuk—morfologi, fisiologi, dan yang
semacamnya. Adin cukup jeli menangkap hal ini, dan ia pun cukup lihai
menghadirkannya kepada kita lewat puisi-puisinya itu.
Misalnya
di puisi “Tempat Parkir” dan “Tempat Parkir 2”. Sebagai sesuatu yang ada di dalam
realitas yang dijalani manusia-manusia modern yang dihantui kecemasan, tempat
parkir bukan sekadar ruang, tetapi ruang-waktu, tetapi ruang yang hidup dan
tumbuh dengan caranya sendiri, tetapi ruang yang mampu menahan dan mengikat
kita dan di saat yang sama menghubungkan kita dengan sekian banyak hal yang
pernah dan sedang kita alami—dan mereka tak di sana. Tempat parkir, meski oleh
kebanyakan orang mungkin hanya dilihat sebagai semata ruang, di tangan Adin
tersaji sebagai sebuah entitas yang mampu mengingatkan kita akan banyak hal,
sekaligus menyadarkan kita akan sesuatu hal—seperti apa sebenarnya kehilangan
itu.
Hal
serupa (baca: memaknai ruang sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar ruang)
dilakukan Adin di puisi-puisinya yang lain seperti “Rumah 2” , “Tidak Ada Orang
di Rumah I”, dan “Tidak Ada Orang di Rumah II”. Memang kecemasan yang gelap
masih sangat terasa terutama di dua puisi yang disebut belakangan, tetapi rumah
telah menjelma sebuah entitas yang hidup tadi, yang mencoba bicara kepada kita
dengan caranya sendiri. Rumah adalah ruang yang mengingatkan kita akan kuatnya
kesepian kita, akan pekatnya kegelapan di dalam diri kita, akan masih
menganganya luka-luka kita. Di saat yang sama, rumah adalah ruang yang
menyadarkan kita bahwa kita selalu bisa kembali, di mana ia akan selalu menerima
kita, terlepas dari kita membawa sesuatu atau tidak sama sekali.
Dan
begitu pulalah pemaknaan yang dilakukan Adin terhadap ruang-ruang yang lebih
sempit seperti yang dilakukannya di “Ruang Tamu”, “Ruang Baca”, dan “Gudang”. Ruang-ruang
ini hidup dan menjadi saksi atas hidup yang kita lalui, atas
pertemuan-pertemuan dan perpisahan-perpisahan yang kita alami, atas kedewasaan
yang pada akhirnya menghampiri kita dan memeluk kita. Bahkan salah satunya,
yakni ruang tamu, dicitrakan dengan sangat antropomorfis, di mana di sana
justru ialah yang menunggu, bukan kita atau siapa pun yang sedang berada di
sana atau pernah di sana.
___
Di
titik ini, kita harus memahami bahwa tumbuhnya kesadaran akan ruang, waktu, dan
realitas tersebut tidak terisolasi dari kecemasan-kecemasan yang sebelumnya
dibahas tadi; keduanya, justru, berada di sebuah ruang yang sama, sehingga bisa
dikatakan bahwa manusia-manusia modern di puisi-puisinya Adin senantiasa berada
di dalam pertarungan yang tak selesai-selesai, antara meratapi
kecemasan-kecemasan itu atau menerimanya dan menjalaninya demi membuka ruang
bagi tumbuhnya kesadaran tadi. Kedua kutub ini berkelindan; kadang saking
berkelindannya menjadi tak terpisahkan, bahwa di diri manusia-manusia modern di
puisi-puisi Adin telah tumbuh kesadaran akan ruang, waktu, dan realitas, tetapi
mereka masih saja dicabik-cabik oleh kecemasan-kecemasan mereka, masih saja
meratapi betapa lubang-lubang di dalam diri mereka semakin banyak dan semakin
dalam.
Dan
situasi ini agaknya dihadapi juga oleh Adin selaku si penyair. Jika kita bicara
soal bentuk puisi-puisinya, misalnya, Adin tampak terjebak di dalam pertarungan
yang tak selesai-selesai, antara meniru bentuk satu atau meniru bentuk lain,
antara mencoba bermain-main dengan bentuk atau menyerahkan sepenuhnya bobot
puisi-puisinya kepada konsep, kepada gagasan, kepada perspektif si penyair yang
tergambarkan di sana. Di sejumlah puisinya, misalnya, Adin tampak meniru bentuk
puisi Sapardi Djoko Damono namun membuatnya lebih lirih dan melankolis.
Sementara itu di sejumlah puisinya yang lain, Adin tampak meniru bentuk puisi
Joko Pinurbo namun membuatnya lebih pedih dan sentimental. Sedangkan di
kebanyakan puisinya, Adin tampak berserah kepada bentuk liris yang diwarnai oleh
kecemasan yang berlarut-larut dan berkarat-karat. Kecemasan, kemurungan. Kepedihan
yang lirih, yang sentimental. Warna inilah yang barangkali berusaha
dipertahankan Adin di tiap-tiap puisinya itu, meski kadar dan wujudnya bisa
sangat lain dari puisi satu ke puisi lain. Pertanyaan kita, tentu: kenapa Adin
tidak berusaha memusatkan warna yang dipilihnya ini ke dalam sebuah bentuk yang
relatif khas, yang relatif kuat dan menonjol, yang akan memudahkan kita selaku
pembaca untuk mengenali puisi-puisinya?
Tetapi
barangkali Adin memang tidak berpikir ke sana. Barangkali, sebagai seseorang yang
aktif berkesenian, Adin sangat terpengaruh oleh seni (rupa) konseptual,
sehingga ia menempatkan konsep di atas bentuk, sehingga ia tak peduli pada
tercapainya sebuah bentuk puisi yang khas selama sesuatu konseptual yang
berusaha disampaikannya itu tersampaikan—sesedikit atau sesamar apa pun itu.
Kecenderungan ini bahkan tampak dari bagaimana Adin memilih diksi dan bentukan
kalimat dan bahkan ruang, di mana ia tidak terlihat berupaya membenturkan
pembaca kepada kata-kata atau kalimat-kalimat yang asing atau tak lazim, di
mana ia tak terlihat berusaha menghadapkan pembaca kepada situasi-situasi yang
membuat mereka berpikir bahwa bisa jadi mereka adalah Liyan. Yang dihadirkan
Adin, di puisi-puisinya itu, adalah kata-kata yang kita kenal, adalah
bentukan-bentukan kalimat yang tak mengejutkan kita, adalah ruang-ruang atau
situasi-situasi yang umum kita hadapi sebagai manusia modern.
Dan
terkait hal ini wajar saja jika kita kemudian jadi bertanya-tanya bagaimana
sebenarnya Adin memaknai puisi, seperti apa persisnya Adin melihat dan
memperlakukan puisi. Satu hal yang bisa kita pastikan: puisi bagi Adin adalah
ruang bagi kecemasan-kecemasannya, di mana di sini ia memosisikan dirinya
secara simbolis, sebagai representasi manusia modern. Tetapi jika hanya sebatas
itu maka puisi tidak akan ada bedanya dari cerita pendek, dari catatan harian,
dari curhatan seorang influencer di channel YouTube-nya. Memang, di
puisi-puisi Adin ada kedalaman, tetapi kedalaman bisa juga ada dan kita temukan
di ruang-ruang lain itu, di bentuk-bentuk ekspresi yang lain itu. Membaca
puisi-puisi Adin di buku ini tidak membawa kita sampai pada pemahaman yang
spesifik soal puisi itu apa dan apa yang membedakannya dari bukan-puisi. Atau
mungkin, bisa jadi, Adin selaku si penyair memang tak begitu peduli akan hal
ini. Bisa jadi, karena ia begitu terpengaruh oleh seni konseptual, ia tak
melihat pendefinisian semacam ini penting. Puisi adalah ruang di mana ia bisa menuangkan
kecemasan-kecemasannya. Ia tak berbeda dari ruang-ruang lain kecuali kita
melihatnya berbeda, kecuali Adin selaku si penyair memaknainya sebagai ruang
yang berbeda dari ruang-ruang lain itu.
___
Dan
pada akhirnya, pembacaan kita atas puisi-puisi Adin ini pun bisa jadi adalah pembacaan
yang tak selesai. Kita masih bisa terus bertanya-tanya dan bertanya-tanya. Kita
masih bisa terus mencoba menemukan benang merah yang menghubungkan puisi satu
dengan puisi-puisi lain. Misalnya, di sejumlah puisinya Adin secara kentara
menghadirkan masa lalu sebagai sesuatu yang mengintai sekaligus mengancam,
sedangkan di sejumlah puisinya yang lain Adin menghadirkan cinta yang
dicitrakan buruk atau berakhir buruk, dan di sejumlah puisinya yang lain lagi
Adin menghadirkan kematian yang senantiasa membayang-bayangi dan menanti kita.
Tentu, jika kita menyederhanakannya, kita bisa melihatnya sebagai kecemasan,
seperti telah kita lakukan tadi. Tetapi pembacaan seperti ini sekali lagi
adalah pembacaan yang tak selesai. Sebab, berbeda dengan kecemasan-kecemasan
yang kita bahas tadi, yang begitu erat kaitannya dengan modernitas atau
termodernisasinya ruang-ruang hidup, kecemasan-kecemasan yang kita bicarakan
ini adalah kecemasan-kecemasan yang kiranya telah ada jauh sebelum modernitas
itu ada; semacam kecemasan yang diwariskan oleh masyarakat primitif, katakanlah.
Dan itu berarti satu hal: kita, semestinya, memang membahasnya, secara
spesifik, di ruang yang berbeda. Dan jangan lupa, kita pun bahkan belum
membahas puisi “Lubang Pertama”, padahal puisi inilah yang judulnya dijadikan
judul buku yang kita pegang ini.
Tetapi
kita tidak akan melakukan itu. Tidak kali ini. Tidak di tulisan ini. Anggap
saja ini sebuah pernyataan simbolis dari kita selaku si pembaca, bahwa
aktivitas membaca itu sendiri adalah sesuatu yang tak selesai, yang tak akan
pernah selesai. Ketika kita kelak mencoba melakukan pembacaan ulang atas
puisi-puisi Adin di buku ini, sangat mungkin, kita menemukan hal-hal lain, dan
pada akhirnya kita terarah ke benang merah-benang merah lain, ke kesimpulan-kesimpulan
lain. Pembacaan kita kali ini dengan demikian hanyalah satu proses dari sekian
banyak proses yang bisa ditempuh, hanyalah satu langkah dari sekian banyak
langkah yang bisa diambil. Dan kita akan mencukupkannya sampai di sini. Selanjutnya
kita beri ruang bagi pembaca-pembaca lain untuk melakukan
pembacaan-pembacaannya masing-masing, yang tidak harus sama atau sejalan dengan
pembacaan kita ini.(*)
—Bogor,
14-15 Agustus 2019
Kohesi Sosial dan Perlunya Perubahan Paradigma Global
Adin Hysteria*
Bagaimana keteraturan dipelihara dalam kondisi
kontestasi lahan dan berbagai kesempatan yang kian sengit? Problem of order
telah menjadi perhatian banyak ilmuwan sosial sejak dulu. Kita ingat
industrialisasi di Inggris abad 18 membuat banyak orang memikir ulang apa
kondisi alami bagi manusia dan masyarakat dan bagaimana disruptivitas terjadi
bisa diminimalisir dampak buruknya. Renggangnya kohesifitas masyarakat akibat
perubahan kebudayaan ratusan tahun lalu terjadi dan saat ini kita menghadapinya
lagi seiring dengan berubahnya polarisasi kekuatan-kekuatan global, cara
pandang kita terhadap alam, dan kelangsungan spesies manusia itu sendiri. Debat
itulah yang mengantar saya untuk mengikuti Global Solutions Summit (GSS) dan Young
Global Changers (YGC) di Berlin beberapa waktu lalu dengan difasilitasi oleh
Frederich Ebert Stiftung (FES) Indonesia. Tema ini tak jauh dari penelitian
saya di Kampung Bustaman, Semarang yang mempunyai peristiwa menarik. Luasannya
yang tidak lebih dari 0,5 hektar ini berdasar sensus tahun 2015 dihuni 130an
jiwa yang menariknya tiap tahun mengalami kenaikan jumlah karena angka
kelahiran maupun para pendatang oleh hubungan pekerjaan maupun perkawinan yang
ditarik ke dalam, tinggal di kampung. Beberapa warga yang telah pindahpun di
masa tua memutuskan untuk memiliki sepetak tanah jika ada warga yang lain
menjualnya. Kampung Bustaman telah menjadi magnet sendiri bagi warga dengan
segala kekurangan dan kelebihannya. Akan halnya Eropa yang dalam beberapa tahun
terakhir ini menjadi magnet yang kuat bagi para imigran timur tengah atau
negara-negara terdekat. Trend ini sejalan dengan meningkatnya minat urbanisasi
di berbagai kota di belahan dunia lain karena janji keterjaminan pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan berbagai pemenuhan hasrat menubuh di kota itu sendiri.
Sisi lainnya, pertambahan populasi dan migrasi ini
membuat daya lingkungan terancam dan juga memaksa populasi yang tinggal di
dalamnya beradaptasi dan menegosiasikan nilai-nilai baru. Percobaan tikus
Calhoun beberapa dekade lalu memberikan gambaran mimpi buruk terhadap
meledaknya populasi yang berakhir dengan kanibalisme pada tikus. Tak heran
ambisi Thanos untuk menghapus setengah populasi mahluk hidup dalam semesta
Marvel beresonansi dengan gagasan Malthusian mengenai kontrol populasi untuk
mencegah chaos. Isu ini juga telah lama menjadi perhatian China yang melakukan
kontrol populasi secara ketat dan terbukti dalam beberapa poin sukses juga
mempertahankan order di kawasan-kawasan apartemen super sempit dan bercorak
vertikal. Namun, bagaimanakah hal itu bisa diorganisir? Tegangan apa yang
muncul dan bagaimana cara-cara meminimalisir konflik? Berkaca pada kasus
Kampung Bustaman, sesungguhnya masyarakat itu selalu terfragmentasi sekaligus
mempunyai daya rekat yang bisa melonggar, mengetat dan tak jarang relasi ini
menimbulkan konflik. Sebagai kampung yang mayoritas etnis jawa dan beragama
Islam tentu basis nilainya hampir sama. Namun bukan berarti kesamaan ini bersifat
stagnan, tak jarang karena konflik kepentingan misalnya perebutan suara
perolehan pemilu, kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi juga mengemuka
dan tentu saja kontestasi lahan yang sempit sementara manusia berkembang biak
muncul laten. Tegangan-tegangan itu bisa diminimalisir dan dikelola misalnya
karena hubungan kekerabatan, dalam kasus Bustaman hampir penduduk lamanya
bersaudara sama lain karena ikatan perkawinan dan semacamnya. Tapi itu bukan
jaminan juga, justru karena kekerabatan kadang kampung mengalami stagnasi
karena rasa ewuh pekewuh. Saya membayangkan jika konsep kekerabatan dalam
masyarakat yang kompleks tidak hanya berlangsung melalui perkawinan tetapi
kesamaan visi mengenai masa depan manusia tentu akan lebih mudah mencapai
tujuan bersama meski itu tidak pernah mudah. Terlebih penting adalah peranan
para aktor yang aktif di dalam masyarakat, saya rasa hal ini berlaku tidak
hanya di Bustaman maupun di tingkat makro sekalipun mengingat baik kesamaan
maupun perbedaan itu bisa jadi berkah sekaligus bencana tergantung bagaimana
narasi ini digunakan. Tak heran studi-studi antropologi dalam beberapa tahun
belakangan fokus pada peranan aktor tidak hanya aktor manusia tetapi juga non
human. Keberadaan Kampung Bustaman tentu tak bisa dipisahkan dari perdagangan
kambing yang jejaringnya mencakup beberapa kota dan dagingnya didistribusikan
di Semarang. Kambing ini, dalam beberapa hal, menjadi lem sosial masyarakat
untuk memproduksi dan mereproduksi ikatan-ikatan sosial yang bertahun ada.
Demikian juga dalamkonteks global, banyak narasi yang bisa digunakan untuk
menjadi perekat sosial namun sekali lagi peranan aktor menjadi sangat
signifikan. Dalam studi-sttudi antropocene, sekarang banyak dihitung bagaimana
non human actor, misalnya akibat kebocoran nuklir dan aktivitas pertambangan
telah mengubah struktur geologi bumi kita. Pekerjaan rumahnya kemudian adalah
bagaimana memaksimalkan narasi ini dan menjadi landasan kebijakan lebih baik ke
depan.
Bersamaan dengan isu kohesi sosial, dibahas pula
perlunya mengubah paradigma kapitalisme yang hari ini dianggap menjadi
penyumbang terbesar isu ketidakadilan. Tentu saja masih banyak isu lain dalam
GSS dan YGC ini namun saya memberikan perhatian lebih pada kedua isu ini saja. Bahasan
mengenai bagaimana kita perlu mengubah persepsi pada dunia bukanlah hal baru.
Berbagai pendekatan termasuk agenda-agenda utama jaringan global seperti PBB,
World Bank, G20 dan banyak lagi yang lain berusaha memberikan wacana-wacana
alternatif demi kehidupan lebih baik. Namun entah mengapa banyak niat-niat baik
itu berakhir dengan penerapan kebijakan tidak tepat. Di hadapan semua upaya
yang pernah dibangun kadang saya merasa kecil apa yang bisa kita sumbangkan
untuk dunia di tengah kontestasi kekuatan-kekuatan global. Menghadapi
polarisasi kekuatan global yang memaksa kita berkompetisi dan saling
mendominasi tentu kita perlu sebuah narasi baru misalnya. Perubahan iklim pada
satu kasus membuka mata kita bahwa ini adalah persoalan kita bersama. Sudut
pandang antropomorfisme yang memusatkan manusia sebagai pewaris sah dunia telah
dikritik sejak lama berbarengan dengan kritik terhadap modernisme yang
menempatkan rasionalitas manusia adalah segalanya. Kerusakan lingkungan yang
terjadi sudah jamak kita ketahui adalah akibat dari keserakahan manusia.
Laporan Credit Suisse yang dipublikasikan The Guardian, Minggu (17/11/2017)
menyatakan bahwa 1% populasi manusia menguasai 90-90 % dari total kekayaan
global, bisa dikatakan bahwa 1% inilah yang memegang kontrol dan relevan dengan
Gandhi “Bumi menyediakan cukup kebutuhan
bagi seluruh manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan
manusia” . Masalahnya tidak banyak yang kita ketahui tentang 1% populasi ini
sementara studi-studi lebih banyak meneliti tentang orang-orang miskin dan
termarjinalisasi. Rasanya jadi percuma jika yang 1% dan sangat powerfull ini
semua serakah tentu tidak ada tempat bagi yang lain jika kita membayangkan
distribusi kesejahteraan yang menjadi akar segala alienasi dan perasaan
terdisrupsi ini.
Kritik terhadap kapitalisme di beberapa kesempatan
dalam forum yang diselenggarakan 18-19 Maret 2019 ini banyak menyinggung
peranan invisible hand yang akan
melakukan koreksi terhadap penyimpangan pasar yang ujung-ujungnya tidak hanya
eksploitasi pada manusia tetapi juga alam. Adam Smith adalah produk dari
jamannya yang barangkali relevan saat gagasan dalam The Wealth of Nation dicetuskan namun ketika kekuatan pasar lebih
dominan dan negara-negara menjadi kecil karenanya lantas siapa dan bagaimanakah mekanisme ini bekerja
toh nyatanya ketimpangan sosial masih lumrah terjadi dan disparitasnya
meninggi. Pada kasus ini sepertinya kita semua sepakat perlunya mengubah tidak
hanya cara pandang tetapi juga metodologi karena terbukti cara-cara lama tidak
berjalan. Pada kasus pemanasan global misalnya, upaya untuk menciptakan narasi
bersama ini dinodai oleh skema jual beli karbon disusul mundurnya Amerika dalam
Paris Agreement yang membuat banyak
negara akhirnya skeptis terhadap persoalan bersama ini. Belum lagi berbagai
program bantuan untuk negara-negara berkembang yang seringkali menjadi urusan
bisnis semata karena urusan jual beli teknologi yang konon akan mencegah negara
berkembang dari kiamat kecil dampak perubahan iklim, misalnya skema reklamasi
dan yang semacam itu. Hal-hal inilah yang membuat efek ketidakpercayaan mewabah
di mana-mana karena ketimpangan komunikasi. Dengan seluruh karut marut ini di
manakah posisi kita sebagai individu?
Memang benar perubahan tidak bisa dilakukan sendiri
tetapi saya percaya kekuatan individu bisa menjadi pemantiknya. Akan halnya
Greta Thunberg, pedagang sayur Tunisia dan banyak kasus yang lain membuat
agensi perorangan bisa memicu perubahan yang lain. Dan memang benar juga
bahwasanya peranan komunitas menjadi penting tetapi komunitas yang seperti apa?
Kelompok teroris juga merupakan komunitas jika hanya mengandaikan berdayanya
kelompok-kelompok. Nilai yang berusaha ditanamkan melalui Sustainable
Development Goals adalah salah satu yang perlu ada dalam komunitas dengan
batas-batas tertentu jika sekiranya perlu bisa disesuaikan dalam konteks lokal.
Namun spirit kelestarian hidup bersama saya rasa bisa menjadi nilai utama untuk
mereduksi berbagai tantangan global yang hari ini kita hadapi yang dampaknya
bisa kita rasakan di ranah paling privat sekalipun.
Perjalanan singkat di Berlin dan bertemu hampir 90
perwakilan dari berbagai negara ini menyadarkan saya bahwa apa yang saya hadapi
di kampung mempunyai resonansinya di kancah global. Berbagai disrupsi,
menguatnya politik identitas, perubahan
polariasi global, dan berbagai isu lain hari ini muncul dalam waktu yang hampir
bersamaan. Pada kasus Kampung Bustaman, menguatnya politik identitas juga
dipicu merasa terancamnya mereka oleh pembangunan yang massif dan menempatkan
warga sebagai objek semata. Perasaan terpinggir ini kadang menimbulkan sentimen
perlawanan dan solidaritas dengan mengadopsi simbol-simbol yang paling
primordial. Memang keadaannya tidaklah segawat itu tapi bukan tidak mungkin
bahaya laten ini bisa dipantik juga kondisi sosio politiknya mendukung. Frasa
ini rasanya juga tidak asing bukan sikap protektif Trump misalnya dan juga
kampanye sayap kanan mendapat tempat di mana-mana. Persoalan demi persoalan ini
tentu tak jarang membuat kita frustasi sebagai individu. Namun demi melihat
wajah-wajah muda dari berbagai dunia yang dengan antusias membicarakan hal ini
membuat saya semakin bersemangat bahwa ada yang masih bisa kita lakukan meski
kecil dan semoga bisa memberi inspirasi atau bergulir menjadi bola salju.
*penulis adalah peserta
Young Global Changer dan Global Solution Summit, sehari-hari mengajar
antropologi di FIB Undip dan CoInitiator Kolektif Hysteria Semarang
Langganan:
Postingan (Atom)