Senin, 25 Oktober 2010
Kredo Kecil Penyair Kecil #18
pada dasarnya Kredo Kecil Penyair Kecil (KKPK) kami konstruksi tidak berdasar atas keminderan, kecil hati, atau pikiran-pikiran 'kecil' lainnya. kredo kami konstruksi karena kami membayangkan infrastruktur kesusastraan yang lebih ideal. tapi kami belum merasa perlu berpanjang-panjang dalam memberi penjelasan. intinya forum ini kami bangun berdasar kebutuhan akan adanya forum yang lebih spesifik, kelak berjenjang, punya target jelas,mempunyai mekanisme, serta intensif. bahwa kemudian hal-hal ideal yang kami cita-citakan belum kesampaian itu adalah lain hal. kali ini KKPK# 18 menampilkan Guri Ridola (Padang), Andito Wicaksono, dan Putra Wulung.
Sabtu, 23 Oktober 2010
Sysiphus dan don kisot
oleh: Adin
saya mempunyai kawan yang sering mengindentifikasikan dirinya dengan Sysiphus. Yakni nama seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang mendapat hukuman dari para dewa untuk mengusung batu besar ke atas bukit. Tidak berhenti disitu saja, setelah batu diletakkan pada tempat tertinggi Sysiphus harus menggelindingkan batu itu ke bawah. Yang menarik adalah Sysiphus berkewajiban untuk mengangkat batu itu lagi lalu menggelindingkannya kembali. Dan demikianlah seterusnya. Tanpa akhir.
Saya tidak tahu mengapa kawan saya menganalogikan dirinya dengan Sysiphus. Tetapi dugaan saya-dan pengakuan tersiratnya-berkait erat dengan pilihan hidupnya menjadi aktor teater. Untuk diketahui kawan saya merupakan pegiat teater yang jam terbangnya cukup tinggi. Dan ia merasa dalam hidupnya seperti menggotong batu kreatifitas untuk dibawa ke puncak-puncak tertinggi lalu digelindingkannya kembali. Sebagaimana diyakini banyak orang, pilihan karir sebagai aktor teater di Indonesia tidaklah menggembirakan secara finansial, dan anomali di hadapan kapitalisme dimana yang dijadikan tolok ukur adalah nilai tukar secara materi.
Menjadi aktor teater adalah kegelisahan yang lain di luar rupiah karena pilihan itu bukanlah pilihan seksi dibanding-misalnya menjadi artis sinetron, polisi, guru, pegawai koperasi ataupun pilihan pekerjaan yang menjanjikan lainnya. Apalagi domisili kawan saya bukanlah tempat di mana kesenian dijunjung tinggi dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosio kultural masyarakatnya. Dan ia sering merasa sendiri sebagaimana Sysipus.
Lalu benarkah ia melakukan ritual kesia-siaan sebagaiamana disinggung Camus di dalam karyanya tentang Sysiphus dan tak terpahami sebagaimana wabah sampar?(karya Camus yang lain)
Hampir mirip dengan tokoh Sysiphus, ada satu tokoh lagi yang cukup menarik bagi saya, yakni Don Kisot. Karakter rekaan dalam novel Cervantes beberapa abad silam. Ada benang merah antar keduanya yag dapat kita temukan terutama perihal kesia-siaan (hidup). Hanya saja pada kedua tokoh ini masing-masing mempunyai perspektif berbeda. Pada Sysiphus kesia-siaan ini dikarenakan ia terus menerus mengulang hal yang sama (stagnasi), tidak ada progress, nasibnya sudah ditentukan (pre destinasi), dan tiada akhir. Sedangkan pada Kisot kesia-siaan itu tidak terinternalisasi pada dirinya bahkan ia merasa hebat dengan seluruh mimpi dan pengalamannya. Stempel kesia-siaan pada Don Kisot dilakukan oleh masyarakat dimana ia hidup. Jadi yang memandang kesia-siaan adalah masyarakat, bukan Don Kisot. Sampai pada akhir hidupnyapun Don Kisot tetap merasa bahwa ia heroik tanpa ia sadari bahwa di mata masyarakat yang dilakukannya adalah kebodohan tidak tertolong. Sebagai gambaran, dalam kisah Don Kisot ia adalah lelaki tua berkecukupan namun masih saja memimpikan hal-hal aneh. Misalnya ia merasa bahwa diirnya hidup di zaman kerajaan dongeng-dongeng, menyelamatkan putri, bertempur melawan raksasa dan naga, dan berpetualang layaknya Sinbad. Padahal zamannya sudah lain, sudah tidak ada naga, petualangan dan semacamnya. Hidup sudah sedemikian mekanistis, pemaknaan hanya dapat diperoleh melalui mengkonsumsi benda-benda, fiksi disingkirkan, dan inilah hidup. Segalanya harus serba realistis.
Realistis! barangkali inilah kata kuncinya. Teman Sysiphus saya barangkali tidak realistis dalam memandang hidup sebagaimana pilihan Bu Muslimah untuk mempertahankan proses belajar mengajar (dalam Laskar Pelangi). Teman saya di-Sysiphuskan dirinya sendiri dan di-Don Kisotkan masyarakatnya. Aduh betapa susah ya..
Kalau disuruh memilih antar keduanya saya sih lebih suka dengan Don Kisot. Lebih heroik bagi diri saya sendiri meskipun tak kalah Sysipusnya(baca-sia-sia) di mata masyarakat. Setidaknya ada kebanggaan terhadap profesi yang saya tekuni secara positif misalnya. Dan celakanya dua-dua tetap tidak realistis bukan? tetapi penggeseran perspektif antara menjadi Don Kisot maupun Sysiphus tetaplah penting. Bisa jadi keduanya saling olak-alik, posisinya sewaktu-waktu berubah dan tidak tetap. Karena seringkali menjadi Don Kisot dan merasa heroik terhadap diri sendiripun adalah kebodohan dalam bentuk yang lain. Sampai di sini belum ada jalan keluar dari kesia-siaan yang dibicarakan sebelumnya.
Namun saya tetap belum mengerti kekuatan macam apa yang membuat daya tahan Sysiphus. Bukankah tetap memilih hidup seperti itu adalah kutukan dahsyat dan tidak terselamatkan? tidak ada jalan lari dan absurd. Kondisi ketidakbermaknaan (meaningless) ini oleh beberapa filsuf eksistensialis sudah tidak ada jalan keluar. Makanya bagi yang ekstrim bunuh diri adalah pilihan yang realistis. Tetapi betulkah Sysiphus benar-benar karakter yang pesimistis? saya kira tidak orang boleh saja menganggap ia tidak kalah sia-sianya dengan Don Kisot, tetapi saya yakin kekuatan untuk mengangkat batu tentunya lahir dari daya gerak yang luar biasa: optimistis. Meskipun di puncak batu itu tetaplah harus digelindingkan. Senantiasa kalah namun tak pernah menyerah, begitulah kata Dorothea. Meski tahu tak bisa memenangkan nasib tapi tetap berusaha. Bagi saya sendiri perjuangan kawan saya mengangkat batu saya anggap sebagai salah satu cara untuk memaknai hidup, dan makna tidak selalu harus diproduksi melalui konsumsi benda-benda tatapi juga hal-hal yang bersifat immaterial; vitalitas dalam mengatasi ketidakbermaknaan; daya hidup sebelum seluruh layar akan dilipat. Dalam bahasa Chairil semua ini dilakukan untuk menunda kekalahan. Pada proses penundaan inilah kita ditempatkan pada ruang antara, ruang tunggu. Mengutip penulis lain yang saya lupa namanya ruang tunggu adalah keberadaan setelah keberangkatan dan tertundanya tujuan. Telah sekian lama kita menempati ruang tunggu itu dan orang-orang yang mempunyai vitalitas kuat tentu tidak akan berpangku tangan, ruang tunggu harus diisi sesuatu. Barangkali mengangkat batu merupakan pilihan realistis bagi kawan saya itu. selamat menunggu kawan. Semoga tidak ada yang sia-sia bagi yang mencari makna.
saya mempunyai kawan yang sering mengindentifikasikan dirinya dengan Sysiphus. Yakni nama seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang mendapat hukuman dari para dewa untuk mengusung batu besar ke atas bukit. Tidak berhenti disitu saja, setelah batu diletakkan pada tempat tertinggi Sysiphus harus menggelindingkan batu itu ke bawah. Yang menarik adalah Sysiphus berkewajiban untuk mengangkat batu itu lagi lalu menggelindingkannya kembali. Dan demikianlah seterusnya. Tanpa akhir.
Saya tidak tahu mengapa kawan saya menganalogikan dirinya dengan Sysiphus. Tetapi dugaan saya-dan pengakuan tersiratnya-berkait erat dengan pilihan hidupnya menjadi aktor teater. Untuk diketahui kawan saya merupakan pegiat teater yang jam terbangnya cukup tinggi. Dan ia merasa dalam hidupnya seperti menggotong batu kreatifitas untuk dibawa ke puncak-puncak tertinggi lalu digelindingkannya kembali. Sebagaimana diyakini banyak orang, pilihan karir sebagai aktor teater di Indonesia tidaklah menggembirakan secara finansial, dan anomali di hadapan kapitalisme dimana yang dijadikan tolok ukur adalah nilai tukar secara materi.
Menjadi aktor teater adalah kegelisahan yang lain di luar rupiah karena pilihan itu bukanlah pilihan seksi dibanding-misalnya menjadi artis sinetron, polisi, guru, pegawai koperasi ataupun pilihan pekerjaan yang menjanjikan lainnya. Apalagi domisili kawan saya bukanlah tempat di mana kesenian dijunjung tinggi dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosio kultural masyarakatnya. Dan ia sering merasa sendiri sebagaimana Sysipus.
Lalu benarkah ia melakukan ritual kesia-siaan sebagaiamana disinggung Camus di dalam karyanya tentang Sysiphus dan tak terpahami sebagaimana wabah sampar?(karya Camus yang lain)
Hampir mirip dengan tokoh Sysiphus, ada satu tokoh lagi yang cukup menarik bagi saya, yakni Don Kisot. Karakter rekaan dalam novel Cervantes beberapa abad silam. Ada benang merah antar keduanya yag dapat kita temukan terutama perihal kesia-siaan (hidup). Hanya saja pada kedua tokoh ini masing-masing mempunyai perspektif berbeda. Pada Sysiphus kesia-siaan ini dikarenakan ia terus menerus mengulang hal yang sama (stagnasi), tidak ada progress, nasibnya sudah ditentukan (pre destinasi), dan tiada akhir. Sedangkan pada Kisot kesia-siaan itu tidak terinternalisasi pada dirinya bahkan ia merasa hebat dengan seluruh mimpi dan pengalamannya. Stempel kesia-siaan pada Don Kisot dilakukan oleh masyarakat dimana ia hidup. Jadi yang memandang kesia-siaan adalah masyarakat, bukan Don Kisot. Sampai pada akhir hidupnyapun Don Kisot tetap merasa bahwa ia heroik tanpa ia sadari bahwa di mata masyarakat yang dilakukannya adalah kebodohan tidak tertolong. Sebagai gambaran, dalam kisah Don Kisot ia adalah lelaki tua berkecukupan namun masih saja memimpikan hal-hal aneh. Misalnya ia merasa bahwa diirnya hidup di zaman kerajaan dongeng-dongeng, menyelamatkan putri, bertempur melawan raksasa dan naga, dan berpetualang layaknya Sinbad. Padahal zamannya sudah lain, sudah tidak ada naga, petualangan dan semacamnya. Hidup sudah sedemikian mekanistis, pemaknaan hanya dapat diperoleh melalui mengkonsumsi benda-benda, fiksi disingkirkan, dan inilah hidup. Segalanya harus serba realistis.
Realistis! barangkali inilah kata kuncinya. Teman Sysiphus saya barangkali tidak realistis dalam memandang hidup sebagaimana pilihan Bu Muslimah untuk mempertahankan proses belajar mengajar (dalam Laskar Pelangi). Teman saya di-Sysiphuskan dirinya sendiri dan di-Don Kisotkan masyarakatnya. Aduh betapa susah ya..
Kalau disuruh memilih antar keduanya saya sih lebih suka dengan Don Kisot. Lebih heroik bagi diri saya sendiri meskipun tak kalah Sysipusnya(baca-sia-sia) di mata masyarakat. Setidaknya ada kebanggaan terhadap profesi yang saya tekuni secara positif misalnya. Dan celakanya dua-dua tetap tidak realistis bukan? tetapi penggeseran perspektif antara menjadi Don Kisot maupun Sysiphus tetaplah penting. Bisa jadi keduanya saling olak-alik, posisinya sewaktu-waktu berubah dan tidak tetap. Karena seringkali menjadi Don Kisot dan merasa heroik terhadap diri sendiripun adalah kebodohan dalam bentuk yang lain. Sampai di sini belum ada jalan keluar dari kesia-siaan yang dibicarakan sebelumnya.
Namun saya tetap belum mengerti kekuatan macam apa yang membuat daya tahan Sysiphus. Bukankah tetap memilih hidup seperti itu adalah kutukan dahsyat dan tidak terselamatkan? tidak ada jalan lari dan absurd. Kondisi ketidakbermaknaan (meaningless) ini oleh beberapa filsuf eksistensialis sudah tidak ada jalan keluar. Makanya bagi yang ekstrim bunuh diri adalah pilihan yang realistis. Tetapi betulkah Sysiphus benar-benar karakter yang pesimistis? saya kira tidak orang boleh saja menganggap ia tidak kalah sia-sianya dengan Don Kisot, tetapi saya yakin kekuatan untuk mengangkat batu tentunya lahir dari daya gerak yang luar biasa: optimistis. Meskipun di puncak batu itu tetaplah harus digelindingkan. Senantiasa kalah namun tak pernah menyerah, begitulah kata Dorothea. Meski tahu tak bisa memenangkan nasib tapi tetap berusaha. Bagi saya sendiri perjuangan kawan saya mengangkat batu saya anggap sebagai salah satu cara untuk memaknai hidup, dan makna tidak selalu harus diproduksi melalui konsumsi benda-benda tatapi juga hal-hal yang bersifat immaterial; vitalitas dalam mengatasi ketidakbermaknaan; daya hidup sebelum seluruh layar akan dilipat. Dalam bahasa Chairil semua ini dilakukan untuk menunda kekalahan. Pada proses penundaan inilah kita ditempatkan pada ruang antara, ruang tunggu. Mengutip penulis lain yang saya lupa namanya ruang tunggu adalah keberadaan setelah keberangkatan dan tertundanya tujuan. Telah sekian lama kita menempati ruang tunggu itu dan orang-orang yang mempunyai vitalitas kuat tentu tidak akan berpangku tangan, ruang tunggu harus diisi sesuatu. Barangkali mengangkat batu merupakan pilihan realistis bagi kawan saya itu. selamat menunggu kawan. Semoga tidak ada yang sia-sia bagi yang mencari makna.
Senin, 11 Oktober 2010
semarang graffiti jam
12PMCLAN PROUDLY PRESENTS
24FPS | STREET ART MOTION SCREENING AND SHARING
OCTOBER 24th 2010
09.00 - TILL DRIPS
"...In video technology, 24fps refers to a video format that operates at 24 frames per second frame rate with progressive scanning (not interlaced)." (Wikipedia)
Di sini 24FPS adalah rangkaian acara yang berisi :
| 09.00 - 15.00 Semarang Graffiti Jam (Menggambar bersama di bawah flyover tol Gayamsari Semarang)
| 16.00 - 19.30 Screening Video (Nonton bareng film dokumenter street art di Grobak A(r)t Kos Sampangan Semarang)
| 19.30 - 20.30 Street Talk (Ngobrol santai kayak di jalanan)
| (sisipan) Live Screen Printing (Nyablon logo 24FPS di kaos polos kalian)
CATATAN!!
| Untuk partisipasi Graffiti Jam session dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya apapun. Materi gambar bebas. NO SARA or PORN. Peralatan dan cat dipersiapkan dan dibawa sendiri oleh peserta. Dan diwajibkan membawa cat tembok warna hitam untuk background masing-masing. Meeting Point di ASAYA Majapahit pukul 8.30. Dikarenakan jumlah space terbatas, konfirmasikan keikutsertaan dengan menghubungi CP sebelum tanggal 20 Oktober 2010.
| Screening Video dilakukan di Grobak A(r)t Kos di Jl. Stonen no 29 Sampangan, Semarang. And it's FREE. Film yang putar adalah Exit Through The Gift Shop (2010) dan Bomb It (2007). Bawa snack dari rumah yang banyak, we will share them!.
| Audiens bisa mendapatkan kaos dengan logo 24FPS dalam Live Screen Printing. Silakan bawa kaos polos mu warna putih, karena tinta sablon yang disediakan adalah warna hitam. Biaya sablon Rp 5.000 per kaos.
| CP : Ari 085 640 858 303
Anggi 086 740 153 464
Hail Street!
http://onetwopm.blogspot.com/2010/10/24f
Better Poster http://img267.imageshack.us/img267/5390/
Minggu, 10 Oktober 2010
Ambiguitas Kritik Cameron terhadap Kapitalisme dalam Avatar
oleh: Adin
Ketika menonton Avatar tiba-tiba seperti diingatkan pada pelajaran sejarah pada masa SMU. Bahwasanya kedatangan para penjajah itu dikarenakan 3 faktor yakni gold, glory dan gospel. Belakangan aku sadari bahwa kolonialisme tidak serta merta ada begitu saja. Kolonialisme dijalankan dengan cara yang sistematis dan perlahan-lahan.
Dari melihat preview itulah saya tertarik untuk melihat Avatar yang memang telah saya tunggu sejak 2 bulan sebelumnya. Konon film yang mengeluarkan uang tidak sedikit ini diklaim sebagai film yang menggunakan efek 3D yang kelak akan mengungguli trilogy Lord of the Ring. Apalagi mellihat film besutan orang yang juga menyutradarai Titanic membuatku semakin penasaran. Apakah filmnya akan mengalahkan rekor Titanic itu sendiri? Siapa tahu.
Film Avatar sendiri bersetting tahun 2154 AD, bertempat di Pandora, sebuah satelit planet Polyphemus yang kaya unobonium. Para pemilik modal dengan dibantu para tentara kemudian bekerja keras untuk mengambil kekayaan tempat ini yang konon harga unobtonium ini lebih mahal dari unsur alam apapun. Karena planet ini bukan planet yang tidak berpenghuni tentu saja ada ketidaksesuaian nilai antara pendatang dengan penduduk asli yang disebut Na’vi. Apalagi ketika hari eksplorasi besar-besaran terhadap kekayaan mereka akan dimulai. Untuk itulah dibuat program Avatar yang sedianya menciptakan makhluk dengan bentuk fisik Na’vi namun pikiran dan jiwanya dapat tersambungkan dengan manusia. Program ini dipimpin oleh dokter Grace Augustine yang tujuannya memahami kebudayaan Na’vi dan oleh pihak tentara dimaksudkan untuk mencari data mengenai Na’vi itu sendiri sehingga bisa akuratlah jika terjadi peperangan. Pada awalnya program ini lancar sampai suatu hari saudara kembar Jake Sully mati dan akhirnya memaksa Jake Sully untuk menggunakan tubuh avatar. Karena program ini mahal dan hanya dengan genetik yang samalah Avatar dapat diakses, Jake Sully yang mantan tentara dapat kehormatan untuk menempati Avatar saudaranya yang mati.
Petualangan Jake Sully untuk mendapatkan kepercayaan Na’ vi dimulai ketika ia tersesat karena serbuan binatang liar di hutan. Jake yang hampir mati akhirnya malah diselamatkan anak kepala suku yang mendapatkan pertanda bahwa Jake telah diberkati Eywa, leluhur arwah (ditunjukkan dengan semacam bunga-aku tidak tahu persisnya apa, mungkin prototype kupu-kupu) yang hinggap di anak panah Neyfiri, nama anak kepala suku tersebut.
Lambat laun Jake mulai mendapat kepercayaan Na’vi dan akhirnya dianggap salah satu dari mereka setelah diberi banyak pelajaran oleh Neyfiri. Di sisi lain ada dilema dalam pikirannya sendiri, sementara ia ternyata jatuh cinta pada Neyfiri, Pandora dan seisinya, Ia juga dihadapkan pada tugas dari tentara untuk memberi pengertian Na’vi untuk meninggalkan tanah suci mereka. Tentu saja motif utama mereka adalah unobtunium di tempat leluhur Na’vi. Jake diberi kesempatan selama tiga bulan untuk memberi pengertian para Na’vi. Dan tentu saja ia tahu para Na’vi tidak akan pergi begitu saja.
Ketiadaan titik temu inilah yang akhirnya mengakibatkan peperangan antara Na’vi dan manusia. Parker Selfridge sebagai pimpinan proyek kemudian memerintahkan Kolonel Miles Quaritch untuk membuat tindakan ‘seperlunya’ untuk mengusir Na’vi dari tempat tinggal mereka yang kaya unobtuniom. Tentu saja data yang diberikan Jake sangat membantu para tentara ini untuk menghancurkan tempat tinggal mereka yang dipercaya sebagai tempat suci. Bagi Parker penghancuran ini tidak hanya bermakna penguasaan tempat tetapi juga pelumpuhan kepercayaan simbolik Na’vi.
Perlahan-lahan Na’vi dipaksa mundur dan banyak diantara mereka yang mati termasuk ayah Neyfiri, Eytucan. Segala kekalahan ini membuat Na’vi sangat kecewa dengan Jake dan dia diusir. Tidak diterima di Na’vi dan tidak lagi merasa bagian dari militer membuat Jake putus asa. Maka ditengah keputusasaannya dia nekat untuk menaklukkan Toruk. Mahkluk sejenis burung raksasa ini konon ditakuti dan hanya beberapa dari Na’vi yang menaklukkan. Dan apabila ada yang menaklukkan maka ia telah terberkati Eywa dan layak untuk menjadi pimpinan Na’vi. Jake yang berhasil mengendalikan Toruk akhirnya berhasil menyatukan seluruh Na’vi di Pandora dan mereka melakukan serangan balik. Meskipun pada awalnya kalah mereka akhirnya dibantu Eywa, tuhan Na’vi’ dengan turut andilnya berbagai hewan yang ada di Pandora melawan manusia.
Pada akhirnya ras manusia berhasil diusir dari Pandora, sedang Jake yang tidak bisa hidup sebagai manusia karena udaranya berbeda dengan di bumi, oleh ritual para Na’vi jiwanya dipindah untuk selmanya dalam avatarnya.
Hal yang menurut saya sangat menarik dalam film ini adalah bagaimana para Na’vi sangat memperhatikan alam. Bahwa mereka tidak hanya memperhatikan tetapi bagian dari alam. Harmonisasi ini harus tetap dijaga bahkan dalam hal pembunuhanpun tidak dilandasi karena dendam tetapi bagian dari keseimbangan. Bahkan dalam film ini digambarkan pohon-pohon bisa berbisik dan menjadi tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Animisme dan dinamisme bercampur aduk, hal yang oleh manusia di Pandora dianggap sebagai kebodohan dan keprimitifan. Karena bagi mereka rasionalitas adalah satu-satunya takaran kebenaran. Animisme dan dinamisme barangkali semacam kekafiran dan manusia telah meninggalkan adat semacam ini sejak beratus tahun lalu. Sangat menarik karena barangkali Cameron hendak menggambarkan pertentangan antara timur dan barat, alam dan manusia, intuisi dan rasionalitas. Manusia dengan segala ketamakannya hendak menguasai Pandora dan mengusir penduduk asli mulai dari negosiasi sepihak mirip, dengan cara-cara pemerintah yang sering memaksakan kebijakannya, pemakaian bom asap hingga artileri berat. Nafsu mereka telah membutakan mereka terhadap keragaman hayati yang sangat indah di Pandora.
Unobtanium adalah satu-satunya alasan mengapa eksploitasi dan ekspansi ini dilakukan. Mungkin juga dengan semangat kolonial yang cenderung menganggap kearifan lokal adalah pertanda keterbelakangan. Dan dengan gaya sok pintar mereka memaksakan peradabannya yang disangka lebih maju dan kompleks. Hometrees, dan pegunungan yang menyimpan unobanium menjadi target utama bagi mereka. Tidak peduli betapa penting fungsi tempat-tempat ini tidak hanya bagi ekosistem mereka tetapi juga bangunan mitologis, ingatan kolektif dan sumber pemaknaan yang menghubungkan antara yang transeden dan imanen terdapat di tempat ini. Artinya hancurnya lokus-lokus ini akan mengakibatkan runtuhnya seluruh tataran simbolik Na’vi. Meraka akan menjadi generasi yang kehilangan ingatan dan bangsa yang kehilangan ingatan akan mudah untuk dibentuk dan diarahkan serta dipasok iman baru. Maka penghancuran hometrees diam-diam adalah harga mati bagi sang kolonel. Dengan begitu iman mereka runtuh dan semangat juangnya turun.
Saya juga teringat pada kasus PT Freeport bagaimana perlahan-lahan gunung Nemang Kawi menjadi areal pertambangan emas mereka. Nemang Kawi yang artinya panah suci dan bisa berarti pula daerah bebas peperangan kini telah hancur dan barangkali juga daerah suci yang tidak lagi suci inilah yang mengakibatkan pertentangan yang tidak ada habisnya antara suku Amungmu dan PT Freeport yang mendapat izin dari pemerintah Indonesia. Orang-orang amungme yang dulunya belum banyak memakai pakaian dan dianggap primitif oleh pandangan umum dianggap terbelakang, perlu diajar, dan diberi ‘pencerahan’ modernisme, kalau perlu dibuat ‘beriman’ seperti layaknya agama-agama monoteis. Selain itu mereka dianggap belum cukup dewasa sehingga dirasa belum mampu untuk memutuskan nasib mereka. Masih kafir karena menyembah pohon dan batu! Padahal mereka juga mempunyai struktur sosial dan kearifan lokal yang telah teruji beratus tahun. Ah.. apa bedanya dengan Na’vi..
Kehebatan manusia lagi, dalam Avatar, dengan pengetahuan mereka bahkan manusia bisa menciptakan avatar yang akhirnya digunakan seagai cara untuk mendekati Na’vi, mempelajari mereka, mengumpulkan data untuk kemudian menggunakan data-data tersebut untuk mengakuratkan target mereka. Betapa data dalam hal ini menjadi sangat penting. Saya jadi teringat dengan apa yang dilakukn Snouck di Aceh, atau Pangemanan dalam tetralogi Buru. Keduanya adalah pengumpul data dan dari data merekalah kebijakan-kebijakan efektif dapat diterapkan sebagai cara untuk mengamankan kepentingan pihak kolonial. Cuma bedanya dengan Pangemanan, Snouck lebih ‘membumi’ konon ia sampai pindah agama, naik haji, menikahi putri ulama dan hapal Al Quran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jake, memakai fisik Na’vi, mengendarai Banshee dan sukses bercinta dengan anak kepala suku. Sangat menarik melihat bagaimana Jake Sully mempelajai Na’vi, menjadi bagian dari mereka dan menemukan dirinya penuh dengn kontradiksi. Apakah Snouck juga penuh kontradiksi? Mungkin tidak. Setidaknya melihat respons dia pada pembantaian 75.000 orang Aceh.
Secara keseluruhan film ini memang memberikan tamasya visual yang memukau. Kita bisa melihat biodiversity dan bagaimana going to native menjadi alternatif menghadapi kerusakan alam yang tiap hari diproduksi manusia. Hanya saja di luar dari efek visual yang bagus Cameron sepertinya msih belum bisa melepaskan diri dari sudut pandangnya sebagai orang barat, katakanlah begitu. Memang benar bahwa konsep Avatar diambil dari terminologi orang timur (hindu) yang artinya semacam penjelmaan orang suci dalam bentuk manusia atau hewan. Dan bisa dibilang Avatar adalah konsep lain akan datangnya ratu adil, imam mahdi, mesias, dan terminologi-terminologi semacam itu. Namun pemilihan Jake Sully sebagai the outsider yang akhirnya menempati jiwa Na’vi sebagai bagian dari proyek avatar malah menunjukkan bagaimana sudut pandang kebanyakan orang barat (jika kita percaya kategori timur dan barat) terhadap orang timur yang barangkali bisa direpresentasikan oleh Na’vi. Atau bagaimana jiwa modernis memandang segala sesuau yang Na’vi. Di titik inilah sebenarnya Cameron belum beranjak dari perspektif lama. Ada semacam kontradiksi yakni manusia dianggap sebagai sumber masalah tapi di sisi lain permasalahan ini hanya bisa diatasi oleh manusia itu sendiri. Kalau kita percaya pada apa yang diungkap Edward Said, cara pandang Cameron bisa kita anggap negatif. Ada semacam pengukuhan epistemik, mengenai pilihan Jake Sully sebagai mesias, mengenai superioritas manusia (baca barat). Hasrat ini bisa jadi tidak disadari tetapi narasi-narasi yang sering muncul ini bisa jadi konstruksi sosial. Karena dalam studi orientalisme kekerasan dan penjajahan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga menyangkut wilayah fantasi, mimpi, dan bangunan mitologi yang kesemuanya merupakan bagian dari hegemoni dan penaklukan. Dan Cameron sadar atau tidak sadar adalah bagian dari itu semua. Contoh lain dari hasrat penguasaan mitos-mitos dan mimpi oleh orang barat adalah bagimana mungkin seorang Yesus digambarkan bermata biru? Tarzan sebagai raja rimba bukan orang Afrika, malah berkulit putih dan bermata biru juga, Film Dragon Ball terbaru juga memakai bintang bule, bahkan kera sakti yang notebene mitos orang asia (dalam film yang dbintangi Jackhie Chan dan Jet Lee) juga menempatkan barat sebagai solusi! Nah dalam film Avatar hal ini diulang dengan cara yang sangat halus. Seolah-olah yang bisa menyelamatkan Na’vi adalah sekaligus ras yang berniat menjajah mereka. Avatar, jiwa yang menitis selalu berasal dari manusia (baca barat). Yang perlahan-lahan hal ini akan menegaskan superioritas mereka dan inferioritas di kita. Kalau mau mengutip novel Andrea Hirata “Sehari semalam lalu aku masih diliputi kemegahan Eropa, kini kudapati diriku dikelilingi orang-orang Melayu berbaju norak, berfarfum memeningkan kepala, di atas kapal besi besar bau minyak bak rongsokan hanyut. Kawan, inilah aku, berpeluh-peluh di bawah cerobong asap, baru saja ditinggalkan masa-masa jaya. Kelu”.
Andrea Hirata Dalam Mariama Karpov Mimpi-Mimpi Lintang (2008)
Nah bisa jadi inferiority kompleks ini tidak hanya akibat keterpukauan terhadap segala sesuatu yang berbau barat tetapi juga akibat proses kebudayaan yang berlangsung bertahun-tahun. dan salah satunya lewat narasi-narasi yang disodorkan melalui film.
Selain persoalan sudut pandang representasi, hal lain yang perlu dicermati adalah bagaimana Cameron menggunakan perspekstif oposisi biner dalam memandang konflik antara modernitas dan going native. Manusia dianggap sebagai biang kejahatan berikut rasionalitasnya dan Na’vi dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk Pandora. Akhirnya pengusiran manusia adalah keniscayaan bagi Pandora dan Na’vi dianggap sebagai entitas yang sudah padu, tidak terbelah, satu suara, yang digunakan untuk menetralisir manusia yang ironisnya daya gugah Pandora dan doa yang dijawab Eywa berasal dari permohonan manusia juga: Jake Sully! Sedangkan permasalahan oposisi biner ini meniscayakan ketiadaan satu sama lain. Tidak ada resolusi bersama dan jalan satu-satunya adalah kami mati atau kalian pergi. Sebagaimana harga mati yang dipasang orang Indonesia ketika mengusir Belanda. Saya membayangkan trauma Na’vi hampir mirip pandangan orang Indonesia pada Belanda pada saat itu. Sangat traumatik.
Untuk terakhir kalinya going native menjadi satu-satunya solusi dan bagi perkembangan peradaban sekarang (jika film dianggap sebagai representasi pandangan politik) bisakah kita memberlakukan hal demikian itu juga? Dan satu lagi doa Jake Sully dijawab oleh Eywa, sedang doa Kelly Kwalik dalam kasus gunung Grasberg diganjar sebagai pembangkangan dan dicap makar maka untuk itu layak untuk ‘diredamkan’. Artinya masih sangat sulit seruan-seruan perusakan lingkungan di tengah gencarnya eksploitasi alam untuk dikeruk hasilnya demi segelintir pengusaha. Maka jangan heran jika konferensi internasional mengenai perubahan iklim mengalami negosiasi yang alot. Dan mungkin perlu Eywa-eywa lain untuk menyadarkan keserakahan manusia dan tentu saja semoga bukan hanya Jake Sully yang mampu memanggil mereka!
Namun terlepas dari cara pandang konvensional Cameron, film ini sangat menghibur dan layak untuk mengisi libur akhir tahun sambil membayangkan kelak keadilan akan benar-benar datang.
Selasa, 05 Oktober 2010
screaming death terror
MENERIAKKAN ANCAMAN KEMATIAN#2
(Suara Gunung Kendeng Utara)
16 Oktober 2010
di Pelataran Radio Suara Pati Fm
(Pati-Jawa Tengah)
Selain menampilkan pertunjukan musik,
disamping itu kami juga menyuguhkan rangkaian kegiatan acara
seperti:
- Pameran Zine (Media Alternatif) dari Komunitas Hysteria (Semarang) dan Goegah kreatif
- Pameran Photo Gigs (Komunitas Pati)dari Paska Budi and Friends.
- Pameran Poster Propaganda (Lingkungan dan Kejahatan Korporasi)dari Handini and friends.
Kalian masih bisa turut berpartisipasi mengirimkan karya,
dengan kriteria sbb:
- Untuk Photo: Ukuran 10 R (Hitam putih/ Greyscale) jpeg/ 300dpi
sertakan, (Judul/ title/ artis)
- Untuk Poster: Ukuran A3 (Hitam putih/ Black and White) jpeg/ 300dpi
sertakan, (Judul/ title/ artis)
Batas waktu pengiriman tgl.12 Oktober 2010
Materi/ karya dapat segera dikirim ke alamat:
- handiniand@yahoo.co.id
- instruktifight@yahoo.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)