oleh: Adin
saya mempunyai kawan yang sering mengindentifikasikan dirinya dengan Sysiphus. Yakni nama seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang mendapat hukuman dari para dewa untuk mengusung batu besar ke atas bukit. Tidak berhenti disitu saja, setelah batu diletakkan pada tempat tertinggi Sysiphus harus menggelindingkan batu itu ke bawah. Yang menarik adalah Sysiphus berkewajiban untuk mengangkat batu itu lagi lalu menggelindingkannya kembali. Dan demikianlah seterusnya. Tanpa akhir.
Saya tidak tahu mengapa kawan saya menganalogikan dirinya dengan Sysiphus. Tetapi dugaan saya-dan pengakuan tersiratnya-berkait erat dengan pilihan hidupnya menjadi aktor teater. Untuk diketahui kawan saya merupakan pegiat teater yang jam terbangnya cukup tinggi. Dan ia merasa dalam hidupnya seperti menggotong batu kreatifitas untuk dibawa ke puncak-puncak tertinggi lalu digelindingkannya kembali. Sebagaimana diyakini banyak orang, pilihan karir sebagai aktor teater di Indonesia tidaklah menggembirakan secara finansial, dan anomali di hadapan kapitalisme dimana yang dijadikan tolok ukur adalah nilai tukar secara materi.
Menjadi aktor teater adalah kegelisahan yang lain di luar rupiah karena pilihan itu bukanlah pilihan seksi dibanding-misalnya menjadi artis sinetron, polisi, guru, pegawai koperasi ataupun pilihan pekerjaan yang menjanjikan lainnya. Apalagi domisili kawan saya bukanlah tempat di mana kesenian dijunjung tinggi dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosio kultural masyarakatnya. Dan ia sering merasa sendiri sebagaimana Sysipus.
Lalu benarkah ia melakukan ritual kesia-siaan sebagaiamana disinggung Camus di dalam karyanya tentang Sysiphus dan tak terpahami sebagaimana wabah sampar?(karya Camus yang lain)
Hampir mirip dengan tokoh Sysiphus, ada satu tokoh lagi yang cukup menarik bagi saya, yakni Don Kisot. Karakter rekaan dalam novel Cervantes beberapa abad silam. Ada benang merah antar keduanya yag dapat kita temukan terutama perihal kesia-siaan (hidup). Hanya saja pada kedua tokoh ini masing-masing mempunyai perspektif berbeda. Pada Sysiphus kesia-siaan ini dikarenakan ia terus menerus mengulang hal yang sama (stagnasi), tidak ada progress, nasibnya sudah ditentukan (pre destinasi), dan tiada akhir. Sedangkan pada Kisot kesia-siaan itu tidak terinternalisasi pada dirinya bahkan ia merasa hebat dengan seluruh mimpi dan pengalamannya. Stempel kesia-siaan pada Don Kisot dilakukan oleh masyarakat dimana ia hidup. Jadi yang memandang kesia-siaan adalah masyarakat, bukan Don Kisot. Sampai pada akhir hidupnyapun Don Kisot tetap merasa bahwa ia heroik tanpa ia sadari bahwa di mata masyarakat yang dilakukannya adalah kebodohan tidak tertolong. Sebagai gambaran, dalam kisah Don Kisot ia adalah lelaki tua berkecukupan namun masih saja memimpikan hal-hal aneh. Misalnya ia merasa bahwa diirnya hidup di zaman kerajaan dongeng-dongeng, menyelamatkan putri, bertempur melawan raksasa dan naga, dan berpetualang layaknya Sinbad. Padahal zamannya sudah lain, sudah tidak ada naga, petualangan dan semacamnya. Hidup sudah sedemikian mekanistis, pemaknaan hanya dapat diperoleh melalui mengkonsumsi benda-benda, fiksi disingkirkan, dan inilah hidup. Segalanya harus serba realistis.
Realistis! barangkali inilah kata kuncinya. Teman Sysiphus saya barangkali tidak realistis dalam memandang hidup sebagaimana pilihan Bu Muslimah untuk mempertahankan proses belajar mengajar (dalam Laskar Pelangi). Teman saya di-Sysiphuskan dirinya sendiri dan di-Don Kisotkan masyarakatnya. Aduh betapa susah ya..
Kalau disuruh memilih antar keduanya saya sih lebih suka dengan Don Kisot. Lebih heroik bagi diri saya sendiri meskipun tak kalah Sysipusnya(baca-sia-sia) di mata masyarakat. Setidaknya ada kebanggaan terhadap profesi yang saya tekuni secara positif misalnya. Dan celakanya dua-dua tetap tidak realistis bukan? tetapi penggeseran perspektif antara menjadi Don Kisot maupun Sysiphus tetaplah penting. Bisa jadi keduanya saling olak-alik, posisinya sewaktu-waktu berubah dan tidak tetap. Karena seringkali menjadi Don Kisot dan merasa heroik terhadap diri sendiripun adalah kebodohan dalam bentuk yang lain. Sampai di sini belum ada jalan keluar dari kesia-siaan yang dibicarakan sebelumnya.
Namun saya tetap belum mengerti kekuatan macam apa yang membuat daya tahan Sysiphus. Bukankah tetap memilih hidup seperti itu adalah kutukan dahsyat dan tidak terselamatkan? tidak ada jalan lari dan absurd. Kondisi ketidakbermaknaan (meaningless) ini oleh beberapa filsuf eksistensialis sudah tidak ada jalan keluar. Makanya bagi yang ekstrim bunuh diri adalah pilihan yang realistis. Tetapi betulkah Sysiphus benar-benar karakter yang pesimistis? saya kira tidak orang boleh saja menganggap ia tidak kalah sia-sianya dengan Don Kisot, tetapi saya yakin kekuatan untuk mengangkat batu tentunya lahir dari daya gerak yang luar biasa: optimistis. Meskipun di puncak batu itu tetaplah harus digelindingkan. Senantiasa kalah namun tak pernah menyerah, begitulah kata Dorothea. Meski tahu tak bisa memenangkan nasib tapi tetap berusaha. Bagi saya sendiri perjuangan kawan saya mengangkat batu saya anggap sebagai salah satu cara untuk memaknai hidup, dan makna tidak selalu harus diproduksi melalui konsumsi benda-benda tatapi juga hal-hal yang bersifat immaterial; vitalitas dalam mengatasi ketidakbermaknaan; daya hidup sebelum seluruh layar akan dilipat. Dalam bahasa Chairil semua ini dilakukan untuk menunda kekalahan. Pada proses penundaan inilah kita ditempatkan pada ruang antara, ruang tunggu. Mengutip penulis lain yang saya lupa namanya ruang tunggu adalah keberadaan setelah keberangkatan dan tertundanya tujuan. Telah sekian lama kita menempati ruang tunggu itu dan orang-orang yang mempunyai vitalitas kuat tentu tidak akan berpangku tangan, ruang tunggu harus diisi sesuatu. Barangkali mengangkat batu merupakan pilihan realistis bagi kawan saya itu. selamat menunggu kawan. Semoga tidak ada yang sia-sia bagi yang mencari makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar