Selasa, 12 Oktober 2010


oleh: Adin

(sedang tuhan pun tidak menyukai orang yang berlebihan)

Seperti pada umumnya, peperangan akan merenggut banyak korban. Tidak terkecuali. Bahkan orang-orang dekat kita sendiri. Perbedaan ideology telah memutuskan pertalian darah, perbedaan perspektif menentukan bagaimana kebenaran dirumuskan dan akhirnya klaim kebenaran satu menegasi yang lain. Bagaimanapun juga terkadang agak sulit bagi saya untuk membayangkan kehidupan tanpa konflik dan peperangan. Karena bagaiamanapun juga sejarah peperangan, konflik, dan pembunuhan sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Kita tentu masih ingat dengan kisah Kain dan Abel (Kabil dan Habil). Dua saudara saling bunuh karena memperbutkan sesuatu yang disukainya (dalam kasus ini wanita). Dan pemandangan Kain Abel itu dapatlah kita lihat pada kisah Damien O'Donnovan dan Teddy O'Donnovan dalam film The Wind That Shakes the Barely. Kedua bersaudara Donnovan masing-masing bersikeras dengan pendiriannya. Film yang menceritakan perang bersaudara di Irlandia ini mengingatkan saya pada saat perjanjian Renville di Indonesia. Keduanya, antara Indonesia dan Skotlandia, sama-sama dihadapkan pada perjanjian yang tidak mengenakkan. Di satu sisi mereka membutuhkan pengakuan kedaulatan di lain pihak kesepakatan ini berpotensi memecah belah mereka. Nyatanya baik Indonesia dan Skotlandia mengalami perang saudara paska perjanjian ditandatangani. Tentu saja kisah-kisah semacam Donnovan bersaudara dengan mudah dapat ditemui pula di negara kita.

Mengingat sejarah kekerasan rassanya mustahil untuk meniadakannya sebagaimana kita meniadakan para pasifis (pecinta damai). Yang ada adalah pilihan bagaimana kita menjalani hidup. Seseorang harus menjalani perannya masing-masing dengan sungguh-sungguh. Kedua unsure itu harus dijaga supaya seimbang. Yin Yang nya kalau dalam istilah Cina nya. Ketiadaan salah satunya akan membuat dunia tidak seimbang. Dan para penjaga keseimbangan inilah yang harus tetap ada. Paling-paling yang bisa dilakukan hanyalah mengatur kekerasan itu supaya tidak menjadi amuk massal. Meski sepertinya mustahil dalam kasus Donnovan bersaudara. Di mana-mana yang namanya revolusi kebanyakan memakan banyak korban. Kalau dalam istilah jawanya tumbal. Yakni pengorbanan yang harus dilakukan si empunya hajat agar keinginanya terkabul. Pada konteks ini individu menjadi murah di hadapan proyek besar bernama Negara. Saking murahnya William Blake mempunyai istilaahnya sendiri “Cacing yang terpotong akan memaafkan bajaknya” .

Donnovan dan seperti juga yang lain hanyalah cacing bagi megaproyek bernama sawah dan atas nama panen bersama yang lebih baik. Tetapi apakah cacing itu akan benar-benar rela? Barangkali tidak untuk Sonead (kekasih Damien) namun ya bagi Teddy. Sebetapapun bersedihnya Tedy toh eksekusi harus dijatuhkan juga meski dengan air mata berlinang. Sebagimana Damien ketika mengeksekusi teman sepermainannya semenjak kecil. Dan seperti halnya Damien yang tidak dditerima oleh ibu temannya, Tedy pun ditolak oleh Sonead. Ah betapa mahal harga sebuah revolusi.

Siapakah yang salah? Menurut saya tidak ada yang salah karena kita telah memilih satu peranan dan harus menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Dan barangkali yang bersalah adalah orang-orang yang berlebihan. Karena sepertinya tuhan pun tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Bicara mengenai berlebihan saya jadi teringat peristiwa 1965 yang saya tahu dari sejarah-sejarah. Apakah mereka termasuk orang-orang yang berlebihan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar