Selasa, 28 Desember 2010
KAMING SUUN 2011
menjelang tahun 2011 hysteria mempersiapkan beberapa program sebagaman yang tertulis di atas. melanjutkan program sebelumnya maaping project, petakota merupakan sebuah perogram pemetaan berbasis data atau aktivitas terdokumentasi sebagai upaya untuk mengidentifikasi fenomena apa yang sebenarnya terjadi berulang-ulang di kota ini. petakota#1 lebh bertitik berat pada poster gigs kurun waktu 2007-2009, meski belum maksimal bisa dikatakan ini upaya menjaga ingatan serta mengatahun modus gerakan anak muda dari tahun ke tahun. tahun 2011 petakota#2 akan menyorot persoalan lain.
kegagalan kami untuk membuat festival lintas disiplin tahun 2010 tidak membuat kami berkecil hati, nah setelah dianalisis tujuan utama program ini adalah menyatukan berbagai lintas disiplin komunitas. namun apa daya jika ikatan emosional belum terbentuk kuat dan berfestival belum menjadi kebutuhan bersama? menelisik lebih dalam hysteria mencoba untuk masuk pada persoalan-persoalan kecil komunitas. kalau komunitas kuat dan saling berhubungan bukan tidak mungkin suatu saat festival yang memang dibutuhkan akan terbentuk karena 'kebutuhan' dan bukan semata-mata insentif finansial.
sebagaimana kita tahu mengelola komunitas bukanlah hal mudah untk itu perlu strateggi supaya komunitas-komunitas ini bisa bertahan. untuk itu hysteria merasa perlu mengadakan lokakarya manajemen komunitas yang narasumbernya selain LBH Semarang juga orang yang berkompeten membentuk komunitas.
menghadirkan ika vantiani dan om kimung, hysteria juga hendak menyelenggarakan pelatihan membuat zine dan metodologi riset sejarah lisan. sebagaimana diketahui ika, atau lebih dikenal pengelola peniti pink adalah individ yang cukup menarik. ika mengoleksi ribuan zine yang terkumpul dari berbagai tempat. zine sebagai wacana aternatif di tengah arus informasi yang selalu identik dengan kepentingan pasar tentu saja menawarkan pilihan yang berbeda: pilihan untuk menelola, mendistribusikan, bahkan mengkampanyekan isu sesuai pilihan pembuatnya. upaya pencatatan ini sangat penting mengingat jarang sekali kita melakukan refleksi terhadap apa-apa yang pernah kita perbuat. sebagai asupan konsep, om kimung tentu pilihan menarik. sebagai salah satu pendiri BOH (bandung oral history) om kimung tentu tahu persis bahwa anak muda perlu menuliskan sejarahnya sendiri. sejarah orang-orang kecil yang selama ini dikecilkan juga oleh narasi-narasi besar sejak kita mengenyam pendidikan. keseriusan om kimung meriset sejarah metal ujung berung bandung dan bukunya tentang ivan scumbag burger kill merupakan bukti nyata bahwasana metodologi riset sejarah lisan cukup efektif dijadikan bahan supaya kelak kota ini mempunyai penulis yang mau menyuarakan kotanya sendiri.
tidak lupa juga bedah buku puisi dari beberapa penyair akan mewarnai program kami selanjutnya. diantaranya Ullyl Ch, seorang perajin tas yang telah menghasilkan buku antologi tunggal.selain itu hsyteria juga berencana menerbitkan antologi puisi yang terkumpul sejak 2008-2010 setelah sebelumnya 'mencari rumah' menjadi antologi pertama kurun 2004-2007.
sebagai ruang yang memang mempunyai kepedulian akan keberlangusungan komunitas, grobak a[r]t kos berencana memamerkan kolektf dari pati: Roemah Goegah. attak, salah sat eksponen penggerak akan memamerkan artwork-artworknya yang telah tercetak di kaos, emblem dll. pengaruh para musisi punk tentu saja kental mempengaruhi warna ideologi yang dipilih attak yang juga membuat zine berjudul instruktif fight. belum lagi isu lingkungan yang diangkat protes anak-anak roemah goegah terhadap PT Semen Gresik di Pati yang sangat bernafsu membangun pabrik. tentu menjadi tawaran pameran menarik mengingat di daerah yang cukup gersang ini ada subkultur yang sanggup bertahan dan gigih bersuara.
nah! kesemua program telah direncanakan. karena hysteria sampai hari ini belum mempunyai pendanaan tetap, pelaksanaan program akan kami sampaikan di kemudian hari. bagi pihak-pihak yang merasa berkepentingan terhadap maju tmbuhnya komunitas-komunitas yang ada di Semarang, hysteria tidak pernah menolak sedikitpun bantuan dari kalian! tunjukkanlah kalau kita memang peduli. semoga rencana-rencana kami terlaksana. amin
exhibition: Play On!
PLAY-ON : memories of traditional toys
sebuah event pameran yang mengangkat tema tentang kenangan akan mainan dan permainan tradisional nusantara yang saat ini semakin tergeser posisinya ditengah-tengah banjir mainan impor.
Mewarnai Local-Urban Toys
Rabu,29 Desember 2010, 09.00-19.00
di Grobak A(r)t Kost
Pembukaan Pameran
Rabu,29 Desember 2010, 19.00-selesai
di Grobak A(r)t Kost
Diskusi dan Artist Talk
Kamis,30 Desember 2010, 19.00-selesai
di Grobak A(r)t Kost
Grobak A(r)t Kost,Stonen no.29 Sampangan Semarang
Pameran akan berlangsung sampai tanggal 2 Januari 2011
Dateng ya Kawan
Senin, 27 Desember 2010
Materi Toys
ini urban toys yang akan diwarnai sama2....
bahannya dari gipsum, modelnya ada 3 kayak difoto.tiap peserta dapet 1 toys aja.panitia nyediain cat warna putih,item,merah,kuning,biru.panitia juga menyediakan kertas buat corat-coret, serta kuas.
bagi kawan-kawan yang sudah daftar, jika memiliki kuas bagus mohon dibawa. jangan lupa pula sediakan pensil dan palet/ tempat untuk mencampur cat. bagi yang ingin menambahkan material lain seperti cat semprot, bolpoint, spidol, dsb silahkan dibawa aja........
bagi yang belum daftar, buruan daftar, peserta terbatas!
cp : galih, 085641150987
Senin, 20 Desember 2010
mewarnai samasama local urban toys!
PLAY-ON EXHIBITION : memories of traditional toys
sebuah event pameran yang mengangkat tema tentang kenangan akan mainan dan permainan tradisional nusantara yang saat ini semakin tergeser posisinya ditengah-tengah banjir mainan impor.
untuk meramaikan event PLAY-ON, kami mengadakan kegiatan mewarnai sama-sama local-urban toys. apa itu local-urban toys?yaitu urban toys yang akan diwarnai/ dilukis sesuka kamu dengan tidak melupakan budaya lokal/ tradisional sebagai landasannya.
kegiatan ini akan dimulai tanggal 29 desember 2010, di Grobak a(r)t kost, jl.stonen no.29 Sampangan Semarang. mulai jam 09.00 - selesai
Pendaftaran tanggal 20-27 desember 2010 via sms di no.085641150987(galih). biaya pendaftaran rp.10.000 dengan fasilitas toys, kuas, cat, konsumsi.
Karya yang kawan-kawan bikin akan kami pamerkan dan boleh dibawa pulang setelah pameran. lalu, tunggu apa lagi...buruan daftar!(peserta terbatas lho....)
event ini terselenggara atas kerjasama :
seni rupa unnes, karamba art movement, hysteria, grobak a(r)t kost, himpunan mahasiswa seni rupa unnes
bisa dicek juga di www.adinhysteria.blogspot.com
Minggu, 12 Desember 2010
Kredo KEcil PEnyair Kecil #20
kredo kecil penyair kecil memasuki putaran 20. tidak terasa sudah hampir dua tahun forum ini konsisten. barangkali ini adalah KKPK yang terakhir dengan konsep yang sama. ke depan akan ada perubahan format KKPK. apakah forum ini efektif atau tidak dan bagaimana perkembanganya ke depan? sumbangsih gagasan teman-teman kami nantikan demi terciptanya forum yang lebih spesifik, intensif, terukur dan dapat dilihat progresivitasnya jadi biar nggak terjebak pada aktivisme yang kontraproduktif. salam!
Jumat, 10 Desember 2010
hampir terbit buletin hysteria 77!
Mencari Tawaran Baru Dari Realisme Kreatif*
Oleh: Adin**
Membaca tulisan A.S Dharta, saya diingatkan pada warisan besar aliran sastra abad 20 yang selama ini sayup-sayup terdengar: Realisme Sosialis. Suara-suara penerbitan seluruh persekongkolan orde baru tentusa saja banyak menutup akses pengetahuan yang semasa Soeharto berkuasa ini dilarang. Realisme sosilalis tertimbun oleh suara pemenang tunggal paska persitiwa ’65. Perdebatan-perdebatan konseptual dan pencarian apa itu sebenarnya realisme sosialis serta seni bertendens tidak berlanjut lagi. Paska kemenangan itu setau saya dalam sejarah pembabakan sastra yang ditulis Harry Aveling lebih didominasi oleh pencarian-pencarian capaian estetika yang mengejutkan. Sedangkan slogan seni yang bertujuan perlahan-lahan terkubur. Meski pada tahun-tahun berikutnya Rendra muncul dengan sajak pamphlet, dan tidak mengidentifikasikannya sebagai seni bertendens setidaknya pemertanyaan apa fungsi seni lahir kembali dalam bentuk lain. Disusul kemudian sastra konteksutalnya Ariel Heryanto dan sajak-sajak protesnya Wiji Tukul menjelang reformasi 1998. Setelah itu berteriak-teriak sekeras Wiji Tukul kurang menarik lagi bagi generasi seangkatan saya. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pembacaan saya terhadap karya-karya anak muda dan pada kecenderungan karya-karya saya sendiri.
Membaca AS Dharta, telinga saya rasanya diingatkan kembali apa sih sebenarnya kontrbusi seni dalam kehidupan bermasyarakat? Dapatkan seni menjadi nyala revolusi kesadaran manusia dan berbuat sedemikian idealis seperti yang didengung-dengungkan AS Dharta beserta deretan pendukungnya dalam Lekra? Pada beberapa segi kadang saya merasa geli dengan semua utopia yang digaung-gaungkan AS Dharta, kok bisa ya dulu seperti itu? Walaupun euforia paska kemerdekaan tidak bisa terhindarkan. Semua orang dalam semangat revolusi dan semua ingin mengambil bagian. Pada saat itu sebagaimana kita ketahui ada dua arus besar yang terbelah. Antara para pendukung seni untuk seni dan seni bertujuan. Dua-duanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dlam mempengaruhi arus sastra Indonesia. Sayangnya perdebatan semacam itu hari ini kurang mendapat perhatian yang lebih lagi. Saya pikir yang perlu diketahui banyak adalah warisan-warisan ide mengenai realisme sosialis pada generasi sekarang inilah yang perlu diperbanyak. Eka Kurniawan pernah menyerukan hal ini, yakni membongkar ulang warisan Pramoedya Ananta Toer: realisme sosialis. Pram dengan tetralogi Burunya berhasil menyajikan sebuah ceita yang tida hanya subtil tetapi juga menginspirasi.
Kembali pada persoalan seni untuk rakyat, pada hakikatnya saya berjarak dengan semua polemik di atas. Bukulah satu-satunya yang mendekatkan saya dengan polemik tahun-tahun pra ’65. Betapa dalam buku ini bisa kita temukan gagasan-gagasan yang menarik menyangkut hal ihwal kesusastraan dan seni. Namun ma tidak mau tesis-tesis AS Dharta akan sangat lain jika kita bicarakan dalam konteks kekinian. Runtuhnya partai komunis Indonesia, bubarnya USSR, revisi mazhab Frankfurt pada gagasan Marx dan yang terakhir tafsir ulang Mao Tse Tung terhadap Marxisme dalam konteks perkembangan China kekinian. Banyak hal yang telah berubah dan suara-suara sumbang yang dipropagandakan kapitalisme mengenai komunisme telah sedemikian merasuk dan diwariskan dari generasi ke generasi. Belum lagi waktu membuktikan negera adidaya semacam Amerika mampu bertahan sesuai dengan tesis Francis Fukuyama. Kesemua hal itu tentu saja akan banyak merubah hal ihwal pandangan optimistis bahkan cenderung utopisnya AS. Dharta. Namun demikian bukan berarti kita tidak bisa apa-apa lagi, apalagi selama penghisapan berwujud korporasi besar transnasional masih berlanjut dan era kaliptalisme lanjut baru saja dimulai. Ah..saya jadi malu memasukkan jargon-jargon besar itu dalam esai ini. Namun harus diakui bahwa menakar ulang marxisme yang menjadi akar bagi realisme sosialis hari ini mendapatkan ujian yang cukup besar. Apalagi benturan antar kelas tidak pernah benar-benar terjadi dalam era kekinian dalam skala yang luas.
Berbicara panjang lebar mengenai gagasan-gagasan di atas barangkali akan melebar kemana-mana dan saya akan semakin kesulitan untuk mempertangungjawabkan istilah dan jargon-jargon. Maka dari itu tulisan ini saya batasi pada asumsi, resepsi, dan kesan-kesan saya selama pembacaan.
Ada lima pembabakan dalam esai yang terangkum buku Kepada Seniman Universal ini. Masing-masing bab berisi sub bab yang memicarakan tema-tema dalam bab utama. Bab pertama esai dibuka dengan tema besar ‘Menuju Realisme Sosialis’. Dalam bab ini AS Dharta berusaha menegaskan kredonya mengkampanyekan seni bertendens dan mengambil sikap terhadap para seniman Gelanggang yang salah satunya dipelopori Chairi Anwar. Jelas sekali pandangan-pandangan AS Dharta penuh dengan optimistis untuk menyongsong revolusi dan mengkritik anasir kontrarevolusiner yang dipandegani seniman gelanggang. Lebih lagi ketika muncul surat kepercayaan gelanggang. Saya teringat sesi wawancara Achdiat Kartamihardja dalam Harian Kompas mengenai latar belakang Lekra terbentuk yakni kekhawatiran pada para seniman yang tidak mempunyai ketegasan sikap. Misalnya pada waktu itu Chairil Anwar menulis untuk majalah Belanda sedangkan kita tahu masa-masa itu paska agresi militer Belanda ke 2. Sikap yang belakangan juga dicela HB. Jassin ini mau tidak mau menambah kekhawatiran bahwa sikap seni untuk seni dijadikan alat untuk lari dari semangat zaman itu. Tentu saja Chairil tidak menjadi satu-satunya alasan hanya saja ada perbedaan orientasi yang jelas antara seniman yang terwadahi dalam Lekra dengan seniman Gelanggang. Di kemudian hari konflik ini meruncing pada sastrawan manikebu dan Lekra. Jadi persoalan hal itu menurut saya tidak hanya bersifat estetis saja melainkan juga penegasan sikap politik juga.
Kehidupan Kultural menjadi judul bab kedua. Dalam bab ini dijelaskan sikap AS Dharta terkait hubungan dengan isu-isu kebudayaan pada umumnya.. baik itu menyangkut budaya sunda, kongres kebudayaan bahkan tontonan rakyat. Lekra dalam hal ini menjadi salah satu organisasi yang maju dan mempunyai strategis kebudayaan yang cukup jelas.terus terang saya tidak tau persis apakah pada tahun-tahun itu kesenian telah diorganisir sedemikian rupa sebagai bagian dari strategi cultural, namun melihat fenomena hari ini dengan banyaknya organisasi yang bergerak di bidang seni yang masih kacau manajerialnya, Lekra terus memompa organisasinya untuk selangkah lebih maju pada tahunnya!
Pada bab menilai dan menjawab kritik, disebutkan capaian sastra realisme sosialis masih banyak yang mempertanyakan perihal capaian estetiknya. Banyak yang menuduh bahwa Lekra hanya berisi sajak-sajak jargon meski belakangan muncul teks-teks kuat dari Agam Wispi, Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Dan mereka adalah para pengarang yang memeluk realisme sosialis dalam proses berkarya. Tentu saja menjadi tuduhan tidak berdasar jika realisme sosialis menjadi alasan lahirnya karya-karya sampah. Siapa yang tidak kenal Tolstoy dan Maxim Gorky yang menjadi dewa yang dipuja orang karena kebagusan karyanya. Teks mereka masih dibicarakan orang hingga sekarang. Jadi seperti yang ditegaskan AS Dharta, realisme sosialis belumlah selesai. Kalaupun ada karya jelek itu karena masih butuh proses karena yang terpenting adalah kesatuan antara isi dan bentuk. Dan bukan hal yang mudah memang.
Bagi Dharta keberpihakan kepada rakyat menjadi kunci utama dalam gerakan sastra realisme sosialis (Dharta lebih suka menamainya realisme kreatif). Hal itu dicontohkannya dalam bab kesusastraan dunia dimana ia lebih banyak mengambil nama-nama tokoh sastra dunia yang berpihak pada komunisme. Tentu saja ditengah carut marut aturan perpolitikan negeri kita jargon-jargon untuk rakyat yang paling sering dan sangat berkepentingan adalah para pejabat ataupun orang-orang parpol. Saya sendiri jadi masygul dengan bersastra kita bisa merubah banyak hal. Namun saya sependapat dengan Adorno yang menyatakan bahwa seni bisa digunakan untuk membangun kesadaran. Dari kesadaran itulah diharapkan timbulnya aksi.
Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan banyak medium jika gagasan saya tidak terwakili medium tertentu. Namun demikian tentu saya berharap banyak diskusi kali ini akan lebih banyak membuka cakrawala saya dan kita semua terhadap berbagai kemungkinan yang masih bisa ditawarkan realisme kreatifnya AS Dharta.
* esai pendek ini ditulis untuk bedah buku Kepada Seniman Universal di Lembang Pring Jombang, 21 november 2010
** penulis masih bergiat di organisasi hysteria Semarang