Oleh: Adin**
Membaca tulisan A.S Dharta, saya diingatkan pada warisan besar aliran sastra abad 20 yang selama ini sayup-sayup terdengar: Realisme Sosialis. Suara-suara penerbitan seluruh persekongkolan orde baru tentusa saja banyak menutup akses pengetahuan yang semasa Soeharto berkuasa ini dilarang. Realisme sosilalis tertimbun oleh suara pemenang tunggal paska persitiwa ’65. Perdebatan-perdebatan konseptual dan pencarian apa itu sebenarnya realisme sosialis serta seni bertendens tidak berlanjut lagi. Paska kemenangan itu setau saya dalam sejarah pembabakan sastra yang ditulis Harry Aveling lebih didominasi oleh pencarian-pencarian capaian estetika yang mengejutkan. Sedangkan slogan seni yang bertujuan perlahan-lahan terkubur. Meski pada tahun-tahun berikutnya Rendra muncul dengan sajak pamphlet, dan tidak mengidentifikasikannya sebagai seni bertendens setidaknya pemertanyaan apa fungsi seni lahir kembali dalam bentuk lain. Disusul kemudian sastra konteksutalnya Ariel Heryanto dan sajak-sajak protesnya Wiji Tukul menjelang reformasi 1998. Setelah itu berteriak-teriak sekeras Wiji Tukul kurang menarik lagi bagi generasi seangkatan saya. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pembacaan saya terhadap karya-karya anak muda dan pada kecenderungan karya-karya saya sendiri.
Membaca AS Dharta, telinga saya rasanya diingatkan kembali apa sih sebenarnya kontrbusi seni dalam kehidupan bermasyarakat? Dapatkan seni menjadi nyala revolusi kesadaran manusia dan berbuat sedemikian idealis seperti yang didengung-dengungkan AS Dharta beserta deretan pendukungnya dalam Lekra? Pada beberapa segi kadang saya merasa geli dengan semua utopia yang digaung-gaungkan AS Dharta, kok bisa ya dulu seperti itu? Walaupun euforia paska kemerdekaan tidak bisa terhindarkan. Semua orang dalam semangat revolusi dan semua ingin mengambil bagian. Pada saat itu sebagaimana kita ketahui ada dua arus besar yang terbelah. Antara para pendukung seni untuk seni dan seni bertujuan. Dua-duanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dlam mempengaruhi arus sastra Indonesia. Sayangnya perdebatan semacam itu hari ini kurang mendapat perhatian yang lebih lagi. Saya pikir yang perlu diketahui banyak adalah warisan-warisan ide mengenai realisme sosialis pada generasi sekarang inilah yang perlu diperbanyak. Eka Kurniawan pernah menyerukan hal ini, yakni membongkar ulang warisan Pramoedya Ananta Toer: realisme sosialis. Pram dengan tetralogi Burunya berhasil menyajikan sebuah ceita yang tida hanya subtil tetapi juga menginspirasi.
Kembali pada persoalan seni untuk rakyat, pada hakikatnya saya berjarak dengan semua polemik di atas. Bukulah satu-satunya yang mendekatkan saya dengan polemik tahun-tahun pra ’65. Betapa dalam buku ini bisa kita temukan gagasan-gagasan yang menarik menyangkut hal ihwal kesusastraan dan seni. Namun ma tidak mau tesis-tesis AS Dharta akan sangat lain jika kita bicarakan dalam konteks kekinian. Runtuhnya partai komunis Indonesia, bubarnya USSR, revisi mazhab Frankfurt pada gagasan Marx dan yang terakhir tafsir ulang Mao Tse Tung terhadap Marxisme dalam konteks perkembangan China kekinian. Banyak hal yang telah berubah dan suara-suara sumbang yang dipropagandakan kapitalisme mengenai komunisme telah sedemikian merasuk dan diwariskan dari generasi ke generasi. Belum lagi waktu membuktikan negera adidaya semacam Amerika mampu bertahan sesuai dengan tesis Francis Fukuyama. Kesemua hal itu tentu saja akan banyak merubah hal ihwal pandangan optimistis bahkan cenderung utopisnya AS. Dharta. Namun demikian bukan berarti kita tidak bisa apa-apa lagi, apalagi selama penghisapan berwujud korporasi besar transnasional masih berlanjut dan era kaliptalisme lanjut baru saja dimulai. Ah..saya jadi malu memasukkan jargon-jargon besar itu dalam esai ini. Namun harus diakui bahwa menakar ulang marxisme yang menjadi akar bagi realisme sosialis hari ini mendapatkan ujian yang cukup besar. Apalagi benturan antar kelas tidak pernah benar-benar terjadi dalam era kekinian dalam skala yang luas.
Berbicara panjang lebar mengenai gagasan-gagasan di atas barangkali akan melebar kemana-mana dan saya akan semakin kesulitan untuk mempertangungjawabkan istilah dan jargon-jargon. Maka dari itu tulisan ini saya batasi pada asumsi, resepsi, dan kesan-kesan saya selama pembacaan.
Ada lima pembabakan dalam esai yang terangkum buku Kepada Seniman Universal ini. Masing-masing bab berisi sub bab yang memicarakan tema-tema dalam bab utama. Bab pertama esai dibuka dengan tema besar ‘Menuju Realisme Sosialis’. Dalam bab ini AS Dharta berusaha menegaskan kredonya mengkampanyekan seni bertendens dan mengambil sikap terhadap para seniman Gelanggang yang salah satunya dipelopori Chairi Anwar. Jelas sekali pandangan-pandangan AS Dharta penuh dengan optimistis untuk menyongsong revolusi dan mengkritik anasir kontrarevolusiner yang dipandegani seniman gelanggang. Lebih lagi ketika muncul surat kepercayaan gelanggang. Saya teringat sesi wawancara Achdiat Kartamihardja dalam Harian Kompas mengenai latar belakang Lekra terbentuk yakni kekhawatiran pada para seniman yang tidak mempunyai ketegasan sikap. Misalnya pada waktu itu Chairil Anwar menulis untuk majalah Belanda sedangkan kita tahu masa-masa itu paska agresi militer Belanda ke 2. Sikap yang belakangan juga dicela HB. Jassin ini mau tidak mau menambah kekhawatiran bahwa sikap seni untuk seni dijadikan alat untuk lari dari semangat zaman itu. Tentu saja Chairil tidak menjadi satu-satunya alasan hanya saja ada perbedaan orientasi yang jelas antara seniman yang terwadahi dalam Lekra dengan seniman Gelanggang. Di kemudian hari konflik ini meruncing pada sastrawan manikebu dan Lekra. Jadi persoalan hal itu menurut saya tidak hanya bersifat estetis saja melainkan juga penegasan sikap politik juga.
Kehidupan Kultural menjadi judul bab kedua. Dalam bab ini dijelaskan sikap AS Dharta terkait hubungan dengan isu-isu kebudayaan pada umumnya.. baik itu menyangkut budaya sunda, kongres kebudayaan bahkan tontonan rakyat. Lekra dalam hal ini menjadi salah satu organisasi yang maju dan mempunyai strategis kebudayaan yang cukup jelas.terus terang saya tidak tau persis apakah pada tahun-tahun itu kesenian telah diorganisir sedemikian rupa sebagai bagian dari strategi cultural, namun melihat fenomena hari ini dengan banyaknya organisasi yang bergerak di bidang seni yang masih kacau manajerialnya, Lekra terus memompa organisasinya untuk selangkah lebih maju pada tahunnya!
Pada bab menilai dan menjawab kritik, disebutkan capaian sastra realisme sosialis masih banyak yang mempertanyakan perihal capaian estetiknya. Banyak yang menuduh bahwa Lekra hanya berisi sajak-sajak jargon meski belakangan muncul teks-teks kuat dari Agam Wispi, Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Dan mereka adalah para pengarang yang memeluk realisme sosialis dalam proses berkarya. Tentu saja menjadi tuduhan tidak berdasar jika realisme sosialis menjadi alasan lahirnya karya-karya sampah. Siapa yang tidak kenal Tolstoy dan Maxim Gorky yang menjadi dewa yang dipuja orang karena kebagusan karyanya. Teks mereka masih dibicarakan orang hingga sekarang. Jadi seperti yang ditegaskan AS Dharta, realisme sosialis belumlah selesai. Kalaupun ada karya jelek itu karena masih butuh proses karena yang terpenting adalah kesatuan antara isi dan bentuk. Dan bukan hal yang mudah memang.
Bagi Dharta keberpihakan kepada rakyat menjadi kunci utama dalam gerakan sastra realisme sosialis (Dharta lebih suka menamainya realisme kreatif). Hal itu dicontohkannya dalam bab kesusastraan dunia dimana ia lebih banyak mengambil nama-nama tokoh sastra dunia yang berpihak pada komunisme. Tentu saja ditengah carut marut aturan perpolitikan negeri kita jargon-jargon untuk rakyat yang paling sering dan sangat berkepentingan adalah para pejabat ataupun orang-orang parpol. Saya sendiri jadi masygul dengan bersastra kita bisa merubah banyak hal. Namun saya sependapat dengan Adorno yang menyatakan bahwa seni bisa digunakan untuk membangun kesadaran. Dari kesadaran itulah diharapkan timbulnya aksi.
Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan banyak medium jika gagasan saya tidak terwakili medium tertentu. Namun demikian tentu saya berharap banyak diskusi kali ini akan lebih banyak membuka cakrawala saya dan kita semua terhadap berbagai kemungkinan yang masih bisa ditawarkan realisme kreatifnya AS Dharta.
* esai pendek ini ditulis untuk bedah buku Kepada Seniman Universal di Lembang Pring Jombang, 21 november 2010
** penulis masih bergiat di organisasi hysteria Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar