Kamis, 24 Juni 2010

Membaca Amerika lewat Talladega



Oleh: Adin


Yang bergunalah yang benar! Dan kebenaran pada hakikatnya tidak terletak di luar dirinya sendiri melainkan manusialah yang mendefinikan kebenaran melalui tindakannya yang berguna. Yap. Bisa dikatakan pandangan di atas menjadi inti bagi filsafat pragmatism. Filsafat yang dikenalkan William James (1842-1910) di benua Amerika ini sepertinya cocok sekali untuk menjawab industrialisasi yang pada saat itu melanda seluruh dunia. Meskipun belakangan pola pikir pragmatis dikecam banyak kalangan karena kebanyakan orientasi nilainya berupa hal-hal material namun diakui atau tidak lahirnya filsafat ini dilakukan untuk menjawab tantangan zaman dan relevan. Seolah menemukan inti sari dari nilai-nilai yang ada di masyarakat sebagaimana penggalian Bung Karno terhadap Pancasila, Pragmatisme yang dipopulerkan William James pada saat itu dianggap representative bagi bangsa Amerika dan menjadi pandangan hidup mayoritas. Buktinya tidak banyak aliran filsafat lain, misalnya Marxisme, yang tumbuh subur di negeri yang sekarang ini presidennya berkulit hitam.

Bangsa Amerika membutuhkan sesuatu yang riil dan tentu saja berguna pada saat ini dan sekarang ini. Bukan idea-idea Platonian yang kadang tidak membumi tetapi sesuatu yang dekat dengan keseharian dan bisa dinikmati sekarang juga.

Banyak filsuf atau penikmat kajian budaya yang menganalisis fenomena perbedaan pola piker ini yang dapat ditelusuri pada tradisi intelektual orang –orang Amerika. Meskipun warga Amerika kebanyakan pendatang dan membawa tradisi intelektual dari wilayah masing-masing, tetapi tetap saja Amerika telah berhasil merumuskan filsafatnya yang khas. Yang berbeda dengan di Eropa, misalnya. Bahkan Umberto Eco pun merasa perlu untuk mengkajinya.

Perbedaan paradigm ini dapat kita lacak pada banyak hal. Salah satunya film. Saya teringat satu film kocak berjudul Talladega Night. Film yang berkisah tentang balap mobil Nascar ini merupakan film humor yang kalau kita mau mengkajinya serius akan Nampak bagaimana persoalan-persoalan konseptual mengada secara cair. Dialog-dialog maupun adegannya secara tidak langung seakan mau menunjukkan pada kita bahwa ini Amerika bung..

Talladega Night (TL) berkisah mengenai kehidupan Ricky Boby anak seorang pembalap amatir yang kemudian menjadi raja di arena balap. Bukan karena latihan keras namun karena ia mengikuti nalurinya, yakni menjadi yang tercepat. Kemenangan-kemenangan dengan mudah diraih Ricky Boby sampai akhirnya ia bertema pembalap F1 homo bernama Jean Girard. Jean yang membalap sampil minum kopi Macchiato dan terkadang membaca karya Albert Camus lalu menjadi mimpi buruk Ricky. Kemenangan, ketenaran, bahkan istrinya lepas dari genggaman. Tentu saja kejadian di atas tidak terjdi secara melankolis. Karena ini film komedi beberapa kegetiran yang terjadi malah kadang menjadi olok-olok. Seperti kita tahu F1 lebih didominasi oleh pembalap Eropa dan Nascar lebih ke Amerika. Kalau mau cermat dapatlah kita temukan karakteristik antara F1 dan Nascar yang menarik. Bahkan dari pembacaan itu dapatlah kita temukan bagaimana keduanya mempunyai karakteristik yang khas dan sesuai dengan paradigma kedua benua tersebut. Namun tulisan ini tidak akan banyak mengulas hal itu.

Amerika pada awalnya menjadi tanah harapan bagi banyak orang. Ketiadaan budaya asli Amerika (kecuali suku Indian yang perlahan-lahan musnah) hampir-hampir Amerika tidak memiliki budaya asli. Hal itu dapat ditangkap dari perdebatan Girard dengan Ricky perihal asal mula Pizza, Chimichanga bahkan oral seks! Girard sebagai representasi orang Prancis (Eropa) seolah hendak merendahkan bangsa yang tidak mempunyai orisinalitas ini. Ketidakaslian dan ketidakpunyaan akar budaya yang jelas inilah yang terkadang dijadikan olok-olok. Semua yang dipunyai Amerika adalah tiruan yang pada hakikatnya tidak ada yang tahu tiruan ini representasi dari apa. Tidak ada orisinalitas, yang ada hanya meniru dan celakanya tidak ada yang tahu sebenarnya yang ditiru apa (simulacra). Tetapi Girard lupa bahwasanya ketiadaan akar jelas ini membuat bangsa Amerika kaya. Dan sebagai penakluk daratan yang seolah tidak bertuan mereka lalu mempunyai musuh yang jelas: alam. Di alam yang liar segalanya mudah terjadi, lagipula pada saat itu selain ancaman dari Indian Amerika bertanah gersang namun kaya emas. Alasan besar mengapa orang-orang pindah ke benua itu.

Di alam naluri lebih diutamakan daripada berpikir. Yang dihadapi adalah sekarang dan hari ini. Jika hari tidak ada makanan besok pasti mati. Maka segala yang dilakukan harus berdasar nilai guna dan sesuai naluri. Maka terasa rasionallah ucapan manajer Ricky ketika ia dalam keadaan drop karena kalah “Ricky bobby bukan pemikir, tapi pengemudi. Kau tak perlu berpikir, tapi mengemudi, kau butuh kecepatan”. Kecepatan! Itulah poinnya. Di abad yang berlari (meminjam istilah Afrizal Malna) ini yang dibutuhkan adalah kecepatan dan naluri untuk hidup. Kecepatan diperlukan supaya tidak tertinggal dan untuk menjadi nomor satu. Kegilaan terhadap kemenangan dan menjadi nomor satu inilah barangkali yang menjadi kesadaran bersama warga Amerika. Maka wajar saja banyak superhero (terlalu banyak bahkan) yang lahir di tanah ini.

Pada akhirnya Jean Girard pun bisa ditaklukkan. Tetapi bukan dalam adegan adu balap. Nampaknya sang sutradara tidak ingin memperlihatkan ejekan terusterangnya pada F1. Girard dikalahkah pada balap lari sesaat setelah kedua mobil mereka terguling parah. Tampak sekali di situ bagaimana respon keduanya terhadap kejadian yang tidak mereka duga. Ricky lebih dulu merespons sedang Girard Nampak belum menyadarinya. Ia berpikir dulu baru merespons. Hidup di alam liar tentu saja yang akan bertahan adalah yang mengasah nalurinya, seakan itula yang hendak dikatakan film ini. Dan memang pada kenyataannya pada kebudayaan popular yang bisa bertahan adalah yang bisa bersegera meresponsnya dengan baik. Nampaknya itu pula yang diinginkan masyarakat industrial pada era kapitalisme lanjut. Serba cepat, instan, dan kepekaan membaca situasi. Namun nampaknya sampai pada adegan terakhir film ini belum cukup pede untuk mengolok-olok perbedaan cara piker antara Eropa dan Amerika. Nyatanya pada bagian lain sebelum layar benar-benar gelap ada petikan adegan yang menggambarkan sang nenek Ricky bercerita pada cucu-cucunya. Di situ ada karya William Faulkner, salah satu pengarang besar Amerika yang banyak mempengaruhi banyak pengarang di dunia, yang dibacakan sang nenek. Seolah hendak mengatakan ini lho kami juga mempunyai pemikir dan pengarang hebat serta membuktikan bahwa film yang sangat konyol ini dibuat bukan orang sembarangan! Kalau dipikir adegan ini malah malah mengurangi daya satire yang dibangun sejak awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar