Minggu, 20 Juni 2010

Nama

oleh: Adin

Memberi nama merupakan aktivitas identifikasi. Mempersempit jarak dan membuat sesuatu yang pada awalnya asing menjadi terkesan familiar. Ada penaklukan pada yang asing itu kepada ruang pengetahuan kita. Objek itu menjadi dikuasai, dibuat jinak, dan membuat perasaan kita menjadi tenang. Jadi tesis Shakespears tentang ‘apalah arti sebuah nama’ berkait dengan kerangka berpikir seperti di atas dimentahkan.
Kita mengenal adanya UFO (Unidentified Flying Object). Pada dasarnya UFO itu sendiri merupakan objek yang tidak bernama. Namun karena adanya penamaan itu, objek yang menakutkan, karena tidak di bawah pengetahuan kita itu, menjadi terkesan akrab.
Nama menjadi sesuatu yang sangat penting kaitannya tidak saja dengan proses pengenalan tetapi juga menyingkap struktur siapakah yang memegang kekuasaan, pengendali pengetahuan: nama-nama. Pada kehidupan pribadi kita seringkali dijumpai penggantian nama jalan maupun tempat. Penggantian nama tersebut hanya menjadi hak bagi pemegang regulasi. Entah itu dengan kepentingan politis ataupun sekedar penanda bagi eksistensi dirinya. Dan kuasa menandai sekali lagi adalah kuasa yang hanya dipegang pada otoritas pemaknaan. Tidak jarang nama-nama yang dianggap mempunyai raport merah dan dianggap mengganggu stabilitas dihapus dari sejarah. Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Pramoedya, Tan Malaka, dan masih banyak lagi pernah menduduki sejarah kelam untuk tidak dianggap, dilupakan. Padahal penghargaan untuk mereka harusnya sebanding dengan perjuangan dan dedikasi mereka selama hidupnya.
Mengingat betapa pentingnya nama tidak heran jika dalam mitos Watugunung hari-hari juga mempunyai nama. Saking pentingnya tradisi memberi nama dalam banyak kepercayaan leluhur kita juga diperingati secara sakral. Tidak jarang untuk menamai sesuatu diperlukan tapa (meditasi, khalwat, laku) terlebih dahulu.
Pada hakikatnya bertapa merupakan aktivitas kontemplatif. Kaitannya dengan ritual yang masih berhubungan dengan yang transenden, bertapa merupakan sarana untuk mendekatkan diri kita pada yang sublim. Kosong namun penuh. Pada bertapa, tubuh dinomorduakan untuk mencapai derajat lebih tinggi. Dalam hal ini tentu saja kita akan menjumpai pandangan klasik Plato tentang dualisme jiwa dan badan. Itu artinya pemberian nama terhadap sesuatu bukanlah hal yang sepele.
Nama juga berarti doa dan harapan. Setiap orang tua tentu saja menginginkan anaknya bernasib mujur. Untuk itulah nama-nama seperti Untung, Bejo, Slamet, Sugeng bertebaran dalam khasanah Jawa. Namun demikian tidak semua orang dalam kepercayaan Jawa mempunyai hak untuk menyandang nama bagus. Di snilah dapat dilihat bahwa pada aktivitas penamaan dapat terjadi juga diskriminasi. Anak seorang buruh tani tidak boleh sama dengan nama para bangsawan. Pengukuhan ini selain sebagi pembeda antara ‘kami’ dengan ‘mereka’ juga dimaksudkan untuk pembeda status yang kelak akan menetukan posisi sosialnya. Ironisnya lagi hal ini diperkukuh dengan mitos sebagai kuasa magis penjaga keberlangsungan struktur yang diskriminatif tersebut.
Saya pernah mendengar ada bayi yang meninggal karena kabotan jeneng (keberatan nama, menanggung nama yang bukan haknya). Ada awalnya bayi tersebut sakit-sakitan lalu atas nasihat tetua bayi itu haru diganti nama untuk membuang sengkala (sial) yang barangkali mendekam di tubuh bayi itu atau di nama yang disandangnya. Nama yang sukup berat tidak akan diterima oleh tubuh yangmemang tidak kuat menanggung takdir nama tersebut. Saya termasuk salah satu bayi yang pernah menangung mitos itu. Nama saya dulu sering berganti-ganti suapya kesialan tidak terus menerus menimpa saya. Konon tubuh saya dulu seirng sakit-sakitan.
Bukti nama yang dianggap doa dan faktor keberuntungan tidak berhenti di situ saja. Untuk mendapat hoki tidak jarang artis-artis mengganti nama kecilnya. Tradisi tersebut bukannya tidak berakar. Pada mitos-mitos pewayangan satu tokoh bisa mempunyai banyak nama. Misalnya Sena sebagai salah satu penyokong Pandawa mempunyai nama dewasa Werkudara dan ketika lolos dari Bale Sigala-gala ia mengganti namanya menjadi Jagal Abilawa. Jabang Tetuka anak Wekudara ketika telah digodok di Kawah Candradimuka menggati namanya menjadi Gatutkaca, tetapi tetap saja ia bernasib tragis! Barangkali untuk itulah beberapa pengarang kita berkepentingan mengganti namanya. Selain untuk gagah-gagahan barangkali juga penanda awal transformasi mereka. Jadi nama, penamaan, menjadi bernama bukanlah proses yang sederhana. Pada proses-proses tersebut dapatlah kita telusuri banyak hal. Pada akhirnya saya ingin bertanya, siapakah kamu? siapakah namamu? Dan kalau ditarik lebih jauh apa harapan orang tuamu dengan namamu? apakah takdir yang disandang oleh namamu? dan oleh apa serta siapa dirimu dinamai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar