Selasa, 17 Agustus 2010

Bisakah Manusia Dipercaya?


oleh: Adin

Homo homini lupus, manusia adalah srigala bagi sesamanya (Thomas Hobbes)

Beranjak dari pendapat di ataslah kiranya diperlukan adanya sistem yang meregulasi antar manusia supaya sifat kebinatangan kita dapat direduksi sampai pada tahap 'jinak'. Dan barangkali berdasar itu juga Machievelli yang dalam tulisannya sering tidak mempercayai manusia menulis Il Principle untuk menegakkan sendi-sendi kekuasaan. bagi dia manusia merupakan makhluk yang tidak tahu berterima kasih, plin-plan, penipu dan pembohong, takut menghadapi bahaya dan rakus mencari keuntungan. untuk itulah ketakutan diperlukan sebagai syarat ditaatinya sebuah peraturan.

Yap, tesis di atas seolah memberi penegasan bahwasanya sifat dasar manusia adalah binatang. Atau dalam istilah arabnya hayawanun natiq (hewan yang berbicara). Untuk itu adanya peraturan bersama berdasar konsensus didukung aparatur penjaga nilai-nilai itulah negara mendapatkan pembenaran eksistensinya. 'Hewan yang berbicara' ini untuk meminimalisir dorongan id berlebihnya haruslah didisiplinkan melalui aturan-aturan ketat. Individu yang tidak tunduk pada sistem nilai ini tentu saja akan dicap sebagai 'yang lain', pembangkang, tidak wajar dan dikucilkan. Ia berhak untuk dihukum untuk meredam terjadinya simpang siur nilai yang ditawarkan. Pada sistem yang menganut asas tunggal, menjadi berbeda adalah cacat. Tentu saja kalau kita masih hidup dalam zaman Adolf Hitler, individu cacat semacam ini sangat cocok masuk dalam kamp konsentrasi. Perbedaan bukan lagi dianggap sebagai rahmat. Perbedaan akan mengacaukan kesatuan nilai.

Merenungkan hal-hal di atas saya jadi teringat sebuah film yang berjudul V For Vendetta. Film yang diangkat dari novel grafis karya Alan Moore ini bercerita tentang keadaan kota London pada tahun 1997 yang dipimpin oleh penguasa fasis bernama Adam Suttler. Semboyan partai yang didengungkan ke mana-mana adalah "Strength through unity, unity through faith” kekuatan didapat dari kesatuan, kesatuan didapat melalui keyakinan. Maka semua hal yang berbeda dapat dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Kehendak untuk meregulasi warga negaranya sehingga menjadi individu-individu yang patuh, taat, dan diarahkan ini barangkali mempunyai ide dasar seperti yang dicetuskan Hobbes. Namun benarkah kehidupan menjadi lebih baik setelah semua hal diatur sedemikian rupa? ternyata tidak. Penduduk Inggris Raya harus hidup dalam ketakutan terhadap negaranya sendiri, tidak ada gairah karena segala hal yang berkaitan dengan emosi diberangus. Emosi seringkali tidak stabil, jadi bisa meruntuhkan hal-hal yang telah tertata sedemikian rupa. Implikasinya karya seni yang dianggap bisa membangkitkan emosi harus diberangus juga. Sedangkan perbedaan yang akan mengancam kesatuan juga tidak mendapat tempat.

Kekuasaan yang dibangun atas dasar rasa takut ini akhirnya diruntuhkan oleh seseorang yang bernama V. Satu-satunya yang selamat dari percobaan Larkhill. V memakai cara-cara teroris untuk meruntuhkan wibawa negara. Pada awalnya ia menghancurkan penjara kriminal yang ada di kota itu pada tanggal 5 november. Tanggal itu sendiri dipilih karena V ingin mengenang perbuatan Guy Fawkes pada abad 17 yang hendak menghancurkan gedung parlemen tetapi berhasil digagalkan. Teror yang dipakai oleh V bahkan menghalalkan segala cara, termasuk di dalamnya membunuh sebanyak mungkin jika diperlukan. Kalau kita mau menengok ke belakang, pembenaran Alan Moore sebagai pengarang dapat ditemukan akar pikirannya pada tokoh anarki, yaitu Mikhail Bakunin.

Perlahan-lahan mimpi V untuk mewujudkan masyarakat tanpa negara, sebagai ide dasar gerakan anarki, akhirnya terlaksana. Melalui aksi teror sebagai peruntuh kepercayaan publik terhadap pemerintahan sah dan pembunuhan tokoh-tokoh penting pemegang kekuasaan masyarakat akhirnya menemukan momentum keberaniannya untuk menyatakan pendapat dan merdeka dari rasa takut. Memang ada hal-hal substansial yang terlewatkan sebagaimana sering ditulis oleh kritikus film ini. Jika dibandingkan dengan novel grafisnya, cara-cara V nampak lebih realistis ketimbang sentuhan akhir versi filmnya di mana tiba-tiba semua orang serta merta memiliki kesadaran ala V. Ada tahap berjenjang yang digambarkan dalam versi novel ketika masyarakat ingin hidup tanpa negara. Ketiadaan otoritas negara seperti yang dimimpikan oleh kaum anarkis bukanlah keadaan yang serta merta bebas-sebebasnya. Tetapi kebebasan yang bertanggungjawab di mana tiap individu mempunyai kesadaran akan hukum yang telah menyatu dalam hidupnya.

Kembali lagi pada homini lupus, akankah utopia semacam ini akan tercapai di tengah kehidupan yang semakin kompleks dan ketiadaan jaminan hukum kecuali kesadaran masing-masing individunya? jika sifat dasar manusia adalah binatang bukankah akan sangat berbahaya jika tidak disiplinkan?

tentu saja keadaan ini bukanlah yang menjadi tujuan akhir dari anarkisme. Bukan chaos (kekacauan) melainkan anarki berkesadaran.

Namun sampai di sini saya masih sulit untuk membayangkan keadaan masyarakat tanpa negara. Bukannya saya mengamini Hobes dan tidak mempercayai kekuatan individu. Pada masyarakat yang lebih primitif saya pikir hal ini barnagkali dapat berlaku. Tetapi di era sekarang? saya meragukannya. Yang lebih saya sorot adalah interaksi antara individu dan massa, masyarakat dan negara, keunikan di dalam sistem bernorma tunggal.

Bagaimanapun bagi saya bernegara tetap menjadi pilihan yang lebih realistis. Seperti halnya Muhammad Iqbal, negara tetap diperlukan tetapi bukan sebagai penguasaan yang satu atas yang lain serta reduksi besar-besaran terhadap individu-individu di dalamnya. Negara adalah fasilitator, alat, dan bukan tujuan. Individu-individu di dalam negara tidak seharusnya direduksi. Sistem bukanlah liang kubur bagi keunikan individual. Negara beserta sistemnya haruslah mengakomodasi keunikan warga negaranya sehingga kualitas hidup dapat dicapai.

Sistem yang baik adalah sistem yang dinamis, dan menjadi warga negara yang baik adalah warga negara yang mampu menego sistem dan melakukan perubahan jika terbukti bahwa sistemnya memang usang. Jadi selalu ada dialektika antara sistem dan keunikan-keunikan individual. Sehingga hukum tidak terjebak pada paradigma hitam putih, positif negatif yang ujung-ujungnya mengandaikan adanya benturan apokaliptik di mana akan dimenangkan satu pihak. Dan pola pikir apokaliptik demikian inilah yang harus dikaji ulang dalam era multikultur ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar