Kamis, 02 September 2010

Rekontekstualisasi Sedekah Bumi


Oleh: Adin

Beberapa bulan belakangan ini desa-desa kecil yang berada di wilayah kabupaten Rembang terlibat hiruk-pikuk perihal penyelenggaraan acara sedekah bumi. Sebut saja misalnya desa-desa di wilayah kecamatan Kaliori, Sumber maupun kecamatan-kecamatan lain. Sedekah bumi sendiri, yang di beberapa tempat lain dikenal dengan istilah merti bumi, merupakan perayaan tahunan yang digelar dalam rangka syukuran atas hasil panen dan penghargaan terhadap bumi (baca tanah) yang menumbuhkan serta mengubur banyak hal. Dengan pembiayaan ditanggung desa penyelenggara dan diadakan setahun sekali membuat event ini ditunggu banyak orang. Berbagai acara turut menyemarakkan perhelatan ini sebut saja misalnya ketoprak, langen beksan (tayub/ joget/ ronggeng), wayang kulit semalam suntuk, dangdutan campursari hingga pengajian umum. Lebih semarak lagi terkadang di sela-sela acara utama terdapat perlombaan-perlombaan dari yang remeh-temeh macam makan krupuk hingga sepakbola, voli, pacuan kuda bahkan cross road. Tentu saja tidak semua desa menyuguhkan acara-acara itu. Besarnya pesta desa ini ditentukan berdasarkan kesepakatan warga desa untuk membayar iuran. Semakin meriah pestanya semakin banggalah desa yang menyelenggarakan. Dalam hal ini sedekah bumi telah menjadi identitas suatu desa.
Di luar berbagai macam sajian pertunjukan hal yang paling krusial dalam ritual sedekah bumi adalah pemberian sesaji yang biasanya diletakkan di tempat yang dipercaya keramat. Biasanya berupa pohon besar maupun makam leluhur pendiri desa. Sesaji berupa kembang tujuh warna ayam utuh, kemenyan dan lain-lain. Sesaji ini semua disesuaikan dengan tradisi setempat. Karena menurut kepercayaan orang tidak semua desa mempunyai tradisi yang sama. Ada desa-desa yang mewajibkan suatu pementasan tertentu, misalnya tayub atau ronggeng. Jika hal itu tidak dipenuhi desa yang bersangkutan akan terkena kesialan. Ada juga desa yang melarang pertunjukan wayang kulit atau ketoprak dengan membawa lakon tertentu. Aturan-aturan itu tentu saja diciptakan berdasarkan kepercayaan setempat.

Sedekah bumi sebagai ritual purba

Pada awalnya saya menduga bahwa pemberian sesaji ini ditujukan kepada Dewi Sri. Dan ternyata pada desa tertentu, misalnya di Sekararum yang terletak di kecamatan Sumber, sesaji lebih ditujukan para leluhur yang konon bersemayam pada kepunden. Kalau ditilik lebih lanjut jenis kepercayaan inilah yang tertua di nusantara. Sayangnya kepercayaan semacam ini seringkali diartikan sebagai syirik lantas harus disucikan padahal kalau mau membuka diri keercayaan pada benda-benda maupun roh merupakan wujud penyelarasan terhadap alam. Di situ ada mitos-mitos yang diartikan secara mistis sebagai sistem nilai yang menjaga keseimbangan. Kepercayaan ini, yang menurut Tanto Mendut, perlahan-lahan terkikis padahal kata beliau animisme dan dinamisme dalam konteks kekinian dapatlah diartikan sebagai penghargaan terhadap ekosistem dan arkeologi purba.
Saya yakin pendesain sedekah bumi pada masa terdahulu adalah orang-orang sakti (baca intelektual, terpelajar, orang bijak) yang mana tentu mereka pasti ‘membaca’ sehingga sedekah bumi menjadi kontekstual. Sayangnya kontekstualitas ini sepertinya tidak bisa dipertahankan. Lihat saja penyelenggaraan sedekah bumi yang dilaksanakan tanpa peduli waktunya pas atau tidak. Musim telah berubah akibat pemansan global maupun kerusakan alam lain. Musim hujan dan kemarau susah diperkirakan, tidak seperti dahulu. Namun penyelenggaraan acara ini tetap memakai penanggalan lama. Akan lebih baik misalnya jika kelak ada pemrakarasa intelektual yang memahami kondisi sosiologis masyarakat yang memberi ide-ide pencerahan terhadap ritual ini. Karena bukan tidak mungkin event ini bisa dipergunakan untuk menyuarakan banyak hal misalnya isu lingkungan, urbanitas dan semacamnya. Ada kecenderungan di kalangan anak muda tidak menyukai pekerjaan di daerahnya masing-masing mereka lebih suka merantau ke kota. Barangkali permasalahan ini dapat diangkat juga serta dampak sosial apa yang terjadi di daerah yang anak mudanya merantau.
Dan semestinya juga sedekah bumi bisa dijadikan ajang warga untuk mengaktualisasikan dirinya. Tidak hanya menyelenggarakan tontonan yang kesemuanya itu dipesan dari desa lain. Sayangnya dari kebanyakan daerah yang pernah saya kunjungi di Rembang kebanyakan menjadi semacam organisator para seniman yang tampil. Istilahnya ‘tanggapan’ laiknya sebuah perhelatan mantu sang tuan rumah tidak perlu unjuk gigi cukup membayar penampil dan tuan rumah beserta tamu menikmati suguhan itu. Itu sah-sah saja namun akan lebih baik jika yang diberdayakan adalah anggota masayarakatnya. Jadi merti bumi bisa menjadi usaha tersederhana warga dalam mencerna estetika menurut pemahaman masing-masing. Seringkali ekspresi rakyat terpinggirkan oleh banyak hal misalnya berita-berita politik dan gegap gempita siaran televisi. Dari sini akan dapat dilihat tubuh sosial apakah yang terdera di masyarakat kita melalui ekspresi seninya.

Namun selain keluhan di atas ini tidak bisa dipungkiri pula bahwasanya merti bumi telah menjadi sarana ampuh untuk menguatkan tali silaturahmi antar warga. Meskipun kebanyakan acara seringkali diadakan tidak mengguankan disiplin manajerial modern namun acara ini tetap semarak. Dan sepertinya kelak perlu ada orang-orang yang tergerak untuk memperbarui sistem nilai dalam tradisi ini ini jika tidak ingin merti bumi adatu sedekah bumi terjebak pada profanisasi yang marak belakangan atau ditiadakan karena dianggap bid’ah dan menyesatkan!

*foto diambil dari google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar