Selasa, 17 Mei 2011

Klinik dan Rumah Jeruk; Kegilaan yang Menggetarkan


: Adin
Sebuah catatan penting untuk pertunjukan yang penting

Anggap saja kita tidak saling kenal, aku di sastra, kamu di teater, si B di seni rupa konseptual, si C di musik gak populer, si D di tari yang bukan proyek dan lain-lain. Kita tidak saling tertarik. Satu-satunya yang mempertemukan kita adalah kita ini sub kultur yang tumbuh di ruang sosial yang tidak memihak. Tidak memihak artinya keadaan sosio kultur yang memang tidak mempunyai daya dorong kita untuk bertahan. Di ruang sosial yang tidak memihak ini kita ternyata juga tidak saling peduli. semua bergerak sendiri-sendiri dan merasa hebat dengan capaian masing-masing. Beberapa kawan merasa lelah karena disorientasi dan tidak tahu lagi mau ngapain setelah ini. Masing-masing dari kita merasa sendirian dan tidak dipedulikan. Kita benar-benar capek.. Minim apresiasi dan gak pernah mau tahu. Kita tidak menyadari semua itu bahkan ketika satu persatu teman kita berhenti. Kita baru sadar ketika kita juga kelelahan dan terlambat. Dan celakanya siklus ini terulang terus menerus..siapa yang kita salahkan atas ketidakpedulian ini? pemerintah yang tidak peduli? masyarakat yang acuh? Kawan-kawan kita sendiri yang tidak mau tahu? Dan celakanya kita tidak pernah mempunyai data untuk menganalisis kesalahan kita sendiri yang kelak bisa diwarisi generasi mendatang supaya tidak terjebak pada lubang yang sama. Masa depan adalah hari ini yang penuh kegagalan tanpa usaha untuk lebih baik. Hanya mengulang siklus kematian yang sama. Dan begitulah yang aku rasakan selama di kota lunpia ini. Apa kamu merasa demikian? Syukurlah kalau tidak. Setidaknya pikiran cerewet ini tidak turut serta membebani dirimu.

Zombie-zombie Pagi Hari..project pertama Klinik dan Rumah Jeruk yang didedikasikan dalam rangka pembubaran komunitas Hysteria adalah salah satu upaya dalam seni pertunjukan untuk mengkritik hubungan manusia yang semakin reifikatif. Kita hanya sekumpulan benda yang dipertemukan karena nilai guna. Manusia semakin teralienasi dari hidupnya sendiri. Terlalu sibuk dengan diri sendiri dan tidak peduli dengan nilai-nilai yang lebih luas.

Zombie-zombie pagi hari juga sebah pertunjukan yang menggambarkan secara dramatis ilustrasi pada paragraf pertama yang sangat panjang di atas. Ilustrasi kehidupan berkesenian di Semarang yang acuh tak acuh dan tidak mau tahu. Bahkan untuk sekedar mendukung kegilaan mereka dalam melakukan eksplorasi artistik.

Pertunjukan dibuka pada tanggal 02 Maret 2011 pada pukul 20.00 dengan ditonton cukup enam orang dengan seorang berperan sebagai pemborong tiket. Sekedar informasi ini adalah pertunjukan pertama kali di Grobak A(r)t Kos yang bertiket. Satu tiket dipatok seharga Rp. 10.000,- dengan acuan jika tiket terjual minimal 5 pertunjukan akan dimainkan sesuai jadwal. Toleransi keterlambatan hanya diberikan hingga 15 menit terhitung dari dimulainya jam pertunjukan yang tertera di pamflet. Di luar kedua target itu pertunjukan akan dibatalkan dengan berbagai konsekuensinya. Ruang tamu Hysteria disulap sedemikian rupa. Sulur-sulur dari benang terpasang memenuhi sepanjang atap dengan di ujung sulur terdapat lukisan-lukisan dalam kertas kecil-kecil yang dibuat oleh Bayu Tambeng. Tata lampupun (oleh Viki dan Galih) dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian bisa dibilang meski terkesan sederhana ini adalah pertunjukan yang tidak sekedar main-main.

Hari pertama 6 penonton rupanya memacu libido semua aktor untuk bermain total. Pertunjukan dibuka oleh nyanyian yang dibawakan oleh Bayu Tambeng. Tidak jelas betul memang keterkaitan antara pilihan lagu dan tema yang diusung kelompok eksperimental ini. Musik digunakan untuk membantu terciptanya suasana. Adegan kedua yakni pertemuan dua sejoli (diperankan oleh Umam dan Erna) yang sedang berteduh di hujan salju. Mereka berkenalan dan segera tertarik satu sama lain. Karakter khas kota yang semuanya serba instan. mendadak saja pada babak selanjutnya muncul satu mahluk berkepala monster dan cewek bertopeng berpesta sampai lelah dan segera saja mereka mendapatkan nada-nada kebosanan pada rutinitas setelah keduanya terlibat dalam percakapan. Hentakan musik Smash ikut menyeruak ketika muncul lima orang dengan kostum yang aneh pula berjoged-joged sampai puas. Di akhir kisah, seorang aktor muncul dengan membawa pencerahan ala MLM memberikan motivasi pada penonton. Dan tiba-tiba saja setelah lampu dimatikan sebentar motivator ini (diperankan oleh Umam, dengan demikian Umam berganti peran sebanyak 3 kali) berbusa mulutnya dan terkapar.

Bisa dikatakan pertunjukan dilangsungkan secara santai dan ringan. Pergantian babak juga berlangsung sangat sederhana. Bahkan untuk keperluan artistik pertunjukan ini tidak segan-segan menggunakan orang lain masuk dalam panggung untuk sekedar membuat hujan salju. Kipas angin digunakan secara mencolok untuk mendukung efek angin. Bagi beberapa yang menyepakati standar-standar pementasan yang serius saya yakin akan ada pendapat yang mengatakan bahwa Klinik dan Rumah Jeruk ini sangat main-main. Saya sendiri selaku figuran menganggap bahwa ini memang main-main. Namun bukan berarti tidak serius. Justru permainan ini memang dibutuhkan untuk memecah rutinitas yang membuat manusia terjebak pada hubungan nilai guna semata. Konsep reifikasi yang dipopulerkan George Lukacs rupa-rupanya menjadi titik kritik akan konsdisi manusia yang makin terasingkan. Apalagi dalam kondisi kehidupan kesenian di Semarang. Hal-hal eksperimentatif semacam ini jarang sekali mendapat tempat. Dan memang menurut pengakuan Umam (konseptor pertunjukan) berkesenian di Semarang harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan psikologis masyarakatnya. Karakter Semarang cenderung tidak berkarakter, dan iklim mencari kerja ‘normal’ lebih dominan jika dibandingkan dengan iklim yang ada di kota-kota yang lebih maju infrastrukturnya. Tidak heran dalam beberapa kali pertunjukan yang dikonseptori Umam ini mengedepankan aspek visual, cair, main-main, lucu-lucuan, instan, heboh namun terkadang juga kritis. Pada prinsipnya sebuah pertunjukan harus disesuaikan dengan kebutuhan para pemainnya sendiri setelah itu baru kebutuhan penonton. Jelas dalam pertunjukan Zombie-zombie Pagi Hari konsep manusia sebagai homo ludens (mahluk yang bermain) dikedepankan. Sesuai dengan pengakuan mereka bahwa ide dasar tema ini adalah tulisan pendek Pinky yang mengeluh rerotnya menjadi ‘robot’. Dan idealnya permainan ini bisa melepaskan mereka dari rutinitas yang robotik!

Yang kemudian membuat saya heran dan mau gak mau tergetar adalah konsistensi mereka untuk menggelar 5 hari pertunjukan berturut-turut. Sebuah pilihan yang barangkali tidak akan pernah diambil oleh para pelaku seni pertunjukan di Semarang. Paling banter kelompok teater di Semarang memainkan pertunjukan yang sama hanya dalam tempo 2 hari saja. Dan Klinik dan Rumah Jeruk mengambil resiko kehilangan penonton! Maka itulah yang terjadi. Meminjam istilah Afrizal: Teater tanpa penonton. Secara substansial pertunjukan tidak ada yang berubah, hanya beberapa tampilan visual yang dalam segi-segi tertentu berubah.

Baiklah saya akan menceritakan hal yang menurut saya penting terkait pertunjukan ini. Pada hari kedua penonton hanya berjumlah empat orang. Karena target tiket tidak mencukupi para penonton mau tidak mau harus menutup pembelian satu tiket lagi untuk memenuhi kuota. Mereka urunan dan Klinik dan Rumah Jeruk akhirnya main hanya disaksikan empat penonton, dan mereka total dalam permainan itu!
Pada hari ketiga jumlah penonton cukup menggembirakan ada 12 orang dan salah satu penonton (Hery Priyono ) membooking pembelian tiket dari hari ketiga hingga terakhir. Artinya dia memborong tiket untuk memenuhi kuota.
Nah baru pada hari ke empat pemain gelisah karena hingga pukul 20.14 belum ada penonton yang datang. Artinya kalau lewat satu menit lagi berarti pertunjukan dibatalkan. Meskipun tiket telah dibooking pada hari selanjutnya, tentu tidak lucu kalau tidak ada penonton satupun. Akhirnya dengan ketawa-tawa pertunjukan dibatalkan sesuai kesepakatan antar pemain meskipun pada pkul 20.20 ada sekitar 6 orang datang untuk melihat pertunjukan. Klinik dan Rumah Jeruk menolak mereka dengan halus. Pertunjukan benar-benar batal!
Pada hari terakhir ruang tamu Hysteria diisi 6 orang dan pertunjukan kembali dilangsungkan dengan beberapa pengadeganan para pemain sudah kedodoran karena kecapekan barangkali.
Bagi saya melihat fenomena ini merupakan kegilaan. Bagaimana tidak gila mereka tetap memutuskan bermain dan setia pada komitmen awal. Sebuah kegilaan yang lagi-lagi menggetarkan hati saya dan membuat saya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apa yang mereka cari dalam semua keterbatasan ini? Kegilaan yang barangkali diperlukan dan bisa menjadi model bagi idealnya sebuah kepala yang keras untuk bersetia dan konsisten di Semarang. Kegilaan yang langka. Dan mereka punya! Tentu saja semoga setelah pertunjukan yang sangat melelahkan ini tidak lantas membuat mereka capek.
Sekali lagi respect pada Klinik dan Rumah Jeruk! Kami menunggu project-projectmu berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar