Sabtu, 18 Juni 2011

Nyawiji Ing Tari, Menunggu Lahirnya Koreografer Tari Muda di Semarang*


Adin**

Tiap pertunjukan sudah barang tentu merupakan representasi dari gagasan sang seniman mengenai persoalan-persoalan yang menjadi perhatiannya pada saat itu. Jadi bisa dikatakan pertunjukan adalah perpanjangan gagasan yang meruang melalui persitiwa: peristiwa pertunjukan. Gagasan yang baik belum tentu selalu bisa dieksekusi dengan baik, tetapi pertunjukan yang baik selalu dan selalu mencerminkan gagasan yang baik pula, setidaknya gagasan artistik. Dengan demikian hasil akhir dari pertunjukan tentu saja peristiwa pertunjukan yang baik sehingga dari peristiwa itu meninggalkan kesan, keterpukauan, bahkan memantik tafsir yang beragam. Itulah oleh-oleh dari peristiwa pertunjukan yang barangkali bisa ditawarkan pada penonton. Para penonton merasa puas, sekali waktu bisa merasakan katarsis seperti Aristoteles, dan mengolahnya lagi menjadi ‘teater kedua’ (merujuk pada Afizal Malna) yang mengayakannya dalam memberi makna pada hidup.

Lantas bagaimanakah pertunjukan yang diniatkan untuk merespons suatu peristiwa aktual namun ternyata malah gagal menunjukkan bangunan gagasan yang runtut? Sudah barang tentu pertunjukan itu menjadi cacat dengan sendirinya. Bangunan indah itu runtuh oleh gagasan yang dibangun secara sepotong-sepotong dan tidak membentuk wacana yang padat. Begitulah yang kurasakan ketika melihat pementasan tari Nyawiji ing Tari yang digelar di ruang B6 FBS Unnes, 16 Juni lalu. Bisa dikatakan para koreografer ini menunjukkan pementasan yang layak tonton namun mempunyai cacat bawaan berupa gagasan awal yang tidak padu. Akan sangat lain jika misalnya panitia tidak menyediakan katalog pendek dan berusaha menjelas-jelaskan peristiwa apa yang berusaha direspons para penari. Nyatanya katalog itu menjadi pintu masuk untuk memaknai sekaligus membatasi dan celakanya pula katalog itu jugalah yang mereduksi esensi pertunjukan. Sebagai penonton yang seolah-olah menjadi kertas putih dan tanpa beban referensial saya berusaha untuk memasuki pertunjukan itu dengan lugu. Namun ‘berkat’ katalog itulah saya memasuki pintu tertentu yang mau tidak mau menjadi rujukan bagi pemaknaan saya ketika menonton repertoar tari.

Secara tematik, berdasar pengakuan para penarinya sendiri tema besar dari Nyawiji ing Tari ini adalah konservasi. Tidak dijelaskan lebih detil konservasi apa yang dimaksud, yang pasti tema ini adalah bagian dari kampanye Unnes sebagai universitas konservasi. Alhasil repertoar tari tahunan mahasiswa Unnes yang biasanya tanpa tema spesifik menjadi terbatasi oleh tema besar ini. Hampir keseluruhan penampil akhirnya menyiasati pertunjukan mereka dan berusaha membingkai gagasan mereka dengan satu tema tunggal: konservasi. Apapun bentuk yang disajikan berusaha dikait-kaitkan dengan upaya konservasi, minimal konservasi budaya. Yang pasti dari awal seertinya memang tidak ada landasan kuratorial jelas yang menjadi acuan pada mahasiswa/ mahasisiwi ini. Hasilnya adalah beberapa pertunjukan nampak patuh pada tema, sedang yang lain dipaksa-paksakan memasuki tema besar itu.

Kesenjangan Bingkai Kuratorial dengan Implementasi Gagasan

Repertoar pertama berjudul ‘Manggala Rini’ berkisah mengenai para perempuan perkasa yang bangkit melawan penjajahan Belanda. Perempuan yang identik dengan 3M (Masak, Macak, dan Manak: memasak, bersolek, dan fungsi reproduksi) tiba-tiba menjadi manusia –manusia garang yang menentang kekuatan imperialisme. Saya tidak bisa berkata banyak mengenai pertunjukan ini karena secara kualitas cukup memadai dan multitafsir. Perlawanan terhadap Belanda, sebuah tema yang sekarang ini tidak lagi up to date, tapi para penari ini berani mengusungnya. Sebuah tawaran tema yang menarik. Para penari mampu memperlakukan tubuhnya sebagai instalasi dalam beberapa kali adegan. Sungguh saya tidak heran, saya pernah melihat bentuk-bentuk semacam ini misalnya dalam tari- tari yang diusung kelompok Kesenian Jawa Undip, atau garapan-garapan Mas Paminto. Didukung oleh para pemusik profesional menjadikan pertunjukan ini semakin rancak. Mungkin kekurangan yang mencolok adalah penggarap pertunjukan ini yang notebene bukan anak kuliahan. Saya tidak menyebut bahwa Unnes gagal mengkader koreografer muda, tapi lemahnya aturan yang digunakan untuk mendukung penciptaan kader muda ini bagaimanapun adalah kelemahan pentas tahunan ini. Akan lebih menarik misalnya jika para koreografernya berasal dari kalangan mahasiswa sendiri. Dan pada repertoar pertama ini secara kualitas pertunjukan saya merasa terhibur meski kebingunan mencari relasi antara tema konservasi dan bangkitnya perlawanan terhadap Belanda yang diusung perempuan serta anak kecil.

Repertoar pertama hampir senada dengan yang terakhir. Bahkan pada karya ‘Fajar Di Bumi Hastinapura’ bisa dikatakan sebagai satu-satunya pertunjukan yang paling ribet, dalam urusan setting, pencahayaan dan kompleksitas musik pengiring. Pertunjukannya dikelola oleh orang-orang Ngesti Pandowo yang profesional. Sebuah repertoar cantik, langgam Ngesti, namun sekali lagi bukan garapan mahasiswa Unnes sendiri. Atau barangkali Unnes tidak berminat mencetak koreografernya sendiri? Atau ini hanya masalah waktu saja?
‘Fajar di bumi Hastinapura’ mau tidak mau mengantar saya pada peristiwa perang saudara di padang kuru. Dari sinopsis yang saya dapat saya tidak mendapat gambaran yang jelas mengenai petilan kisah siapa yang berusaha disajikan. Ada adegan yang identik dengan perang kembang dengan kemenangan di pihak denawa namun akhirnya setelah kelahiran bayi yang tidak jelas juga denawa yang berlaku pimpinan dikeroyok oleh bangsanya sendiri. Sungguh saya benar-benar bingung, bukankah dari dulu para denawa ini meskipun jahat termasuk golongan yang punya loyalitas tinggi terhadap korpsnya? Kenapa mereka amuk massal dan mengkudeta pemimpinnya sendiri? Lalu kaitannya dengan konservasi?
Tentu saya tidak menyalahkan para penari yang bersungguh-sungguh berproses, sekian jam latihan hampir tiap hari dan mengeluarkan kocek pribadi demi terlaksananya pertunjukan ini. Mereka luar biasa gigih. Namun sepertinya ketiadaan bingkai kuratorial yang jelas dan sistem yang mendukung lahirnya koreografer a la Unnes lah yang menyebabkan kekurangan-kekurangan ini merembes ke mana-mana.


Peran Pembimbing

Saya menduga para pembimbing ini kurang serius dalam memantau kerunutan gagasan para penari. Hal itu tampak jelas sekali dalam karya kedua ‘The Dance of Intruduce’. Adegan awal diisi oleh tari-tarian yang menunjukkan kekayaan seni yang dimiliki Indonesia. Scene berikutnya berupa petilan berita yang berisi pengklaiman Malaysia terhadap seni-seni Indonesia, lalu masuknya para dancer yang barangkali sebagai simbolisasi masuknya budaya asing, dan yang terakhir pertarungan keduanya yang dimenangkan tradisi. Saya bisa menangkap apa yang dimaksudkan mereka. Tapi sekali lagi bukankah gagasan benturan antara tradisi dan modernitas adalah tema yang usang? Lebih lagi solusi atas masalah mereka ditunjukkan dengan pertarungan antara keduanya. Ini merupakah stereotipe masyarakat kita dalam memandang tradisi dalam ranah hari ini. Masa lalu hadir sebagai artefak yang harus diuri-uri, dilestarikan, dijaga kesakralannya, sedangkan modernitas adalah ancaman serius bagi lokalitas. Keduanya saling meniadakan, bukan menegosiasi! Pola pikir semacam inilah yang membuat tradisi semakin asing dan sulit dipahami oleh generasi hari ini. Jika tari adalah perpanjangan gagasan dan intelektualitas, bisa dikatakan iman yang mereka amini sangat jadul dan berbahaya. Seni seperti yang pernah dikatakan Adorno (salah satu penganut mazhab frankfurt) tentu saja tidak bisa melakukan perubahan. Tetapi seni bisa digunakan sebagai jembatan kesadaran dan dari situ akan ada yang namanya revolusi berpikir untuk kemudian menuju revolusi sesungguhnya. Dari akar gagasannya saja karya ini sudah tidak relevan lagi, sikap eksklusivitas tradisi memandang modernitas terbukti semakin tidak populer. Anak-anak muda jaman sekarang cenderung menyukai yang mudah, ringan, eye catching, dan semacam itu. Tradisi yang tidak merevisi dirinya sendiri lambat laun akan ditinggalkan dan tidak mampu menjawab perubahan. Sekali lagi jika tari adalah perpanjangan gagasan, maka gagasan ini mungkin akan kontradiktif dengan tema awal pagelaran ini: konservasi.


Mengapa hal ini terjadi? Mau tidak mau sekali saya pertanyakan para pembimbingnya (mengingat ini adalah pentas presentasi mata kuliah). Sejauh apa mereka mentransformasikan gagasan bahwa tari tidak pernah sekedar tari. Tari adalah ideologi!

“Ketika mesin-mesin kendaraan bermotor mulai tercipta, manusia semakin mudah dalam menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari dan membuat arak semakin tidak berarti, dampak dari terciptanya mesin-mesin dan kendaraan bermotor tersebut dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai profesi. Dampak yang ditimbulkan diantaranya adalah.....akhirnya kini mereka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari...”

Paragraf di atas adalah kalimat yang tertera di katalog sebagai pengantar pertunjukan ketiga, ‘Pit’. Konon ini adalah salah satu pertunjukan yang koreografernya adalah mahasiswa sendiri. Sebuah pilihan beresiko dan butuh nyali tentunya. Karya ‘Pit’ secara garis besar hendak bercerita seperti yang dituturkan dalam sinopsis. Namun gara-gara sinopsis itulah terjadi generalisasi gagasan mengenai ‘kini mereka menggunakan sepeda’ sebagai solusi atas pemanasan global. ‘mereka’ dalam pemahaman saya atas teks di atas merujuk pada masyarakat. Lalu benarkah masyarakat ‘akhirnya kini mereka menggunakan sepeda’? sebagaimana kita tahu benar bahwasanya penggunaan sepeda bisa mengurangi pencemaran, toh yang mereka tawarkan sebenarnya adalah alternatif. Bukan gambaran perubahan perilaku masyarakat secara keseluruhan. Sungguh jika saya tidak membaca sinopsis saya bisa menerima ini sebagai tawaran gagasan, semacam lifestyle yang lagi in. Tapi cacat bawaan sinopsis ini sangat-sangat mengganggu saya. Ia meruntuhkan bangunan gagasan yang hendak dipresentasikan kelompok ketiga ini.
Ada hal – hal menarik yang saya jadikan catatan dalam pertunjukan ini. Pertama ini merupakan karya sendiri, hal ini menjadi nilai lebih. Sebetapapun lemahnya konsep mereka tapi mereka mempunyai kepercayaan diri yang luar biasa untuk mengusung karya sendiri. Sebuah modal awal untuk menjadi seniman sesungguhnya. Dan nyatanya hasilnya tidaklah mengecewakan. Yang kedua penggunaan langgam banyuwangian dalam tembang-tembang mereka menjadikan pilihan sebagai anomali atas kelompok lain. Ketiga kelompok lebih padat mengusung Jawa kidulan, sedangkan kelompok ini membawa nilai-nilai banyuwangian. Tidak jelas memang apa relasi antara banyuwangi dan sepeda. Saya menganggap ini adalah sebagai strategi identitas. Menggunakan pembeda untuk mudah ditandai. Sebuah strategi yang menarik. Sayangnya totalitas pengerjaan karya mendapat kekurangan di bagian kostum. Teatrikalisasi adegan cukup menarik, namun kostum yang kurang maksimal membuat pertunjukan ini sedikit terganggu.
Dari keempat pertunjukan ini tentu saja masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun Unnes adalah satu-satunya universitas di Semarang yang mempunyai jurusan seni. Karena satu-satunya itulah mau tidak mau banyak yang berharap Unnes menelurkan seniman-seniman yang tidak hanya mengerjakan proyek (baca PY: mencari uang semata) tetapi juga mempunyai gagasan-gagasan bernas di bidang kreativitas tari. Kita juga tahu tidak adanya kelompok tari yang diusung di kota lunpia ini. Ketiadaan ini tentu saja bisa jadi peluang dan tentu juga ancaman. Tidak mudah memang membuat seseorang berinisiatif menjadi seniman. Itu semua adalah pilihan hidup dan kehendak hati. Tapi kondisi itu bisa diciptakan. Dan Unnes mempunyai peluang untuk mengkader mahasiswanya menjadi seniman yang profesional pula.

Dengan melihat ketidakrunutan gagasan antara bingkai kuratorial yang jelas dan pertunjukan yang dieksekusi, saya tidak berharap bahwa ini adalah cerminan kerangka berpikir para pengambil kebijakan di Unnes dalam bidang seni tari. Bagaimanapun saya merasa beruntung menyaksikan pertunjukan ini. Bisa sejenak melupakan rutinitas dan bertegur sapa dengan pelaku disiplin lain. Saya pribadi berharap pertunjukan ini tidak menjadi akhir dari kreatifitas mereka. Seringkali saya merasa cemburu dengan mereka yang berlimpah ruah fasilitas dan dibekali kemampuan teknis yang memadai namun seluruh karunia dan potensi ini disia-siakan karena ketidakberanian ke luar dari zona aman. Dan saya melihat: mereka sangat potensial, bersemangat, dan mau belajar. Tidak ada kata lain untuk mereka selain selamat dan saya menunggu karya kalian berikutnya.

* tulisan ini dibuat sebagai ulasan singkat dalam pertunjukan tari yang digelar di gedung B6 Unnes pada tanggal 16 Juni 2011.
** penulis menjabat sebagai Direktur Hysteria, yakni organisasi seni yang peduli terhadap perkembangan komunitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar