Minggu, 09 September 2012

Teks-teks yang Sedih namun tetap Optimis



oleh: Adin

Akan halnya Ikun SK, teks-teks Andy datang pada saya sudah sejak lama. Seperti ingatan yang cerewet ingin dihidup-hidupkan kembali, demikianlah Andy mengabsen saya tiap hari. “Adin yang baik apakah sudah selesai teks yang kamu tulis untukku,” katanya. Demikianlah ‘teror’ ini menghampiri saya tiap saat. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya matikan handphone untuk menghindari diabsen dia. Tapi begitulah, kawan yang baik tidak akan pernah berhenti untuk terus menyapa dan meneror meski kita acuhkan berkali-kali bukan?


Heran juga, saya yang belakangan ini mulai tidak bergairah lagi dengan kata-kata, seolah diseret oleh panggilan yang tidak masuk akal untuk bersuntuk-suntuk dengan teks lagi. Setidaknya jika tidak bersuntuk-suntuk, dipaksa untuk bersemangat oleh ajakan teman-teman yang sedang bersemangat. Tidak hanya para mahasiswa baru, tetapi juga kakak kelas saya yang mau tidak mau saya tidak bisa berkelit. Maka, saya kembali pada jalan ini untuk saat ini.
Ada dua buah antologi puisi yang disodorkan pada saya, yakni Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola, dan Iblis Imut sengaja saya pilih satu judul saja untuk saya tekuni. Antologi pertama memuat sajak-sajak Andy pada kurun waktu 2001-2008 sedangkan antologi kedua memuat sajak dalam kurun waktu 2007-2011. Pilihan saya untuk mengapresiasi antologi yang kedua, Ibliz Imut, didasari pada bacaan sepintas lalu yang secara tekstual lebih menarik daripada antologi pertama. Pertimbangan ini tidak berdasar kajian teks secara mendalam, tetapi pada kesan sepintas lalu saja.
Beberapa waktu yang lalu saya dihadapkan pada teks-teks rekan saya Galih Pandu Adi dan Timur Budi Raja, keduanya juga memaksa saya untuk menengok mereka melalui teks yang dianggitnya. Teks keduanya meski mengelaborasi kesunyian dan kadang kesedihan, tetap saja mempunyai perbedaan dalam bahasa ungkap. Pada keduanya, masih banyak saya temukan kesunyian dan kesedihan yang dikatakan dengan cara seperti kebanyakan penyair menulis tentang kedua tema tersebut. Berbeda dengan teks-teks Andy, penyair yang juga pegiat mime ini menulis kesunyian, lebih khusus lagi kesedihan dan memperlakukan kenangan dengan cara berbeda.
Kata Andy:

Ada sedih yang warnanya ungu, merah, jingga, nila. Ada sedih yang remaja dan dewasa, ada sedih ang cantik, sedih yang ganteng, sedih yang fotogenik dan ada sedih yang genitnya minta ampun. Ada juga sedih yang masih kanak-kanak, ingusnya meler-meler. Ia berlari telanjang bulat sambil menangis, ia dikejar ibunya disuruh mandi. Wah..pasti kamu senang melihatnya. Melihat kesedihan berlarian lincah kesana-kemari.

(dalam ‘Adhik jangan menangis lagi ya..’)

Kesedihan hadir dalam puisi-puisi lelaki yang bernama lengkap Andy Sri Wahyudi ini dengan ringan, enteng, tidak berlarat-larat, kadang lucu, namun tetap sedih dan optimis


Tapi orang-orang sedih karena punya perasaan, tapi kamu tetap cantik seperti pantai

(dalam ‘Ibliz Imut)

Begitulah, karena punya perasaan orang-orang punya alasan untuk sedih, tidak lantas berlarat-larat dalam perasaan sedih, aku lirik tetap memandang optimis karena dia punya orang yang dicintai sebagai objek keindahan.
Dalam sajak ‘Ibliz Imut’ Andy menggambarkan leukemia dengan cara yang menarik. Penyakit yang menakutkan dan sering merenggut nyawa orang, ditangannya disulap menjadi penyakit yang lucu dan bersahabat. Bukan dalam artian leukemia bernada positif, namun mengajak penderita untuk menerima nasibnya dan berdamai dengan hal ini. Ada dua cara untuk memperlakukan nasib, pertama menolaknya, yang kedua menerimanya. Sajak ‘Ibliz Imut’ adalah ajakan Andy untuk tidak sekedar menerimanya dan pasrah, tetapi lebih dari itu mengajak untuk memberi pemaknaan ulang pada penyakit mematikan ini.
Masih ada kesempatan untuk memilih bahagia! Dalam keadaan sesedih apapun, termasuk dirundung leukemia. Inilah keistimewaan Andy dalam memperlakukan kesedihan.
Saya cenderung sepakat dengan Satmoko Budi Santoso dalam endorsement nya yang mengatakan puisi-puisi Andy ditulis secara spontan. Dasar pengeditan tekspun bukan berdasar pada renungan mendalam untuk mencapai daya ungkap yang orisinal, namun salah jika kemudian menyederhanakan Andy sangat menganggap remeh bahasa. Dalam sajak ‘Sore Itu Aku Tak Menemukanmu’ misalnya Andy sama sekali tidak main-main. Tidak kita temui kat-kata semacam ngrumi, soklat, buatjingan, ampyun dan beberapa kata lagi yang membuat sajak-sajak Andy terkesan main-main.

Kesan lain yang saya tangkap, Andy hendak membuat bahasa menjadi miliknya sendiri meskipun jelas itu tidak mungkin karena sajak-sajaknya masih mengandaikan untuk dibaca orang, artinya ia tetap pada konvensi bahasa baik sintaksis maupun semantiknya. Namun usaha untuk membuat itu jadi khas Andy memang terasa, misalnya dalam penggantian kata coklat menjadi ‘soklat’, bersentuhan dengan ‘bersintuhan’ merupakan salah satu bukti usahanya.
Tidak seperti Roland Barthes yang menganjurkan matinya pengarang ketika teks lahir, saya justru sangat kesulitan membunuh Andy dalam tiap pembacaan sajak-sajaknya. Wajah Andy, perilaku yang menyebalkan, humornya yang aneh, dan tawaran persahabatannya yang lucu melulu hadir dan memaksa saya membaca teks-teks ini dengan menghadirkannya dalam imajinasi saya.
2007 lalu saya pertama kali berjumpa dengan penyair kelahiran Yogyakarta, 13 Desember 1980 saat mendapat kesempatan lokakarya penulisan buku program di Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola. Sejak saat itu kami intens menjalin kontak.
Beberapa puisinya juga secara sengaja ditujukan untuk nama-nama tertentu. Ini juga menjadi penyebab sulitnya saya menceraikan Andy dalam pembacaan saya. Saya sedang membayangkan Andy bertutur pada saya, Dab Joko Bibit, Gus Dur, Dwi Cipta, Indrian Kota, Joned, Whani Darmawan, Danarto dan banyak lagi sahabat-sahabatnya yang disebut satu persatu.
Pada Dab Joko Bibit misalnya aku lirik mengajak person yang disapanya sejenak bedamai dengan kebencian yang mengalir sederas arus mimpi, pada Gus Dur ia mengenangnya dengan jalan memutar. Tidak langsung spesifik menyapa Gus Dur, Andy lebih senang menceritakan Gus Dur melalui kisah yang dibangun bersama ibunya. Semua ini membuat saya mengimajinasikan Andy sebagai kawan yang ramah menyapa dan semakin saya bayangkan semakin basah pembacaan ini atas kehadirannya.


Namun demikian entah kenapa kejenakaan itu pelan-pelan lenyap pada sajak-sajak yang ditulis pada tahun 2011 an. Kalau diperhatikan sajak-sajak Andy berubah menjadi sajak ‘serius’ lagi. Mendadak saya kehilangan Andy yang lucu dan menyebalkan. Kenapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar