kantor IFA di Stuttgart |
Bagaimana ceritanyabisa ke Jerman? Pertanyaan ini sering ditanyakan teman-teman saat masih diSemarang. Kalau mau menjawab prosesnya ya sejak tahun 2007. Kalau singkatnya yakarena dapat informasi lalu rajin kulik internet. Dibilang mudah ya mudah,dibilang sulit ya sulit. Kilas balik tahun 2007, tahun-tahun ini adalah tahunpaling aku pengen membubarkan Hysteria, karena alasan-alasan klasik di semuakomunitas. Saat satu orang merasa paling keras kepala, yang lain setengah hati,kesibukan kuliah, pekerjaan, ketidakpastian masa depan dan lain-lain. Persoalan-persoalanstandar yang hinggap di kebanyakan teman-teman yang aktif berkomunitas atauberorganisasi.
Pada tahun yang samapula, aku mulai rajin berkenalan dengan orang-orang di luar Semarang. Biasanyabermodal terbitan Hysteria, rasa percaya diri, dan kadang-kadang rekomendasi.Namun lebih seringnya karena nekat. Tahun-tahun penuh ketakjuban pada kota-kotalain di luar Semarang. Melihat banyak contoh bahwa di kota-kota lain kelompok semacamkami ini bisa bertahan kenapa di Semarang tidak?
Embrio kesadaranuntuk terus belajar dan terpacu bermula dari situ. Pergaulan itu membuatkumengenal apa yang namanya residensi, biasanya peluang ini untuk para seniman,pekerja seni, atau semacam itu. Sebuah peluang untuk mengembangkan diri dikota, atau negara orang lain. Aku lalu mendaftar di Yayasan Kelola yang saatitu memberikan kesempatan magang nusantara. Ditolak.
Setahun berikutnyaaku melamar untuk magang di Indonesian Visual Art Archieve (IVAA) Yogyakarta. Sedikitaneh karena latar belakang pendidikanku adalah sastra Indonesia tapi magangnyadi lembaga visual. Di sana aku makin rajin bertandang dari satu kelompok kekelompok yang lain. Membangun pertemanan di antara mereka. Tak mudah padaawalnya karena rasa-rasanya seperti mahluk asing yang masuk ke dalam habitatyang sama sekali baru. Dibiarkan saat menyambangi kelompok sudah biasa, apalagidiremehkan, sering. Namun dasar keras kepala, aku tak begitu mempedulikanresepsi orang. Yang ada adalah tabrak terus dan memaksa mereka tak bisa menolakkehadiranku. Diterimakah pada akhirnya? Ah entahlah, yang pasti aku berusahasebaik mungkin menjalin pertemanan, diterima atau tidak diterima itu urusanbelakangan.
Tahun berikutnya takpatah arang aku mencoba lagi mendaftar Yayasan Kelola dan akhirnya di tahun2009 aku menjalani magang nusantara di Common Room, Bandung. Sejak itu akumakin yakin, peluang ada, namun harus rajin dan gigih mencarinya, pun peluangke luar negeri. Pengalaman di Yogyakarta menjadi manajer biennale Jogja ke 11tahun 2011 memberi pengalaman yang berharga bagiku. Tak semulus yang diharapkanmemang, tapi begitulah, orang-orang selalu mencari jalannya sendiri untukbelajar. Pun aku. Kesempatan yang diberikan Mbak Neni, direktur Biennale Jogja11 aku manfaatkan sebaik mungkin untuk belajar bagaimana mengelola sebuahpameran dan berhubungan dengan para professional.
Nassauischer Kunstverein Wiesbaden, tempat residensiku |
Berbekal pengalamanmengelola event, kelompok, jaringan dan tentu saja keberuntungan aku mulaimengulik peluang untuk residensi ke Eropa. Rave Foundation adalah salah satuyang aku tuju, dengan bantuan Anastasia Dwi Rahmi (Ami) yang rajin mendorongkudan membantu dalam banyak hal akhirnya aku lolos. Pengumuman itu sampai padaku 12Maret 2013. Beasiswa ini memang ditujukan untuk kurator, aktivis permuseuman,dan manajer budaya di negara dunia ketiga. Sebelumnya Ami juga mendapatbeasiswa serupa untuk studi permuseuman di Leipzig dan Leiden.
Sebelum melamarbeasiswa, pendaftar harus memastikan dulu diterima di sebuah lembaga nonkomersial yang ada di Jerman. Nama Nassauischer Kunstverein Wiesbaden (NKV Wiesbaden)aku dapatkan dari seorang kenalan yang memberikanku kontak mereka. Sebenarnya takhanya Rave Foundation saja yang memberi beasiswa, kalau rajin mencari tahubegitu banyak peluang di luar sana.
Kabar ini aku terimasekitar pukul 17.00 waktu masih menulis berita untuk Warta Jateng (sekarangTribun Jateng, waktu itu aku masih bekerja di grup Gramedia). Tak kusia-siakankesempatan itu akhirnya aku memantapkan diri untuk berangkat ke Jerman. Tak adates tertulis atau wawancara, seleksinya berdasar portofolio, contoh tulisan,dan beberapa syarat lain yang jelas tertulis di website mereka. Bicara soal NKVWiesbaden, tak ada orang yang paling membantuku selain Elke Gruhn. (direktur artisticsekaligus ketua NKV Wiesbaden). Berbekal surat pernyataan diterima dai Elkeakhirnya tiket ini aku dapat.
NKV Wiesbaden sendirimenarik bagiku karena mereka punya program tentang Fluxus. Belakangan akuketahui bahwa Wiesbaden adalah kota asal gerakan Fluxus. Seniman-senimankenamaan seperti Macuinas, Nam Jun Paik, Yoko Ono, Josep Beuys, Dick Higgins,Jonas Mekas, Ben Patterson dan banyak lagi yang lain berada dalam lingkaranini. Fluxus pula yang menjadi garapan temaku selama menjalani residensi disini. Mulanya tak mudah untuk beradaptasi dengan pola kerja dan banyak hal disini, tapi seperti yang aku katakan sejak awal, aku siap menerima banyakkonsekuensi atas banyaknya kekurangan yang aku miliki. Penguasaan bahasa, systemkerja, menghadapi orang, dan banyak hal yang lain.
Pernah aku singgungsebelumnya, NKV adalah bagian dari jaringan besar kunstverein yang tersebar diseluruh Jerman, NKV Wiesbaden sendiri sudah ada sejak lama. Tahun 1847 merekadidirikan oleh para pecinta seni di sini. Beratus tahun stabil memang keren. Gedungyang aku tempati sekarang berada di Wilhelmstrase nomor 15, Wiesbaden. Ada tigalantai yang digunakan untuk kegiatan pameran, sementara lantai bawah untukkantor dan kegiatan administrasi lainnya. Masih ada satu ruang lagi di bawahtanah untuk gudang dan mesin penghangat ruangan. Mengenai NKV Wiesbaden nantiakan aku tulis dalam teks terpisah, juga tentang project yang aku kerjakan diJerman, selain jalan-jalan tentu saja. (Adin)
*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
Halo, salam kenal kak.. Apakah aku boleh minta kontak NKV Wiesbaden itu? Background pendidikanku sarjana arsitektur, dan tertarik untuk menekuni konservasi bangunan dan budaya. Kalau berkenan boleh diemail ke lilyana.pratiwi@gmail.com. Terima kasih kak :)
BalasHapus