Minggu, 22 Mei 2016

Bersama Saudara Seperantauan

(bagian 5)


Tak terbayangkan keberadaanku di Wiesbaden tanpa bantuan teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Merekalah yang mau bersusah-susah membantu mencari tempat, mengajari masak, membeli hal-hal dasar dan mengajak berkeliling pada periode awal kedatangan. Perkenalan dengan mereka juga cukup dari internet. Anastasia Dwi Rahmi lah yang sedari awal membantu banyak hal, termasuk mendorongku untuk berkenalan dengan para mahasiswa yang ada di sini. Adalah Maya Puspita Sari, mahasiswa Teknik Lingkungan di Hochschule Rhein Main Wiesbaden yang banyak membantuku mencarikan tempat tinggal. Dia juga yang mengenalkanku dengan teman-teman di sini seperti Brilly, Pascal, Nuri, Kiki, Leo, dan lain-lain. Sebelum kenal Maya, Nadia Andhini yang menyarankanku untuk kontak Maya. Sebelumnya entah siapa yang aku hubungi sudah lupa. Tahu-tahu paling intensif sama Maya ini. Terus terang meski Hyteria jadi tempat singgah tak resmi band-band 'backpacker' dari belahan dunia lain tapi aku tak akrab dengan mereka betul-betul, hanya beberapa. Jadi meskipun menjalin hubungan dengan mereka, aku urung minta bantuan.

beberapa teman mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman, main kartu di tempat Nuri
Teman-teman dari negeri asal inilah yang sedemikian ramah memperlakukan teman satu negaranya. Pertama kali datang ke Wiesbaden aku diajak keliling  ke kota, menyaksikan Kurhaus, kasino, jam kikuk raksasa, dan tempat-tempat lain yang aku tak tahu itu tempat apa. Pokoknya bagus saja dan tak tahu namanya. Mereka juga mengajari membeli tiket bulanan supaya murah dan kiat-kiat hidup di sini supaya tak boros. Semua teman yang kukenal rata-rata bisa masak sendiri. Hal itu jauh lebih irit daripada beli di luar. Tak sampai 1 Euro kita bisa beli beras, 3 Euro beli ayam yang tinggal dimasukin open dan sudah bisa makan sehari. Jika dibanding harus beli di luar jauh lebih mahal. Kebanyakan tempat makan eropa untuk merasakan daging harganya di atas 10 euro sekali makan. Alternatif lain kalau jajan di luar yakni beli di kedai kebab Turki. Awal-awal aku sering beli kebab. Harganya variatif, mulai dari 2 Euro hingga 10 an Euro. Karena porsinya besar biasanya beli sekali bisa dimakan dua kali. Pertama belanja sama Maya aku beli seprai, mie instan, dan beberapa kebutuhan lainnya. Bersama Nadia aku diberi tahu tempat-tempat belanja murah di Wiesbaden. Belakangan, pasangan suami istri Pascal dan Nuri banyak membantuku saat awal-awal pindah dari Rüsselsheim ke Wiebaden. Nurilah yang paling rajin mencari informasi saat itu dan mengajariku masak! Di tempat Nuri kami sering makan bersama masakan Indonesia.Seperti aku tulis sebelumnya, di Rüsselsheim aku tak terlalu akrab dengan tetangga, jadi untuk masak, aku segan memakai alat-alat yang ada di sana dan kebetulan rumah yang aku tempati relatif baru, alat-alat masak milik personal. Berbeda dengan saat tinggal di Wiesbaden per 1 Oktober 2013, teman-teman satu rumah lebih akrab dan mereka mengijinku menggunakan alat masak mereka. Praktis sejak itu aku lebih banyak masak di rumah dari pada jajan di luar. Nuri yang kuliah di Johannes Gutenberg Universität Mainz hingga saat ini cukup sabar mengajariku banyak hal.


Menonton Sepakbola di Mainz



para suporter Mainz 05


Sabtu, 19 September kami merencanakan untuk menonton sepak bola bersama di Coface Arena Mainz. Aku, Pascal, Nuri, Brilly, dan Wowon menonton pertandingan sepakbola antara Mainz dan Schalke. Rombongan kami tentu saja mendukung Mainz karena paling dekat dengan tempat kami tinggal. Meski akhirnya Mainz takluk, namun pengalaman singkat itu cukup mengesankan. Jujur di Indonesia aku jarang menonton sepak bola live. Di sini, di sebuah stadiun berkapasitas 34 ribu orang, penonton bertingkah tertib membuat nyaman untuk menonton laga sepakbola. Sempat was-was juga karena banyak tampang-tampang ganas dan sesama suporter saling ejek. Sama sekali tak lucu kalau tiba-tiba ada perang suporter seperti pengalaman di negeri sendiri. Wajar was-was karena beberapa kali sebelumnya sempat mendapat perlakuan agak rasialis. Di sebuah stasiun kereta api aku sempat diteriakin cina dengan nada tak enak. Di Rüsselsheim juga pernah. Kalau dipikir-pikir aneh juga, cina dari mana.. sepertinya orang-orang di sini sulit membedakan dari ras mana, asal Asia pokoknya cina, seperti kesulitan kita saat mengenali orang Eropa dari bagian mana, pokoknya bule.Untunglah itu hanya kecemasan tak berdasar, hingga usai pertandingan penonton pulang secara tertib. Meski banyak yang minum alkohol toh tak terjadi apa yang namanya lepas kontrol. Coface Arena sendiri cukup besar dan megah. Warna merah mendominasi stadiun yang dibangun pada tahun 2011 ini.

ular-ularan penonton setelah pertandingan usai, Sabtu (19/9)
Jarak dari stasiun kereta ke stadiun tak terlalu jauh, cukup naik trem sekali kita sudah langsung menuju lokasi. Perjalanan memakan waktu hanya beberapa menit saja. Kami tak perlu membayar tiket trem karena dalam tiket pertandingan sudah mencakup tiket perjalanan di area pertandingan itu selama sehari penuh. Jadi kalau pada hari itu mau muter menggunakan angkutan publik menggunakan tiket pertandingan sangat mungkin dan gratis. Pintu masuknya cukup banyak, aku tak sempat menghitung namun para penonton harus masuk sesuai dengan pintu yang tertera dalam tiket sehingga masuknyapun tak berdesak-desakkan. Menuju tribun kami disambut orang yang membagikan kerta ukurun 40 centi meter persegi untuk tempat duduk. Meski akhirnya tak benar-benar kami gunakan karena sepanjang pertandingan hampir semua penonton berdiri. Setelah pertandingan kami pun pulang dengan trem yang sama. Meskipun antrian sangat panjang orang masuk secara tertib sehingga perjalanan cukup nyaman. Kami tak langsung pulang, karena Nuri mengajak untuk mampir ke rumah keluarganya Pascal. Di sana kami diperlakukan sangat baik, kehangatan keluarga Eropa. Perlakuan mereka yang hangat membuatku serasa kembali ke rumah, tempat yang sekali waktu aku rindukan sangat.  (Adin)

Coface Arena, dilihat dari atas (courtesy Mainz05.de)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar