Minggu, 20 Juni 2010

Heima, rentang jarak yang mencemaskan


oleh: adin

Barangkali sangat telat bagiku untuk mendengar band bernama Sigur Ros. Bayangkan saja mereka berdiri sejak tahun 1994 dan aku baru mendengar mereka tahun 2009! Rentang waktu yang sangat panjang. Bermula dari magang di Commonroom alternative space yang dikelola Gustaff Hariman dan bertempat di kyai Gede utama 8, Bandung. Suatu malam yang dingin di semacam ruang apresiasi di Commonroom tiba-tiba dari kamar sebelah sayup-sayup mendengar Sigur Ros diputar. Langsung saja aku minta untuk copy annya dalam flashdisk ku yang belakangan aku tahu ternyata temanku personil band Forgotten itu. Langsung saja malam berikutnya aku mendengarkannya sungguh-sungguh dengan fokusku lebih kepada video dokumenter yang berjudul Heima.
Dalam bahasa Inggris Heima berarti at home (di rumah). Dan memang kesan awal yang aku tangkap dari lagu-lagu yang dipilih dalam film ini sangat nglangut dan murung.
Seperti mendengar saran dari kawan untuk melakukan bunuh diri. Segalanya terdengar begitu menyedihkan dan aku merasa dilempar ke sebuah masa yang tidak pernah akan terulang kembali. Seperti diingatkan dalam jeda sebuah perjalanan yang jauh, kita telah meninggalkan banyak hal. Di antaranya: rumah.
Rumah adalah asal-usul, akar sekaligus tempat yang mesti ditinggalkan untuk mencari esensi kehidupan. Dan kemudian menjadi tempat kembali setelah perjalanan yang melelahkan. Resiko tidak meninggalkan rumah bagi kita mungkin mendangkalkan wawasan. Maka itulah lahir istilah katak dalam tempurung. Namun terlalu lama pergi dari rumah kadang membuat kita merasa asing untuk pulang. Bahkan kepada pintu itu sendiri. Apalagi di dalamnya.
Pernah dalam sebuah status di FB kutulis: bagaimana jika kebahagiaan itu terletak di masa lalu. Kita pernah mengalaminya namun terlambat menyadari. Dan begitulah kesanku ketika mendengar Sigur Ros. Sedih, bahagia, rindu. Begitulah rindu: ia memaksa kita memikirkan yang sekarang tidak lagi kita miliki. Rindu adalah milik masa lalu. Ia selalu berjarak, ia selalu bertempat pada waktu yang berbeda. Dan celakanya ia hanya lahir pada saat tiada. Seperti halnya dendam, ia hanya kata lain dari rindu. Barangkali. Keduanya hanya hadir karena kita berjarak. Menuntut pembalasan, menuntut pertemuan. Tapi apa yang kita harapkan dari masa lalu selain mengenangnya!
Dan bukan persoalan masalalu yang menjadi perhatianku melainkan hal-hal dibalik itu. Masa lalu yang aku tulis disini bukan semata bermakna harfiah. Masa lalu disini hadir sebagai metafor: pada sesuatu yang tidak akan mungkin kita kunjungi. Ia semacam utopia dan mengingatkanku juga pada rentang jarak antara idealitas dan kenyataan; antara hasrat akan kebenaran dan kebenaran itu sendiri; antara lubang yang ingin digali dan keterbatasan untuk mencukupi. Jarak-jarak ini membentuk regangan: tegangan, karenanya kita dibuat terasing dan dicekam kecemasan (angst). Kecemasan pada yang sementara dan segala ketidakabadian. Nah apa yang harus dilakukan pada hidup yang sementara, rapuh dan penuh kecemasan ini?
Beberapa orang berniat mengekalkan yang sementara. Bisakah? Mungkin bisa. Setidaknya dalam ingatan.
Kembali pada Heima, film ini dibagi menjadi dua. Yang pertama rekaman konser mereka di negeri asalnya sendiri, Islandia, dan bagian kedua berisi rekaman konser mereka tanpa editing. Terlihat jelas dalam film itu kondisi Islandia yang hening dan santun. Film yang dirilis tahun 2007 ini memang dibuat setelah mereka melakukan tur dunia. Makanya Heima menjadi penting tidak hanya bagi Sigur Ros tetapi juga bagi orang-orang yang merindukan ketenangan. Lanskap yang indah, alam yang tenang, dan suasana murung berhasil dibangun dalam film ini. Mungkin juga latar belakang Islandia yang memang tidak seterkenal tetangga-tetangganya, misalnya Inggris, Irlandia dll, memang cocok bagi lahirnya band semacam ini. Bahasa Islandia yang tidak bisa kumengerti terdengar seperti gumaman atau dengungan rahib-rahib di Tibet yang mengantarku pada suasana sublim dan kesepian teramat. Belum lagi latar belakang Jonsi, vokalisnya, yang gay. Tentu agak berat juga menjadi kaum yang di beberapa negara lain masih ada diskriminasi terhadap orientasi seksual yang dianggap menyimpang. Dan seluruh kemurungan, kemisteriusan nampak mewarnai lagu-lagu Sigur Ros, setidaknya sampai tahun 2007.
Tentu kita ingat kaum gay menjadi bulan-bulanan pada beberapa dasawarsa lalu karena dianggap membawa penyakit kutukan, AIDS. Sebagaimana diketahui kebanyakan orang AIDS pertama kali diderita 5 orang homo dari AS tahun 1981 (meski belakangan ada riset yang menyebutkan penyakit ini pertama kali ada di Congo tahun 1959). Dan kita ingat juga kasus di film Philadelphia yang diilhami kisah nyata tahun 1987 dimana ada seorang pegawai yang dikenai implikasi-implikasi sangat merugikan karena diketahui menderita AIDS sekaligus gay.
Semua wacana-wacana di atas mungkin diketahui Jonsi, dan bayangkan derita psikologis apa yang menerpanya sebelum ia mengakui bahwa dirinya gay. Maka tidak heran kalau dalam lagu-lagu murung dan cenderung misterius ia bisa sangat menghayati. Bisa benar bisa tidak.
Bicara suasana murung dan kelam yang ditimbulkan film ini saya jadi teringat juga film Brokeback Mountain. Berlatar belakang tahun 1963 dan diperankan dengan bagus oleh Heithledger. Kalau melihat setting tempatnya keduanya-Brokeback Mountain dan Heima- ada kemiripan. Juga suasana yang dibangun. Semacam cinta yang malu-malu namun sangat hangat.
Mungkin sukses novel Twilight karena berhasil menghadirkan semua unsur kemurungan ini. Dalam novel itu dikisahkan setting cerita di sebuah kota yang selalu diselubungi mendung sehingga memungkinkan vampir bisa keluar di siang hari dan tidak terasa aneh. Belum lagi tokoh Edward yang diceritakan berwajah pucat dan sangat misterius karena memendam rahasia bahwa ia vampir. Seperti halnya Jonsi yang gay dan buta sebelah semenjak lahir! Sayangnya semua kemurungan dan kemisteriusan ini tidak bisa digali dengan baik dalam film Twilight. Bahkan cenderung gagal total (!). Ah sayang sekali.
Hal lain yang menarik dalam Heima, yakni setting tempat yang mengindikasikan perubahan kota yang perlahan-lahan mati. Misalnya salah satu tempat konser yang dulunya pusat aktivitas nelayan setempat. Dalam rekaman video hitam putih terlihat jelas aktivitas di tempat itu sangatlah ramai dan menjadi pertemuan banyak orang. Namun perlahan-lahan ikannya pergi dan aktivitas ekonomi mengalami kemunduran dan akhirnya berangsur-angsur tempat itu ditinggalkan. Dan secara cerdik sang sutradara memilih tempat itu. Sebuah tempat yang membangkitkan memori kolektif masyarakat. Kita digiring melakukan perjalanan ulang-alik antara masa lalu dan kekinian yang kesemuanya berakhir pada ingatan. Ah..
Kadang hal ini membuat sesak di dada. Ada yang membuncah keluar tetapi sudah tidak bisa melakukan apa-apa.
Ya..Heima telah membuatku merasakan kerinduan akan rumah. Akan sesuatu yang murni, ideal dan semacamnya. Namun dalam realitas yang keras ini seringkali sesuatu yang murni itu akan tercemari. Kita merindukannya seperti masa-masa kanak-kanak yang polos. Kita telanjur dewasa, tidak suci lagi dan tiba-tiba merasa ingin menangis betapa kita dulu bisa teramat polos, cenderung naïf, namun tulus.
Beberapa orang mungkin merasa sudah sangat asing bahkan tidak mengenali rumah itu, asal-usul itu, ibu itu. Beberapa juga membangun rumah yang sangat lain karena rumah (sebagai tradisi) sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan baik psikis maupun material penghuninya. Namun apapun itu sebagai rumah yang baik seharusnya bisa menerima anaknya yang telah lama pergi, bahkan mungkin tersesat. Sehingga tragedi Malin Kundang tidak ada lagi. Semua bisa diterima dalam pelukannya yang ramah. Dalam cintanya yang cenderung diam namun memahami kita.
Satu hal lagi film ini juga relevan untuk menggambarkan Islandia yang sekarang. Kita semua mafhum Islandia menjadi negara yang terancam ambruk perekonomiannya akibat krisis global tahun 2008 lalu. Entah berkaitan atau tidak sepertinya Heima akan menjadi dokumen kemurungan sosio kultural ini. Sesuatu yang akan menggetarkan banyak orang, terutama orang Islandia, untuk mencintai rumahnya yang terancam ambruk dan bersama-sama membangunnya kembali.

4 komentar:

  1. awalnya agak sulit bagi saya membaca tulisan di atas yang sebenarnya sederhana tapi dikemas dengan cukup kompleks, tapi kemudian saya mencoba membuat kesimpulan sendiri[entah sesuai dengan yang penulis maksud atau tidak] dan tiba-tiba merasa sepakat dengan kesimpulan saya itu, bahwa jarak yang paling mengkhawatirkan adalah waktu.

    BalasHapus
  2. talking about sigur ros..
    semua lagu sigur ros emang gt, mencekam tapi mendamaikan haha
    and that's why sigur ros is my favourite ambient band since 2007 hehe
    btw jonsi jg punya albumnya sendiri, his side project. try to listen it ! judul albumnya GO..

    BalasHapus
  3. sigur ros band bagus sepanjang masa

    BalasHapus
  4. aku baru ngeh kalo ada komentar pada tulisan ini hahhhaa terima kasih, tahun ini mereka akan konser di Frankfurt, semoga masih ada kesempatan untuk menonton! :D

    BalasHapus