Rabu, 16 Maret 2011

Hysteria, Anak Muda, dan Komunitas


Benar adanya isu mengenai pembubaran Komunitas Hysteria. Bentuk komunitas dirasa sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan kami. Untuk itu pembubaran komunitas ini sebuah keniscayaan. Keputusan untuk membubarkan komunitas memang berawal dari beban definitif terhadap komunitas itu sendiri. Sebagaimana umum diketahui, dalam komunitas tidak ada ikatan yang relatif ketat. Anggota bisa keluar masuk seenaknya sendiri tanpa harus ada ketentuan-ketentuan tertentu. Kondisi ini mnyebabkan Hysteria tidak beranjak dari aktivitas hobi semata. Meskipun pada kenyataannya terhitung sejak 2008 Hysteria mulai berkegiatan layaknya organisasi. Dan sejatinya pembubaran Hysteria sebagai komunitas dan kelahirannya kembali sebagai organisasi, tidak lebih dari penegasan diri bahwa Hysteria ingin beranjak menjadi organisasi lebih serius.
Kurang lebih 6 tahun lamanya Hysteria dikenali sebagai komunitas sastra yang menerabas batas-batas disiplin seni lain. Kami juga lebih dikenal sebagai komunitas yang sering menyelenggarakan event, sedangkan aktivitas kami di belakang layar nyaris tidak terpantau. Padahal aktivitas di belakang layar ini tidak kalah pentingnya, misalnya program pengarsipan film, mengkliping, dan pendokumentasian pamflet. Itu semua dilakukan demi membentuk bank arsip yang kelak bisa diakses siapapun.
Menginjak tahun ke tujuh ini Hysteria memantapkan diri sebagai organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas. Mengapa komunitas? Di tengah infrastruktur yang kacau dan menguatnya korporasi maupun negara yang tahap diimbangi mekanisme kontrol memadai pilihan untuk berkomunitas (baca berorganisasi) menjadi pilihan yang politis. Bagi kami komunitas bisa menjadi organ kecil untuk menularkan kesadaran yang lebih baik dan menawarkan nilai beda di antara tawaran nilai yang dominan. Untuk itu komunitas menjadi penting bagi kami di masa mendatang. Kami bermimpi suatu saat Semarang juga mempunyai infrastruktur lebih baik, tidak hanya di bidang seni saja tetapi juga yang lain. Minimal dari komuntias-komunitas yang diberdayakan suatu saat bisa saling peduli, mandiri, dan kelak bisa terlibat dalam satu lingkaran jejaring yang kuat sekaligus menguatkan.

Visi yang bergeser

Perubahan visi ini berkait dengan sumber daya yang dimiliki Hysteria dan bagaimana kelak Hysteria memanfaatkan seluruh ‘kekayaan’ ini. Sastra saja ternyata tidak cukup memenuhi hasrat kami karena sejatinya dari tahun ke tahun kami gagal membentuk ketertarikan yang intensif secara internal pada bidang ini. Dan setelah dianalisis lama memang wilayah kami tidak bisa disederhanakan dalam satu bidang saja.
Beberapa keadaan yang membuat kami berubah visi tidak lain disebabkan pengalaman Hysteria dalam kontestasi kehidupan berkesenian di Semarang. Dalam krun waktu 6 tahun telah kami saksikan banyak organisasi, komuntias, individu atau kelompok yang lahir dan mati silih berganti. Lama kami mencari tahu dan menggali apa penyebab dari semua ini. Sebab kalau ngomong soal usaha keras individu kita hanya akan terjebak pada usaha-usaha yang dilakukan individu untuk bertahan dan mematahkan mitos ‘kuburan seni’. Dalam kategori kesadaran, menurut Freire, tingkat kesadaran semacam ini adalah kesadaran naïf. Lan halnya kesadaran kritis yang melihat bagaimana sistem ini beroperasi sehingga akhirnya membentuk kenyataan yang kita hadapi sekarang ini. Tanpa usaha menyingkap itu semua kami pikir kita akan gagal dalam mencari solusi yang lebih efisien.
Mengapa kebanyakan dari kita ‘gagal’ di kota ini? Mengapa semua ini bisa terjadi? Bila mau jujur berapa banyak institusi, organisasi komunitas seni yang bertahan dan mempunyai program yang jelas dan terukur? Adakah ruang yang secara sadar dikonstruksi dan diarahkan mau kemana? Di mana peran dewan kesenian, pemerintah, lembaga budaya, dan atau siapapun yang menjadi stake holder di kota ini dalam memajukan kehidupan seni dan budaya? Lalu peran akademisi dan institusi pendidikan? Adakah warisan sistem yang memihak terhadap pertumbuhan kreatifitas anak-anak muda? Betapa banyak pertanyaan yang sekiranya muncul jika ini kami teruskan. Lantas apakah kemudian kita akan menyalahkan semuanya karena keadaan hari ini? Tentu saja tidak. Dan jelas keberadaan kami tidak untuk menyalahkan tetapi menjaid bagian dari solusi dari sekian permasalahan yang berlangsung secara menahun. Adapun pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah pemantik bahwasanya di luar potensi individu ada pra syarat yang harus dipenuhi sebuah kota jika ingin individu-individu dan segenap masyarakatnya teraktualisasi dengan baik. Pra syarat inilah yang kami sederhanakan sebagai infrastruktur. Jika infrastrukturnya telah mapan akan sangat mudah bagi siapapun utnuk sampai pada tujuan yang mereka inginkan. Sebaliknya infrastruktur yang kacau akan membuat potensi individu ini terhambat. Infrastruktur ini ditopang oleh relasi dari berbagai pihak. Jika relasi-relasi ini terjadi ketimpangan komunikasi bisa dipastikan bahwasanya kita akan berjalan sendiri-sendiri akibatnya akan sulit dicapai tujuan bersama. Pada relasi yang membentuk infrastruktur ini kesadaran masing-masing pihak untuk sadar diri pada posisinya tentu akan sangat penting supaya tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Sadar diri pada posisi barangkali menjadi point yang sangat penting kaitannya bagi setiap individu atau komunitas yang ingin tertahan di kotanya sendiri. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Butuh waktu, kedewasaan, militansi, bahkan kadang-kadang kegilaan dalam kadar tertentu.

Posisi HysTeria

Lalu di manakah posisi Hysteria dalam infrastruktur yang kacau balau dan ruang-ruang dialog yang macet? Kami yakin membuat sebuah organisasi atau komunitasyang stabil tentu tidak mudah. Pengalaman membuktikan hanya untuk menyatukan visi dan berbicara dalam forum secara dewasa ternyata sulitnya bukan main. Setidaknya melihat fenomena banyaknya komunitas yang mengalami perpecahan internal. Belajar dari pengalaman inilah Hysteria menegaskan diri sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya forum-forum yang lebih terbuka dan dialogis. Selain itu berbekal social network dan bank data kami berharap dapat membantu komunitas-komunitas ini memetakan dirinya sendiri. Memetakan diri pada konteksnya kami pikir menjadi salah satu point penting. Tanpa itu mereka akan gagal dan disorientasi mau dibawa kemana komunitas dan aktivitas mereka.
Selain melakukan kerjasama dengan komunitas Hysteria juga membekali diri dengan beberapa hal yang telah kami singgung di atas. Yakni bank data yang bisa diakses orang luar, art space, dan sumber daya manusia. Program-progam yang akan disusun ke depan juga lebih banyak berorientasi pada pengembangan komunitas. Misalnya lokakarya metodologi riset sejarah lisan (mengajar untuk sadar akan gerakan mencatat), lokakarya zine (kesadaran mengelola isu), dan lokakarya pengorganisasian (melakukan identifikasi, brainstorming dan penyusunan program yang lebih efektif dan efisien). Selain program lokakarya kegiatan lain seperti pameran, pemutaran film, forum kajian, mini konser, juga akan kami gelar sebagai upaya untuk memecah kebekuan komunikasi antar komunitas lintas disiplin. Kami percaya bahwa perubahan hanya bisa dicapai dengan bergeraknya segala lini. Tanpa itu semua mustahil membayangkan perubahan secara massif.
Dari keseluruhan aktivitas itu kami berharap bisa sedikit demi sedikit memetakan siapa saja yang sebenarnya berkepentingan terhadap perubahan ini untuk kemudian kami ajak duduk satu meja merumuskan masa depan yang lebih baik. Muluk-muluk memang, namun kami pikir hanya orang-orang yang punya mimpilah yang bisa merubah keadaan. Tanpa utopia ini mana mungkin kami bertahan sejauh ini.

(HYSTERIA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar