Sabtu, 14 Mei 2011

BEBAN IDEOLOGIS TUBUH PENARI


Bagaimanakah jika sebuah tarian disajikan tidak hanya berdasarkan kualitas estetis? Kira-kira muatan ideologis itu akan menambah nilai lebih ataukah malah mereduksi tarian menjadi terlalu cerewet dan menggurui? Sepertinya hal itulah yang hendak ditaklukkan Eko Supriyanto. Koreografer yang sudah lama malang-melintang di dunia tari ini rupanya memandang tari tidak hanya sebatas penjelajahan kreatif tetapi juga sebagai representasi intelektualitas dan kegelisahan seniman dalam merespons fenomena sosial di sekelilingnya. Implikasinya tubuh mengemban beban ideologis dan menjadi alat perpanjangan ide-ide.
Awake – ning, judul repertoarnya, rupanya beranjak dari kepedulian Eko terhadap keadaan lingkungannya. Awake- ning yang bermakna ganda baik dari bahasa inggris awake (bangun, membangunkan) yang mendapat gerund -ing maupun dari bahasa jawa awak (tubuh) yang ning (bersih) dimaksudkannya sebagai upaya untuk kelahiran (kebangkitan )kembali setelah tubuh ini dibersihkan dari segala kotoran dan nafsu.
Adegan dibuka dengan kemunculan lelaki yang perlahan-lahan menari balet. Peristiwa khusyuk ini lantas dikontraskan dengan kedatangan empat penari lelaki yang menari secara rancak. Adegan dilanjutkan dengan tarian balet yang biasanya sering dimainkan perempuan. Dalam konteks ini sang lelaki didandani layaknya perempuan. Disusul kedatangan empat lelaki lagi yang menggantikan sang cowok sementara di belakang mereka seorang lelaki tua muncul dari sebalik panggung menembangkan lagu-lagu jawa. Sekian menit kemudian perempuan memasuki panggung sambil tertawa-tawa memanggul sebongkah es batu.
Sampai di sini belum jelas apa relevansinya landasan konseptual Awake-ning yang terejawantahkan dalam gerakan tari. Relevansi pembersihan diri, pemuda berpakain balet diiringi musik barat dengan tembang-tembang jawa yang dilantunkan masih belum nampak benang merahnya kecuali tabrakan-tabarakn kultural yang barangkali hendak disajikan sebagaimana ambiguitas makna Awake-ning. Timur dan barat, balet dan tetembangan jawa berikut pakaian khasnya, tidak dipedulikan lagi karena pada dasarnya pembersihan diri dan kebangkitan adalah wilayah universal.
Adegan berikutnya yakni kedatangan cewek dengan menyeret sapu ke seluruh ruangan, lelaki yang menari memutar dan perkelahian antar penari perempuan. Adegan ditutup dengan soerang wanita menjadi sentral bagi yang lain. Rambutnya dipegangi penari lainnya dan es batu telah dipulangkan. Properti yang berfungsi sebagai simbol yang sering ditampilkan adalah es batu dan sapu lidi. Ada juga gerakan repetitif yaitu gerakan bergoyang seperti bersetubuh seakan hendak menegaskan sesuatu.
Ide awal pemunculan es sendiri menurut penuturan koreografer yang pernah diajak Madonna keliling ini berasal dari imajinasi tentang rasa haus itu sendiri. Hasrat membersihkan dilukiskan sebagai hasrat akan pemenuhan dahaga yang-tidak hanya sekedar air- tetapi es. Sesuatu yang lebih dingin dan sangat diinginkan saat matahari sedang terik-teriknya. Goyangan yang menyerupai persetubuhan menjadi representasi dari bumi yang terus bergoyang. Lelaki - perempuan, lingga - yoni, yin - yang adalah kodrat alami yang keduanya saling melengkapi. Sedangkan pemaksimalan sapu lidi sendiri yang sering berkonotasi dengan alat kebersihan diperlakukan secara imajinatif, misalnya ia bisa berubah menjadi kuda, semacam dupa yang harus ditabur, dan anak panah untuk membidik perwakilan dari nafsu-nafsu kotor. Transformasi dalam berbagai bentuk ini cukup menarik. Sapu telah dielaborasi sehingga melahirkan imajinasi visual berlainan. Sesuatu yang mengingatkan kita pada masa kanak-kanak yang polos dan bersih serta memililki keliaran imajinatif tak terduga.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, repertoar kedua yang berjudul El juga hendak melakukan ekplorasi kreatif dalam kaitannya penemuan gerak melalui aktivitas lompat dan berputar. Seperti diketahui dalam banyak tradisi tari jawa klasik melompat dan berputar kurang mendapat tempat. Dari sini lantas Eko membebaskan para penarinya mencari sebanyak-banyaknya kemungkinan kosa gerak ini.
Melompat dan berputar menjadi ide utama bagi bahasa gerak para penari. Ada gerakan yang disusun secara komposisif dan ada juga yang bersifat main-main. Misalnya gerakan mencari kemungkinan menggunakan sprinter. Bahkan tidak bisa diketahui apakah kesalahan yang terjadi di panggung mempunyai unsur kesengajaan atau bukan. Para penari sepertinya tidak terbebani, mereka lincah bergerak, melompat dan berputar riang. Setiap kesalahan (jika memang ada) disikapi dengan cair. Estetika menjadi tujuan dan beban berat tubuh pada repertoar pertama mendapatkan rileksasinya di sini. Penari mendapatkan kebebasan atas tubuhnya kembali dan semangat homo ludens ditekankan.

Kegagapan Menaklukkan Ruang

Sekilas pementasan mereka terlihat baik-baik saja namun visualisasi gagasan yang hendak diemban tubuh kurang daya bidiknya, terutama menyikapi penampilan tarian pertama mereka. Hal itu bukan dikarenakan gerakan penarinya tidak indah. Kegagalan komunikasi ini dipicu oleh persoalan ruang yang tidak bisa ditaklukkan para penari dan lebih-lebih tim artistik. Akhirnya malam itu Eko tampil ‘tidak seperti biasanya’ atau dalam istilah lain ‘belum Eko banget’. Beberapa praktisi tari dan pemilik sanggar tari misalnya Anik KJ dan Yoyok Priambodo bersepakat dalam hal ini. Eko Supriyanto bisa dikatakan tampil tidak secara maksimal. Gagasan-gagasan yang tidak terkomunikasikan dengan baik ini lebih terasa di Awake – ning.
Gedung yang terletak di kompleks museum Ranggawarsito dan berkapasitas 150 orang (mengingat tempat duduk yang disediakan) meskipun lumayan terisi ini ternyata belum bisa memicu spirit para penarinya. Minimnya pengunjung kali ini terulang lagi seperti pada tahun sebelumnya saat Kelola memberikan hibah pentas keliling tari (juga mengambil tempat Semarang). Persoalan publikasi menjadi kendala utama. Entah karena kurangnya koordinasi panitia atau apa yang jelas hampir-hampir kedatangan Eko Supriyanto tidak begitu diketahui khalayak kesenian Semarang lebih-lebih masyarakat awam.
Di samping itu tim artistik Eko kedodoran untuk membangun atmosfer yang bisa mengeluarkan soul baik para penari maupun penikmatnya. Panggung berlantai keramik dengan standar gedung mantenan (pernikahan) dibiarkan apa adanya. Suasana sublim direcoki patung Garuda yang tidak ditutup apa-apa dan seting sekenanya. Akhirnya para penari terkesan hanya berpindah tempat latihan. Tubuh yang berisi bermacam gagasan dan naluri estetik tadi menjadi hambar. Gerakan mirip persetubuhan sebagai lambang bergoyangnya bumi lebih kelihatan sebagai ‘persetubuhan pada umumnya’. Beberapa kasak-kusuk di kursi penonton malah berbisik mengenai pornografi. Kegagalan komunikasi yang melahirkan aberrant decoding (pembacaan yang salah) lebih mendominasi daripada kekayaan tafsir para penikmat tari ini.
Keadaan ini semakin diperparah dengan tata cahaya yang standar. Cahaya yang bisa menjadi sangat simbolis hanya berperan sebagai penentu gelap dan terang semata. Cahaya dan setting menjadi sangat kontraproduktif terhadap kekayaan kosa gerak penari dan keluhuran gagasan koreografernya. Sungguh sangat disayangkan.
Peran bunyi sebagai ilustrasipun sangat minimalis. Eko hanya menggunakan lagu-lagu jadi dari MP3 nya. Suasana etnik yang dibangun dari lagu tersebut terasa hampa, belum lagi pemutarnya yang kurang canggih serta akustik gedung yang biasa saja. Mungkin alasan kepraktisan menjadi timbangan utama. Namun untuk seniman sekelas Eko hal itu akan menjadi catatan tidak baik yang kelak akan menodai pertunjukannya sendiri. Pada intinya kegagalan utama pementasan ini adalah perihal penaklukan ruang. Ruang yang ditaklukkan dengan sendirinya akan menghadirkan suasana sehingga ide-de besar itu dapat menyusup secara laten.
Pada kasus repertoar kedua bangunan ide tidak begitu dipermasalahkan. Persoalan ruang meskipun tetap saja mengganggu pencecapan estetik tidak jadi soal. Karena barangkali sifat cairnya dan semangat bermain-main lebih melenakan penonton daripada konstruksi gagasan yang hendak dilesapkan pada benak penonton pada pertunjukan pertama. Suasana sublim dan mistis pada repertoar Awake – ning menjadi tuntutan mutlak jika ingin saratnya beban ideologis merasuk dalam kesadaran penonton.
Namun demikian pertunjukan sepanjang 2 jam an ini tetap saja menghibur. Sepinya alternatif hiburan maupun gagasan kreatif menjadikan repertoar ini sangat layak diapresiasi publik Semarang. Di tangan Eko tari telah menjadi sarana menarik untuk membumikan gagasannya. Terlepas dari baik buruk, yang jelas kelompok Solo Dance Studio ini memberikan kemungkinan menarik untuk memperlakukan tari. Di tangan mereka tradisi tidak terjebak pada pengulangan. Tradisi menjadi yang tidak hanya dijaga tetapi juga dipertanyakan, dikaji ulang dan dikontekstualisasikan. Tanpa itu semua tradisi hanya akan menjadi wisata masa lalu dan kelak akan ditinggalkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai ikatan kepadanya.
Ke depannya pentas keliling ini diharapkan tidak hanya berhenti sebagai aktivitas pertunjukan semata tetapi juga memberikan jejak-jejak kreatif tampat yang disinggahinya. Misalnya dengan memberikan workshop atau minimal diskusi kecil paska pentas perihal gagasan kreatif demi terciptanya ruang lebar kemungkinan. Dari situ diharapkan tercipta perluasan persebaran gagasan dan kalau dimungkinkan proyek kolaboratif yang kelak memajukan masing-masing pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar