Selasa, 17 Mei 2011

Usaha Memetakan Diri Sendiri


Oleh-oleh paska lokakarya metodologi riset sejarah lisan dan pembuatan zine

(Adin)


Sudah sejak lama kami mencari tahu apa yang sebenarnya diidap oleh kota ini sehingga keadaannya terkesan stagnan. Salah satu temuan kami adalah minimnya kesadaran mencatatkan diri sendiri dan melakukan upaya-upaya mediasi ke luar. Ketiadaan catatan ini membuat aktivitas di Semarang nyaris tidak pernah terevaluasi dengan baik. Banyak komunitas yang tumbuh lalu mati dan begitu seterunya tanpa banyak meninggalkan apa –apa untuk dipelajari sehingga tidak terjebak dalam kesalahan yang sama oleh generasi di masa mendatang. Tiap kesalahan hari ini adalah perulangan dari kesalahan di masa lalu karena kesadaran mencatat yang rendah sehingga usaha untuk belajar dari sejarah tidak ada. Dan begitulah seterusnya. Mereka kebanyakan hanya meninggalkan mitos yang sulit untuk diverivikasi kebenarannya. Belum lagi ketiadaan lembaga penyedia akses data ini. paling-paling upaya pengarsipan ini dilakukan oleh personal-personal yang mana akan sulit diakses oleh pihak yang tidak dikenal. Semuanya jadi serba rumit memang.
Di sisi lain minimnya media komunitas juga membuat para pegiat di sini tidak mempunyai media kampanye sendiri. Hanya media-media yang besar saja yang mendominasi, misalnya koran. Tentu saja koran mempunyai kelebihan dan keterbatasannya sendiri lebih-lebih mereka mempunyai agenda setting mereka sendiri. Semua ini menjadi serba tidak menguntungkan karena para pelaku komunitas ini tidak mempunyai media yang menyuarakan mereka. Gampang saja, bikin aja mediamu! Begitu kira-kira slogan yang sering kita dengar. Namun pada kenyataannya membuat media baru bukanlah hal yang mudah. Media yang sering disebut zine ini beberapa rekan sempat membuatnya. Namun kebanyakan tidak banyak yang bertahan hingga 15 an edisi. Berdasar pengalaman kami ketika menyelenggarakan pameran zine tahun 2009, sedikit sekali orang atau komunitas yang mempunyai kesadaran ini. Tentu saja ini tidak pernah sebanding dengan banyaknya isu yang mesti disuarakan atau di counter.
Ada beberapa media yang bisa menjadi pilihan lain, sebut saja Mosh!, Java, dJava, Event dll tapi kesemuanya itu tidak bertahan lama. Bandingkan saja dengan Ripple, Suave, dan banyak lagi di Bandung yang turut serta membangun image dan mitos tentang kota mereka sendiri dan para pelaku kreatifnya.
Bagaimanapun, kesadaran mencatat, memediasi, merupakan salah satu bagian penting dalam strategi budaya. Tanpa itu semua kami pikir sebuah kemajuan akan tercapai dengan lambat. Untuk itu penting bagi Hysteria menyebarkan gagasan pentingnya catatan diri dan pentingnya kesadaran mengelola arus informasi dengan cara kita sendiri.
Gagasan itu akhirnya menjadi embrio bagi berlangsungnya lokakarya metodologi riset sejarah lisan dan pembuatan zine yang diselenggarakan pada 18-19 Maret lalu.
Pilihan jatuh pada Addy Gembel, koordinator Solidaritas Independen Bandung (pemateri sejarah lisan) dan Ika Vantiani (peniti pink,pemateri lokakarya zine dan seniman post card). Keduanya memberikan gambaran singkat terkait materi.
Pada hari pertama Addy Gembel menjelaskan apa itu sejarah lisan dan bagaimana menggunakannya sebagai alat bedah. Ketertarikan mengundang Addy tersebab aktifnya dia dalam pembentukan Bandung Oral History bersama Kimung, Reggi, Sinta Ridwan dan Ucok Homcide (kelak dalam BOH ini yang mengawal secara intensif adalah Kimung).
BOH sejauh amatan kami cukup menarik. Mereka adalah sekumpulan periset muda yang melakukan analisis terhadap apa-apa yang mereka sukai. Objek mereka diutamakan yang paling dekat dengan mereka. Bisa musik, fashion, seni tradisi dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan adalah sejarah lisan dengan pementor utama Kimung. Kimung sendiri terbukti secara aktif mempraktikkan metode ini. Hasilnya adalah bukunya yang Myself: Scumbag yang rencananya dibikin trilogi. Ketiga kisah yang disusun sendiri adalah representasi perjalanan musik metal dan komunitasnya di Ujung Berung! Sebuah kawasan yang sarat akan aktivitas metal. Kalau dibandingkan di Semarang kesadaran semacam ini kami perhatikan sangatlah kurang. Sengaja topik ini memang dibatasi pada pemetaan di ranah musik mengingat pemetaan di ranah teater, dan sastra pernah Hysteria lakukan. Meski belum komprehensif setidak-tidaknya semoga mampu memberi inspirasi bahwa yang dibutuhkan Semarang tidak hanya artis. Tapi juga sarana pendukungnya juga harus dikuatkan.
Hari kedua, Ika Vantiani menjelaskan apa itu zine dan bagaimana perkembangannya di masa kini. Surutnya para zine maker di Semarang telah membuat kami merasa kehilangan. Minimnya media yang menjadi juru bicara komunitas rupa-rupanya tidak membuat mereka terpantik untuk melakukan mediasi melalui zine. Satu-persatu mereka berhenti dan lagi –lagi Semarang kekurangan dayanya untuk memproduksi informasi dan mengukuhkan mitos bagi komunitasnya sendiri di kotanya. Bisa saja mereka menggunakan sosial network yang akhir-akhir ini marak. Namun pilihan menggunakan zine sebagai media alternative mempunyai segi-segi yang tidak dimiliki media-media lain. Ika dan para peserta lokakarya setelah presentasi sebentar mereka langsung melakukan praktik membuat zine. Para peserta dari luar kota misalnya Solo dan Surabaya nampak paling antusias mengikuti lokakarya ini. Sayangnya dua alat yang diberikan Hysteria belumlah dikombinasikan secara maksimal. Begitu juga peserta workshopnya. Ada perbedaan peserta pada hari pertama dan kedua. Tidak semuanya mengikuti keduanya. Itulah yang kemudian menyulitkan kami untuk melakukan tindak lanjut yang lebih efektif.
Usaha yang dilakukan Hysteria kali ini memang disesuaikan dengan visi misi Hysteria yang mendukung penuh pertumbuhan komunitas yang ada di Semarang. Meskipun banyak kekurangan di sana sini namun bisa dikatakan secara produksi program Hysteria semakin fokus dan spesifik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar