Senin, 14 Mei 2012

Hidup dalam masalah dan masalah dalam hidup, bagaimana cara menggunakannya?


Oleh: Openk Hysteria


Sesuatu akan terasa benar manfaatnya jika digunakan secara tepat,  Atau jika sesuatu sudah lenyap. Terkadang muncul pertanyaan, apa yang paling berharga dalam hidup kita? Pertanyaan tersebut seperti sebuah pertanyaan yang paling susah untuk dijawab. Apakah manusia memiliki sesuatu yang paling berharga?
                Kami mencoba untuk mencari jawaban tersebut, lewat diskusi dan pemutaran film The Doll Master jumat (4/5), di Grobak A(r)t Kos, Hysteria, jalan Stonen 29 Bendan Ngisor Sampangan.  menurut saya film tersebut  cukup memberikan referensi yang tidak biasa dalam diskusi. Sesuatu yang penuh distorsi, sesuatu yang sangat berambisi. Semua benda yang ada tak memiliki dasar untuk dipertahankan, namun mereka( benda tersebut)memperjuangkan hak mereka untuk tetap dianggap ada. Film tersebut menganggap boneka memiliki jiwa dan memiliki tanggung jawab untuk menjadi teman bermain anak-anak. Namun, apa yang terjadi ketika anak-anak tersebut mulai melupakan boneka seiring bertambahnya usia? Terjadi tarik-menarik kepentingan antara manusia dengan boneka. Manusia hanya menganggap bahwa boneka hanyalah benda yang menemaninya semasa kecil, sementara boneka menganggap kalau manusia yang merawatnya adalah sahabat selamanya. Apakah itu mungkin terjadi? Di dunia nyata hal tersebut ternyata ada. Adalah Okiku boneka tradisional jepang yang memakai kimono, boneka ini memiliki keanehan dimana rambutnya terus bertambah panjang layaknya manusia. Menurut cerita, nama Okiku adalah nama si pemiliki boneka tersebut yang meninggal karena demam. Banyak juga contoh lainnya seperti Harold, Robert,  jolie, Pupa, Warren, dan yang lain.. memiliki kisah masing masing tentang boneka.
Film yang disutradarai oleh Yong-ki Jeong, mencoba untuk menemukan benang merah antara manusia dengan boneka. Disitu boneka sudah tak dianggap sebagai benda mati lagi, melainkan sebagai organisme lain yang juga memiliki perasaan terlepas dari sisi magis yang diciptakan. Tekanan demi tekanan dimunculkan pada bagian tengah film dan sempat membuat kami merasakan atmosfer ngeri pada saat boneka merasa dikhianati. Bukankah hidup kadang seperti itu? Kita tak akan mengerti secara penuh apa yang diinginkan orang lain dari kita. Namun boneka yang polos itu hanya bisa bertanya “mengapa kau meninggalkan aku?” tragis, bagaimana jika hal tersebut diberlakukan untuk kita? Apakah kita juga akan menjadi seorang yang apatis kemudian?  Atau dengan tiba-tiba hidupmu akan menjadi membosankan, apa yang akan kamu lakukan?
Merasa belum menemukan jawaban yang mendekati kegelisahan, akhirnya kami mencoba untuk menambah referensi lain dengan memutar film Three Extremes pada  jumat 11 mei 2012 di tempat yang sama. Di luar ekspektasi, bukannya mendapat sedikit pencerahan saya malah merasa mendapat masalah baru, kegelisahan baru yang seakan meletup untuk diutarakan. Bagaimana tidak, dalam film tersebut kami disuguhi dengan adegan adegan yang absurd dalam subtansi film berjudul “BOX” karya Takashi Miike (jepang) lalu ditambahi dengan seusatu  yang tidak biasa, dalam subtansi film berjudul “Dumpling” karya Fruit Chan (Hong Kong) masih ditambahi lagi dengan film yang sadistik berjudul “CUT” karya  Park Chan-wook (Korea). Kami merasa kalau hidup ini begitu kompleks dengan masalah dan jawaban, kadang masalah yang jawabannya ada pada hidup orang lain seperti yang sering diangkat dalam film SAW. Kadang dalam menjalankan hidup dipenuhi sifat, ambisi, obsesi, atau malah tanpa memiliki pretensi. Sungguh tak mudah membaca hidup ini seperti yang sudah dilakukan oleh ahli sosiologi, tentunya secara akademisi. Namun apakah perasaan itu berbanding lurus dengan logika?  Kerumitan ini kadang akan terasa gampang pada saat seseorang menjalaninya dengan legowo, namun akan menjadi sangat rumit bila orang tersebut terlalu berambisi tanpa memiliki strategi hidup.  Pertanyaan baru yang akhirnya muncul adalah, bagaimana kita mengatasi ini semua?
Menurut saya ini permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing orang. Dan setiap orang memiliki hak untuk membantu orang lain. Bukan berarti lantas harus saling cuek. Namun semakin maju jaman apakah kita merasakan keharmonisan yang seperti gambaran utopis sebuah desa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar