Minggu, 20 Juni 2010

Merebut Ruang atau Menegosiasikannya?


Oleh: Adin

Beberapa waktu yang lalu ketika dalam launching antologi puisi di TBJT yang berjudul Kursi yang Malas Menunggu karena kesalahpahaman jadilah aku yang diposisikan untuk mempertanggungjawabkan alasan apa yang mendasari para penyair dimuat dalam antologi ini. Dua alasan aku kemukakan yakni alasan politis yang berkait erat dengan kebutuhanku akan infrastruktur (yang lebih utamanya di Semarang) dan satunya lagi alasan estetis. Nah alasan estetika inilah yang membuatku terjebak dalam situasi tidak nyaman. Karena ketidaksiapan, aku tidak bisa memberikan alasan yang meyakinkan pada sidang pembaca. Toh posisiku sebagai redaktur puisi di zine Hysteria dan kurator dalam Kredo Kecil Penyair Kecil (diskusi sastra rutin di Grobak A[r]t Kos) juga bukan karena alasan intelektual yang benar-benar bisa dipertanggunjawabkan. Artinya tidak ada mekanisme intelektual yang membuatku berkedudukan seperti itu. Karena zine dan diskusi rutin ini memang salah satu penggagasnya adalah aku dan otomatis akulah yang bertanggungjawab setidaknya sampai hari ini. Jadi bisa dipastikan selera, subjektifitas, dan semacam itu akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Bahwa aku kelak perlahan-lahan meningkatkan kapasitas intelektual dan membuat orang lain yakin dengan integritas dan kapasitasku itu adalah hal lain. Di titik ini yang ingin aku tegaskan adalah posisi politis ini aku dapatkan karena aktivitasku. Jadi kalaupun aku akan bersikap semena-mena secara intelektual itu adalah urusanku atau bahkan tidak peduli sekalipun pada pihak-pihak lain. Toh aku tidak perlu mempertanggunjawabkan secara definitif alasan-alasan apa yang menjadi pertimbanganku dalam kuratorial tertutup ini. Nah celakanya dalam forum ‘kecelakaan’ di Solo terungkap sudah kesemena-menaan Adin. Tulisan inipun tidak aku buat untuk membela kenapa aku sewenang-wenang. Justru ingin menegaskan bahwasanya aku juga bisa berlaku sewenang-wenang. Pihak lain boleh teriak, tidak setuju atau memaki-maki tapi the show must go on karena aku yang memegang kekuasaan. Asal orang lain tahu saja bahwasanya ‘kekuasaan’ ini aku dapatkan dengan jerih payah sendiri jadi apa salahnya sekarang aku semena-mena. Nah!
Sampai di sini aku berusaha menganalogikan diriku dengan jabatan redaktur budaya di koran –koran kenamaan. Menurut penuturan beberapa teman untuk menjadi redaktur budaya tidak harus ada seleksi intelektual yang ketat. Karena posisi itu hanya sekrup kecil dalam organisme besar bernama koran. Jadi dalam dunia kesusastraan yang hari ini aku hebohkan, ternyata ‘pusat dari segala pusat’ bernama redaksi budaya itu tidak selalu jabatan yang tersebab hal-hal objektif. Kadang bisa sangat subjektif, misalnya karena si A dekat dengan dengan pemilik koran, atau karena politis, dan tidak selamanya karena inteletual maupun estetika. Celakanya pihak-pihak inilah yang hari ini dianggap menduduki posisi penting dalam dunia kesusastraan. Ia adalah hakim sekaligus eksekutor layak tidaknya karya sastra dimuat. Mereka bernasib lebih baik dari diriku yang ditelanjangi di hadapan forum, orang-orang ini biasanya memilih posisi aman dengan membuat penghargaan—penghargaan dan klaim-klaim kecanggihan estetika yang kesemuanya itu melibatkan kalau dalam istilah Saut, pseudo kritikus sastra. Dari situlah koran merasa telah melegitimasi pantas tidaknya individu sebagai sastrawan. Pengukuhan-pengukuhan ini bisa dilihat misalnya terbitnya antologi cerpen terbaik Kompas dan Anugrah Sastra Pena Kencana yang keduanya memang mengafirmasi sastra koran.
Di luar perdebatan sastra koran itu sendiri yang ingin aku soroti adalah posisi redaktur koran itu sendiri yang seolah tidak tersentuh apapun. Layaknya pejabat, ia kebal hukum dan hanya nurani dirinyalah yang bisa menyelamatkannya apakah kelak ia akan diktator dan melayani kepentingannya sendiri atau menjadi peduli dengan yang lain. Ia tidak perlu membuat pledoi untuk mempertanggungjawabkan pilihannya, cukup dengan membuat event besar dan melibatkan kritikus atau pakar yang telah dipilihnya untuk memperdahsyat efek legitimasinya. Hanya itu.

Begitulah realitas kesusatraan Indonesia hari ini. Anda boleh menolak kondisi ini, menerima, atau menegosiasinya. Dalam strategi perlawanan ada dua pilihan yang yakni melawan sistem (dengan begitu secara otomatis menyiapkan alternatif sistem baru) atau merubah sistem dari dalam. Kalau tidak melakukan dua hal itu berarti memang harus berdamai dan mau tidak mau harus benar-benar tunduk dengan sistem tersebut. Pada pilihan pertama mungkin bisa dialamatkan pada gerakan cybersastra. Namun (barangkali) karena hegemoni media massa dan kooptasi pikiran sekian tahun, gerakan ini rupanya belum merubah sesuatu secara signifikan. Tentu saja model semacam ini masih akan terus berkembang dan sejauh apa nanti perkembangannya mari kita lihat. Sedangkan model kedua terus terang aku belum bisa menunjukkan siapa agennya namun tawaran kedua lebih menelan biaya lebih kecil. Gerakan ini tidak membuat sesuatu yang tidak ada tetapi merevisi sistem yang sudah ada dan menggantinya perlahan-lahan secara evolutif. Metode inilah yang aku ingin tawarkan pada teman-teman kaitannya dalam konteks Semarang.

Dari Nol hingga Malas Menunggu

Mengapa Semarang? Pertama jelas karena karena aku hidup di kota ini, yang kedua Semarang adalah model pertama uji teoriku serta pemilihan wilayah ini untuk membatasi lingkup gerak. Andaipun berhasil, kelak aku harap bisa menjadi insirasi daerah lain mengingat Semarang adalah ibukota provinsi Jawa Tengah.
Sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah tentunya posisi Semarang menjadi strategis. Namun entah mengapa pada posisi strategis ini muncul mitos ‘Semarang kuburan seni’. Beberapa pihak berusaha menyangkal mitos ini pihak lain malah mengukuhkan dan buktinya pemakaman komunitas, individu atau seniman yang setiap tahun selalu ada menegaskan bahwa predikat ini memang layak. Dari tahun ke tahun aku berusaha memahami mengapa aku merasa sendirian di kota ini dan tidak tahu harus belajar dari siapa. Selama ini aku juga mencoba memahami mengapa banyak teman-teman yang merasa ‘bunuh diri’. Tidak bisa ditolak yang terjadi kemudian adalah satu persatu teman-teman mulai jenuh, tidak ada progress dan hal yang paling realistis adalah berhenti. Sampai di sini saya teringat film India Three Idiots. Dalam salah satu adegan tokoh utamanya melakukan kritik pada rektornya bahwasanya penyebab beberapa mahasiswanya mati itu dikarenakan beliau. Celakanya para suicider atau pebunuh diri ini selalu disalahkan. Mereka dianggap sebagai individu-individu yang tidak mampu berkompetisi dalam dunia pendidikan yang dicitrakan dahsyat dan tonggak keberhasilan hidup. Sang tokoh utama juga menunjukkan statistik betapa tinggi angka bunuh diri mahasiswa India. Kali ini kasus bunuh diri bukan dipandang sebagai tindakan semata-mata individual semata. Bunuh diri adalah respon atas ketidakmampuan individu menghadapi sistem. Sudut pandang awal dan masyarakat pada umumnya pasti akan selalu menyalahkan pebunuh diri, namun tawaran perspektif lain meyakini bahwasanya ada yang salah dengan sistem. Di sinilah rektor tidak berdiri sebagai rektor an sich. Rektor adalah representasi sistem. Artinya rektor dan lebih luasnya sistem menjadi pihak yang harus disalahkan dalam maraknya kasus bunuh diri. Kalau kita memahami bahwasanya kebudayaan adalah hasil konstruksi tentu saja cara berpikir semacam ini lebih mudah diterima.
Menganalogikan kasus di atas barangkali Semarang mengidap penyakit yang sama. Ada yang tidak beres dalam sistem ini dan pilihan mengahdapi sistem adalah merombak sistem secara keseluruhan yang artinya kita juga mempersiapkan sistem baru atau merubahnya perlahan-lahan dan satu persatu. Tentu saja biayanya akan mahal kalau mau merombaknya serempak. Maka pilihan paling realistis yakni memilih target tertentu (bagian dari sistem yang lebih besar) dan merubahnya satu persatu. Pertama-tama yang menjadi perhatianku adalah persoalan kesusastraan dan karena begitulah esai ini dibuat, yakni untuk membuat perbedaan dalam dunia kesusastraan di kota lunpia ini.

Berpikir mengenai kesusastraan tentu tidak bisa tidak kita harus tahu sarana prasarana apa saja yang dibutuhkan untuk perubahan. Hal ini penting disadari mengingat aktivitas kesusastraan di Semarang seringkali dihebohkan event-event yang sifatnya selebrasi belaka. Perayaan kerumunan yang ujung-ujungnya miskin isi. Dalam literary world kalau mau mengacu art world pihak-pihak yang diperlukan diantaranya penerbitan, fakultas sastra, forum apresiasi, ruang media, kritikus, dll. Kesemuanya itu memang diperlukan untuk kemajuan kehidupan kesusastraan di Semarang. Tanpa itu gerakan yang massif akan sulit diharapkan. Namun tentu naïf jika hal ini semua disiapkan dalam waktu serempak. Untungnya beberapa pihak yang disebutkan itu telah ada namun belum bisa bertemu dalam satu meja.
Namun akan halnya sebuah gerakan, tanpa target yang jelas akan sulit untuk mengukur keberhasilannya. Untuk itu sebagai pihak yang merasa sistem ini sakit maka dengan ini aku mengajak teman – teman untuk merevisi pandangan salah satu pihak yang hari ini memegang peranan besar dalam perkembangan kehidupan kesusastraan di Semarang, yakni TT sebagai pengelola rubrik sastra dan seni di harian SM. Mengapa TT dan mengapa SM, berikut ini hal-hal yang ingin aku yakinkan dan mengapa kita perlu melakukan hal ini.

Sebagaimana telah aku jelaskan di atas bahwa koran menempati posisi istimewa. Dengan redaktur bak tuhan dan kebal hukum serta posisi strategis koran dengan event-event legitimasinya telah membuat pola pikir kebanyakan orang terkooptasi bahwa sah tidaknya menjadi sastrawan adalah dimuat di koran. Untuk itu menduduki posisi strategis ini menjadi hal yang penting dan jangan harap ketika posisi ini ditempati orang yang bebal kepeduliannya akan memperhatikan generasi di bawahnya. Mereka hanya akan melakukan tindakan yang hanya menguntungkan mereka.

Posisi SM yang terletak di pusat Jawa Tengah dan sebagaimana besaran oplah yang dihasilkannya bisa dipastikan koran ini memegang peranan penting dalam hal pengendalian opini dan tentu saja legitimasi ‘kebenaran-kebenaran’ tertentu. Media massa sendiri dalam era sekarang juga diakui sebagai salah satu pihak pengendali opini dan tolok ukur kebenaran sebuah peristiwa atau bahkan ‘kebenaran’ itu sendiri. Dan sastra sebagai bagian kecil dari rubrikasi media massa aku pikir terpengaruh juga oleh sifat-sifat media massa tersebut.
Dunia kesusastraan di Semarang bahkan jawa tengah juga tidak bisa melepaskan diri dari mitos kebesaran harian ini. Diakui atau tidak koran ini akan ikut mempengaruhi kerangka berpikir warganya, termasuk di dalamnya isu-isu sastra. Jadi redaktur dan koran ini memegang kontribusi yang besar pula. Nah apapula jadinya kekuasaan yang besar ini jatuh di tangan yang tidak tepat (baca: tidak punya kepedulian).

Telah kita ketahui bersama bahwa Semarang tidak sepi-sepi amat dalam hal aktivitas kesusastraan. Dari data yang aku kumpulkan tidak kurang dari 7 antologi yang terbit yang sekurang-kurangnya mengorbitkan para penulis muda (kategori usia). Mulai dari antologi Nol hingga Kursi yang Malas Menunggu. Puluhan anak-anak muda yang pernah menisbatkan diri sebagai penyair juga tidak kalah banyaknya . Selain antologi puisi beberapa komunitas sastra juga eksis atau sempat eksis . Beberapa di antaranya ada yang membuat zine sastra sebagian yang lain rajin dalam penyelenggaraan event-event sastra. Jadi bisa dibilang tidak mati-mati amat. Namun fakta yang mencemaskan adalah para ‘penyair’ ini biasanya tidak konsisten dan memilih menyerah. Mengingat banyaknya yang mati dan mengubur diri aku percaya ada yang salah dengan sistem. Dalam hal ini tata kelola TT sebagai redaktur SM turut mengambil bagian karena sikap apatisnya dan tidak mau tahu. Bayangkan dari data yang aku kumpulkan terhitung sejak 2004 akhir hingga tahun 2010 hanya ada dua nama yang setidak-tidaknya aku kenal muncul di rubrik sastra SM. Dari puluhan penyair dan dari tahun ke tahun hanya ada 2 orang. Pertanyaannya apakah para penyair ini sedemikian bebalnya atau redakturnya yang bermasalah?

Tentu tuntutan ini bukan tanpa pijakan. Jika kita mau membandingkan dengan pola-pola yang dilakukan, misalnya Umbu Landu Paranggi, Wan Anwar, Acep Zamzam Noor, Raudal Tanjung Banua, akan terlihat jejak-jejak campur tangan mereka kaitannya dalam regenerasi kesusastraan di tempat masing-masing. Hal ini yang barangkali tidak terjadi -setidaknya dalam skala intens- di Semarang. Sudah jamak diketahui bahwa kondisi infrastruktur kesenian pada umumnya di Indonesia kurang mendapat perhatian pemerintah. Dalam kondisi yatim ini ternyata juga dicemari oleh praktik semena-mena beberapa pihak. Sampai hari ini SM (lebih spesifik mengacu pada rubrik budaya mingguannya) telah menjadi jumawa namun sekaligus inferior. Jumawa karena lebih banyak diisi orang-orang kenamaan, inferior karena tidak percaya pada bibit-bibit potensial. Ibarat orang mereka lebih percaya pada tamu daripada ‘keluarga’ sendiri. Selain itu mereka juga tidak mempunyai kesabaran untuk merawat generasi yang baru tumbuh. Maka jadilah TT dan rubriknya merawat ‘mental penonton’ kota ini. Mental yang terkagum-kagum melihat artis dan menjadi sangat merasa rendah diri pada diri sendiri. Tidak mempunyai kepercayaan diri sama sekali.

Orientasi hasil dan indstrialis semacam ini tentu saja tidak senada dengan semangat sastra untuk memanusiakan manusia sekaligus mendidik pembaca menjadi lebih kritis dan semangat menjadi kreator. Hal ini diperparah dengan ketidakpedulian mengenai lemahnya infrastruktur di Semarang. TT bersikap tak beda jauh pemerintah dalam kasus UAN. Mereka selalu meminta lebih tapi tidak mau tahu infrastruktur. Selalu dituntut bagus tapi tidak diberi fasilitas atau metode bagaimana caranya supaya bagus.

Kasus lain yang membuatku semakin tidak simpatik yakni ketika mengetahui puluhan penyair di sini tidak mendapat kesempatan ikut dalam temu sastra Mitra Praja Utama yang katanya tahun lalu tuan rumahnya Jawa Tengah dengan kurator dahsyat TT dan DRH. Itu hanya sebagian kecil yang aku tahu mengenai distibusi kesempatan yang tidak merata, karena tidak menutup kemungkinan banyak kesempatan lain yang dibagi secara tidak adil atau hanya dikangkangi orang itu-itu saja.

Efek-efek politis yang jalin berkelindan dengan jabatan TT sebagai redaktur SM telah menempatkan TT menjadi sesuatu yang membunuh. Tidak hanya ditribusi kesempatan yang tidak jelas regulasinya namun juga sikap acuhnya terhadap generasi masa depan. Setidaknya aku bisa klaim dalam 10 tahun terakhir ini minim sekali generasi anak muda di Semarang di bidang kesusastraan yang berwibawa. Baik secara tekstual maupun gerakan. Tentu tidak adil jika semua kondisi ini dibebankan pada TT seorang. Namun sebagai sebuah representasi kekuasaan yang strategis, dosa TT cukup besar.

TT sebagai representasi sistem

Seperti yang aku sebutkan di atas, memang tidak semuanya dosa TT. Namun dia memegang peranan penting dalam distribusi kesempatan yang penuh kepentingan ini. Kalau mau menarik jauh ke belakang sebenarnya TT pun adalah anak kandung sistem. Aku membayangkan dia mengalami masa-masa sulit di masa mudanya. Maka tidak heran jika ada anak muda mau sesukses dirinya harusnya lebih berdarah-darah lagi. Barangkali juga dia menempuh hal ini dengan (merasa) sendirian. Pembiaran-pembiaran ini rupanya berlangsung secara turun termurun dan sistematis. Saling membunuh adalah tradisi yang terus dipelihara dan kalaupun ada individu kuat muncul haruslah individu tahan banting macam TT dan kelakpun mungkin memiliki kondisi psikologi mirip dia, jika tidak mampu berdamai dengan lukanya dan masa depan anak-anak muda. Mustahil menginginkan perubahan signifikan di kota ini tanpa mengoreksi sistem dan mempelajari bagaimana sistem itu bekerja. Kalaupun aku mengajak teman-teman untuk kritis pada kondisi ini bukan berarti mengajak teman-teman memusuhi TT an sich. TT itu hebat dan kita mencintainya dengan mengingatkannya bahwa metode-metode yang dia tempuh tidak efektif lagi menjawab tuntutan jaman. Alih –alih melahirkan individu-individu cerdas, metode yang ia tempuh justru telah membunuh puluhan sastrawan potensial di kota ini.

Dalam kasus ini bisa kita analogikan masa-masa orientasi mahasiswa. Pada fakultas tertentu tradisi perploncoan ini masih ada. Alih-alih mendidik, ajang ini bisaanya malah menjadi ajang balas dendam perlakuan senior mereka di masa lalu. TT sebagai representasi sistem saling bunuh sekarang mempraktekkan hal ini. Seperti mengidap psikologi ospek beliau pun mengharapkan anak-anak mudanya semenderita beliau. Sebagai sosok yang bijak idealnya dia bisa menjawab tuntutan jaman dan bisa berdamai dengan seluruh rasa sakit nya. Pun halnya ketika ajakan gerakan ini dilontarkan sejatinya bukan untuk menyerang TT secara personal namun lebih kepada sistem dan semua pihak yang selama ini menutup mata terhadap persoalan ini. Kalaupun persoalan ini dibiarkan berlarut-larut tanpa kesadaran anak-anak muda untuk bergerak warisan sistem saling bunuh dan merasa sendirian akan berlangsung hingga masa-masa yang akan datang.

Sebagai penutup kita tidak bisa menyerang sistem secara serempak tanpa modal yang cukup. Satu-satunya pilihan realistis adalah menyerang (baca: menyadarkan) agen sistem itu satu persatu dan merevisi perspektif mereka demi warisan sistem yang lebih baik dari situlah kita bisa melihat masa depan lebih cerah daripada hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar