Kamis, 27 September 2012

OPEN APPLICATION

  OPEN APPLICATION

1. Bagian dokumentasi (video foto)
2. Web desainer Untuk program unit gawat darurat semarang,
#UGDSmg sebuah platform yang bergerak di bidang seni, budaya terkait dengan  tata kota. rogram ini akan berjalan selama setahun.
Persyaratan,
Dokumentasi:
1. Sanggup mengolah data video dan foto-foto
2. Bekerja dengan jadwal kegiatan #UGDSmg selama setahun
3. Diutamakan yang bermukim di Semarang dan punya kendaraan
4. Mampu menunaikan pekerjaan sesuai deadline

Web desain:
1. Punya pengalaman sebagai web desain
2. Sanggup bekerja dengan batas deadline

Penawaran yang diberikan:
1. Kesempatan bekerja dengan tim yang terdiri atas beragam lintas disiplin
2. Stimulus dana

Bagi yang berminat bisa mengirim aplikasi berupa lamaran, CV, sample project ke email: ugd.semarang@gmail.com atau
via pos ke #UGDSmg jalan stonen no 29, bendan ngisor, gajahmungkur, Semarang.
Kesempatan ini dibuka hingga 6 oktober. Tgl 7 oktober akan ada wawancara. Kontak 08122522323, 08567562088 atau (024) 8316860

UGD semarang adalah sebuah platform yang terbentuk dari beberapa
komunitas saat ada forum yang diinisisiasi oleh ruang jakarta (Rujak)
center beberapa bulan lalu di hotel Quest. dari forum ini beberapa
eksponennya sepakat untuk membuat platform baru bernama Unit Gawat
Darurat (UGD) Semarang yang bergerak di bidang seni dan budaya terkait
dengan tata kota. Program UGDSemarang secara singkat dijelaskan
sebagai berikut: kepedulian warga kota terhadap kebijakan pemerintah
yang sering disusun tidak berdasar pengetahuan cukup. kekurangan
pengetahuan ini telah menyebabkan beberapa kebijakan berjarak dengan
kebutuhan sosio kultural terdekatnya. misalnya pasar sampangan yang
disusun tanpa memedulikan kebutuhan warga telah mengakibatkan proses
pembangunan tidak bersesuaian dengan masyarakat. Padahal masyarakat
juga mempunyai harapannya sendiri terhadap tata kelola ruang mereka.
UGDSemarang bermaksud menggali informasi dari masyarakat dengan
menjadikannya pengetahuan, mendistibusikan pengetahuan tersebut serta
memanfaatkannya untuk kebutuhan stake holder terkait, terutama
masyarakat. dalam prosesnya UGDSemarang bukan semacam dewa penolong
untuk masyarakat, tetapi tim bersama masyarakat adalah dua pihak yang
saling berlajar untuk memproduksi pengetahuan, mendisstibusikannya,
lalu memanfaatkannya.
dalam proyek yang digagas selama setahun ke depan UGDSemarang
berencana untuk membuat pilot project ini di dua kampung  yakni: Tugu
dan Bustaman (selama 6 bulan) sisa setengah tahun berikutnya metode
fasilitasi ini akan kami sebarluarkan pada komunal atau kolektif yang
membutuhkan dengan sasaran pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum.
bisa dicek di twitter dengan hesteg #UGDSmg.

Rabu, 26 September 2012

berbagi atau..


  
oleh: Openk Hysteria

Program ini merupakan serangkaian acara untuk berbagi pengalaman yang digelar Hysteria dengan berbagai komunitas di Semarang, dalam hal ini teman teman Kurang Lebih, Udinus. Ide awalnya adalah keberangkatan Purna Cipta Nugraha ke Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta untuk mengikuti acara magang nusantara yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola, Jakarta. Karena kami pikir pengalaman Purna selama menjalani residensi cukup menarik maka kami ingin membagi pengalaman in bersama teman-teman siapa tahu bisa saling belajar dan menginspirasi.
Sekilas akan kami ceritakan dulu siapa itu Purna Cipta Nugraha :)
Purna adalah mahasiswa UNDIP jurusan sastra Inggris angkatan tahun 2007 yang sedang berusaha menyelesaikan skripsinya saat ini.  Besar di kota Metro, Lampung di tengah keluarga sederhana yang mengedepankan sikap disiplin dan tanggung jawab. Perawakannya tinggi, besar, agak gondrong, dan berat badan 94 kg. Namun di balik semua penampilannya tersebut Purna ialah orang yang baik dan memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi. Di Hysteria dia memegang jabatan sebagai manajer program yang artinya hampir semua program di Hysteria dia yang mengatur, jadi bisa dibilang posisi Purna di Hysteria cukup strategis dan penting. Kemampuannya dalam mengerjakan beberapa hal dalam waktu yang hampir bersamaan sangat bisa dijamin, istilahnya adalah multitasking.
Saya mengenal Purna Cipta Nugraha pada menjelang akhir tahun 2010, dia mengajak saya untuk ngobrol ngalor nidul mengenai kota dan serba serbinya. Saya sangat tertarik karena bagi saya obrolan-obrolan semacam itu membuka wacana baru bagi saya. Selama bekerja bersama, saya melihat kalau Purna sangat rajin dan tekun dalam menjalankan tugasnya itu adalah nilai plus. Semakin intensif saya ngobrol dengan Purna, ia memiliki banyak pengalaman yang sangat menarik jika dikupas satu persatu.
Setelah ikut proses wawancara dan dterima di Hysteria, Purna juga merambah  Kronik tahun 2008. Selama di Kronik dia mendapat keparcayaan untuk menjadi koordinator divisi apresiasi, dan selama masa jabatannya tersebut Purna dan kawan kawan Kronik saat itu membuat sebuah film. Kemudian Purna menjadi koordinator kegiatan Movie Camp 2010 di Bandungan. Purna sendiri aktif di Hysteria seak terrlibat dalam festival “Konsoemsi Atoe Mati”. Penampilannya waktu itu cukup meragukan namun tidak dinyana ia berhasil bertahan sampai sekarang. Kemudian pada tahun 2009 Purna masuk menjadi anggota  Kesatuan Mahasiswa Lampng (Kamapala) Semarang dan akhirnya menjabat sebagai koordinator penelitian dan pengembangan tahun 2011. Selain itu Purna juga terlibat dalam pembuatan buletin yang dikeluarkan oleh Kamapala. Kadang-kadang pemuda penyuka ketelitian ini menulis untuk MIXMAGZ, buletin yang dibuat oleh Karamba Art Movement, sebuah kelompok seni visual di Semarang.  Ia pernah mengikuti lokakarya “pembuatan video” yang diselenggarakan oleh Importal di Widya Mitra Semarang. Pada tahun 2011 Purna mengikuti lokakarya penulisan kritik seni visual yang diadakan oleh Jarak Pandang, salah satu sub divisi dari RuangRupa di Jakarta bersama 18 peserta dari seluruh Indonesia. Pada tahun yang sama tepatnya akhir tahun 2011, lelaki penggemar motor Mega Pro ini menjadi pemateri lokakarya pembuatan video di Gunung Kidul yang menjadi salah satu bagian dari rangkaian festival Jogja Binnalle 2011. Beberapa kali ia terlibat pameran yang diadakan oleh beberapa komunitas seperti pameran “Imajinasi adalah energi” di Grobak A[r]t kos 2011, lalu pameran “Postcard” yang diselenggarakan oleh c2o Surabaya pada tahun 2011, lalu pameran karya cukil kayu yang dipamerkan di markas Taring padi Jogja 2011. Prestasinya inilah yang menjadi dasar pertimbangan direktur LIP Yogyakarta untuk lolos seleksi magang nusantara. Magang Nusantara sendiri adalah salah satu program yang cukup bergengsi di kalangan organisasi seni di Indonesia, tidak semua orang mendapat kesempatan semacam ini. Selama residensi di  LIP Yogyakarta Purna menjabat sebagai asisten humas yang membuatnya terlibat dalam perencanaan sampai pelaksanaan event yang diselenggarakan oleh LIP. beberapa contoh event-nya adalah Printemps Francais 2012, pentas teater Garasi, pemutaran film Land Beneath the Fog (salah satu pemenang Dubai Award 2012). kemudian mengakomodir proposal kerjasama yang masuk dari komunitas komunitas di Jogja untuk nantinya akan di-follow up oleh LIP. Lalu tugas lainnya adalah melakukan lobbying  ke beberapa tempat seperti Taman Pintar, P4TK, dan seniman-seniman di Jogja. Selain itu juga Purna memegang penuh tanggung jawab untuk mengatur arus persebaran pamflet dan undangan dari LIP.

Cukup menarik hal-hal yang dimiliki oleh Purna bagi saya khususnya. Lalu apa lagi yang bisa saya ceritakan mengenai Purna selain hal-hal yang tak perlu saya ceritakan? Oh iya, kami pernah bekerja bersama saatgelar performance art pada pada saat hari Nelayan dengan berbagai organisasi lain. Lalu pernah juga melakukan performance art pada saat hari HAM sedunia yang bagi saya itu cukup berkesan. Kemudian performance art di UDINUS dalam rangka ULTAH teater Kaplink. Selain hal-hal gila tersebut, kami juga mengikuti pameran bersama dengan Fakultas Arsitek dan Desain Unika Soegijapranata di gedung Sobokarti Semarang. Saya pikir akan menarik jika kita menggali sendiri pengalan pemuda yang belum lama ini berpacar.





Selasa, 25 September 2012

HUT Lembah Kelelawar, komunitas sastra


RANGKAIAN ACARA
DIRGAHAYU KOMUNITAS SASTRA LEMBAH KELELAWAR #3
TAHUN 2012


A.    Meja Cerpen #5(Jumat, 28 September 2012. Pukul 19.00 s.d 21.00 WIB)Menyuguhkan cerpen “Tikus” karya M. Rif’an Fajrin (cerpenis muda, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang)Pembibir:1.    Issatul Hani’ah (Majalah Vokal IKIP PGRI Semarang)2.    Mochamad Zaenuri (Penikmat sastra; Guru Drumband, Demak)3.    Ahyar Ahmad (Moderator)
Digegerkan oleh:The Veci (Musik Akustik dari Komunitas Vespa IKIP PGRI Semarang)
B.    Ndhopok Sastra #2
(Sabtu, 29 September 2012. Pukul 19.00 s.d 21.00 WIB)
Diskusi novel “Perjaka”
karya Kartika Catur Pelita (Sastrawan Jepara)
Pembibir:
1.    Santi Almufaroh (KIAS IKIP PGRI Semarang)
2.    Bahrul Ulum A. Malik (Plataran Sastra Kaliwungu, Kendal)
3.    Sulung Pamanggih (Moderator)
Digegerkan oleh:
Klinik Art (Performance Art)

C.    Ndhopok Sastra #3(Minggu, 30 September 2012. Pukul 19.00 s.d 21.00 WIB)Diskusi “Cerpen tentang Peristiwa ‘65, masih menarikkah?”Pembibir:1.    Gunawan Budi Susanto (cerpenis, wartawan  Suara Merdeka)2.    Drs. Nur Hidayat, M.Hum. (dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP PGRI Semarang)
3.    Widyanuari Eko Putra (Moderator)
Digegerkan oleh: Pembacaan Puisi oleh NWU Gabriel Genesis

Minggu, 23 September 2012

Negeri Matahari Terbenam






Aku ingin pergi ke negeri matahari terbenam di mana seluruh kegelapan akan menyembunyikan kehilangan. lalu orangorang tidak akan pernah paham. apa yang sebenarbenarnya aku sedihkan.

di negeri itu orangorang tidak saling kenal. tapi masingmasing mengerti. kita sedih tapi tak perlu berjujur sebab apa semua ini.

aku ingin pergi ke negeri matahari terbenam. dan rebah di dadanya sedikit terisak seperti mengadu pada laut. ibu segala air yang mengalir. aku di dalamnya dan bergerakgerak seperti ombak yang tenang. setenang kesedihan yang diamdiam

HARI TANI




Perayaan hari tani dengan menggelar sejumah kegiatan diantaranya :
- Penyampaian Petisi dari Sejumlah Kelompok Tani Kabupaten Jawa Tengah
Penyampaian Petisi Keprihatinan Petani serempak akan disampaikan kelompok Tani melalui Faksimile kepada 16 Lembaga Tinggi negara dihadapan Pimpinan DPRD di seluruh Kabupaten/Kota jawa Tengah pada Hari Senin, 24 September 2012 Pukul 11.00wib
- Mimbar Keprihatinan 
Sejumlah acara pentas yang berisi Musikalisasi Puisi, Pementasan Teater, Ikrar Bersama diselenggarakan pada hari Senin, 24 September 2012, Pukul 16.00- Selesai di Taman KB, Jl. Menteri Supeno Semarang, Semarang.

Info Lebih lanjut:

Zaenal (085 727 149 369)
Andri (085 878 434 570)
Sekretariat Panitia:
Jl. Jomblangsari IV No. 17, Candi Sari, Semarang.

Telepon: 024 - 864 530 54
Fax : 024 - 864 530 54
Email : lbhsmg@indosat.net.id

Rabu, 19 September 2012




AGENDA KEGIATAN HYSTERIA SEPTEMBER JELANG SEWINDU (21-28 okt)
20-9-2012 Buah Tangan #7
@ kampus III IAIN Jl. Prof. Hamka
Kampus 1 Ngaliyan Semarang
24-9-2012 Lebih Dekatdengan hysteRia (LDR #1)
@ Deoholic kafe Jl. Peleburan
Barat 38 A Semarang
24-9-2012 peringatan hari tani di taman kb dgn tman2 jaringan gerakan tani
25-9-2012 (LDR #2)
@ Seventy's cafe, Jl. jatimulya
raya no.10 tembalang Semarang
26-9-2012 LDR #3
@ Green black Cafe, Jl. kolonel
Hardiyanto, banaran gunung pati
Semarang
26-9-2012 Buah Tangan #8
@ UNDIP Jl. H. Prof. Sudarto, SH,
Tembalang Semarang
27-9-2012 LDR#4
@ kopikita Cafe, jl.Fatmawati
ruko PSIS A-2, Sendang Mulyo
Semarang
27-9-2012 Buah Tangan #9
@ UDINUS Jl. Nakula I No. 5-11
Semarang
28-9-2012 Screening film jerman
@ Grobak a(r)t Kos Jl. Stonen 29
Bendan Ngisor Semarang
29-9-2012 Semarang Sebuah Cerita #5
dengan AIESEC
@ Grobak a(r)t Kos Jl. Stonen 29
Bendan Ngisor Semarang
30-9-2012 Buah Tangan #10
@ jepara
* Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu, akan kami informasikan secepatnya jika
hal ini terjadi
Sepanjang program ini hysteria jg akan mbuat art project ttg tempt nongkrong favorit,relasi personal dgn ruang,dan imajinasi kota :) hasilna akan dpamerkan 21-28 okt mdatang

Sabtu, 15 September 2012

Sewindu Hysteria dan Gerakan Sastra Semarang






 : Adin

Berkat Heri CS, saya dipertemukan dengan Yuswinardi, pemenang lomba cipta puisi Diponegoro yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (sekarang Fakultas Ilmu Budaya). Jauh-jauh hari sebelum diperkenalkan dengannya saya sempat mendapat selebaran berisi sajak yang dibagi-bagikan oleh seseorang. Ternyata orang inilah yang bernama Yuswinardi itu dengan selebarannya yang dinamakan ‘Hysteria, lembar sastra bawah tanah’. Perkenalan itu lantas disusul dengan pertemuan di antara teman-teman penyuka sastra, saat itu ada Tulis Gus Yon, Heri CS, Yuswinardi, dan saya sendiri. Pertemuan pertama kali di kawasan Auditorium Imam Bardjo, Undip Pleburan. Pertemuan singkat yang disepakati untuk membentuk komunitas baru namun deadlock karena masing-masing bersikukuh mengusung usulan namanya sendiri-sendiri.

Selang beberapa minggu kemudian kami mengumpulkan sajak pada Yuswinardi mengingat dialah selama ini yang mengusung nama Hysteria dan mengerjakan layoutnya sendirian dengan meminjam computer di teman-temannya. Tulisan yang direncanakan terbit pada bulan Desember 2005 itu akhirnya baru bisa benar-benar diterbitkan pada awal tahun 2006. Saya senang sekali karena itulah pertama kalinya saya mengekspos tulisan sendiri. Perdebatan mengenai nama komunitas akhirnya tidak diteruskan lagi karena tiba-tiba saja kami diam-diam bersepakat menggunakan nama yang sama untuk meneguhkan keberadaan.
Ketertarikan saya di Hysteria dipicu oleh kesukaan saya dalam dunia sastra. Jujur saat itu saya merasakan kehausan pada dunia akdemik dan sastra. Dan itulah pertama kalinya pelan-pelan saya berkenalan dengan dunia kesenian setelah sebelumnya mendaftarkan diri di unit kegiatan mahasiswa (UKM) wadah musik sastra (WMS) dan dibujuk ikut Teater Emper Kampus.
Sampai setahun berikutnya Hysteria didominasi oleh aktivitas penerbitan bulletin yang kami fotokopi. Jumlahnya terus naik, dari 30 eksemplar menjadi 75, meningkat lagi 200 sampai akhirnya mencapai 300 eksemplar. Dengan percaya diri kami bawa ke mana-mana, dijual, kadang dibagikan, baik di kalangan kampus hingga komunitas luar kota lintas disiplin.

Tahun 2007 secara penuh saya memegang Hysteria karena Yuswinardi pulang ke Blora. Berkat dialah saya dibekali kemampuan lay out sederhana hingga terbitan kami bertahan hingga edisi 85. Di tahun yang sama kami mulai membuat program diskusi rutin. Temanya bermacam-macam, namun tetap dominan tema sastra. Forum yang kami namakan ‘Ngobrol Sastra; Rerasan Budaya’ bertahan hingga dua tahun dengan para pengisi bervariasi. Salah satu bahasan tema yang akhirnya mempengaruhi visi misi kami sekarang adalah soal pemetaan. Sejak tahun 2007 kami mulai bertanya sebenarnya apa yang terjadi di kota ini sehingga kehidupan berkeseniannya menurut kami kurang bergairah. Keinginan untuk melacak jejak ini demikian besar, karena kesulitan mencari lembaga yang mau melakukan tugas-tugas pengarsipan dan kurang tahu harus melacak ke mana, maka kami menggelar diskusi tentang melacak jejak gerakan sastra dan gerakan teater. Kebetulan tahun 2007 Hysteria mempunyai program rutin dengan forum teater kampus semarang (Fotkas). Tak heran kami membuat diskusi pemetaan serupa.

Kembali ke Sastra

Sejatinya pada tahun berikutnya hingga menginjak tahun 2010 banyak sudah aktivitas kami yang tidak berfokus pada sastra lagi. Perkembangan jaringan kami memungkinkan kami mendesain program lintas disipliner. Hingga tahun 2010 kami merasa perlu menata ulang dan melakukan revisi pada tujuan kami.
Sementara itu di dunia sastra kami mengalami kegamangan. Bagaimana tidak pada tahun itu terbit tulisan yang menyatakan sastra di Jawa Tengah tidak berkembang, sementara kami tiap bulan seperti orang kalap menerbitkan bulletin sastra seni dan 3 tahun lamanya kami membuat program kajian rutin dan apresiasi puisi. Di saat bersamaan kami mulai melakukan riset kecil-kecilan kenapa progresivitas gerakan sastra tidak mengalami signifikansi selama bertahun-tahun.
Beberapa temuan kami diantaranya tidak sinerginya beberapa stake holder yang ada di Semarang. Media massa tidak menampung ekpresi artistic teman-teman di Semarang, lembaga seni tidak membuat program yang efektif, forum apresiasi masih banyak berorientasi dengan nama-nama besar untuk diundang, minimnya komunitas sastra yang mempunyai program yang jelas, dan yang terakhir tidak terkoneksinya antar stake holder sehingga bisa membuat program bersama yang saling dukung. Keadaan inilah yang membuat masing-masing pihak merasa paling benar dan paling hebat. Tentu saja masih banyak persoalan di Semarang yang tidak bisa saya sebut satu-persatu. Namun inti dari semuanya saya pikir adalah tidak adanya sinergi antar stake holder.

Keadaan itulah yang akhirnya mengilhami kami untuk membuat forum sementara untuk merespons situasi tersebut. Forum sementara ini kami namakan ‘Sastra Horeg’ yang dideklarasikan oleh beberapa eksponen pelaku sastra di Semarang. Tujuannya adalah membuat gerakan sistematis untuk mempengaruhi tatanan system yang sudah ada. Gerakan itu kami bagi menjadi dua, yang pertama politis, yang kedua intelektual.
Gerakan politis lebih pada memperjuangkan hak-hak teman-teman secara politis. Dimulai dari menggiring opini public bahwa ruang ekspresi untuk anak muda harud diperluas. Media massa, baik itu cetak maupun audio yang mempunyai ruang sastra sudah semestinya membuat program yang mengakomodir para pemula. Karena kami sepakat bahwa baik itu proses, tidak terberi, sudah selayaknyalah anak-anak yang sedang tumbuh ini diberi kesempatan. Kenyataan bahwa beberapa ruang sastra di Semarang selama hampir sepuluh tahun tidak memberi kesempatan lebih dari 5 orang itu kami gembar-gemborkan ke sana ke mari. Mental apa yang demikian begitu kejam sehingga anak-anak yang tumbuh ini tidak mempunyai kesempatan belajar?
Saya pribadi masuk menjadi anggota komite sastra di Dewan Kesenian Semarang. Sejak masuk tahun 2008, baru pada tahun 2010 saya berhasil mempengaruhi program sehingga lebih ramah pada komunitas yang tidak penting dan tidak ternama di Semarang. Merubah paradigma teman-teman bahwa acara sastra tidak harus mengundang tokoh-tokoh yang ternama. Kami membangun sentimen negative pada orang-orang atau lembaga yang tidak peduli pada gerakan ini. Lewatnya macam-macam, mulai dari memanfaatkan media social, terbitan alternative, dan forum-forum diskusi mengorek isu seputar itu.

Sentimen-sentimen itu tentunya punya dasar. Ada yang dipicu karena distribusi kesempatan yang tidak merata hingga kebijakan-kebijakan menjijikkan yang hanya mementingkan diri sendiri. Salah satu temuan kami misalnya waktu di Surakarta ada Temu Satra Mitra Praja Utama (MPU) tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2009 tidak ada satupun teman yang kami kenal mendapat undangan. Padahal Jawa menjadi tuan rumah dan konon curator Jateng adalah sastrawan kenamaan Jateng. Sementara di daerah lain yang dikirim banyak di antaranya berusia muda. Saat itu sempat teman-teman yang diundang menanyakan kami kenapa teman-teman dari Semarang tidak ada yang datang. Itu hanya salah satu temuan saja, belum lagi para sastrawan tua yang mendapat jatah membacakan puisi ke luar jawa tiap tahun tanpa pernah sekalipun memberi kesempatan pada anak muda. Jauh sekali dengan apa yang pernah dilakukan Acep Zamzam Noor dan Raudal Tanjung Banua. Kesempatan-kesempatan ini dikangkangi, menahun.

Di Semarang sendiri, saat itu beberapa komunitas sastra yang ada antara lain Lembah Kelewawar, Open Mind, KIAS, Cakra, Sipilis, Kumandang Sastra, Teater ASA, dan lain-lain kami manfaatkan betul untuk memback up isu yang sama. Bagi teman-teman yang tidak punya komunitas namun punya terbitan alternative semacam Nolabel dan Suket Teki juga diajak untuk memblow up isu di kalangan akar rumput. Hasilnya tidak terduga, tiba-tiba banyak pihak yang peduli dengan isu ini. Di facebook, di catatan saya menuai komentar hingga ratusan.
Saat itu sempat terbersit ‘Sastra Horeg’ akan membuat petisi yang akan ditandatangi bersama yang berisi pernyataan sikap tentang kepedulian bersama terhadap kondisi sastra di Semarang. Sayang niat ini tidak terlaksana hingga forum ini pelan-pelan mulai surut.
Di bidang intelektual kami melakukan pencatatan sederhana antologi puisi dan cerpen yang pernah dbuat di Semarang atau melibatkan teman-teman di Semarang. Data itu lalu kami bandingkan dengan proporsi pemuatan di media massa tertentu di Semarang yang ternyata berdasar temuan kami tidak berpihak pada proses. Selain itu teman-teman yang tergabung dalam ‘Sastra Horeg’ bersepakat untuk membuat forum-forum yang spesifik untuk pengembangan di komunitas masing-masing. Open Mind misalnya membuat forum kajian kualitatif mingguan, Hysteria konsentrasi pada forum ‘kredo kecil penyair kecil (KKPK)’ untuk para penyair pemula, Lembah Kelelawar membuat ‘Meja Cerpen’ khusus membahas cerpen dan lain-lain.

Progress

Mengatakan kami tidak terlibat sama sekali dalam proses perkembangan sastra di Semarang hari ini sama zalimnya dengan mengatakan bahwa progresivitas ini semata-mata karena kami. Tentu saja kami tidak akan mengklaim demikian. Di luar kami masih ada forum jurnalis baca puisi, lini kreatif, komunitas godhong dan banyak lagi yang lain. Dan sengaja memang tulisan ini sekedar memetakan perspektif  kami. Saya pikir semua punya hak untuk mengklaim beberapa hal yang telah berubah dalam peta kesusastraan di Semarang. Namun diakui atau tidak diakui, ‘Sastra Horeg’ adalah embrio gerakan yang disusun secara sistematis untuk membuat perubahan. Tidak menutup kemngkinan di masa lal pernah ada gerakan serupa,namun karena minimnya referensi saya tidak berani menyebutnya dengan jelas. Kecil atau besar pengaruh jelas apa yang dirintis telah memberi bekal berharga bagi kami terutama untuk mendesain sebuah gerakan.

Menilik progresivitas sebuah gerakan tentu tidak adil tanpa disertai kriteria apa yang digunakan untuk membincang kemajuan. Disadari atau tidak disadari, telah terjadi pola antar komunitas ini untuk membangun gerakan dan program. Kalau  mengukur kemajuan dari kriteria  pemuatan media massa dan penerimaan public, tentu Semarang patut berbangga. Beberapa nama semacam Sulung Pamanggih, Setia Naka Andrian, Musyafak Timur Banua, sesekali menghiasi terbitan koran nasional. Vivi Andriani diperbincangkan Afrizal Malna dalam sebuah esainya di JP, Arif Fitra Kurniawan mendapat kesempatan untuk ikut Ubud Write Fest tahun 2012. Dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Belum lagi tren menerbitkan buku di kalangan anak-anak muda, pergeseran orientasi kebijakan pemuatan di SM setelah dipegang Saroni Asikin, itu semua menunjukkan telah tejadi pergeseran. Bahwa memang masih banyak yang harus dibenahi itu ya, tetapi bahwa gerakan ini dalam beberapa hal menunjukkan efektivitasnya itu juga harus diakui.
Kini setelah hampir 8 tahun Hysteria, banyak sudah yang bergeser visi misi kami. Program-program sastra lambat laun kami wariskan pada komunitas inisiasi kami, Lacikata yang berasal dari teman-teman penyair yang kami kumpulkan rutin sebulan sekali dalam 2 tahun kami membangun  program KKPK. Sudah sejak lama saya berpikir untuk menuliskan ini. Apa yang kami lakukan di dunia sastra di Semarang terutama semakin memantapkan kami bahwa kebudayaan itu bisa didesain. Bisa saja orang bisa abai pada kepentingan umum dan focus pada dirinya sendiri, namun kalau yang diimpikan adalah perubahan berskala lebih besar, saya rasa akan sulit mencapai percepatan. Kami percaya percepatan itu hanya bisa dicapai dengan sinergi banyak pihak, antar stake holder. 


Minggu, 09 September 2012

Mencintai Museum hingga ke Jerman


Oleh: Adin 

Tidak banyak anak muda  yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan ilmunya hingga ke Eropa, apalagi jika kesempatan belajar di sana merupakan kesemepatan yang langka. Adalah, Ami, seorang pecinta museum asal Semarang yang mendapatkan kesempatan itu. Terlahir dengan nama Anastasia Dwi Rahmi, Semarang 21 Januari 1987 ini pada tahun 2011 mendapat kesempatan untuk mengikuti pemagangan di Kota Dresden dan  Leipzig, Jerman. Melalui Rave Foundation dari Institut Fuer Auslandbeziehungen, ia memperoleh kesempatan belajar di Museum Fuer Voelkerkunde (Dresden) dan Grassi Museum (Leipzig) selama 6 bulan. Konon beasiswa ini hanya bisa diberikan pada 5 orang saja dari seluruh pelamar yang berasal dari negara berkembang.





Cewek lulusan Jurusan Hubungan Internasional tahun 2009, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol)  Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sebenarnya mengetahui informasi tentang beasiswa ini sejak tahun 2009 saat bergabung dengan Museum Anak-anak Kolong Tangga, Yogyakarta dan dipercaya sebagai asisten kurator. Saat itu ia sempat melamar namun ditolak karena Eropa sedang dalam masa krisis. Oleh Rave Foundation, Ami disarankan untuk melamar lagi pada tahun berikutnya.
"Biasanya kalau ada pelamar yang telah ditolak, tidak diperkenankan untuk mendaftar lagi, namun karena alsasan krisis Eropa, saya mendapat kesempatan melamar lagi pada tahun 2010," katanya saat ditemui Warta Jateng di kediamannya Jalan Duta Permai Nomor 6, Perumahan Duta Bukit Mas, Banyumanik beberapa waktu lalu.
Beasiswa yang dikeluarkan Rave Scholarship sendiri bukanlah beasiswa yang menyediakan tempat pendidikan atau pembelajaran seni budaya. Beasiswa ini dikeluarkan bagi para sarjana strata satu yang belum lama lulus dan ingin melanjutkan studi tentang ilmu humaniora, seni dan budaya di Jerman. Bagi yang beruntung akan mendapat bantuan sebesar 1300 euro per bulan selama maksimal 6 bulan tinggal di Jerman. Sementara itu sebelum melamar, pelamar harus mempersiapkan diri untuk mencari destinasi tempat dan jenis program apa yang ingin disusun pelamat tersebut.


Gayung bersambut pada tahun 2011 ia lolos dan bisa berangkat ke Eropa. Selama di sana Ami belajar bagaimana mengelola museum dan mengadakan lokakarya pembelajaran tentang museum pada anak-anak selama 6 bulan. Ami menjalani proses pemagangan selama sejak bulan Agustus hingga Desember tahun 2011.
 
Mengisi kekosongan sebelum berangkat ke Eropa, pada tahun 2010 alumni SMA Loyola Semarang  ini aktif di Paguyuban Batik Bokor Kencono membantu Widya Wijayanti dan Dewi Tunjung, pemerhati seni dan budaya di Kota Semarang.
Dari sanalah kecintaannya pada dunia seni makin terpupuk. Sekembalinya dari Eropa Ami sampai sekarang masih aktif berkegiatan.
"Saya dan teman-teman sekarang sedang mendesain program untuk dua kampung di Semarang. Programnya menarik karena terkait dengan tata kelola kota," katanya. Ia tidak berharap muluk-muluk namun pengalamannya di Jerman membuatnya yakin Semarang punya potensi benih-benih hebat jika dikembangkan.

Teks-teks yang Sedih namun tetap Optimis



oleh: Adin

Akan halnya Ikun SK, teks-teks Andy datang pada saya sudah sejak lama. Seperti ingatan yang cerewet ingin dihidup-hidupkan kembali, demikianlah Andy mengabsen saya tiap hari. “Adin yang baik apakah sudah selesai teks yang kamu tulis untukku,” katanya. Demikianlah ‘teror’ ini menghampiri saya tiap saat. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya matikan handphone untuk menghindari diabsen dia. Tapi begitulah, kawan yang baik tidak akan pernah berhenti untuk terus menyapa dan meneror meski kita acuhkan berkali-kali bukan?


Heran juga, saya yang belakangan ini mulai tidak bergairah lagi dengan kata-kata, seolah diseret oleh panggilan yang tidak masuk akal untuk bersuntuk-suntuk dengan teks lagi. Setidaknya jika tidak bersuntuk-suntuk, dipaksa untuk bersemangat oleh ajakan teman-teman yang sedang bersemangat. Tidak hanya para mahasiswa baru, tetapi juga kakak kelas saya yang mau tidak mau saya tidak bisa berkelit. Maka, saya kembali pada jalan ini untuk saat ini.
Ada dua buah antologi puisi yang disodorkan pada saya, yakni Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola, dan Iblis Imut sengaja saya pilih satu judul saja untuk saya tekuni. Antologi pertama memuat sajak-sajak Andy pada kurun waktu 2001-2008 sedangkan antologi kedua memuat sajak dalam kurun waktu 2007-2011. Pilihan saya untuk mengapresiasi antologi yang kedua, Ibliz Imut, didasari pada bacaan sepintas lalu yang secara tekstual lebih menarik daripada antologi pertama. Pertimbangan ini tidak berdasar kajian teks secara mendalam, tetapi pada kesan sepintas lalu saja.
Beberapa waktu yang lalu saya dihadapkan pada teks-teks rekan saya Galih Pandu Adi dan Timur Budi Raja, keduanya juga memaksa saya untuk menengok mereka melalui teks yang dianggitnya. Teks keduanya meski mengelaborasi kesunyian dan kadang kesedihan, tetap saja mempunyai perbedaan dalam bahasa ungkap. Pada keduanya, masih banyak saya temukan kesunyian dan kesedihan yang dikatakan dengan cara seperti kebanyakan penyair menulis tentang kedua tema tersebut. Berbeda dengan teks-teks Andy, penyair yang juga pegiat mime ini menulis kesunyian, lebih khusus lagi kesedihan dan memperlakukan kenangan dengan cara berbeda.
Kata Andy:

Ada sedih yang warnanya ungu, merah, jingga, nila. Ada sedih yang remaja dan dewasa, ada sedih ang cantik, sedih yang ganteng, sedih yang fotogenik dan ada sedih yang genitnya minta ampun. Ada juga sedih yang masih kanak-kanak, ingusnya meler-meler. Ia berlari telanjang bulat sambil menangis, ia dikejar ibunya disuruh mandi. Wah..pasti kamu senang melihatnya. Melihat kesedihan berlarian lincah kesana-kemari.

(dalam ‘Adhik jangan menangis lagi ya..’)

Kesedihan hadir dalam puisi-puisi lelaki yang bernama lengkap Andy Sri Wahyudi ini dengan ringan, enteng, tidak berlarat-larat, kadang lucu, namun tetap sedih dan optimis


Tapi orang-orang sedih karena punya perasaan, tapi kamu tetap cantik seperti pantai

(dalam ‘Ibliz Imut)

Begitulah, karena punya perasaan orang-orang punya alasan untuk sedih, tidak lantas berlarat-larat dalam perasaan sedih, aku lirik tetap memandang optimis karena dia punya orang yang dicintai sebagai objek keindahan.
Dalam sajak ‘Ibliz Imut’ Andy menggambarkan leukemia dengan cara yang menarik. Penyakit yang menakutkan dan sering merenggut nyawa orang, ditangannya disulap menjadi penyakit yang lucu dan bersahabat. Bukan dalam artian leukemia bernada positif, namun mengajak penderita untuk menerima nasibnya dan berdamai dengan hal ini. Ada dua cara untuk memperlakukan nasib, pertama menolaknya, yang kedua menerimanya. Sajak ‘Ibliz Imut’ adalah ajakan Andy untuk tidak sekedar menerimanya dan pasrah, tetapi lebih dari itu mengajak untuk memberi pemaknaan ulang pada penyakit mematikan ini.
Masih ada kesempatan untuk memilih bahagia! Dalam keadaan sesedih apapun, termasuk dirundung leukemia. Inilah keistimewaan Andy dalam memperlakukan kesedihan.
Saya cenderung sepakat dengan Satmoko Budi Santoso dalam endorsement nya yang mengatakan puisi-puisi Andy ditulis secara spontan. Dasar pengeditan tekspun bukan berdasar pada renungan mendalam untuk mencapai daya ungkap yang orisinal, namun salah jika kemudian menyederhanakan Andy sangat menganggap remeh bahasa. Dalam sajak ‘Sore Itu Aku Tak Menemukanmu’ misalnya Andy sama sekali tidak main-main. Tidak kita temui kat-kata semacam ngrumi, soklat, buatjingan, ampyun dan beberapa kata lagi yang membuat sajak-sajak Andy terkesan main-main.

Kesan lain yang saya tangkap, Andy hendak membuat bahasa menjadi miliknya sendiri meskipun jelas itu tidak mungkin karena sajak-sajaknya masih mengandaikan untuk dibaca orang, artinya ia tetap pada konvensi bahasa baik sintaksis maupun semantiknya. Namun usaha untuk membuat itu jadi khas Andy memang terasa, misalnya dalam penggantian kata coklat menjadi ‘soklat’, bersentuhan dengan ‘bersintuhan’ merupakan salah satu bukti usahanya.
Tidak seperti Roland Barthes yang menganjurkan matinya pengarang ketika teks lahir, saya justru sangat kesulitan membunuh Andy dalam tiap pembacaan sajak-sajaknya. Wajah Andy, perilaku yang menyebalkan, humornya yang aneh, dan tawaran persahabatannya yang lucu melulu hadir dan memaksa saya membaca teks-teks ini dengan menghadirkannya dalam imajinasi saya.
2007 lalu saya pertama kali berjumpa dengan penyair kelahiran Yogyakarta, 13 Desember 1980 saat mendapat kesempatan lokakarya penulisan buku program di Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola. Sejak saat itu kami intens menjalin kontak.
Beberapa puisinya juga secara sengaja ditujukan untuk nama-nama tertentu. Ini juga menjadi penyebab sulitnya saya menceraikan Andy dalam pembacaan saya. Saya sedang membayangkan Andy bertutur pada saya, Dab Joko Bibit, Gus Dur, Dwi Cipta, Indrian Kota, Joned, Whani Darmawan, Danarto dan banyak lagi sahabat-sahabatnya yang disebut satu persatu.
Pada Dab Joko Bibit misalnya aku lirik mengajak person yang disapanya sejenak bedamai dengan kebencian yang mengalir sederas arus mimpi, pada Gus Dur ia mengenangnya dengan jalan memutar. Tidak langsung spesifik menyapa Gus Dur, Andy lebih senang menceritakan Gus Dur melalui kisah yang dibangun bersama ibunya. Semua ini membuat saya mengimajinasikan Andy sebagai kawan yang ramah menyapa dan semakin saya bayangkan semakin basah pembacaan ini atas kehadirannya.


Namun demikian entah kenapa kejenakaan itu pelan-pelan lenyap pada sajak-sajak yang ditulis pada tahun 2011 an. Kalau diperhatikan sajak-sajak Andy berubah menjadi sajak ‘serius’ lagi. Mendadak saya kehilangan Andy yang lucu dan menyebalkan. Kenapa?