Sabtu, 15 September 2012

Sewindu Hysteria dan Gerakan Sastra Semarang






 : Adin

Berkat Heri CS, saya dipertemukan dengan Yuswinardi, pemenang lomba cipta puisi Diponegoro yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (sekarang Fakultas Ilmu Budaya). Jauh-jauh hari sebelum diperkenalkan dengannya saya sempat mendapat selebaran berisi sajak yang dibagi-bagikan oleh seseorang. Ternyata orang inilah yang bernama Yuswinardi itu dengan selebarannya yang dinamakan ‘Hysteria, lembar sastra bawah tanah’. Perkenalan itu lantas disusul dengan pertemuan di antara teman-teman penyuka sastra, saat itu ada Tulis Gus Yon, Heri CS, Yuswinardi, dan saya sendiri. Pertemuan pertama kali di kawasan Auditorium Imam Bardjo, Undip Pleburan. Pertemuan singkat yang disepakati untuk membentuk komunitas baru namun deadlock karena masing-masing bersikukuh mengusung usulan namanya sendiri-sendiri.

Selang beberapa minggu kemudian kami mengumpulkan sajak pada Yuswinardi mengingat dialah selama ini yang mengusung nama Hysteria dan mengerjakan layoutnya sendirian dengan meminjam computer di teman-temannya. Tulisan yang direncanakan terbit pada bulan Desember 2005 itu akhirnya baru bisa benar-benar diterbitkan pada awal tahun 2006. Saya senang sekali karena itulah pertama kalinya saya mengekspos tulisan sendiri. Perdebatan mengenai nama komunitas akhirnya tidak diteruskan lagi karena tiba-tiba saja kami diam-diam bersepakat menggunakan nama yang sama untuk meneguhkan keberadaan.
Ketertarikan saya di Hysteria dipicu oleh kesukaan saya dalam dunia sastra. Jujur saat itu saya merasakan kehausan pada dunia akdemik dan sastra. Dan itulah pertama kalinya pelan-pelan saya berkenalan dengan dunia kesenian setelah sebelumnya mendaftarkan diri di unit kegiatan mahasiswa (UKM) wadah musik sastra (WMS) dan dibujuk ikut Teater Emper Kampus.
Sampai setahun berikutnya Hysteria didominasi oleh aktivitas penerbitan bulletin yang kami fotokopi. Jumlahnya terus naik, dari 30 eksemplar menjadi 75, meningkat lagi 200 sampai akhirnya mencapai 300 eksemplar. Dengan percaya diri kami bawa ke mana-mana, dijual, kadang dibagikan, baik di kalangan kampus hingga komunitas luar kota lintas disiplin.

Tahun 2007 secara penuh saya memegang Hysteria karena Yuswinardi pulang ke Blora. Berkat dialah saya dibekali kemampuan lay out sederhana hingga terbitan kami bertahan hingga edisi 85. Di tahun yang sama kami mulai membuat program diskusi rutin. Temanya bermacam-macam, namun tetap dominan tema sastra. Forum yang kami namakan ‘Ngobrol Sastra; Rerasan Budaya’ bertahan hingga dua tahun dengan para pengisi bervariasi. Salah satu bahasan tema yang akhirnya mempengaruhi visi misi kami sekarang adalah soal pemetaan. Sejak tahun 2007 kami mulai bertanya sebenarnya apa yang terjadi di kota ini sehingga kehidupan berkeseniannya menurut kami kurang bergairah. Keinginan untuk melacak jejak ini demikian besar, karena kesulitan mencari lembaga yang mau melakukan tugas-tugas pengarsipan dan kurang tahu harus melacak ke mana, maka kami menggelar diskusi tentang melacak jejak gerakan sastra dan gerakan teater. Kebetulan tahun 2007 Hysteria mempunyai program rutin dengan forum teater kampus semarang (Fotkas). Tak heran kami membuat diskusi pemetaan serupa.

Kembali ke Sastra

Sejatinya pada tahun berikutnya hingga menginjak tahun 2010 banyak sudah aktivitas kami yang tidak berfokus pada sastra lagi. Perkembangan jaringan kami memungkinkan kami mendesain program lintas disipliner. Hingga tahun 2010 kami merasa perlu menata ulang dan melakukan revisi pada tujuan kami.
Sementara itu di dunia sastra kami mengalami kegamangan. Bagaimana tidak pada tahun itu terbit tulisan yang menyatakan sastra di Jawa Tengah tidak berkembang, sementara kami tiap bulan seperti orang kalap menerbitkan bulletin sastra seni dan 3 tahun lamanya kami membuat program kajian rutin dan apresiasi puisi. Di saat bersamaan kami mulai melakukan riset kecil-kecilan kenapa progresivitas gerakan sastra tidak mengalami signifikansi selama bertahun-tahun.
Beberapa temuan kami diantaranya tidak sinerginya beberapa stake holder yang ada di Semarang. Media massa tidak menampung ekpresi artistic teman-teman di Semarang, lembaga seni tidak membuat program yang efektif, forum apresiasi masih banyak berorientasi dengan nama-nama besar untuk diundang, minimnya komunitas sastra yang mempunyai program yang jelas, dan yang terakhir tidak terkoneksinya antar stake holder sehingga bisa membuat program bersama yang saling dukung. Keadaan inilah yang membuat masing-masing pihak merasa paling benar dan paling hebat. Tentu saja masih banyak persoalan di Semarang yang tidak bisa saya sebut satu-persatu. Namun inti dari semuanya saya pikir adalah tidak adanya sinergi antar stake holder.

Keadaan itulah yang akhirnya mengilhami kami untuk membuat forum sementara untuk merespons situasi tersebut. Forum sementara ini kami namakan ‘Sastra Horeg’ yang dideklarasikan oleh beberapa eksponen pelaku sastra di Semarang. Tujuannya adalah membuat gerakan sistematis untuk mempengaruhi tatanan system yang sudah ada. Gerakan itu kami bagi menjadi dua, yang pertama politis, yang kedua intelektual.
Gerakan politis lebih pada memperjuangkan hak-hak teman-teman secara politis. Dimulai dari menggiring opini public bahwa ruang ekspresi untuk anak muda harud diperluas. Media massa, baik itu cetak maupun audio yang mempunyai ruang sastra sudah semestinya membuat program yang mengakomodir para pemula. Karena kami sepakat bahwa baik itu proses, tidak terberi, sudah selayaknyalah anak-anak yang sedang tumbuh ini diberi kesempatan. Kenyataan bahwa beberapa ruang sastra di Semarang selama hampir sepuluh tahun tidak memberi kesempatan lebih dari 5 orang itu kami gembar-gemborkan ke sana ke mari. Mental apa yang demikian begitu kejam sehingga anak-anak yang tumbuh ini tidak mempunyai kesempatan belajar?
Saya pribadi masuk menjadi anggota komite sastra di Dewan Kesenian Semarang. Sejak masuk tahun 2008, baru pada tahun 2010 saya berhasil mempengaruhi program sehingga lebih ramah pada komunitas yang tidak penting dan tidak ternama di Semarang. Merubah paradigma teman-teman bahwa acara sastra tidak harus mengundang tokoh-tokoh yang ternama. Kami membangun sentimen negative pada orang-orang atau lembaga yang tidak peduli pada gerakan ini. Lewatnya macam-macam, mulai dari memanfaatkan media social, terbitan alternative, dan forum-forum diskusi mengorek isu seputar itu.

Sentimen-sentimen itu tentunya punya dasar. Ada yang dipicu karena distribusi kesempatan yang tidak merata hingga kebijakan-kebijakan menjijikkan yang hanya mementingkan diri sendiri. Salah satu temuan kami misalnya waktu di Surakarta ada Temu Satra Mitra Praja Utama (MPU) tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2009 tidak ada satupun teman yang kami kenal mendapat undangan. Padahal Jawa menjadi tuan rumah dan konon curator Jateng adalah sastrawan kenamaan Jateng. Sementara di daerah lain yang dikirim banyak di antaranya berusia muda. Saat itu sempat teman-teman yang diundang menanyakan kami kenapa teman-teman dari Semarang tidak ada yang datang. Itu hanya salah satu temuan saja, belum lagi para sastrawan tua yang mendapat jatah membacakan puisi ke luar jawa tiap tahun tanpa pernah sekalipun memberi kesempatan pada anak muda. Jauh sekali dengan apa yang pernah dilakukan Acep Zamzam Noor dan Raudal Tanjung Banua. Kesempatan-kesempatan ini dikangkangi, menahun.

Di Semarang sendiri, saat itu beberapa komunitas sastra yang ada antara lain Lembah Kelewawar, Open Mind, KIAS, Cakra, Sipilis, Kumandang Sastra, Teater ASA, dan lain-lain kami manfaatkan betul untuk memback up isu yang sama. Bagi teman-teman yang tidak punya komunitas namun punya terbitan alternative semacam Nolabel dan Suket Teki juga diajak untuk memblow up isu di kalangan akar rumput. Hasilnya tidak terduga, tiba-tiba banyak pihak yang peduli dengan isu ini. Di facebook, di catatan saya menuai komentar hingga ratusan.
Saat itu sempat terbersit ‘Sastra Horeg’ akan membuat petisi yang akan ditandatangi bersama yang berisi pernyataan sikap tentang kepedulian bersama terhadap kondisi sastra di Semarang. Sayang niat ini tidak terlaksana hingga forum ini pelan-pelan mulai surut.
Di bidang intelektual kami melakukan pencatatan sederhana antologi puisi dan cerpen yang pernah dbuat di Semarang atau melibatkan teman-teman di Semarang. Data itu lalu kami bandingkan dengan proporsi pemuatan di media massa tertentu di Semarang yang ternyata berdasar temuan kami tidak berpihak pada proses. Selain itu teman-teman yang tergabung dalam ‘Sastra Horeg’ bersepakat untuk membuat forum-forum yang spesifik untuk pengembangan di komunitas masing-masing. Open Mind misalnya membuat forum kajian kualitatif mingguan, Hysteria konsentrasi pada forum ‘kredo kecil penyair kecil (KKPK)’ untuk para penyair pemula, Lembah Kelelawar membuat ‘Meja Cerpen’ khusus membahas cerpen dan lain-lain.

Progress

Mengatakan kami tidak terlibat sama sekali dalam proses perkembangan sastra di Semarang hari ini sama zalimnya dengan mengatakan bahwa progresivitas ini semata-mata karena kami. Tentu saja kami tidak akan mengklaim demikian. Di luar kami masih ada forum jurnalis baca puisi, lini kreatif, komunitas godhong dan banyak lagi yang lain. Dan sengaja memang tulisan ini sekedar memetakan perspektif  kami. Saya pikir semua punya hak untuk mengklaim beberapa hal yang telah berubah dalam peta kesusastraan di Semarang. Namun diakui atau tidak diakui, ‘Sastra Horeg’ adalah embrio gerakan yang disusun secara sistematis untuk membuat perubahan. Tidak menutup kemngkinan di masa lal pernah ada gerakan serupa,namun karena minimnya referensi saya tidak berani menyebutnya dengan jelas. Kecil atau besar pengaruh jelas apa yang dirintis telah memberi bekal berharga bagi kami terutama untuk mendesain sebuah gerakan.

Menilik progresivitas sebuah gerakan tentu tidak adil tanpa disertai kriteria apa yang digunakan untuk membincang kemajuan. Disadari atau tidak disadari, telah terjadi pola antar komunitas ini untuk membangun gerakan dan program. Kalau  mengukur kemajuan dari kriteria  pemuatan media massa dan penerimaan public, tentu Semarang patut berbangga. Beberapa nama semacam Sulung Pamanggih, Setia Naka Andrian, Musyafak Timur Banua, sesekali menghiasi terbitan koran nasional. Vivi Andriani diperbincangkan Afrizal Malna dalam sebuah esainya di JP, Arif Fitra Kurniawan mendapat kesempatan untuk ikut Ubud Write Fest tahun 2012. Dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Belum lagi tren menerbitkan buku di kalangan anak-anak muda, pergeseran orientasi kebijakan pemuatan di SM setelah dipegang Saroni Asikin, itu semua menunjukkan telah tejadi pergeseran. Bahwa memang masih banyak yang harus dibenahi itu ya, tetapi bahwa gerakan ini dalam beberapa hal menunjukkan efektivitasnya itu juga harus diakui.
Kini setelah hampir 8 tahun Hysteria, banyak sudah yang bergeser visi misi kami. Program-program sastra lambat laun kami wariskan pada komunitas inisiasi kami, Lacikata yang berasal dari teman-teman penyair yang kami kumpulkan rutin sebulan sekali dalam 2 tahun kami membangun  program KKPK. Sudah sejak lama saya berpikir untuk menuliskan ini. Apa yang kami lakukan di dunia sastra di Semarang terutama semakin memantapkan kami bahwa kebudayaan itu bisa didesain. Bisa saja orang bisa abai pada kepentingan umum dan focus pada dirinya sendiri, namun kalau yang diimpikan adalah perubahan berskala lebih besar, saya rasa akan sulit mencapai percepatan. Kami percaya percepatan itu hanya bisa dicapai dengan sinergi banyak pihak, antar stake holder. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar