Sabtu, 29 Januari 2011

Untuk (Si) Apa Festival?


Oleh Adin


Festival dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah; pesta rakyat. Yang kedua berarti perlombaan. Kedua pengertian di atas menyiratkan sebuah peristiwa yang penting, ramai, dan sesekali terkandung pengertian tentang kompetisi. Merujuk pada dua pengertian di atas, sebuah festival tentu berisi pertunjukan (bisa apa saja) dan diharapkan apresiasi publik yang memadai sebagai penanda bahwa festival tersebut dimininat. Sebuah festival yang baik memiliki akar yang kuat di masyarakatnya. Namun untuk memenuhi syarat ‘dimiliki’ dan ‘berakar’ tentu bukan pekerjaan yang mudah dan terjadi begitu saja.

Menggunakan pendekatan ekonomi, sebuah festival akan selalu terselenggara asal diinisiasi kelompok, pemangku kebijakan, bahkan pribadi yang kaya. Siapapun bisa dan mempunyai hak untuk mengadakan festival. Baik dari tingkat RT hingga tingkat internasional sekalipun. Namun demikian tidak semua festival menjadi kebutuhan bersama. Untuk festival yang dilakukan dengan pendekatan ala pemerintah (top-down) tentu bisa terselenggara dan sukses. Tetapi dalam hal ini pemerintah-negara hanya sekedar fasilitator.

Festival dengan porsi yang cukup besar akan memakan biaya cukup besar. Ada peruntukan kepentingan secara ekonomi, sosial, bahkan politik. Sehingga tak luput dari tunggangan pihak-pihak tertentu untuk meraih pencitraan dan bisa mengklaim dengan tidak bertanggung jawab. Hal ini berujung kekecewaan massa atau komunitas penyokong festival tersebut.

Biaya sosial dan ekonomi yang besar tidak jarang membuat penyelenggaraan festival menjadi tertunda, gagal ditengah jalan, bahkan tidak bisa dipertahankan sebagai eksistensinya. Perayaan macam ini, sangat riskan menimbulkan selisih paham sebagai ajang pengeruk keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga hal tersebut tidak terjadi, karena semangat festival bisa dijadikan barometer pencapaian sebuah kota atau semua pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Pola pikir ‘berfestival’ kadang menjebak siapapun yang menginisiasinya untuk selalu tergoda melakukan hal-hal yang gigantis dan mewah. Terkadang diadakan tidak melihat kebutuhan kota atau komunitas yang menghidupinya. Tetapi secara wacana dibangun seolah-olah ketika sebuah festival diadakan merupakan representasi dari kreatifitas masyarakatnya. Celakanya setelah even ini sedang dan selesai diadakan, para penyelenggara tidak mau tahu proses bagaimana para komunitas-komunitas penyokongnya bertahan. Hal ini akan menimbulkan ketegangan karena muncul asumsi bahwa komunitas hanya diperalat untuk alat pencitraan dan ladang pengeruk uang para penyelenggara.

Betapapun sebuah festival tetap dibutuhkan sebagai ajang aktualisasi diri dan membangun ruang dialog dan pencitraan yang baik. Kesemuanya itu diharapkan kelak mendapatkan benefit bagi para peserta dalam bentuk apapun.


Semarang dan hasrat berfestival (seni)
Kota Semarang pernah dimeriahkan dengan bermacam festival. Penulis tidak bisa mencantumkan seluruh festival seni yang pernah ada di Semarang, hanya memberikan contoh agar mempermudah pembaca. Festival, yang seolah hendak menginginkan pengakuan publik lebih besar, seringkali mencantumkan nama kota sebagai tajuknya, semisal Semarang sebagai penanda. Tercatat ada beberapa festival yang terselenggara sejak kurun waktu 2000an hingga sekarang: Festival A la Carte, Festival Ceng Ho, Semarang Internasional Film Fest, Semarang Pesona Asia, Semarang Koeroeng Boeka, Vidiot, Festival Kesenian Semarang: Konsoemsi Ataoe Mati, Caraka Festival, Gong Tugu Muda, Semarang Art Fest (Smart Fest), hingga A(rt)SEM. Saat ini nama Semarang belumlah diperhitungkan dalam kontestasi kesenian yang lebih besar. Meskipun selalu saja ada kasus-kasus khusus yang menarik, namun bila berbicara generalisasi, Semarang belum sehebat kota-kota lain bertradisi seni yang terorganisir dengan baik.

Semua festival yang disebutkan di atas menggunakan kesenian dan budaya sebagai ujung tombak. Diplomasi budaya lewat seni menjadi satu hal yang ditonjolkan. Sebuah kesepakatan dari yang duduk sebagai penyelenggara bahwa Semarang harus bangkit dan membuktikan diri. Namun tidak semuanya dari festival tersebut bisa menjadi milik publik dan terselenggara secara rutin. Setidaknya hari ini ada dua festival besar yang lahir, yaitu Smart Fest dan A(rt)sem.

Semula semua penyelenggara duduk bersama di dalam Smart Fest menjadi satu bagian untuk menyelenggarakan festival seni. Berpretensi menjadikan Semarang mengharu biru dengan aktivitas seni dan Kota Lama sebagai target jual secara sosial dan ekonomi. Perkembangannya terpisah menjadi dua mememunculkan A(rt)sem, karena perbedaan visi misi. Dalam praktik, Keduanya menggunakan idiom seni rupa sebagai ujung tombak. Juga beorientasi menggandeng komunitas-komunitas seni di Semarang untuk terlibat. Smart Fest dan A(rt)SEM berjalan dengan waktu berdekatan.

Smart Fest didukung penuh oleh Suara Merdeka, media terbesar di Semarang, dengan jangkauan skala Jawa Tengah. A(rt)SEM banyak didukung oleh komunitas, kelompok, organisasi, lembaga seni skala nasional dan internasional. Dua lembaga yang punya andil besar sebagai pendukung A(r)tSEM adalah Dewan Kesenian Semarang melalui Komite Seni Rupa dan Hivos People Unlimited melalui Byar Creative Industry.

Opini dan pertanyaan penulis, “Benarkah keduanya merupakan format festival yang diinginkan oleh semua dan dianggap mewakili ekspresi warga kota? Apakah kedua festival ini layak dianggap sebagai ajang menyatakan diri dan telah dipeluk para pelakunya? Mungkin hubungan yang terjalin adalah relasi top down antara pemegang modal kemudian turun ke pelaku, atau inisiasi komunitas yang kemudian diakuisisi pemegang saham terbesar?”

Tulisan ini tidak berniat menghakimi kedua festival tersebut. Sekedar opini dan pertanyaan mewakili publik, untuk menjaga dan memantau kemurnian perkembangannya. Toh saat ini kedua festival tersebut memang sedang kita butuhkan.


Membayangkan festival bersama, bisakah?
Berkaca pada kegagalan FKS: Konsoemsi Ataoe Mati! sebagai Festival bersama, ternyata menggerakan sebuah festival tidaklah mudah. Di satu sisi festival menjadi penting bagi para pelaku seni, di sisi lain tidak mudah menyadarkan untuk saling memahami dan mengerti peran masing-masing pelaku. Kesulitan tersebut seringkali dipicu oleh ketidakjelasan laporan keuangan, pembagian kerja sesuai porsinya, dan kedewasaan sikap. Ketidakjelasn aturan main sejak awal seringkali menimbulkan klaim-klaim sepihak. Kerumitan ini kadang disikapi secara pragmatis oleh para penyelenggara dengan mengesampingkan kebutuhan pihak yang terlibat dan disederhanakan dengan bahasa ekonomi. Uang menjadi tumpuan yang menyatukan kepentingan banyak pihak. Saat itulah kadang-kadang festival kehilangan ruhnya. Yang akan terjadi adalah, komunitas tidak merasa ikut berkepentingan untuk membangun festival bersama kalau tidak ada kekuatan finansial yang menopangnya secara besar-besaran. Jauh dari harapan bahwa festival bisa memberikan semangat mandiri secara swadaya bagi komunitas-komunitas seni dikotanya. Akhirnya kepentingan berfestival adalah kepentingan jangka pendek, bukan sesuatu yang visioner dan membangun tradisi bersama secara turun-temurun.

Bagi penulis, banyak potensi untuk festival bersama, dengan melibatkan berbagai jaringan kerja seni. Termotivasi untuk duduk bersama dan membicarakan berbagai kemungknan. Tidak sekedar mendiskusikan persoalan festival, namun bisa juga saling memberi dukungan untuk keberlangsungan komunitas seni. Sehingga relasi yang terbina bukan relasi pragmatis namun relasi ideologis, saat itulah barangkali sebuah festival telah menjadi kebutuhan bersama.

Ada maupun tidak ada dana, walau dengan kesederhanaan, acara harus tetap berlangsung sesuai dengan landasan pemikiran yang disepakati. Dan terus mengkaji untuk mencari strategi agar bisa menjaga eksisitensi.

Kedepannya diharapkan, siapapun bisa menjadi fasilitator, asal punya kemauan dan niat baik. Sehingga tidak sekedar memanfaatkan secara sepihak dengan mengklaim yang bisa berujung pada kekecewaan dan konflik luas. Semoga setiap festival di Semarang menemukan ruhnya, sesuai dengan kebutuhan publik seni di kotanya, sehingga mampu menemukan peluang lebih baik agar tidak terus-menerus mengulang pendekatan dengan jalur kekuasaan dan uang.

Mari belajar dari Festival Kesenian Yogjakarta yang tiap dua tahunan sekali berganti kepengurusan, dengan dan untuk aturan main yang jelas. Apakah para pelaku seni dan masyarakat Semarang bisa? Mari kita diskusikan bersama.


* Tulisan ini dibuat untuk diskusi pembukaan A(rt)sem di Widya Mitra (19 januari 2011)



Selasa, 25 Januari 2011

Merekonstruksi Kota

; anonimitas kota serta watak inlandernya

Oleh: Adin*

Perkembangan sebuah kota tentu tidak terlepas dari kebijakakan para birokrat kota tersbut. Apalagi setelah era otonomi daerah, sebuah kota di tuntut untuk mandiri dan mampu menggunakan potensi kota itu semaksimal dan seefektif mungkin. Kebijakan yang salah arah dan tanpa tujuan jelas tentu saja akan menyebabkan kota tersebut menjadi kota yang anonim, disorientasi dan mengalami ketercerabutan, baik dalam konteks sosio, politik, maupun kultural. Untuk itu kota yang baik memerlukan kebijakan yang baik, sistematis dan mempunyai goal yang jelas.

Semarang, sebuah kota dengan warisan arsitektur Belanda yang sangat misalnya. Setelah era otonomi daerah banyak yang menyangsikan pemerintah kota untuk mengatur kota ini seefisien mungkin. Banyak pula yang merasa Semarang yang diagung-agungkan sebagai Jakartanya Jawa Tengah kini menjadi ketinggalan dibanding kota-kota di sekitarnya, contohnya Solo. Mungkin perlu bukti yang lebih empirik melalui riset mengenai sejauh mana perbandingan antara kota tersebut. Namun di luar semua itu tentu ada PR besar yang menunggu mengenai bagaimana kota akan dikonstruksi.

Belajar dari sejarah kota Semarang merupakan kota yang dihadiahkan pemerintah Mataram pada Belanda sebagai bantuannya menumpas pemberontakan Trunojoyo. Oleh Belanda kemudian kota ini dibentuk menjadi kota yang sesuai dengan maket. Pada saat itu Semarang menjadi salah satu kota paling terkemuka di Hindia Belanda. Tentu bagi para sejarawan tidak akan melupakan bahwasanya kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun di Semarang. Jadi bisa dikatakan kereta api menjadi representasi kota industri dan elemen penting bagi transportasi dan arus ekonomi.

Tilas balik dari semua itu adalah bahwasanya Semarang sekarang lebih terkenal sebagai kota rob, biaya hidup relatif mahal, tidak kreatif dan banyak hal-hal jelek lain yang menjadi stigma di Semarang. Misalnya kalau dalam bidang bisnis hiburan, siapakah artis musik yang besar di Semarang? Tentu saja ada namun jika dibandingkan dengan Jakarta, Jogja, Solo ataupun Bandung perbandingannya cukup jauh.

Berbicara mengenai hal itu, tentu masih segar dari ingatan bagaimana para calon wali kota menebar janji di kalangan paa peemilihnya mengenai akan dibawa ke mana kota ini kelak. Dan tentu pula sah juga bagi para warganya untuk menyumbangkan gagasan mengenai dinamika kota ini.

Pembangunan psikis vs mentalitas tamu dan musafir

Hal- hal yang paling mendasar bagi pembangunan sebagaimana terangkum dalam GBHN bahwasanya pembangungunan haruslah mencakupi dimensi fisik dan psikis. Hal yang paling sering dilupakan dan sering menjadi prioritas kota ini barangkali adalah pembangunan psikis yang kelak akan membentuk karakter masyarakat kota ini. Dalam banyak pengalaman penulis merasakan bahwa mentalitas penghuni kota ini adalah mentalitas tamu dan musafir. Kedua mentalitas ini berimplikasi bahwa banyak hal dibangun di kota ini berdasarkan kesementaraan dan jangka pendek. Bukan sesuatu yang sifatnya jangka panjang dan visioner. Sebagiamana seorang musafir, sebuah tempat hanyalah persinggahan sementara. Tempat bukan tujuan, ia hanya dipakai sesekali singgah dan serta merta ditinggalkan sesegera mungkin setelah kepentingannya usai. Mental tamu jugaa mental yang inginnya selalu dilayani dan besikap sok artis. Kedua mental inilah yang menurut penulis perlu diperangi kalau memang kota ini kelak mau berbenah. Kedua mental inilah yang membuat kota ini menjadi sulit mencari jati diri. Jika memang ingin mentasbihkan diri sebagai kota, taruh kata dagang dan jasa, mestinya juga ada kebijakan-kebijakan yan sifatnya jangka panjang dan kelak walikota adalah pemenang tender pada blueprint yang telah dirancang jauh-jauh hari. Jadi bukan kebijakan-kebijakan sesaat macam mental tamu dan musafir.

Tentu bukan hal yang mudah untuk berharap banyak pada esai yang dibatasi jumlahnya ini. Karena menurut penulis ada banyak aspek yang memang perlu diperbaiki dan itu semua menuntut disiplin yang berbeda dan ahli yang berbeda. Misalnya dalam rangka menumbuhkan kepedulian warga terhadap kotanya bisa saja melalu kegiatan-kegiatan budaya. Untuk mengikir mental tamu dan memupuk etos kerja yang tinggi barangkali kebijakan-kebijakan yang bersifat entrepreneurship juga perlu diperbanyak. Kedua hal ini barangkali bukan solusi yang komprehensif dan bisa menyelesaikan banyak masalah di Semarang secara serentak. Namun diharapkan kedua lini ini diharapkan bisa menjadi jalan masuk untuk mendedah persoalan yang lebih kompleks.

Bagaimanapun pola pendidikan warisan orde baru yang dilaksanakan dengan semangat pembangunanisme amat berpengaruh terhadap kerangka berpikir masyarakat ini. Karena hakikat pembangunanisme ini sering hanya disikapi sebagai pembangunan fisik lantas pembangunan psikis terabaikan. Maksudnya adalah jika kebijakan mengenai kedua hal itu (entrepreneur dan budaya) hanya menyentuh wilayah-wilayah fisik tentu saja kebijakannya akan kurang efektif. Seringkali warisan sistem yang kurang baik ini membuat masyarakat malas mengambil inisiatif dan membuat perilaku warga menjadi pasif. Untuk itu selain kelengkapan sarana fisik pembangunan idealnya harus pula menyentuh wilayah psikis. Misalnya program-program pendampingan terhadap wilayah-wilayah yang hendak dibangunnya. Sejatinya persoaan yang juga laten menggerogoti penyakit bangsa ini adalah lemahnya mental mereka dan disorientasi massa bangsa ini mau dibawa kemana dari situ penyakit ini menurun pada kota-per kota sebagai implikasi otonomi daerah tanpa dibarengi sarana pendukung bagi kota itu.

Ditulis sudah lama dan baru diposting

Kamis, 20 Januari 2011

bedah buku teater oleh Afrizal Malna

“Buku ini penting. Saya dapat menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai. Dengan matanya yang tajam, separuh mata seniman, separuh mata sosiolog, dia bisa melihat banyak hal yang gampang luput dari pemandangan orang lain.Bagi Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para pemain sudah memiliki pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas. Tubuhnya pun sudah dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyikan pola-pola gerak badan yang sudah lama terdidik” -Michael H. Bodden

“Membaca buku Afrizal ini saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antologi saja, melainkan sebuah kamus atau ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan mendapatkan sekian banyak informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi biasa saja yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia, melainkan informasi mengenai bagaimana, di bawah tema apa, kita bisa memandang dan memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu teater nyata, yang disaksikannya, seperti yang terjadi dalam renungannya” -Marianne Koenig

Selasa, 18 Januari 2011

petikpuitik#1 oleh lacikata


Lacikata merupakan kelompok inisiasi pertama hysteria yang bergerak di bidang sastra. Kali ini lacikata menggelar program bertajuk petikpuitik#1. Program ini sengaja dirancang sebagia program lanjutan kredo kecil penyair kecil yang terselenggara sebannyak 20 kalo. Petikpuitik lebih menitikberatkan pada para penyair yang pernah terlibat KKPK. Sebagai program lanjutan tentu saja forumnya diharapkan lebih intensif daripada program KKPK. Petikpuitik akan selalu menampilkan satu penyair dan kemudian sajak-sajaknya dibedah oleh orang-orang yang kami pilih. Kalau KKPK merupakan forum pemula yang semua pengunjung dilarang marah, petikpuitik sedikit membebaskan para tamunya melepaskan kritiknya yang tajam namun tetap konstruktif. Vivi Andriani sebagai coordinator program akan membuat forum ini lebih intensif dan berharap forum ini akan menjadi jenjang yang akan membentk jejak-jejak kepenyairan yang lebih serius.

Minggu, 02 Januari 2011