Selasa, 25 Januari 2011

Merekonstruksi Kota

; anonimitas kota serta watak inlandernya

Oleh: Adin*

Perkembangan sebuah kota tentu tidak terlepas dari kebijakakan para birokrat kota tersbut. Apalagi setelah era otonomi daerah, sebuah kota di tuntut untuk mandiri dan mampu menggunakan potensi kota itu semaksimal dan seefektif mungkin. Kebijakan yang salah arah dan tanpa tujuan jelas tentu saja akan menyebabkan kota tersebut menjadi kota yang anonim, disorientasi dan mengalami ketercerabutan, baik dalam konteks sosio, politik, maupun kultural. Untuk itu kota yang baik memerlukan kebijakan yang baik, sistematis dan mempunyai goal yang jelas.

Semarang, sebuah kota dengan warisan arsitektur Belanda yang sangat misalnya. Setelah era otonomi daerah banyak yang menyangsikan pemerintah kota untuk mengatur kota ini seefisien mungkin. Banyak pula yang merasa Semarang yang diagung-agungkan sebagai Jakartanya Jawa Tengah kini menjadi ketinggalan dibanding kota-kota di sekitarnya, contohnya Solo. Mungkin perlu bukti yang lebih empirik melalui riset mengenai sejauh mana perbandingan antara kota tersebut. Namun di luar semua itu tentu ada PR besar yang menunggu mengenai bagaimana kota akan dikonstruksi.

Belajar dari sejarah kota Semarang merupakan kota yang dihadiahkan pemerintah Mataram pada Belanda sebagai bantuannya menumpas pemberontakan Trunojoyo. Oleh Belanda kemudian kota ini dibentuk menjadi kota yang sesuai dengan maket. Pada saat itu Semarang menjadi salah satu kota paling terkemuka di Hindia Belanda. Tentu bagi para sejarawan tidak akan melupakan bahwasanya kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun di Semarang. Jadi bisa dikatakan kereta api menjadi representasi kota industri dan elemen penting bagi transportasi dan arus ekonomi.

Tilas balik dari semua itu adalah bahwasanya Semarang sekarang lebih terkenal sebagai kota rob, biaya hidup relatif mahal, tidak kreatif dan banyak hal-hal jelek lain yang menjadi stigma di Semarang. Misalnya kalau dalam bidang bisnis hiburan, siapakah artis musik yang besar di Semarang? Tentu saja ada namun jika dibandingkan dengan Jakarta, Jogja, Solo ataupun Bandung perbandingannya cukup jauh.

Berbicara mengenai hal itu, tentu masih segar dari ingatan bagaimana para calon wali kota menebar janji di kalangan paa peemilihnya mengenai akan dibawa ke mana kota ini kelak. Dan tentu pula sah juga bagi para warganya untuk menyumbangkan gagasan mengenai dinamika kota ini.

Pembangunan psikis vs mentalitas tamu dan musafir

Hal- hal yang paling mendasar bagi pembangunan sebagaimana terangkum dalam GBHN bahwasanya pembangungunan haruslah mencakupi dimensi fisik dan psikis. Hal yang paling sering dilupakan dan sering menjadi prioritas kota ini barangkali adalah pembangunan psikis yang kelak akan membentuk karakter masyarakat kota ini. Dalam banyak pengalaman penulis merasakan bahwa mentalitas penghuni kota ini adalah mentalitas tamu dan musafir. Kedua mentalitas ini berimplikasi bahwa banyak hal dibangun di kota ini berdasarkan kesementaraan dan jangka pendek. Bukan sesuatu yang sifatnya jangka panjang dan visioner. Sebagiamana seorang musafir, sebuah tempat hanyalah persinggahan sementara. Tempat bukan tujuan, ia hanya dipakai sesekali singgah dan serta merta ditinggalkan sesegera mungkin setelah kepentingannya usai. Mental tamu jugaa mental yang inginnya selalu dilayani dan besikap sok artis. Kedua mental inilah yang menurut penulis perlu diperangi kalau memang kota ini kelak mau berbenah. Kedua mental inilah yang membuat kota ini menjadi sulit mencari jati diri. Jika memang ingin mentasbihkan diri sebagai kota, taruh kata dagang dan jasa, mestinya juga ada kebijakan-kebijakan yan sifatnya jangka panjang dan kelak walikota adalah pemenang tender pada blueprint yang telah dirancang jauh-jauh hari. Jadi bukan kebijakan-kebijakan sesaat macam mental tamu dan musafir.

Tentu bukan hal yang mudah untuk berharap banyak pada esai yang dibatasi jumlahnya ini. Karena menurut penulis ada banyak aspek yang memang perlu diperbaiki dan itu semua menuntut disiplin yang berbeda dan ahli yang berbeda. Misalnya dalam rangka menumbuhkan kepedulian warga terhadap kotanya bisa saja melalu kegiatan-kegiatan budaya. Untuk mengikir mental tamu dan memupuk etos kerja yang tinggi barangkali kebijakan-kebijakan yang bersifat entrepreneurship juga perlu diperbanyak. Kedua hal ini barangkali bukan solusi yang komprehensif dan bisa menyelesaikan banyak masalah di Semarang secara serentak. Namun diharapkan kedua lini ini diharapkan bisa menjadi jalan masuk untuk mendedah persoalan yang lebih kompleks.

Bagaimanapun pola pendidikan warisan orde baru yang dilaksanakan dengan semangat pembangunanisme amat berpengaruh terhadap kerangka berpikir masyarakat ini. Karena hakikat pembangunanisme ini sering hanya disikapi sebagai pembangunan fisik lantas pembangunan psikis terabaikan. Maksudnya adalah jika kebijakan mengenai kedua hal itu (entrepreneur dan budaya) hanya menyentuh wilayah-wilayah fisik tentu saja kebijakannya akan kurang efektif. Seringkali warisan sistem yang kurang baik ini membuat masyarakat malas mengambil inisiatif dan membuat perilaku warga menjadi pasif. Untuk itu selain kelengkapan sarana fisik pembangunan idealnya harus pula menyentuh wilayah psikis. Misalnya program-program pendampingan terhadap wilayah-wilayah yang hendak dibangunnya. Sejatinya persoaan yang juga laten menggerogoti penyakit bangsa ini adalah lemahnya mental mereka dan disorientasi massa bangsa ini mau dibawa kemana dari situ penyakit ini menurun pada kota-per kota sebagai implikasi otonomi daerah tanpa dibarengi sarana pendukung bagi kota itu.

Ditulis sudah lama dan baru diposting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar