Sabtu, 30 November 2013

Kembali ke Gamelan*

Pheobe Neville, Philip Corner dan Ay-O
Pheobe Neville, Philip Corner dan Ay-O

(bagian ke dua puluhempat)

Seperti pernah akuceritakan sebelumnya, projectku adalah melacak persinggungan ide Fluxus denganpara seniman Indonesia. Jauh sebelumnya, Melati Suryodarmo mengatakan bahwa diadekat dengan eskponen penting Fluxus, Philip Corner. Sayangnya entah karena apahal itu luput dari perhatianku malah memilih berkutat dengan hal-hal lain. Di sampingitu karena kesibukan Mbak Mel, aku kurang mendapat info memadai dengan isu ini.Pencarian yang berputar-putar ini akhirnya kembali lagi ke Philip setelahMarintan Sirait memberi tahu bahwa tahun 1994 pernah mengadakan pekan Beuys. Daridata yang ada diketahui salah satu pematerinya adalah Dieter Mack.
Mack pernah tinggaldi Indonesia dan terlibat dengan seniman-seniman di Bandung, termasuk HarryRoesli, Herry Dim, dan Prof Tjetjep Rohendi. Sebenarnya aku sudah berkali-kaliberkorespondensi dengan Mack setelah jauh hari sebelumnya Prof Tjetjep yangrumahnya berjarak 50 meter dari basecamp Hysteria member email Mack. Kami berkorespondensiuntuk mencari waktu yang tepat untuk bertemu, mengingat rumahnya sangat jauhdari tempatku tinggal, Lubeck. Langsung saja aku kontak Mack untuk mencari tahubahan apa yang dipresentasikannya selama di Bandung dan bagaimana relasinyadengan teman-teman di sana. Sampai akhirnya Mack menyerah karena keterbatasaningatannya dan memberiku kontak Philip Corner!
Seniman kelahiran1933 itu sangat antusias membalas emailku. Aku tak menyangka orang sepentingdia memperhatikan anak bau kencur sepertiku. Dia juga menyarankanku menjalinhubungan dengan beberapa nama penting, termasuk Ben Patterson. Philip jugamemberitahu kalau dia sangat tertarik dengan apa yang aku lakukan dan memintaselalu dikabari mengenai perkembanganya. Sikap rendah hati dan gampang berbagiini terang saja membuatku sangat terbantu.

Philip Corner 
Gamelan EVERYDAY (outdoors)
Philip Corner Gamelan EVERYDAY (outdoors)

Philip Cornermemperoleh gelar Bachelor of Art pada tahun 1955 di CCNY, dengan guru yangsangat penting baginya Fritz Jahoda, dan mendapat gelar master empat tahunkemudian. Ia sebelumnya juga pernah menghabiskan waktu di Paris, belajar diConservatoire Nat'l de Musique, mengikuti kelas filosofi music OlivierMessiaen. Philip mengajar Modern Music di New School for Social Research daritahun 1967-1970, meneruskan kelas yang didirikan oleh John Cage. Ia menjadi professordi Livington College, New Jersey dari tahun 1972-1992. Sesudah itu ia pensiundini dan pindah ke Reggio Emilia, Italia.
Tanpa performancePhilip ‘Piano Activities’ yang berakhir pada perusakan piano itu aku pikirkehadiran pertama Fluxus di Wiesbaden akan menarik perhatian public.
Philip juga menepiskeraguanku soal orientalisme dan relasi timpang antara timur dan barat. Dalambeberapa referensi tentang dia, Philip terpangaruh oleh filsafat timur,termasuk Zen dan Budhisme. Pengalamannnya di Korea tahun 1960-1961 saatmengikuti wajib militer membuatnya terpikat denga music tradisi di sana. Iabahkan mempunyai nama Korea, Gwan Pok yang artinya air terjun perenungan. Lebihjauh lagi, Philip mempunyai kelompok gamelan bernama Son of Lion tahun 1976yang dibentuknya bersama Barbara Benary dan Daniel Goode.

Phil and Phoebe Neville memainkan sebuah gong
Phil and Phoebe Neville memainkan sebuah gong

Philip beberapa kalimengunjungi Indonesia dan berteman baik dengan para musisi kontempore. RahayuSupanggah, Sutanto Mendut, I Wayan Sadra, Slamet Abdul Syukur adalah beberapanama yang intensif menjalin relasi dengannya. Pada sebuah repertoar I WayanSadra ‘terus-terus’ ia ikut performance. Di Padepokan Lemah Putih, Surakarta iajuga pernah melakukan performance art. Betapa erat hubungan Philip dengan paraseniman di Indonesia. Sayangnya fakta ini aku ketahui belakangan karena sibukmemburu relasi Fluxus dengan teman-teman seni rupa. Padahal dengan seni music relasinyalebih kuat.
Fakta seputar Philipmembuatku lebih percaya diri untuk menyelesaikan project ini. Setelah berputar-putarkembali juga ke timur, ke gamelan. (Adin)

 *tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Kota di Antara Hutan dan Tanaman yang Merambat

kunstlerhaus, tempat pemutaran film tentang Fluxus yang menggerakkanku ke kota ini
kunstlerhaus, tempat pemutaran film tentang Fluxus yang menggerakkanku ke kota ini


(bagian ke sepuluh)

Butuh waktu dua hari untuk menimbang-nimbang perjalan ke Stuttgart, kota yang jadi bagian Negara Baden-Wurttemberg, Jerman. Ini terkait dengan projectku untuk mempelajari Fluxus selama di Wiesbaden. Soal projectku nanti akan aku tulis dalam naskah terpisah. Niat untuk ke Stuttgart ini dipicu oleh email dari Amanda Rath, seorang dosen dan peneliti di Goethe Universitat Frankfurt am Main yang menginformasikan adanya pemutaran film tentang Fluxus yang dibuat berdasar penelitian Dorothee Richter (Zurich Universities of Applied Sciences and Arts). Penasaran akhirnya Selasa (15/10) aku beli tiket kereta juga. Menghemat biaya aku ambil tiket paling murah dengan resiko perjalanan lama dan berganti-ganti kereta. Ini juga jadi perjalanan pertama terjauhku di sini.

Heilbronn, kota yang berhadapan langsung dengan sungai
Heilbronn, kota yang berhadapan langsung dengan sungai

Sebelumnya aku sempat mencari informasi kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia atau teman yang tinggal di Stuttgart, namun rupanya hingga hari H tak ada aku temukan kontak. Buat jaga-jaga saja kalau kemalaman. Tapi memang sudah aku niati kalau tak dapat tempat menginap aku akan berjaga semalaman di stasiun kereta bawah tanah di pusat kota, biasanya lebih hangat. Lagian Stuttgart termasuk kota yang aman, jadi tak ada alas an untuk khawatir. 
Tepat pukul 12.38 aku naik kereta berkode RB 15715 menuju Darmstadt. Butuh ganti kereta hingga empat kali untuk mencapai Stuttgart. Benar saja, jika naik kereta cepat bias ditempuh hanya 2 atau 3 jam, kali ini harus 4 jam. Namun ternyata perjalanan memakan waktu lebih lama. Jadwal dan jenis kereta yang kunaiki mempunyai sedikit perbedaan sehingga 45 menit aku terkatung-katung di sebuah kota yang entah lupa namanya. Dari sekian stasiun kota yang kusinggahi, Darmstadt, Heidelberg, hingga Heilbronn, yang terakhirlah yang paling keren. Kota ini persis menghadap sungai dan pemukimannya naik ke atas bukit. Hampir mirip dengan Rudesheim, tetapi tetap beda. Sempat tersirat sebelum balik ke Wiesbaden aku akan mampir dulu ke Heilbronn. Namun rupanya saat pulang kereta memiliki jalur lain, yakni lewat Karlsruhe dan Mainz. Heilbronn ini sungguh cantik, sayangnya aku hanya bias melihat dari balik kaca kereta.

Old Kastil, bekas tempat  pemeliharaan kuda pada tahun 950 dan sekarang difungsikan menjadi museum kota setelah renovasi berkali-kali
Old Kastil, bekas tempat pemeliharaan kuda pada tahun 950 dan sekarang difungsikan menjadi museum kota setelah renovasi berkali-kali

Di sini kalau beli tiker satu hari,tak tergantung dengan kereta mana mau berangkat. Misalnya aku beli tiket untuk hari ini, bebas mau naik kereta apa saja asal masih satu kelas. Mau berangkat jam berapapun tak masalah asal masih pada tanggal yang sama. Kalau mau murah bisa beli tiket pulang pergi dalam sehari. Untuk tipe kereta IC atau ICE sekali perjalanan dari Wiesbaden ke Stuttgart bisa lebih murah asal tergantung pada jam tertentu. Artinya sekali telat ya sudah tak akan bisa menggunakan tiket itu lagi. 
Aku sampai di Stuttgart hamper pukul 19.00, acara dimulai sejam lagi dan aku benar-benar buta terhadap kota itu. Hujan tipis-tipis. Aku Tanya orang-orang dan akhirnya sampai juga di Kunsterlhaus Stuttgart. Hingga acara rampung aku belum memikirkan mau tidur di mana. Sempat berkenalan dengan orang-orang di sana, termasuk Lilian Scholtes, ibu-ibu dari Stuttgart dan pernah terlibat dalam event 5 tahunan Documenta pada tahun 2007 lalu.
Sewaktu hendak mengaso di stasiun, Lili menelpon menawarkan tempat tidur di apartemennya, naluri keibuannya mengatakan aku butuh pertolongan. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan ini. Selama hampir semalaman kami ngobrol tentang macam-macam. Mulai dari soal seni hingga isu-isu social lainnya. Lili pula yang memberikanku arahan untuk pagi harinya menemukan hal menarik di kota ini. Seperti tiap perjalanan yang tak kusiapkan sungguh-sungguh, selalu ada penyesalan tiap pulang karena pasti ada tempat menarik yang luput untuk aku singgahi, yakni Old State Gallery dan New State Gallery. Di museum ini terdapat karya seniman terkenal, misalnya, Rembrandt, Monet, Renoir, Cézanne and Beuys, Max Beckmann, Dalí, Matisse, Miró, Picasso, Klee, Chagall dan Kandinsky. Aku melewatkannya..

Hegel Haus
Hegel Haus



Namun demikian di kota berpenduduk sekitar 600 ribu jiwa ini aku masih sempat menyambangi Hegel Haus, Stiftirsche, Schillerplatz, dan beberapa objek menarik lainnya. Kota ini cukup indah, terletak tak jauh dari Black Forest, di sela-sela kota masih ada kebun anggur. Kalau istilah orang Stuttgart terletak di antara hutan dan tanaman yang merambat, romantis bukan. Adapun Stiftkirsche adalah gereja dengan arsitektur campuran antara romawi, ghotic, dan arsitektur modern. Jejak gereja ini bisa dilacak hingga abad ke 12, berkali-kali mengalami renovasi dan terakhir rusak parah karena perang dunia kedua. Direstorasi lagi dan sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari Schillerplatz, Bangunan Fruchtkasten, Prinzenbau, Old Chancellery dan Old Castle. Bangunan-bangunan bersejarah ini berada dalam radius 100 meter kira-kira, letaknya saling berdekatan. Di Schillerplatz, tempat yang didedikasikan untuk penyair jerman Fridrich Schiller seminggu dua kali diadakan pasar untuk rakyat. Patung Schiller ini merupakan karya Bertel Thorvaldsen.

Schillerplatz, didedikasikan untuk penyair kenamaan Jerman, Friedrich Schiller
Schillerplatz, didedikasikan untuk penyair kenamaan Jerman, Friedrich Schiller
Tak jauh dari Scillerplatz, ada Hegel Haus. Rumahnya mungil dan berada di pojok perempatan jalan. Tak sulit mencapai Hegel Haus karena di sudut-sudut jalan terdapat papan pentunjuk yang mengarah tempat-tempat penting. Jika dibanding dengan Goethe Haus di Frankfurt, Hegel Haus lebih kecil. Di sinilah konon Hegel menghabiskan masa kecilnya.
Terakhir aku ke Württembergische Kunstverein Stuttgart, menyaksikan pameran yang sedang berlangsung. Masuk harus membayar 3 Euro dan aku di dalamnya berjam-jam. Tak sengaja aku melihat karya Kiri Dalena, seorang kawan lama dari Filipina. Pertama kali bertemu dengannya saat di Bandung 2009 lalu. Aku menjadi guide yang mengantar Kiri menjelajah kota. Puas menjelajahi kota, pukul 14.59 tanggal 16 Oktober aku kembali ke Wiesbaden, tak sabar menjelajah hal-hal lain selama di Eropa. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

Stuttgart dari atas
Stuttgart dari atas



Beuys

(bagian ke dua puluh satu)

Di antara eksponen Fluxus,yang sering disebut-sebut dan mempunyai pengaruh besar adalah Joseph Beuys. Tokoh yang terkenal dengan konsep ‘Social Sculpture’ ini mempunyai sejarah yang cukup controversial. Josep Beuys lahir di Krefeld, anak seorang pedagang, Josef Jakob Beuys (1888–1958) dengan Johanna Maria Margarete Beuys (1889–1974). Beuys lahir pada 12 Mei 1921. Di tahun yang sama orang tuanya pindah ke Kleve, sebuah kota industri dekat dengan perbatasan negeri Belanda. Di sana Beuys mendapat pendidikan dasar di Katholische Volksschule lalu melanjutkan di Staatliches Gymnasium Cleve. Di sekolah ia mendapat pembelajaran piano dan cello, bakat menggambarnya juga sudah mulai kelihatan. Pada suatu kesempatan ia mengunjungi seorang pelukis pematung Flemish, Achilles Moortgat. Kesukaan lain yakni tentang sejarah Nordik, mitologi dan ilmu alam. Saat terjadi pembakaran buku di halaman sekolahnya pada Mei 1933, ia sempat menyelamatkan sebuah buku berjudul Systema Naturae anggitan Carl Linnaeus dari tumpukan api yang menyala. Tahun 1936 ia tercatat sebagai anggota Pemuda Hitler, sebuah organisasi anak muda di Jerman waktu itu. Pada usianya yang ke 15 ia juga ikut Perkumpulan Nurnberg pada September 1936.

masa muda Beuys
masa muda Beuys



Tahun 1941 ia menjadi relawan di angatan udara. Dia memulai kariernya sebagai operator pesawat radio dibawah asuhan Heinz Sielmann di Posen (sekarang Poznań), mereka berdua juga mengikuti kuliah di bagian Biolodi dan Zoologi, Universitas Posen. Pada saat bersamaan ia juga mulai memikirkan karirnya sebagai seniman. Setahun kemudian ia ditempatkan di Crimea dan menjadi anggota unit pesawat pengebom. Beuys pernah tertembak jatuh saat membawa pesawat di dekat Znamianka pada 16 Maret 1944. Menurut pengakuannya ia diselamatkan suku pengembara Tatar yang sempat membalut tulangnya yang patah dengan lemat hewan dan merawatnya hingga sembuh. Peristiwa ini berbeda dengan apa yang dituturkan saksi lain di dekat tempat itu. Saksi lain mengatakan pilotnya memang mati seketika sementara Beuys tak sadarkan diri. Setelah itu Beuys dibawa ke rumah sakit militer untuk menjalani perawatan.
Mempertimbangkan lukanya, setelah itu Beuys ditempatkan di front barat, Agustus 1944. Ia juga mendapat Wound Badge berkasta emas, sebuah penghargaan cukup  pretensius dalam karir militer di Jerman untuk seseorang yang mendapat luka lebih dari 5 kali. Setelah Jerman menyerah pada 8 Mei 1945, Beuys ditahan di Cuxhaven dan dibawa ke kamp interniran Inggris. Tanggal 5 Agustus ia dibebaskan dan kembali ke rumah orang tuanya. Pengalaman ini membuat sosok Beuys kontroversi.
Sekembalinya ke Kleve, Beuys bertemu dengan pematung Walter Brüx dan pelukis Hanns Lamers yang mendorongnya untuk mengambil karir sebagai seniman. Ia menjadi bagian dari Asosiasi Artis Kleve yang didirikan oleh Brüx dan Lamers. 1 April 1946, ia ikut program "Monumental Sculpture" di  Düsseldorf Academy of Fine Arts. Mulanya ia ikut kelas Joseph Enseling dengan focus pada tradisi. Setelah tiga semester ia ikut bergabung dalam kelas kecil Ewald Mataré pada 1947. Filsafat antroposofi yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner menjadi alasan mendasar Beuys dalam membentuk sudut pandangnya. Pemikiran Anthrophosophy disebut juga sebagai teori mistis, percampuran religius filosofis yang dipinjam dari pemikiran neoplatonisme dan Pitagorian, mistisisme, Kabalisme dan filsafat alam Jerman.Teorinya berciri pendewaan terhadap kodrat manusia yang memiliki karsa atau kehendak. Bagi teori ini, kodrat yang ada pada manusia hanya bisa disingkap oleh manusia yang memiliki karsa tadi. Aliran pemikiran ini mendapat pengaruh kuat dari Ajaran Hindu.


Beuys bersama Andy Warhol
Beuys bersama Andy Warhol





Bersama beberapa artis termasuk Hann Tie, Beuys mendirikan sebuah grup bernama 'Donnerstag-Gesellschaft' (Thursday Group) pada 1947. Kelompok ini aktif membuat diskusi, pemaren, konser dan berbagai acara lain selama kurun waktu 1947 - 1950 di Puri Alfter. Beuys juga memilik ketartarikan terhadap Joyce, Galileo Galilei, Friedrich Schiller, Leonardo da Vinci dan lain-lain. Pemenang nobel, Gunter Grass disebut-sebut mendapat pengaruh Beuys yang menhidupkan atmosfer pemikiran antroposofi dalam kelas Mataré .
Beuys menyelesaikan studinya pada tahun 1953 dengan gelar master pada usia 32. Dia mendapat pemasukan dari mengerjakan kerajinan pada nisan dan pernik-pernik furniture. Tahun 1950an adalah masa-masa sulit Beuys karena soal kemiskinan dan trauma paska perang. Namun ia tetap berkarya dengan membuat gambar. Ada seribuan karya berupa gambar dan ia juga membuat patung. Dalam karya gambarnya Beuys mengekplorasi bahan-bahan tak biasa dan mengembangkan visi artistiknya. Ia mengeksplorasi metaphor-metafor yang menghubungkan antara fenomena alam dan system filsafat.
Gambar ini dipamerkan di Oxford, Edinburgh, Dublin dan Belfast pada tahun 1974. Gambar ini dibuat antara akhir tahun 1940 an hingga 1950an dengan seri yang dinamai The Secret Block for a Secret Person in Ireland (merujuk pada James Joyce. Pada tahun 1959 ia menikah dengan Eva Beuys Wurmbach dan dikarunia dua putar, Wenzel (lahir 1961) dan Jessyka (lahir 1964). Beuys menyita perhatian public setelah ia melakukan performance art di Technical College Aachen pada tahun 1964. Ini merupakan bagian dari perayaan 20 tahun usaha pembunuhan Adolf Hitler. Performance Beuys terhenti mendapat serangan dari sekelompok siswa. Wajah Beuys dipukuli, sebuah foto di media menggambarkan Beuys dengan hidung berdarah dan lengan terangkat.

I like America and Amerika likes me (perormance art, Joseph Beuys, 1974)
I like America and Amerika likes me (perormance art, Joseph Beuys, 1974)




Tahun 1961 ia menjadi guru besar bidang 'monumental sculpture'  di Kunstakademie Düsseldorf. Namun karena penentangannya dalam penghapusan berbagai macam syarat untuk masuk kelas Düsseldorf di akhir tahun 60an,Beuys diganjar pemecatan pada tahun 1972. Pemecatan Beuys ini menimbulkan gelombang protes di kalangan mahasiswa, kritikus, dan seniman. Namun demikian kehilangan posisi ini tak membuat karir Beuys mati. Ia mendapat kessempatan untuk mengajar di kuliah-kuliah umum dan aktif dalam perpolitikan Jerman.
Beuys terkenal dengan metode pengajarannya, dalam sebuah wawancara dengan Willoughby Sharp tahun 1969 dikatakannya bahwa mengajar adalah karya terbesarnya dalam dunia seni, sisanya adalah produk limbah, sebuah demonstrasi. Jika seseorang ingin mengekspreskan dirinya ia harus menunjukkan sesuatu yang Nampak, sesudah itu ia hanya akan menjadi dokumen sejarah. Object tak lagi penting. Beuys ingin menunjukkan sesuatu yang asli, pemikiran dibalik sesuatu tersebutt. Dalam hal ini Beuys memandang peranan dirinya sebagai seniman sebagai seorang guru, shaman yang mengarahkan masyarakat pada arah yang baru.

Some of the 7,000 Oaks planted between 1982 and 1987 for Documenta 7 (1982)
Some of the 7,000 Oaks planted between 1982 and 1987 for Documenta 7 (1982)
Di antara konsep menarik Beuys yakni ‘Social Sculpture’. Ide ini dikembangkan Beuys sejak tahun 1960 an. Pemikiran dia mengenai potensi seni dalam mengubah dunia terinspirasi oleh penulis jaman romantic macam Novalis dan Schiller. Beuys termotivasi kepercayaannya pada kekuatan kemanusian universal potensi seni dapat memberikan perubahan revolusioner. Ide ini dapat ditemukan pada ide social yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner yang terkenal dengan teorinya tentang Social Threefolding. Konsep ini diterjemahkan Beuys dalam pokok pikirannya mengenai social sculpture. Menurut Beuys masyarakat secara keseluruhan adalah karya seni besar dan tiap manusia adalah seniman. Ia juga mengembangkan 3 disiplin yakni kebebasan, demokrasi, dan sosialisme, ketiganya saling berhubungan.
Statemennya:

“Only on condition of a radical widening of definitions will it be possible for art and activities related to art [to] provide evidence that art is now the only evolutionary-revolutionary power. Only art is capable of dismantling the repressive effects of a senile social system that continues to totter along the deathline: to dismantle in order to build ‘A SOCIAL ORGANISM AS A WORK OF ART’… EVERY HUMAN BEING IS AN ARTIST who – from his state of freedom – the position of freedom that he experiences at first-hand – learns to determine the other positions of the TOTAL ART WORK OF THE FUTURE SOCIAL ORDER.”

Joseph Beuys dalam aksinya „Heimholung“  Oktober 1973. Foto: Winfried Göllner
Joseph Beuys dalam aksinya „Heimholung“ Oktober 1973. Foto: Winfried Göllner

Tahun 1982 ia diundang dalam festival lima tahunan di Kassel, Documenta 7. Ia meletakkan batu basal itu sehingga kalau kita melihatnya dari atas akan terbentuk sebuah anak panah raksasa yang menunjuk pada sebatang pohon oak yang ia tanam. Ia meminta supaya tak ada yang memindahkan batuan itu sampai ada yang menggantinya dengan pohon oak. Hasilnya adalah ditanamnya 7000 batang pohon oak di bekas batu itu. Dalam project ini dia ingin menunjukkan social sculpture itu bersifat interdisipliner dan partisipatoris. Ia juga ingin menegaskan bahwa karya itu mempunyai dampak terhadap lingkungan dan perubahan social. Dia Art Foundation kemudian melanjutkan project ini dan memasangkan pohon yang sudah ditanam bersama batuan tersebut. 
Beuy sendiri menyebut project itu sebagai upaya untuk memprovokasi dan hanya permulaan. Ia berharap bisa menginspirasi project serupa di dunia sebagai kampanye terhadap kesadaran lingkungan dan perubaham social. Selain itu juga mampu menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan perkotaan dimana manusia sebenarnya tergantung pada ekosistem yang lebih besar. Yang terakhir project ini diniatkan sebagai proses yang terus berjalan yang mana masyarakat bisa terpantik dan mencipta social sculpture itu sendiri.
Karya Beuys tak bermaksud untuk menghibur penonton. Ini adalah pesan yang terbangung melalu tradisi, pengakuan secara keseluruhan berdasar konsep baru mengenai keindahan yang melebihi kepuasan yang instan.
Beberapa wawancara dengan seniman-seniman Indonesia, Beuys menempati posisi yang lebih terkenal jika dibandingkan dengan Macuinas. Meskipun oleh kritikus disebut fluxus digolongkan dalam periode terntentu kehidupan Macuinas, nyatanya di Indonesia, beberapa seniman lebih familiar dengan seniman Fluxus lain, misalnya Alan Kaprow, Beuys dan tentu saja Philip Corner. (Adin)
7000 pohon oak, saat ini di Kassel, Jerman
7000 pohon oak, saat ini di Kassel, Jerman
*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Kaprow, Higgins, dan Jonas Mekas*

dokumentasi 'happening'    karya Allan Kaprow (1)
dokumentasi 'happening' karya Allan Kaprow (1)

(bagian ke dua puluh dua)
Ada beberapa nama yang menurutku menarik untuk diulas dari seniman yang terlibat Fluxus ini. Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari Wikipedia sebagai pengantar untuk memahami siapa mereka. Sebelumnya aku menulis tentang Beuys, kali ini ada Allan Kaprow, Dick Higgins, dan Jonas Mekas.

Penemu Konsep Happening

Allan Kaprow (23 Agustus, 1927 – 5 April, 2006) merupakan pelukis Amerika yang terkenal dengan pengembangannya atas performanceart. Tahun 1950- 1960 an dia mengembangkan seni ‘environment’ dan ‘happening’. Pada akhirnya Kaprow mengembangkan apa yang namanya ‘activities’ dan memutuskan mempelajari kehidupan sehari-hari dan belakangan mempengaruhi perkembangan fluxus, performance art dan seni instalasi.
Jebolan New York University ini banyak terpengaruh oleh buku John Dewey tentang seni sebagai sebuah pengalaman Art as Experience. Kaprow belajar seni dan filsafat dan memperoleh gelar Master of Art di dari Columbia University di jurusan sejarah seni. Di Hans Hofmann School of Fine Arts tahun 1947 dia mulai mengembangkan gayanya action painting yang mempunyai pengaruh besar dalam ‘happening’ pada tahun-tahun berikutnya.
Kaprow mempunyai sejarah panjang mengajar, pernah di Rutgers, Pratt Institute, the State University of New York at Stony Brook, dan di California Institute of the Arts, sebelum akhirnya ia menjadi anggota penuh University of California, San Diego. Kemudian ia melanjutkan studi komposisi dengan John Cage di kelas New School for Social Research, melukis bersama Hans Hofmann, dan belajar sejarah seni bersama Meyer Schapiro. Salah satu pendiri the Hansa and Reuben Galleries di New York ini lalu menjadi direktur di Judson Gallery. Terpengaruh John Cage, ia menjadi tak produktif lagi melukis dan lebih banyak membuat aksi. Bersama Professors Robert Watts, Geoffrey Hendricks, dan Roy Lichtenstein, George Brecht, George Segal, dan lain-lain ia membantu mencipta Fluxus. Pada masa itulah ia memulai apa yang dinamakan ‘Happening’.
Tahun 1958, Kaprow mempublikasikan esainya tentang Jackson Pollock ". Termaktub di dalamnya tentang seni konkret yang bahannya berasal dari objek sehari-hari. Seperti cat , kursi , makanan , lampu listrik dan neon , asap , air , kaus kaki tua, anjing , film. Dalam bagian yang lebih detil ia menggunakan istilah ‘happening’ untuk pertama kalinya kemudian ia menyatakan kemampuan teknis dan hal yang sifatnya permanen mesti dilupakan serta barang yang tak mudah rusak semestinya digunakan dalam seni. ‘Happening’ pertama kali diawali dengan petunjuk teks yang ketat yang dipatuhi oleh penonton maupun performer untuk mendatkan pengalaman dalam seni. Bagi Kaprow, ‘happening’ adalah permainan, petualangan, dan beberapa aktivitas yang berkaitan deengan permainan. Lebih jauh Kaprow mengatakan happening itu terjadi begitu saja. Tak ada struktur, pertengahan, akhir dan tak ada hirarki antara artis dan penonton. Adalah respons penonton yang akan menentukan sebuah seni. Pengamat atau penonton diposisikan tak hanya sebagai pembaca yang pasif tetapi juga diajak untuk berinteraksi dan menjadi bagian dari seni.
‘happening’tenar pada tahun 1961- 1962 saat Kaprow mengajak siswa dan temannya di sebuah situs yang spesifik untuk membuat aksi kecil. Metode ini digunakan untuk mendorong respons kreatif dari para audiens, memberi mereka keberanian untuk membuat koneksi sendiri antara ide dan acara.
Pilihan pada Kaprow didasari atas wawancaraku dengan beberapa seniman di Indonesia yang ternyata familiar dengan konsep-konsep Kaprow selain Beuys.

dokumentasi 'happening'    karya Allan Kaprow (2)
dokumentasi 'happening' karya Allan Kaprow (2)

Something Else Press Higgins

Seniman Fluxus lain yang memegang peranan penting adalah Dick Higgins. Dick yang juga seorang composer dan penyair ini membuat penerbitan bernama Something Else Press yang menerbitkan karya-karya seniman fluxus. Pria kelahiran 15 Maret 1938 asal Cambridge, Inggris ini akhirnya menikahi seniman fluxus lainnya, Alison Knowles di tahun 1960. Keterlibatan Dick pada fluxus tak bisa dilepaskan dari pertemuannya dengan John Cage saat mempelajari komposisi di New School of Social Research, New York.
Beberapa karya tokoh penting yang pernah diterbitkannya yakni Gertrude Stein, Marshall McLuhan, John Cage, Merce Cunningham, Claes Oldenburg, Ray Johnson, Bern Porter dan banyak lagi yang lainnya. ia juga aktif membimbing artis Fluxus lainnya seperti George Brecht, Wolf Vostell, Daniel Spoerri, Emmett Williams, Eric Andersen, Ken Friedman, dan lain-lain. Dick meninggal pada tahun 1998. Anaknya,, Hannah Higgins adalah pengarang buku Fluxus Experience, sebuah buku yang berpengaruh dalam gerakan  Fluxus. Sementara Jessica Higgins, saudara kembar Hannah Higgins adalah artis multimedia New York yang memiliki koneksi dekat dengan curator menjanjikan, Lance Fung, dan terlibat dalam acara Fluxus pada masa-masa berikutnya.
Istilah intermedia, pertama kali diintroduksikan oleh Higgins untuk menggambarkan peristiwa yang membingungkan dalam kegiatan seni pada tahun 1960an. Karakternya berupa bertemunya berbagai bidang lintas disiplin, misalnya antara gambar dan puisi, lukisan dan teater, dan yang semacam itu.

Dick Higgins memiliki vitalitas kreatif yang luar biasa. Dia hidup dengan ide-ide. Selain menjadi seorang seniman dan penerbit, Higgins adalah organizer dan pendakwah. Dia menyalakan api untuk Fluxus
Dick Higgins memiliki vitalitas kreatif yang luar biasa. Dia hidup dengan ide-ide. Selain menjadi seorang seniman dan penerbit, Higgins adalah organizer dan pendakwah. Dia menyalakan api untuk Fluxus


God Father Film Avant Gard Amerika

Kalau kamu pecinta film-film eksperimental sudah pasti tahu Jonas Mekas. Seoarang seniman multitalenta kelahiran Lithuania 24 December 1922 ini sering dipanggil sebagai "the godfather of American avant-garde cinema." Karena perang ia hijrah dari Lithuania tahun 1944, perjalanannya terhenti karena ulah tentara Jerman dan dipekerjapaksakan di kamp pekerja Elmshorn, Hamburg bersama saudaranya Adolfas Mekas (1925–2011). Saudaranya kabur dan bersembunyi di perbatasan Danish selama dua bulan hingga perang berakhir.
Setelah perang, Mekas menjadi orang yang terusir dari negaranya dan tinggal di Wiesbaden dan Kassel. Dari tahun 1946 hingga 1948, ia belajar filsafat di Universitas Mainz. Setelah itu pindah lagi bersama saudaranya ke Amerika Serikat tepatnya di Williamsburg, Brooklyn, New York. Dua minggu setelah kedatangannya ia lalu membeli kamera Bolex 16mm dan mulai merekam peristiwa dalam hidupnya. Dia menemukan film film avant gard di Cinema 16 milik Amos Vogel setelah itu ia memulai mengurasi pemutaran film-film avant gard di Gallery East on Avenue A dan Jalan Houston Street. Ia juga mengurasi film di Film Forum, bertempakan di Carl Fisher Auditorium, nomor 57.

Jonas Mekas
Jonas Mekas

Bersama Adolfas Mekas, tahun 1954, ia mendirikan majalah Film Culture, empat tahun kemudian ia mulai menulis jurnal film untuk kolom tabloid mingguan gratis The Village Voice. Bersama teman-temannya ia lalu mendirikan Film-Makers' Cooperative tahun 1962 yang visinya mendistribusikan film-film avant gard. Dua tahun berikutnya ia membuat Filmmakers' Cinematheque in yang akhirnya menjadi arsip film avant gard terbesar di dunia.  Mekas dekat dengan banyak artis seperti Andy Warhol, Nico, Allen Ginsberg, Yoko Ono, John Lennon, Salvador Dalí, dan juga George Maciunas.
Ia pernah ditangkap karena memutar film Flaming Creatures (1963) dan Jean Genet’s Un Chant d’Amour (1950) dengan tuduhan mempertunjukkan hal cabul. Tahun 1967, ia mengorganisir New American Cinema Expositions, yang melakukan perjalanan dari Eropa hingga Amerika Selatan.
Bersama Stan Brakhage, Ken Kelman, Peter Kubelka, James Broughton, dan P. Adams Sitney, ia memulai ambisinya yang penting di Anthology Film Archives untuk mendirikan kanon karya sinematik penting. Di samping aktivitasnya dalam dunia perfilman, Mekas juga dikenal sebagai penyair Lithuania. Ia menerbitkan puisi dan prosanya dalam bahasa Lithuania, Prancis, Jerman, dan Inggris. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Ben, Gutai, Jeprut Lalu Philip Corner

Gutai merupakan gerakan artistik yang melibatkan beberapa artis. Gutai didirikan oleh   Jiro Yoshihara di Jepang tahun 1954.
Gutai merupakan gerakan artistik yang melibatkan beberapa artis. Gutai didirikan oleh Jiro Yoshihara di Jepang tahun 1954.



(bagian ke sembilan belas)

Menyucikan dunia dari seni yang mati, imitasi, seni seolah-olah, seni abstrak, seni ilusionis, dan menyucikan dunia dari eropa sentris dan seabrek penyucian lainnya adalah ambisi yang ingin dicapai oleh Fluxus. Manifesto ini dibuat oleh George Macuinas dan direvisi oleh Joseph Beuys di bagian menyucikan dunia dari eropanisme dirubah jadi amerikanisme. Manifesto yang dibuat tahun 1963 itu ironisnya tak pernah ditandatangani oleh personal-personal yang aktif menyokong Fluxus pada era itu.
Ambisi itu kini sudah berumur lebih dari setengah abad, sebagai satu di antara eksponen awal, Benjamin Patterson mempunyai keinginin tahunan seberapa besar tingkar perubahan yang telah dilakukan Fluxus di dunia. Untuk mengetahui hal itu, pada ulang tahun Fluxus ke 50 setahun lalu ia membuat questioner tentang hal itu.
Kuesioner inilah yang menjadi inspirasi pencarian jejak fluxus di Indonesia. Sejak awal kadang aku gamang terhadap proyek ini karena takut terjebak dalam orientalisme, yang menganggap segala sesuatu dari barat itu selalu lebih superior. Sebelum melangkah jauh aku mengkonsultasikan gagasan ini pada beberapa seniman dan penulis sejarah seni rupa di Indonesia, dan memang ada ketakutan kalau memposisikan perkembangan seni rupa di Indonesia dengan di barat, jatuhnya malah mengekor terus dan tak bermartabat. Ketakutan-ketakutan terhadap prasangka itu membuatku berkali-kali ragu. Tak mau bergamang-gamang ria akhirnya project ini tetap aku jalankan. Bukan untuk mencari  siapa paling mempengaruhi siapa tetapi untuk melihat persinggungan gagasan antara Fluxus dan beberapa seniman Indonesia. Bukankah sejak dulu saling curi ide itu biasa? Ada yang mengakui ada yang tidak, namun prasangka terhadap orientalisme rupanya juga membekas padaku.
Project ini juga bukan diniatkan sebagai sesuatu yang ambisius. Output  dari pencarianku nantinya akan dicetak dalam media alternative kami Propaganda Hyseria edisi ke 90. Hal ini tak lepas dari pembacaan hampir sepuluh tahun Hysteria berkegiatan, satu hal yang cukup stabil adalah menerbitkan media  alternative sejak tahun 2004. Meminjam konsep zine, Propaganda Hysteria baik isi,layout, dan distribusinya akan dilakukan semau-mauku seperti tradisi zine di setiap zaman, do it yourself (or with your friend- tambahan dariku). Berkarya menggunakan zine, kenapa tidak? Toh semua boleh bukan?

Philip Lionel Corner
Philip Lionel Corner



Rencananya nanti setelah cetak akan aku distribusikan langsung ke beberapa museum, galeri, tokoh atau teman-teman yang menarik kutemui di sepanjang perjalanan selama di sini. Modus inilah yang dalam sekian tahun aku lakukan di Hysteria sehingga bisa berkenalan dengan banyak orang dan jaringan. Sebelum melangkah lebih jauh studi pustaka aku lakukan  dengan membaca beberapa buku tentang Fluxus, esai, artikel dan data-data lain. Seiring berjalan aku mengemail beberapa teman di Indonesia yang sekiranya bisa membantuku. Benjamin Patterson sebagai seseorang yang masih hidup dan tinggal di Wiesbaden menempati posisi khusus dalam projectku. Nanti akan aku bahas dalam tulisan terpisah tentang siapa dia. Satu kebetulan yang menarik membincang Ben, saat aku baca buku tentang dia, ada satu karya berupa puzzle poem dengan visual penari bali. Karya ini dibuat pada tahun 1962, butuh waktu 51 tahun hingga seseoarang bocah kampung dari Semarang menyadarinya. Meski hanya kebetulan semata, namun hal ini membuatku makin antusias dengan Ben.
Untuk melacak jejak persinggungan ide Fluxus di Indonesia mulanya aku mencari-cari apakah ada hubungannya dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Mulanya aku email Grace Samboh yang sedang mengadakan penelitian tentang GSRBI, spekulasinya dari mana? Saat itu Hardi, salah satu eskponen GSRBI sempat mengenyam pendidikan di Belanda tahun 1975 berlanjut di De Jan Van EYC Academie, Maastricht. Dan konon pernah berteman dengan seniman Fluxus. Grace menegaskan berdasar apa yang diketahuinya baik FX Harsono dan Nanik  Mirna tak bersangkut paut dengan wacana barat. Meski kecenderungan karya Nanik kubisme namun tak da hubungan, Nanik lebih suka menyebut terma karya-karya geometris sementara Agus Dermawan T menyebutnya "seni lukis mistar". Secara gamblang disebutkan juga dalam lima jurus gerakan seni rupa baru bahwa apa yang mereka lakukan tak ada hubungannya dengan sejarah seni rupa barat. Meskipun mereka mengakui mendapat inspirasi dalam segi konsep dari Dada, terutama Duchamp. Hal ini dipertegas Amanda Rath, seorang peneliti dan dosen di Gothe University, Frankfurt, Jerman. Aku tahu Amanda dari Grace, dan berkorespondensi gara-gara ternyata ia dosen temanku di sini. Saat itu Grace tak tahu posisi Amanda di mana dan temanku lah yang menghubungkanku denannya.

Benjamin Patterson
Benjamin Patterson


Lalu ada Melati Suryodarmo yang jauh-jauh hari khawatir nanti hasil peroject ini adalah superioritas barat. Melati lalu menunjukkan contoh-contoh gerakan yang hampir mirip dan ada dalam kurun waktu yang relatif sama,Gutai di Jepang misalnya. Ada juga Tubagus P Svarajati yang tak henti-hentinya menemaniku diskusi untuk mencari kemungkinan-kemungkinan project ini mau dibawa ke mana. Dari Tubagus, yang mulanya fokus pada GSRBI lalu objeknya bergeser ke teman-teman di Bandung, yakni aktivitas kesenian yang bernama Parengkel Jahe dan Jeprut. Dari sana muncul nama Ipit Dimyati yang pernah meriset tentang Parengkel Jahe. Nama-nama seperti Arahmaiani, Williem Christiawan, Tisna Sanjaya, Marintan Sirait, Andar Manik dan banyak lagi muncul dalam penelitian ini.
Nama-nama itulah yang akhirnya menjadi objek untuk diwawancarai dalam project ini. Untuk diketahui latar belakangku adalah sastra, menjelajah wilayah seni rupa dan mengkaji teksnya lebih intensif bisa dibilang baru buatku. Apapun itu proses mencari dan menemu jawab ini membuatku mengenal lebih banyak nama, membawaku ke pengetahuan ‘baru’ dan pastinya makin mengayakan. Terakhir orang yang membuatku terkesan adalah Philip Corner. Seperti aku bilang Philip ini adalah sosok penting dalam kelahiran Fluxus di Wiesbaden. Ternyata ia berkali-kali ke Indonesia setidaknya sejak tahun 1976. Ia berteman dekat dengan I Wayan Sadra (alm), Slamet Abdul Syukur, Rahayu Supanggah, Suprapto Suryodarmo dan banyak lagi musisi di Indonesia. Saat ditanya apakah berteman pula dengan perupa, dia menjawab kenal dengan Dolorosa Sinaga. Namun sepertinya ia tak kenal dengan eksponen seni rupa dari GSRBI dan menjalin kontak intensif. Aku berhubungan dengan Philipsetelah sebelumnya menjalin kontak dengan Dieter Mack yang sempat mengajar di Indonesia. Dieter adalah teman baik Prof Tjetjep Rohendi, tetangga sebelah di Semarang. Rumah kami hanya bertaut 3 rumah saja. Pro Tjetjep sejak awal mendorongku untuk menyambangi Dieter Mack. Sejak sampai di Jerman aku sudah berkirim email pada Dieter untuk mencari waktu yang tepat untuk ketemuan. Namun tak pernah terlintas sedikitpun Dieter tahu projetcku dan bisa membantu.

Joseph Beuys
Joseph Beuys



Aku baru tahu saling keterhubungan ini setelah melacak nama-nama seniman Bandung yang diteliti oleh Ipit Dimyati. Dari Marintan Sirait nama Dieter Mack yang konon pernah memberi materi tentang Fluxus dan Beuys muncul. Dieter yang lupa detil materi yang disampaikannya pada tahun 1994 menyarankanku untuk langsung berhubungan dengan Philip Corner.
Proses pencarian yang seperti berkeliling ini dan kembalinya ke tempat semula ini mengingatkanku pada sosok Santiago. Hingga sekarang aku belum menarik kesimpulan dari penelitian ini. Namun pencarian ini menurutku sangat indah.  (Adin)
*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Mengantisipasi Masa Depan

Nam June Paik, Charlotte Moorman
Nam June Paik, Charlotte Moorman

(bagian ke dua puluh tiga)

Nam June Paik, adalah satu di antara seniman dari Asia yang sangat berpengaruh dalam perkembangan video art. Oleh Paik public diajak untuk kritis terhadap budaya televise. Kelahiran televise membentuk ‘televisi culture’ jauh sebelum teknologi berkembang seperti hari  ini, Paik telah mengantisipasi dengan berbagai karyanya tentang kemungkinan-kemungkinan itu dan bagaimana menyikapi teknologi. Lahir di Seoul, Korea Selatan Juli 1932 lalu, Paik anak bungsu dari 5 bersaudara. Ayahnya, seorang pengusaha tekstil terpaksa pindah dari negara asal saat terjadi perang Korea. Sebelum pindah ke Jepang, mereka berada di Hongkong untuk beberapa waktu. Di Tokyo ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Tokyo dengan tesis tentang komposer Arnold Schoenberg. Mulanya suami Shigeko Kubota, artis Fluxus lainnya, ini dididik sebagai pianis. Namun pertemuannya dengan berbagai seniman avant gard paska kepindahannya ke Jerman, merubah karir senimannya. Beberapa tokoh yang mempengaruhi Paik dan membentuk konsepnya dalam berkarya yakni John Cage,  Karlheinz Stockhausen, dan Joseph Beuys. Wolf Vostell lah yang kemudian memberinya inspirasi untuk menekuni seni elektronik. Paik pertama kali bertemu Cage di Darmstadt.

Nam June Paik, "Electronic Superhighway," 1995
Nam June Paik, "Electronic Superhighway," 1995

Dia mulai dikenal public saat membuat pameran yang dikenal sebagai Exposition of Music-Electronic Television di Wuppertal tahun 1963, saat itu ia menempatkan televisi di mana-mana dan mendistorsi gambar dengan meletakkan magnet di dekatnya. Ia memberi persektif baru terhadap televise. Entah itu dengan meletakkannya tak seperti pada umumnya, mendistorsinya dengan magnet, menggunakannya sebagai elemen dalam performance art dan lain-lain. Setelah pindah ke New York pada tahun 1964, Paik bekerja sama dengan pemain cello klasik Charlotte Moorman yang memadukan antara video, musik, and performance. Mereka pernah mendapat masalah saat Moorman telanjang dalam performance Paik berjudul Opera Sextronique, 1967. Dua tahun sesudahnya mereka tampil dalam acara TV Bra for Living Sculpture dengan Moorman memakai bra berupa layar televise kecil di sekitar payudaranya. Paik juga terlibat Fluxus New Musik Fest di Wiesbaden tahun 1962. 
Selama tahun 1970 hingga 1980 karyanya dipamerkan di berbagai belahan dunia. Ia mendapat gelar professor di Kunstakademie, Düsseldorf tahun 1978. Setelah itu pada tahun 1987 ia dipilih menjdi anggota Akademie der Künste, Berlin. Paik meninggal dunia pada 29 Januari 2006. Atas kontribusinya dalam mengeskplorasi media itu, Paik dianggap sebagai bapak video art.

pemain cello klasik, Charlotte Moorman,partner Paik saat performance art
pemain cello klasik, Charlotte Moorman,partner Paik saat performance art

Si Keras Kepala Macuinas

Menyebut Fluxus, kiranya tak akan lahir istilah ini tanpa kehadiran George Macuinas, seorang artis, organisator, desain grafis asal Lithuania yang menentukan periode awal gerakan internasional itu. George (1931-1978) terlahir dari pasangan Alexander M Maciunas (seorang arsitek) dan Leokadija (seorang penari yang terhubung dengan Opera Nasional Lithuania). Keluarga Macuinas pindah ke
Bad Nauheim, Frankfurt, Jerman untuk menghindari penangkapan tentara Rusia pada tahun 1944. Empat tahun kemudian mereka pindah ke Amerika Serikat dan tinggal di kawasan menengah di Long Island, New York. Setibanya di AS, George belajar graphic desain dan arsitektur di Cooper Union, kemudian mempelajari arsitektur dan musikologi di Carnegie Institute of Technology, Pittsburgh dan terakhir belajar sejarah seni di New York University's Institute of  Fine Arts. Di sini George mengambil jurusan migrasi seni dari Eropa dan Siberia. 11 tahun ia menghabiskan waktu untuk studi, belakangan diketahui ia mempunyai minat besar terhadap sejarah seni.

foto diri Macuinas dalam passport
foto diri Macuinas dalam passport

Setelah berkenalan dengan John Cage, segera saja George menyukai pendekatan yang dilakukan John dalam seni. George lalu berkenalan dengan orang-orang seperti La Monte, Yoko Ono, Ichiyanagi Toshi, Joseph Byrd, Allan Kaprow, Alison Knowles, Ay-O and Dick Higgins dan banyak lagi yang lainnya yang kelak menjadi para pendukung awal Fluxus. 
George bertemu dengan Cage saat menghadiri kelas komposisi dari komponis elektronik Richard Maxfield di New School for Social Research in New York. Di sana ia bertemu La Monte Young, Al Hansen, Allan Kaprow, dan Jackson Mac Low. Tahun 1961 ia membuka AG Gallery Madison Avenus nomor 925 dengan temannya Almus Salcius. Galeri ini berumur pendek karena kekurangan dana.
Menghindari tagihan debt kolektor, George lalu mengambil pekerjaan sebagai graphic desainer di tentara udara AS yang bermarkas di Wiesbaden. Di kota inilah ia dan teman-temannya mengorganisir festival Fluxus pertama kali pada bulan September 1962. Mulanya George mengindentifikasi apa yang dibuatnya sebagai neo Dada. Namun setelah berkorespondensi langsung dengan seniman Dada di Berlin, ia disarankan untuk menggunakan kata Fluxus saja.

Flux Wedding, George Maciunas dan Billie Hutching, 1978
Flux Wedding, George Maciunas dan Billie Hutching, 1978

Pada festival itu, penampilan Philip Corner dan teman-temannya dalam ‘piano activity’ memicu kemarahan public dan menjadi skandal. TV Jerman menayangkan empat kali atas kejadian yang dianggap memalukan itu. Dalam ‘piano activities’, instrument Chopin itu dirusak oleh para penampil. Animo public besar, meski dalam wujud kemarahan membuat mereka makin bersemangat dan membawa festival itu hingga ke Cologne, Paris, Düsseldorf, Amsterdam, The Hague dan Nice.
Tahun 1963 ia kembali ke AS karena kontrak kerjanya diputus karena penyakit. Dia lalu bekerja sebagai desain grafis di New York sdudio grafis milik desainer Jack Marshad.  George mendirikan kantor pusat Fluxus dan membuat fluxus menjadi perusahaan multinasional dengan berbagai produk menggunakan nama kata Flux, seperti FluxShop, Flux Mail-Order Catalogue and Warehouse, Fluxus copyright, mencetak koran bersama, mendirikan perumahan Flux Housing Cooperative dan lain-lain.
Bisnis toko itu konon juga tak berjalan. Sebuah wawancara dengan Larry Miller tahun 1978, George katanya menghabiskan dana hingga $50,000 tanpa pernah balik modal. George mengatakan tak ada yang membeli produk-produk fluxus pada saat itu. Mereka membuka toko di Jalan Canal tahun1964. Meski telah buka sepanjang tahun mereka tak menjual satupun produk Fluxus.
Selain aktif sebagai seniman, Macuinas aktif sebagai arsitek dan desain grafis. Ia memegang jabatan-jabatan yang penting di beberapa perusahaan seperti Skidmore, Owings & Merrill, Air Force Exchanges (Europe), Olin Mathieson Chemical Corporation, dan asosiasi Knoll (company). Sebagai seorang arsitek ia mengembangkan beberapa inovasi yang lantas dipatenkan saat bekerja di Olin Mathieson. Beberapa penemuannya inilah yang akhirnya digunakan sebagai model perumahan yang dikenal sebagai Fluxhouse. Perumahan ini dirancang dalam bentuk yang efisien, murah, dan ramah lingkungan.

John Lennon dan Yoko Ono berdiri di depan karya Maciunas 'USA Surpasses all the Genocide Records!'.1970.
John Lennon dan Yoko Ono berdiri di depan karya Maciunas 'USA Surpasses all the Genocide Records!'.1970.



Sebagai ahli tata kota ia dikenal sebagai ‘Bapak SoHo’ dalam usahanya membangun sebuah peruhaman di kawasan SOuth of  HOuston (nama jalan), New York. Dengan bantuan dari J.M. Kaplan Foundation dan National Foundation for the Arts ia membeli beberapa bagian bangunan dari perusahaan manufaktur yang tutup di kawasan itu tahun 1966. Ia mendesain sebuah lingkungan tempat tinggal para seniman Fluxus, merenovasi dan membuatnya nyaman untuk ditinggali.  Hal ini bertentangan dengan aturan pemerintah yang tak mengijinkan kawasan SoHo untuk pemukiman melainkan untuk jalan tol. Berbagai gelombang protes dan demonstrasi dilakukan di sini untuk menghentikan laju pembangunan jalan tol itu.
Meski Kaplan meninggalkan dia tanpa bantuan hukum untuk menghadapi ambisi pembuatan jalan tol, Macuinas tetap bergerak dan bahkan membeli bangunan lainnya untuk dijual pada para artis Fluxus, memenuhi ambisinya menciptakan ruang kreatif bersama. Ia juga menggalang dukungan dengan mengirim kartu pos ke seluruh relasinya di dunia. Usaha ini akhirnya benar-benar berhenti saat ia dihajar oleh mafia hingga mengakibatkan kebutaan pada salah satu matanya. Pemukulan itu terjadi pada 8 November 1975 dengan meninggalkan empat tullang patah, 36 jahitan di kepala, dan luka di paru-parunya. Ia lalu meninggalkan SoHo dan berpindah di New Marlborough, Massachusetts.

kartu pos karya  Ben Vautier menggunakan  Fluxmanifesto
kartu pos karya Ben Vautier menggunakan Fluxmanifesto



Terus menerus sakit, akhirnya ia meninggal pada tanggal 9 Mei 1978 karena menderita komplikasi. Sebelum meninggal, Macuinas menggelar pesta pernikahan dengan penyair Billie Hutching dan setelah upacara resmi mereka membuat performance "Fluxwedding" di tempat temannya di SoHo, pada 25 February1978.
Membaca para seniman Fluxus ini diam-diam aku jadi semangat juga. Apa sih yang membuat mereka sedemikian keras kepala dan ngotot? Satu hal lagi yakni para seniman ini benar-benar orang mengagumkan, terdidik, dan berani keluar dari zona nyamannya. Kebanyakan para seniman ini akhirnya menjadi orang besar. John Cage, Jonas Mekas, Yoko Ono, Nam June Paik, Macuinas dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan semuanya. Banyak juga di antara mereka yang berprofesi sebagai akademisi. Kiranya membayangkan ada akademisi yang keras kepala dan mempunyai kontribusi yang cukup besar di Semarang tak berlebihan bukan? (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Avant Gard dari Asia Timur*

the Pinacotheca housed avant garde di tempat ini mereka menempa dan sudah kenal istilah residensi artis dari luar negeri
the Pinacotheca housed avant garde di tempat ini mereka menempa dan sudah kenal istilah residensi artis dari luar negeri

(bagian ke dua puluh)

Pembacaanku mengenai Fluxus mau tak mau mengantarkanku pada Gutai. Sebuah kelompok seni dari Jepang yang sangat fenomenal pada waktu itu. Gutai ini adalah kelompok radikal pertama di Jepang pasca perang yang bergerak merespons dunia seni pada konteks waktu itu. Didirikan oleh Jiro Yoshihara dan Shimamoto pada tahun 1954 di Osaka, Jepang kelompok ini sangat berpengaruh dan legendaris di masanya. Gutai mempunyai makna ‘pengejawantahan’ atau ‘perwujudan’.  Merujuk pada web Shimamoto nama Gutai diusulkan olehnya yang dimaknai berbeda dengan pengertian umumnya yakni bukan sesuatu yang kaku atau baku namun sesuatu yang mewujud. Dalam aksara kanji Gu berarti alat, perilaku, cara melakukan sesuatu sedangkan Tai berarti tubuh. Para seniman yang tergabung dalam Gutai ini mengekplorasi bentuk baru seni dengan mengombinasikan seni pertunjukan, lukisan, serta interaksi dengan lingkungan. Gerakan ini menentang totalitarianisme, menempa etika kebebasan kreatif, dan mematahkan begitu banyak batas untuk menciptakan kerja kreatif yang menyenangkan dalam sejarah gerakan avant garde Jepang yang diakui internasional.
Para eksponen Gutai sejak awal mencoba mematahkan batasan antara seni, masyarakat awam, dan kehidupan sehari-hari untuk kemudian mencari tantangan artistic menggunakan tubuh secara langsung dengan berbagai materi, memanfaatkan ruang dan waktu, alam serta teknologi.

Please draw freely,project Gutai mengajak masyarakat terlibat dalam kesenian
Please draw freely,project Gutai mengajak masyarakat terlibat dalam kesenian

Tahun 1965, Yoshihara menulis manifesto untuk Gutai. Manifesto  itu mengungkap pesona keindahan itu akan muncul ketika sesuatu itu menjadi rusak atau membusuk. Proses kerusakan itulah yang dirayakan sebagai jalan untuk memunculkan kehidupan batin yang diberikan pada materi atau objek. 
Satu di antara pernyataan yang menarik mengenai Gutai yakni keindahan yang unik itu akan ditemukan dalam karya seni atau arsitektur di masa lalu yang telah berubah persepsi kita saat menerimanya karena kerusakan oleh alam, atau bencana berabad-abad lamanya. Ini menjelaskan indahnya proses pembusukan itu dan tersingkapnya karakter asli dari suatu material yang sebelumnya dibuat-buat.
Beberapa nama lain yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Takesada Matsutani, Sadamasa Motonaga, Atsuko Tanaka, Akira Kanayama, dan lain-lain. Konon pengaru kelompok ini hingga ke eropa juga. Mereka mempunyai hubungan dengan beberapa seniman di Prancis, seperti Georges Mathieu dan Michel Tapié. Para artis Gutai ini juga membuat karya-karya yang sekarang kita kenal sebagai happening, performance art, konseptual art, dan instalasi. Kerja mereka konon menginspirasi beberapa artis seperti Allan Kaprow,  Nam June Paik, Wolf Vostell, dan Conrad Bo. Konon praksis seni ini dibawa artis-artis tersebut dalam beberapa seri Fluxus. Namun tak seperti Fluxus yang masih dirayakan hingga sekarang, Gutai ini bubar bersamaan dengan kematian Yoshihara pada tahun 1972.

Shiraga Kazuo Challenging Mud, 1955
Shiraga Kazuo Challenging Mud, 1955

Untuk menunjukkan dobrakan ekstrim kelompok ini misalnya karya Shiraga Kazuo’s ‘Untitled (1957), sebuah lukisan yang dibuat di lantai oleh sang artis di lantai hanya menggunakan kaki. Lalu ada The Gutai Card Box (1962)  yang merubah cara pandang lukisan cara menikmati lukisan. Penonton diajak berinteraksi dengan membeli karya yang dari artis yang bersembunyi di balik mesin beli otomatis. 
Membaca beberapa referensi tentang Gutai yang lahir di Jepang, tak heran artis-artis di sana pada tahun 50 – 60 an sangat aktif. Tak heran pula nama-nama seperti Yoko Ono, Shigeko Kubota, Takehisa Kosugi, mulai muncul. Asumsiku mereka sekurang-kurangnya mengikuti atau mendengar capaian sesama seniman di negerinya sendiri sehingga terpicu iklim kreatif.
Tahun 1950an ada apa ya sebagai negara baru? Tahun-tahun itu memang tahun sengit keberpihakan seni untuk humanism universal dan seni untuk rakyat. Namun berbeda dengan dunia pergerakan dimana Indonesia menorehkan putra-putra terbaiknya dalam gerakan politik mondial. Misalnya Semaoen, Tan Malaka dan lain-lain yang tergabung dalam kom intern, dalam duni seni kiranya keterlibatan para seniman Indonesia belumlah sejauh itu. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Fluxus*


(bagian ke delapan belas)


Fluxus adalah satu di antara object yang menarik perhatianku di Wiesbaden. Sebuah gerakan budaya yang diusung Macuinas dan kawan-kawannya pada tahun 1960 an ini telah mempengaruhi sejarah seni di eropa maupun Amerika, menariknya pencantuman nama Fluxus pertama kali dalam acara di Wiesbaden. Penelusuran akan Fluxus ini juga dipicu oleh program rutin tahunan di Nassauischer Kunstverein Wiesbaden (NKV Wiesbaden). Para artis dari seluruh belahan dunia bisa mengikuti program bernama ‘Follow Fluxus’ ini dan berhak mendapat dana sebesar 10 ribu Euro.
Seniman yang lolos seleksi akan diperkenankan menggunakan dana tersebut untuk membiayai programnya dan mendapat kesempatan untuk berpameran di NKV Wiesbaden. Setelah membaca beberapa referensi, aku merasa ada kemiripan dalam modus apa yang kami lakukan di Semarang. Barangkali itu bisa jadi jalan masuk. Menemukan praktik budaya yang memiliki kemiripan dengan aktivitasku di tempat lain tentu menjadi pengalaman berharga. Itu pula yang membuatku yakin berada di tempat yang tepat. Hingga menjelang berangkat ke Jerman sebenarnya aku tak tahu betul apa itu fluxus. Setahuku mereka adalah para aktivis yang menekankan anti art, seni tak terpisah dari kehidupan sehari-hari, dan multidisiplin.
Sesampai di sini barulah aku paham tenyata Fluxus ini lebih besar dari pada yang aku definisikan sebelumnya. Berkesempatan mewawancara Benjamin Petterson, satu di antara eksponen awal, adalah sebuah kehormatan bagiku. Aktivitas budaya ini mulanya tak diberi nama, namun konsepnya bisa dilacak sejak John Cage mengajar di New School for Social Research di New York City dan di Institut Fur Neue Musik und Musikerziehung di Darmstadt  yang mengeksplorasi kemungkinan dalam seni.

piano activities di Museum Kota Wiesbaden tahun 1962
piano activities di Museum Kota Wiesbaden tahun 1962

Beberapa murid Cage seperti Jackson Mac Low, La Monte Young, George Brecht, Al Hansen, Dick Higgins, Nam June Paik dan George Maciunas adalah nama-nama yang belakangan menjadi penyokong aktivitas kebudayaan ini. Selain Cage, tokoh lain yang mempengaruhi Fluxus adalah Duchamp, seniman Dada yang terkenal karena menggunakan barang sehari-hari dalam karyanya. Istilah Fluxus dikenalkan seniman kelahiran Lithuania, George Maciunas dari bahasa latin yang kurang lebih artinya mengalir atau cairan, sebuah upaya untuk menghapus sekat-sekat antar disiplin seni dan menggabungkannya dalam konteks social politik dalam waktu bersamaan. Ini dimulai saat Macuinas pindah ke New York, di sini ia bertemu dengan para seniman avant di sekeliling John Cage dan La Monte Young. Dimulai saat ia membuka galeri di Madison Avenue yang memamerkan karya-karya Higgins, Yoko Ono, Jonas Mekas, Ray Johnson, Flynt dan Young. Tahun 1961 ia lalu pindah ke Wiesbaden setelah gagal mengelola galeri. Di Wiesbaden ia bekerja sebagai graphic desain di Angkatan Udara AS. 
Istilah Fluxus digunakan pertama kali dalam brosur saat ia mengelola sebuah festival di Wuppertal, 9 juni 1961 berjudul Aprés Cage; Kleinen Sommerfest (After Cage; a Small Summer Festival). Mulanya ia menamakan aktivitasnya itu sebagai neo dada, namun setelah berkorespondensi dengan  Raoul Hausmann seorang dadaist,  oleh Raoul disarankan untuk menggunakan kata Fluxus saja karena neo dada itu sudah menjadi masa lalu. Sebagai bagian dari festival ia menulis makalah berjudul 'Neo-Dada in the United States' setelah menjelaskan seni konkret Neo-Dada dia menegaskan Fluxus menentang pemisahanseni dalam hidup kehidupan sehari-hari. Fluxus lalu menggunakan konsep anti seni untuk menentang tradisi kesenian yang dianggapnya sudah tak murni lagi. Di akhir makalah itu ia mendeklarasikan anti seni adalah hidup, bersikap alami, dan itulah sebenar-benanya kenyataan.

maniesto Fluxus oleh Macuinas yang telah direvisi Beuys
maniesto Fluxus oleh Macuinas yang telah direvisi Beuys

Penampilan Philip Lionel Corner dalam ‘Piano Activities’, satu di antara sekian pertunjukan lainnya dalam Festival Fluxus  (die Festspiele für Neueste Musik) di museum kota Wiesbaden saat itu membuat public marah. Dalam performance itu ia bersama Emmett Williams, Wolf Vostell, Nam June Paik, Dick Higgins, Benjamin Patterson dan George Maciunas merusah sebuah piano. ‘Piano Activities’ berakhir dengan kerusakan total pada alat music itu.
Macuinas yang saat itu mempunyai koneksi dengan penerbitan lantas mencetak sebuah buku tentang acara tersebut dan juga menerbitkan beberapa seri dari para artisnya. Tercatat ada tiga buah cetakan yang dinamai fluxkits tersebut,yakni  Composition 1961  oleh La Monte Young, An Anthology of Chance Operations yang diedit oleh Young dan Mac Low, terakhir  Water Yam oleh George Brecht.
Karena alasan kesehatan, Macuinas lalu diberhentikan dalam pekerjaannya di ketentaraan AS. Hal ini memicunya untuk kembali ke New York pada tahun 1963. Di sana ia mengorganisir aksi jalanan dan membuat sebuah toko bernama 'Fluxhall', di Jalan Canal Street. Terhitung sejak 11 April hingga 23 Mei 1964 ada 12 konser yang diorganisir di jalanan meski tak terlalu berhasil menyita perhatian public.
Di sekitar pertokoan New York, Macuinas lalu membangun jaringan distribusi meliputi Eropa, disusul kemudian adanya outlet di California dan Jepang.  Galeri dan pemesanan melalui surat lalu dibangun di Amsterdam, Villefranche-Sur-Mer, Milan dan London. Tahun 1965 antologi Fluxus I tersedia, terdiri atas amplop dari kertas manila dan berbagai karya artis lain misalnya satu paket kartu remi yang telah dimodifikasi  George Brecht, kotak sensorik oleh Ay-O, newsletter berkala dengan kontribusi oleh seniman dan musisi seperti Ray Johnson dan John Cale, dan sebuah kaleng berisi  puisi, lagu dan resep tentang biji-bijian oleh Alison Knowles.

satu di antara contoh karya

satu di antara contoh karya

Sekembalinya di New York, Macuinas lalu dekat dengan Henry Flynt yang mendorong para anggota fluxus lebih terang-terangan dalam menunjukkan sikap politiknya. Hasilnya adalah mereka akan memboikot American premiere of Originale, yang menampilkan seniman Jerman, Karlheinz Stockhausen, pada 8 September 1964. Stockhausen dianggap sebagai penganut budaya imperialis sementara anggota Fluxus lain tak setuju. Hasilnya adalah perpecahan di kalangan fluxus seperti Nam June Paik, Jackson Mac Low yang menonton pertunjukan. Ben Vautier danTakako Saito yang semula membagi-bagikan leaflet menolak konser ini juga akhirnya ikut menonton. Termasuk Dick Higgins juga yang setuju memboikot lalu ikut menonton pula. Sikap ini membuat Macuinas berang dan menganggap mereka adalah para pengkhianat fluxus.
Konser ini sendiri diorganisir oleh Charlotte Moorman sebagai bagian dari acara tahunan kedua New York Avant Garde Festival. Hawa permusuhan antara Moorman dan Macuinas sendiri akhirnya berlangsung bertahun-tahun setelahnya meski Morrman sendiri ikut memperjuangkan Fluxus dan para artisnya.
Memboikot konser adalah puncak dari pendekatan bermodel propaganda, sebelumnya beberapa anggota Fluxus menyatakan keluar lebih dulu, misalnya Jackson Mac Low yang menyatakan keluar saat mendengar aksi anti social pada April 1963, misalnya rencana tentang menggulingkan truk di sungai Hudson. Lalu Brecht juga keluar karena isu yang sama, Brecht kemudian meninggalkan New York pada tahun 1965. Dick Higgins juga keluar.
Keluarnya para pendukung awal Fluxus ternyata tak membuat aktivitas ini terhenti. Yoko Ono, sekembalinya ke Jepang  sejak tahun 1961 selalu merekomendasikan teman-temannya yang pergi ke New York untuk bertemu dengan Macuinas. Nama-nama seperti Shigeko Kubota, Takako Saito, Mieko Shiomi dan Ay-O adalah beberapa nama yang membuat karya berdasar Fluxus.

performance art Yoko Ono
performance art Yoko Ono

Fluxus makin terkenal, antologi kedua Fluxus yang dikenal dengan sebutan Fluxkit meminjam ide Duchamp dalam karyanya Boite en Valise. Antologi ini berisi bermacam-macam karya dan banyak menggunakan objek  tiga dimensi. Karya-karya dalam  Fluxus 2  ini diantaranya adalah film Flux oleh John Cale dan Yoko Ono, kotak korek api yang telah dirubah dan kartu pos oleh Ben Vautier , makanan plastik oleh Claes Oldenburg , FluxMedicine oleh Shigeko Kubota , dan karya seni yang terbuat dari batu, lalu ada perangko tinta , tiket perjalanan usang,  dan lain-lain. Pada masa ini banyak karya yang tak beratribut pada seniman tertentu. Macuinas percaya ini adalah karya bersama. Beberapa karya tetap anonim, sebagian diatributkan pada artis tertentu setelah ditanyakan, dan kadang-kadang diatributkan pada artis yang tak membuatnya. 
Beberapa artis fluxus berniat membuat komunitas Fluxus, misalnya The Cedilla That Smiles, didesain oleh Robert Filliou dan George Brecht, 1965-1968 dengan tujuan membuat pusat penciptaan karya yang stabil. Tempat itu menjual fluxkit dan tempat belajar dengan motto tempat pertukaran pengalaman dan informasi, tanpa guru, tanpa murid, pada saat yang sama mendengarkan sekaligus berbicara.
Tahun 1966 Macunias dan Watts memanfaatkan pengembangan kawasan yang sekarang dikenal dengan SoHo untuk tempat tinggal para seniman. Dengan arahan Macuinas, dimulailah pengembangan real estate di kawasan tersebut untuk tujuan menciptakan komunitas seniman yang menempati ruas Jalan Canal hingga FluxShop. Macuinas ingin membangun tempat belajar bersama, koperasi, dan tempat pertunjukan di satu kawasan untuk membaurkan antara mereka dengan masyarakat.
Perumahan pertama ditujukan untuk rumah Maciunas, Watts, Christo & Jeanne-Calude, Jonas Mekas, LaMonte Young, sementara yang lainnya berada di Jalan Greene. Setelah kematian Macuinas tahun 1978 banyak kolektor dan kurator yang menempatkan Fluxus dalam kurun waktu tertentu  (1962 hingga 1978)
Fluxus mempunyai semangat seperti gerakan Dada, menekankan konsep anti art dan menohok keseriusan modern art. Para aktivis Fluxus menggunakan penampilan sederhana mereka sebagai hal yang ditonjolkan untuk menunjukkan koneksi anara seni dan kehidupan sehari-hari. Seperti halnya Duchamp dalam karyanya ‘Fountain’. Fluxus lebih sering menekankan pada peristiwa kesenian, George   Brecht menyebutnya ‘bagian terkecil dari peristiwa’.

performance art salah seorang eksponen fluxus
performance art salah seorang eksponen fluxus

Hingga saat ini Fluxus tak mempunyai definisi yang pasti. Mengacu pada Wikepedia, yang aku terjemahkan secara bebas ini, Fluxus itu sikap, bukan sebuah gerakan atau gaya, fluxus itu intermedia.Para seniman Fluxus senang melihat kemungkinan apa yang terjadi saat berbagai media saling bersinggungan. Mereka menggunakan barang sehari-hari sebagai objek seperti suara, gambar, dan eks untuk menciptakan kombinasi baru sebagai objek, suara, gambar maupun teks. Kerja Fluxus sederhana. Seni itu sederhana, eks itu pendek, dan penampilannya singkat. Fluxus itu menyenangkan. Humor adalah elemen penting dalam Fluxus. 
Beberapa artis yang sering diasosiasikan dengan Fluxus antara lain Eric Andersen, John Armleder, Ay-O, Joseph Beuys, John Cage, Philip Corner, Robert Filliou, Dick Higgins, Allan Kaprow, Takehisa Kosugi, Shigeko Kubota, George Maciunas, Jonas Mekas, Charlotte Moorman, Yoko Ono, Nam June Paik, Ben Patterson, Wolf Vostell, La Monte Young dan lain-lain.
Namun mengenai hal ini Dick Higgins punya  pendapat lain bahwa Fluxus bukan milik segelintir orang atau grup yang datang bersama, dalam waktu dan tempat tertentu. Kata Dick “Fluxus bukan sebuah momen sejarah, atau gerakan kesenian. Fluxus itu cara melakukan sesuatu, sebuah tradisi, dan cara pandang kehidupan maupun kematian”.
Makin lama makin pusing juga karena tiap seniman yang bersinggungan dengan Fluxus mempunyai definisi sendiri. Aku melihat sudut pandang Higgins hendak membawa Fluxus setingkat agama mungkin ya atau berambisi seperti filsafat-filsafat atau ajaran spiritual dari timur. Membawanya ke ranah transenden dan tak mau terjebak dalam peristiwa sejarah semacam Dada yang dianggap usang pada saat Fluxus dilahirkan.

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman
(sebagian besar tulisan ini diambil dari Wikipedia yang aku terjemahkan secara bebas dan beberapa referensi lain, image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Dari Ben Project ini Berawal*

Add caption


(bagian ke dua puluhlima)

Melacak jejakBenjamin Patterson di Wikipedia hanya mendapat sedikit sekali informasi. Padahal,Benjamin tak kalah penting dengan anggota Fluxus lainnya. Hingga hari iniseniman kelahiran Pitssburg, 29 Mei 1934 lalu masih disibukkan dengan berbagaikegiatan. Terakhir menjalin kontak dengannya ia baru bisa lagi ditemui setelahmembuat janji selama hampir sebulan sebelumnya. Jadi kemungkinan besar niatkuuntuk wawancara dia secara langsung sebelum mempresentasikan pelacakanku diNassauischer Kunstverein Wiesbaden tak akan terealisasi. Benjamin baru bisaditemui setelah Desember. Kiranya sangat menarik menyimak pemikirannya tentangfluxus hari ini apalagi ia masih aktif membuat karya. Satu-satunya karya senimanfluxus yang aku lihat secara langsung baru dia karena dipasang secara permanendi lantai III NKV Wiesbaden. Sayangnya untuk seniman lainnya baru nanti setelahaku selesai dengan teks-teks ini.
Sebelum berkecimpungdalam dunia music eksperimen ia menjalani sejumlah pekerjaan, misalnya dari tahun1956-1957 bekerja sebagai bassis di Halifax Symphony Orchestra lalu di US Army7th Army Symphony Orchestra (1957–59) dan di the Ottawa Philharmonic Orchestra(1959–60). Ia pindah ke Cologne pada tahun 1960 di sana ia aktif dalam music kontemporer.Dia mendapat gelar master pada akhir tahun 1965 di New York. Lalu memutuskanuntuk ‘pensiun’ dari dunia kesenian pada tahun 1965.

karya Ben di NKV Wiesbaden
karya Ben di NKV Wiesbaden

Dalam masa-masamenjalani ‘hidup normal’ ia mendapat pekerjaan yang cukup bagus, antara lainsebagai General Manager di Symphony of the New World (1970–72) lalu menjadi asistendirektur Department of Cultural Affairs for New York City (1972–74) dan sebagaidirektur pengembangan Negro Ensemble Company (1982–84). Pernah juga menjadiDirektur Nsional untuk Pro Musica Foundation Inc. (1984–86).
Semasa menjalanipensiun dari dunia seni ia sempat berpartisipasi dalam Sau Paolo Biennale tahun1983. Lima tahun kemudian ia memutuskan untuk kembali berkesenian denganpenanda pameran tunggal berbagai karya baru dan seni instalasi di Emily HarveyGallery, New York. Dari beberapa rekaman wawancara Ben, ia memutuskan pensiundari Fluxus karena kekecewaannya para anggota Fluxus diam saat ada ramai-ramaidemo tentang kesetaraan orang negro. Saat itu ia memilih untuk ikut demo denganpara aktivis negro lainnya menentang diskriminasi. Demi melihat para artisfluxus tak ikut aktif berdemo, ia lalu mundur karena kecewa.
Di Wiesbaden, iajuga membuat sebuah museum ketidaksadaran yang letaknya persis di depan NKVWiesbaden. Ini adalah museum mental, orang-orang boleh mendonasikanketaksadarannya di museum tersebut. Proyek ini sangat psikologis dankonseptual. Seperti karya seniman fluxus lainnya, karya Ben selalu mengajakaudiennya untuk terus berpikir. Di karya lainnya ia memajang diagnose seorangpsikolog untuk mencari tahu kenapa ia ingin menjadi seniman. Hasil diagnose psikologitu lalu dicetak dan dijadikan instalasi sehingga masyarakat bisa tahumotif  orang untuk menjadi seniman.
Seperti yang sayaceritakan sebelumnya, Ben sempat membuat puzzle poem menggunakan visual penaribali di tahun 1962, ia juga membuat kuesionar seberapa besar perubahan yangtelah dihasilkan Fluxus. Itu yang menjadi jalan masuk kenapa aku membuatpelacakan sederhana ini. Untuk itu ke depan aku akan membuat ulasan tentang Benlebih komplit. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

karya Ben di NKV Wiesbaden (2)
karya Ben di NKV Wiesbaden (2)

Kota Pemandian Padang Rumput*


perjalanan ke Wiebaden dalam kereta S9, dari Russelsheim ke Wiesbaden biasanya kalau tidak naik kereta berkode S9 aku naik S8
perjalanan ke Wiebaden dalam kereta S9, dari Russelsheim ke Wiesbaden biasanya kalau tidak naik kereta berkode S9 aku naik S8


(bagian 2)

Wiesbaden, kotaseperti apakah itu? Seperti galibnya orang-orang,kupasrahkan pertanyaanku padaGoogle, dan beginilah kira-kira, kota ini merupakan ibukota negara bagianHesse, terletak di barat daya Jerman dan populasinya sekitar 280 ribu jiwa.Wiesbaden bersama Darmstadt dan Mainz merupakan bagian Frankfurt MainRegion,yakni sebuah kota metropolitan dengan total populasi 5,8 juta jiwa. Kalaudari arah Frankfurt am Main kira-kira berjarak 38 km ke arah Timur. Kota inimemang kalah tenar dibandingkan dengan Frankfurt am Main,  tapi kota yang pernahdisinggahi Goethe dan konon jadi model setting fiksi ‘Roulettenburg’ karya pengarangrusia Fyodor Dostoyevsky berjudul The Gambler (Russian Игрок) 1865 ini tetapmenarik.
Hari kedua, 28Agustus aku ke salah satu kota pemandian panas tertua di Eropa ini. Naik keretaberkode S9 perjalanan memakan waktu sekitar 20 menitdari Russelsheim ke Wiesbaden  Di sini, akses kemana-mana mudah karena transportasi public disediakan dengan baik. Setibanya distasiun kereta api Wiebaden, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan busbernomor 1 dengan tujuan jalan Wilhelmstrase, tempat di mana NassauischerKunstverein Wiesbaden berada, tempatku menjalani residensi. Sepanjangperjalanan aku terkesan dengan ruang publik yang tertata dengan rapi.
Secara harafiahWiesbaden bermakna ‘pemandian padang rumput’ yang merujuk banyaknya sumber airpanas yang terdapat di kota ini. Konon di kota ini ada 27 mata mata air panasyang tersebar di  kota, namun sekarangtinggal sedikit.
Selama perjalanandari Russelsheim hingga ke Wilhelmstrase, Wiebaden, aku penasaran denganketerangan yang diberikan oleh Wikipedia mengenai kota ini. Jadi terngiangdengan kata Marco Kusumawijaya bahwa budaya berkota di negara lain sudahberlangsung sejak lama sedangkan di Indonesia masih muda. Situs Trowulanmisalnya, jika dibandingkan dengan peradaban Mesopotamia atau sungai Industernyata jauh lebih muda. Jadi penasaran bagaimana relasi antara peradaban masalalu yang ada di sini dengan sekarang sehingga membentuk budaya berkota di sinihari ini.

stasiun kereta api atau biasa disebut Hauptbahnhof di Wiesbaden
stasiun kereta api atau biasa disebut Hauptbahnhof di Wiesbaden

Mata air panas disini pertama kali disebut oleh Gayus Plinius Secundus (23 M -79 M) atau dikenalsebagai Pliny the Elder dalam Naturalis Historia. Selain sebagai sumber matapanas, tanah ini juga terkenal sebagai penghasil berbagai mineral yangdiperlukan untuk kosmetika gadis gaul Roma. Dulunya tentara kavaleri Romasering singgah ke sini untuk beristirahat. Tahun 121 M oleh penduduk RomaWiesbaden lalu dikenal sebagai Aquae Mattiacorum (Airnya Mattiaci) pada tahun.Adapun nama Mattiaci sendiri diyakini sebagai nama salah satu suku di Jermanyang masih kerabat dengan Chiati pada era yang sama. Beberapa ratus tahunkemudian, Einhard penulis biografi Charlemagne sekitar tahun 828 – 830 mulaimenyebut nama kota ini sebagai Wisabada.
Seiring berjalannyawaktu Wiebaden dikenal sebagai kota spa, peristirahatan yang nyaman sertatempat pertemuan. Kaisar Friedrich Wilhelm Viktor Albrecht von Preußen (1859 –1941), penguasa tertinggi Kerajaan Prusia sering datang ke sini saat musimpanas. Bisa dikatakan Wiesbaden semacam istana tak resminya Kaisar Wilhem, yangsaat ini namanya menjadi nama jalan tempat tujuanku. Tak hanya di kalanganPrusia saja, orang-orang Rusia juga sering berlibur di sini.

salah satu bangunan yang terdapat di Jalan Wilhelmstrase, Wiesbaden. ini merupakan toko coklat kenaamaan yang sudah ada sejak tahun 1800an
salah satu bangunan yang terdapat di Jalan Wilhelmstrase, Wiesbaden. ini merupakan toko coklat kenaamaan yang sudah ada sejak tahun 1800an


Benar saja saatberkeliling naik bus aku melihat banyak gedung dengan gaya arsitektur ratusantahun lalu. Masa lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota. Meskisempat mengalami pengeboman di waktu perang dunia ke dua, kota ini segera bisamerestorasi dirinya sendiri. Aku jadi penasaran, mengapa mereka membangungedung-gedung ini berdasar arsitektur lama, kenapa tak dibuat sama sekali baru?Apa sebenarnya makna masa lalu dan sejarah yang berkesinambungan di sini?
Untungnya kota initak banyak mengalami pengeboman karena konon AS hendak meminimalisir kerusakansupaya bisa digunakan sebagai markas pusat Angkatan Darat Amerika Serikat Eropa(United States Army Europe atau USAREUR). Rumor ini konon dibantah karenamenurut AS minimalisir pengeboman bukan hendak menjadikan kota ini markasmereka, namun karena kota ini strategis dan penting untuk pertumbuhan ekonomi. Padakenyataannya hingga sekarang kota ini tetap menjadi markas six sik military intelligencebrigade dan markas 5th signal command Amerika Serikat.


gereja yang dibangun menggunakan batu bata, tak jauh dari Jalan Wilhelmstrase
gereja yang dibangun menggunakan batu bata, tak jauh dari Jalan Wilhelmstrase

Di era NAZI,Wiesbaden mencatatkan putra daerahnya, Jendral Ludwig Beck sebagai tokohpahlawan. Ia dinyatakan terlibat dalam peristiwa pembunuhan Hitler yang gagalpada 20 Juli 1944. Beck lalu disuruh bunuh diri. Masih ingat artis power rangerpink Melody Perkins? Ia juga berasal dari kota ini. Satu informasi berhargayang tak saya dapat dari Wikipedia saat mengklik keterangan kota ini adalah Wiesbadenmenjadi tempat kelahiran gerakan seni Fluxus pada tahun 1960 an yangmenghebohkan sejarah seni eropa pada saat itu.
Aku tahu hal itujustru saat membaca sejarah seni rupa barat, dan menemukan kata Wiesbaden disitu. Di kota inilah pertama kalinya Macuinas bersama rekan-rekannya membuatsebuah festival music baru bertajuk ‘Fluxus Festspiele Neuester Musik’ yangmenghebohkan public pada masa itu. Kelak nama-nama beken seperti Beuys, AllanKaprow, Dick Higgins, Nam June Paik, Jonas Mekas, Yoko Ono, Benjamin Pattersondan banyak lagi yang lainnya berasal dari lingkaran pergaulan ini. Pastinya diluar tokoh-tokoh yang dianggap penting di Wikipedia saat jelajah tentang kota,pasti lebih banyak, siapa saja ya.. (adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman