Sabtu, 30 November 2013

Ben, Gutai, Jeprut Lalu Philip Corner

Gutai merupakan gerakan artistik yang melibatkan beberapa artis. Gutai didirikan oleh   Jiro Yoshihara di Jepang tahun 1954.
Gutai merupakan gerakan artistik yang melibatkan beberapa artis. Gutai didirikan oleh Jiro Yoshihara di Jepang tahun 1954.



(bagian ke sembilan belas)

Menyucikan dunia dari seni yang mati, imitasi, seni seolah-olah, seni abstrak, seni ilusionis, dan menyucikan dunia dari eropa sentris dan seabrek penyucian lainnya adalah ambisi yang ingin dicapai oleh Fluxus. Manifesto ini dibuat oleh George Macuinas dan direvisi oleh Joseph Beuys di bagian menyucikan dunia dari eropanisme dirubah jadi amerikanisme. Manifesto yang dibuat tahun 1963 itu ironisnya tak pernah ditandatangani oleh personal-personal yang aktif menyokong Fluxus pada era itu.
Ambisi itu kini sudah berumur lebih dari setengah abad, sebagai satu di antara eksponen awal, Benjamin Patterson mempunyai keinginin tahunan seberapa besar tingkar perubahan yang telah dilakukan Fluxus di dunia. Untuk mengetahui hal itu, pada ulang tahun Fluxus ke 50 setahun lalu ia membuat questioner tentang hal itu.
Kuesioner inilah yang menjadi inspirasi pencarian jejak fluxus di Indonesia. Sejak awal kadang aku gamang terhadap proyek ini karena takut terjebak dalam orientalisme, yang menganggap segala sesuatu dari barat itu selalu lebih superior. Sebelum melangkah jauh aku mengkonsultasikan gagasan ini pada beberapa seniman dan penulis sejarah seni rupa di Indonesia, dan memang ada ketakutan kalau memposisikan perkembangan seni rupa di Indonesia dengan di barat, jatuhnya malah mengekor terus dan tak bermartabat. Ketakutan-ketakutan terhadap prasangka itu membuatku berkali-kali ragu. Tak mau bergamang-gamang ria akhirnya project ini tetap aku jalankan. Bukan untuk mencari  siapa paling mempengaruhi siapa tetapi untuk melihat persinggungan gagasan antara Fluxus dan beberapa seniman Indonesia. Bukankah sejak dulu saling curi ide itu biasa? Ada yang mengakui ada yang tidak, namun prasangka terhadap orientalisme rupanya juga membekas padaku.
Project ini juga bukan diniatkan sebagai sesuatu yang ambisius. Output  dari pencarianku nantinya akan dicetak dalam media alternative kami Propaganda Hyseria edisi ke 90. Hal ini tak lepas dari pembacaan hampir sepuluh tahun Hysteria berkegiatan, satu hal yang cukup stabil adalah menerbitkan media  alternative sejak tahun 2004. Meminjam konsep zine, Propaganda Hysteria baik isi,layout, dan distribusinya akan dilakukan semau-mauku seperti tradisi zine di setiap zaman, do it yourself (or with your friend- tambahan dariku). Berkarya menggunakan zine, kenapa tidak? Toh semua boleh bukan?

Philip Lionel Corner
Philip Lionel Corner



Rencananya nanti setelah cetak akan aku distribusikan langsung ke beberapa museum, galeri, tokoh atau teman-teman yang menarik kutemui di sepanjang perjalanan selama di sini. Modus inilah yang dalam sekian tahun aku lakukan di Hysteria sehingga bisa berkenalan dengan banyak orang dan jaringan. Sebelum melangkah lebih jauh studi pustaka aku lakukan  dengan membaca beberapa buku tentang Fluxus, esai, artikel dan data-data lain. Seiring berjalan aku mengemail beberapa teman di Indonesia yang sekiranya bisa membantuku. Benjamin Patterson sebagai seseorang yang masih hidup dan tinggal di Wiesbaden menempati posisi khusus dalam projectku. Nanti akan aku bahas dalam tulisan terpisah tentang siapa dia. Satu kebetulan yang menarik membincang Ben, saat aku baca buku tentang dia, ada satu karya berupa puzzle poem dengan visual penari bali. Karya ini dibuat pada tahun 1962, butuh waktu 51 tahun hingga seseoarang bocah kampung dari Semarang menyadarinya. Meski hanya kebetulan semata, namun hal ini membuatku makin antusias dengan Ben.
Untuk melacak jejak persinggungan ide Fluxus di Indonesia mulanya aku mencari-cari apakah ada hubungannya dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Mulanya aku email Grace Samboh yang sedang mengadakan penelitian tentang GSRBI, spekulasinya dari mana? Saat itu Hardi, salah satu eskponen GSRBI sempat mengenyam pendidikan di Belanda tahun 1975 berlanjut di De Jan Van EYC Academie, Maastricht. Dan konon pernah berteman dengan seniman Fluxus. Grace menegaskan berdasar apa yang diketahuinya baik FX Harsono dan Nanik  Mirna tak bersangkut paut dengan wacana barat. Meski kecenderungan karya Nanik kubisme namun tak da hubungan, Nanik lebih suka menyebut terma karya-karya geometris sementara Agus Dermawan T menyebutnya "seni lukis mistar". Secara gamblang disebutkan juga dalam lima jurus gerakan seni rupa baru bahwa apa yang mereka lakukan tak ada hubungannya dengan sejarah seni rupa barat. Meskipun mereka mengakui mendapat inspirasi dalam segi konsep dari Dada, terutama Duchamp. Hal ini dipertegas Amanda Rath, seorang peneliti dan dosen di Gothe University, Frankfurt, Jerman. Aku tahu Amanda dari Grace, dan berkorespondensi gara-gara ternyata ia dosen temanku di sini. Saat itu Grace tak tahu posisi Amanda di mana dan temanku lah yang menghubungkanku denannya.

Benjamin Patterson
Benjamin Patterson


Lalu ada Melati Suryodarmo yang jauh-jauh hari khawatir nanti hasil peroject ini adalah superioritas barat. Melati lalu menunjukkan contoh-contoh gerakan yang hampir mirip dan ada dalam kurun waktu yang relatif sama,Gutai di Jepang misalnya. Ada juga Tubagus P Svarajati yang tak henti-hentinya menemaniku diskusi untuk mencari kemungkinan-kemungkinan project ini mau dibawa ke mana. Dari Tubagus, yang mulanya fokus pada GSRBI lalu objeknya bergeser ke teman-teman di Bandung, yakni aktivitas kesenian yang bernama Parengkel Jahe dan Jeprut. Dari sana muncul nama Ipit Dimyati yang pernah meriset tentang Parengkel Jahe. Nama-nama seperti Arahmaiani, Williem Christiawan, Tisna Sanjaya, Marintan Sirait, Andar Manik dan banyak lagi muncul dalam penelitian ini.
Nama-nama itulah yang akhirnya menjadi objek untuk diwawancarai dalam project ini. Untuk diketahui latar belakangku adalah sastra, menjelajah wilayah seni rupa dan mengkaji teksnya lebih intensif bisa dibilang baru buatku. Apapun itu proses mencari dan menemu jawab ini membuatku mengenal lebih banyak nama, membawaku ke pengetahuan ‘baru’ dan pastinya makin mengayakan. Terakhir orang yang membuatku terkesan adalah Philip Corner. Seperti aku bilang Philip ini adalah sosok penting dalam kelahiran Fluxus di Wiesbaden. Ternyata ia berkali-kali ke Indonesia setidaknya sejak tahun 1976. Ia berteman dekat dengan I Wayan Sadra (alm), Slamet Abdul Syukur, Rahayu Supanggah, Suprapto Suryodarmo dan banyak lagi musisi di Indonesia. Saat ditanya apakah berteman pula dengan perupa, dia menjawab kenal dengan Dolorosa Sinaga. Namun sepertinya ia tak kenal dengan eksponen seni rupa dari GSRBI dan menjalin kontak intensif. Aku berhubungan dengan Philipsetelah sebelumnya menjalin kontak dengan Dieter Mack yang sempat mengajar di Indonesia. Dieter adalah teman baik Prof Tjetjep Rohendi, tetangga sebelah di Semarang. Rumah kami hanya bertaut 3 rumah saja. Pro Tjetjep sejak awal mendorongku untuk menyambangi Dieter Mack. Sejak sampai di Jerman aku sudah berkirim email pada Dieter untuk mencari waktu yang tepat untuk ketemuan. Namun tak pernah terlintas sedikitpun Dieter tahu projetcku dan bisa membantu.

Joseph Beuys
Joseph Beuys



Aku baru tahu saling keterhubungan ini setelah melacak nama-nama seniman Bandung yang diteliti oleh Ipit Dimyati. Dari Marintan Sirait nama Dieter Mack yang konon pernah memberi materi tentang Fluxus dan Beuys muncul. Dieter yang lupa detil materi yang disampaikannya pada tahun 1994 menyarankanku untuk langsung berhubungan dengan Philip Corner.
Proses pencarian yang seperti berkeliling ini dan kembalinya ke tempat semula ini mengingatkanku pada sosok Santiago. Hingga sekarang aku belum menarik kesimpulan dari penelitian ini. Namun pencarian ini menurutku sangat indah.  (Adin)
*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman(image yang digunakan seluruhnya berasal dari internet)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar