Selasa, 24 Agustus 2010

Simpson dan selera humor yang menggelitik

oleh: Adin

Kritik tidak selalu harus dilontarkan secara kasar. Tetapi kritik bisa diarahkan secara halus dan satir. Bahkan kritik akan lebih mudah menyusup melalui humor. Selain itu humor bisa menjadi sarana aktif untuk mencairkan suasana. Penggunaan humor inilah yang menjadi karakter khas film The Simpson untuk melancarkan kritik-kritiknya mengenai isu lingkungan. Simpson the movie yang dirilis pada tahun 2007 ini bercerita tentang kehidupan keluarga simpson yang tiba-tiba harus berubah karena kecerobohan Homer yang membuang sampah sembarangan. Kebetulan pada saat itu di tempat mereka tinggal sedang menggalakkan kampanye lingkungan. Dan sungai di kota mereka dinyatakan dalam keadaan status gawat.
Tentu tidak ada yang menyangka bahwa tindakan kecil Homer dapat merubah seluruh perwajahan danau Spriengfield. Adegan ini seolah hendak memberitahu bahwasanya seberapa kecil tindakan kita akan bepengaruh terhadap dunia yang lebih luas. Sebagiamana pernah saya singgung dalam dunia makro dan dunia mikro. Tindakan Homer yang mengalami pendahsyatan bisa jadi merupakan gambaran orang kebanyakan. Dan pendahsyatan yang bisa dilihat sebagai olok-olok ini menjadi gambaran menarik jika kita mau berkaca pada diri sendiri. Dan banyak lagi adegan-adegan menarik yang akan saya deskripsikan berdasar ketertarikan pribadi.
Adegan menarik lain yakni ketika kakek Bart yang tiba-tiba seolah kesurupan yang kemudian meracau ramalan masa depan yang belakangan terbukti secara kebetulan. Hal ini memang tidak berbeda jauh dengan cara berpikir kita yang terkadang sok rasional tetapi pada saat-saat tertentu menjadi dangat mistis karena mengadapi realitas yang kita tidak sanggup menalarnya.
Bagaimanapun juga cara berpikir mistis seperti yang pernah dikritik Tan Malaka di dalam Madilog tetap akan ada. Atau memang ini bukti dari religious insting manusia? Entahlah.
Pencemaran parah itu tidak lantas disikapi oleh pemerintah dengan usaha-usaha manusiawi. Penduduk Spriengfield menjadi penduduk percontohan kemurkaan tuhan karena kecerobohan mereka. Negara lantas lepas tangan bahkan pilihan pemerintah dalam memutuskan kebijakan hanya berdasar tebak-tebakan semata. Pada akhirnya Spriengfield diisolasi dalam kubah raksasa tembus pandang. Adegan ini mengingatkan saya pada karya Pramoedya yang berjudul Rumah Kaca (Panopticon). Bahkan pada adegan lain perilaku negara dalam mengontrol perilaku warganya sampai pada tahap mencemaskan. Misalnya ketika percakapan Marge dan Lisa dapat disadap oleh pemerintah. Bukankah hal ini tidaklah asing ditemui di negara-negara yang totaliter?
Adegan lain yang mengesankan saya pada film yang diangkat dari karya Matt Groening yakni ketika Homer mendapat pencerahan. Saya masih belum mengerti nampaknya Groening hendak menonjolkan kekuatan-kekuatan di luar rasionalitas untuk mengatasi masalah. Ataukah hal itu menjadi bahan olok-olok Groening. Bagaimanapun juga film ini telah sukses menyuntikkan kritiknya tidak secara kasar dan menggurui .

Senin, 23 Agustus 2010

Terbit Hysteria edisi 73 dan 74

telah terbit Hysteria edisi 73 dan 74 bulan Juli dan Agustus 2010. maaf terjaid keterlambatan dama menguploadnya. beberapa penyair yang tampil yakni Pringadi, Ganz Pecandu Kata, Faisal Syahreza, Ryan Rachman, Ullyl Ch dan lain-lain.
bisa diunduh di grup komunitas hysteria atau kontak di stonen no 29 sampangan semarang 081325 552925

Kamis, 19 Agustus 2010

Kredo Kecil Penyair Kecil #16


Kredo Kecil Penyair Kecil putaran ke 16
Minggu, 22 Agustus 2010
20.00 setelah tarwih sampai kelar
di Grobak A(r)t Kos jl. Stonen no 29 Sampangan Semarang
forum ini memang dirancang untuk para penyair pemula ataupun orang-orang yang percaya puisi sebagai medium ungkap
silakan datang dan dilarang marah marah

Selasa, 17 Agustus 2010

Bisakah Manusia Dipercaya?


oleh: Adin

Homo homini lupus, manusia adalah srigala bagi sesamanya (Thomas Hobbes)

Beranjak dari pendapat di ataslah kiranya diperlukan adanya sistem yang meregulasi antar manusia supaya sifat kebinatangan kita dapat direduksi sampai pada tahap 'jinak'. Dan barangkali berdasar itu juga Machievelli yang dalam tulisannya sering tidak mempercayai manusia menulis Il Principle untuk menegakkan sendi-sendi kekuasaan. bagi dia manusia merupakan makhluk yang tidak tahu berterima kasih, plin-plan, penipu dan pembohong, takut menghadapi bahaya dan rakus mencari keuntungan. untuk itulah ketakutan diperlukan sebagai syarat ditaatinya sebuah peraturan.

Yap, tesis di atas seolah memberi penegasan bahwasanya sifat dasar manusia adalah binatang. Atau dalam istilah arabnya hayawanun natiq (hewan yang berbicara). Untuk itu adanya peraturan bersama berdasar konsensus didukung aparatur penjaga nilai-nilai itulah negara mendapatkan pembenaran eksistensinya. 'Hewan yang berbicara' ini untuk meminimalisir dorongan id berlebihnya haruslah didisiplinkan melalui aturan-aturan ketat. Individu yang tidak tunduk pada sistem nilai ini tentu saja akan dicap sebagai 'yang lain', pembangkang, tidak wajar dan dikucilkan. Ia berhak untuk dihukum untuk meredam terjadinya simpang siur nilai yang ditawarkan. Pada sistem yang menganut asas tunggal, menjadi berbeda adalah cacat. Tentu saja kalau kita masih hidup dalam zaman Adolf Hitler, individu cacat semacam ini sangat cocok masuk dalam kamp konsentrasi. Perbedaan bukan lagi dianggap sebagai rahmat. Perbedaan akan mengacaukan kesatuan nilai.

Merenungkan hal-hal di atas saya jadi teringat sebuah film yang berjudul V For Vendetta. Film yang diangkat dari novel grafis karya Alan Moore ini bercerita tentang keadaan kota London pada tahun 1997 yang dipimpin oleh penguasa fasis bernama Adam Suttler. Semboyan partai yang didengungkan ke mana-mana adalah "Strength through unity, unity through faith” kekuatan didapat dari kesatuan, kesatuan didapat melalui keyakinan. Maka semua hal yang berbeda dapat dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Kehendak untuk meregulasi warga negaranya sehingga menjadi individu-individu yang patuh, taat, dan diarahkan ini barangkali mempunyai ide dasar seperti yang dicetuskan Hobbes. Namun benarkah kehidupan menjadi lebih baik setelah semua hal diatur sedemikian rupa? ternyata tidak. Penduduk Inggris Raya harus hidup dalam ketakutan terhadap negaranya sendiri, tidak ada gairah karena segala hal yang berkaitan dengan emosi diberangus. Emosi seringkali tidak stabil, jadi bisa meruntuhkan hal-hal yang telah tertata sedemikian rupa. Implikasinya karya seni yang dianggap bisa membangkitkan emosi harus diberangus juga. Sedangkan perbedaan yang akan mengancam kesatuan juga tidak mendapat tempat.

Kekuasaan yang dibangun atas dasar rasa takut ini akhirnya diruntuhkan oleh seseorang yang bernama V. Satu-satunya yang selamat dari percobaan Larkhill. V memakai cara-cara teroris untuk meruntuhkan wibawa negara. Pada awalnya ia menghancurkan penjara kriminal yang ada di kota itu pada tanggal 5 november. Tanggal itu sendiri dipilih karena V ingin mengenang perbuatan Guy Fawkes pada abad 17 yang hendak menghancurkan gedung parlemen tetapi berhasil digagalkan. Teror yang dipakai oleh V bahkan menghalalkan segala cara, termasuk di dalamnya membunuh sebanyak mungkin jika diperlukan. Kalau kita mau menengok ke belakang, pembenaran Alan Moore sebagai pengarang dapat ditemukan akar pikirannya pada tokoh anarki, yaitu Mikhail Bakunin.

Perlahan-lahan mimpi V untuk mewujudkan masyarakat tanpa negara, sebagai ide dasar gerakan anarki, akhirnya terlaksana. Melalui aksi teror sebagai peruntuh kepercayaan publik terhadap pemerintahan sah dan pembunuhan tokoh-tokoh penting pemegang kekuasaan masyarakat akhirnya menemukan momentum keberaniannya untuk menyatakan pendapat dan merdeka dari rasa takut. Memang ada hal-hal substansial yang terlewatkan sebagaimana sering ditulis oleh kritikus film ini. Jika dibandingkan dengan novel grafisnya, cara-cara V nampak lebih realistis ketimbang sentuhan akhir versi filmnya di mana tiba-tiba semua orang serta merta memiliki kesadaran ala V. Ada tahap berjenjang yang digambarkan dalam versi novel ketika masyarakat ingin hidup tanpa negara. Ketiadaan otoritas negara seperti yang dimimpikan oleh kaum anarkis bukanlah keadaan yang serta merta bebas-sebebasnya. Tetapi kebebasan yang bertanggungjawab di mana tiap individu mempunyai kesadaran akan hukum yang telah menyatu dalam hidupnya.

Kembali lagi pada homini lupus, akankah utopia semacam ini akan tercapai di tengah kehidupan yang semakin kompleks dan ketiadaan jaminan hukum kecuali kesadaran masing-masing individunya? jika sifat dasar manusia adalah binatang bukankah akan sangat berbahaya jika tidak disiplinkan?

tentu saja keadaan ini bukanlah yang menjadi tujuan akhir dari anarkisme. Bukan chaos (kekacauan) melainkan anarki berkesadaran.

Namun sampai di sini saya masih sulit untuk membayangkan keadaan masyarakat tanpa negara. Bukannya saya mengamini Hobes dan tidak mempercayai kekuatan individu. Pada masyarakat yang lebih primitif saya pikir hal ini barnagkali dapat berlaku. Tetapi di era sekarang? saya meragukannya. Yang lebih saya sorot adalah interaksi antara individu dan massa, masyarakat dan negara, keunikan di dalam sistem bernorma tunggal.

Bagaimanapun bagi saya bernegara tetap menjadi pilihan yang lebih realistis. Seperti halnya Muhammad Iqbal, negara tetap diperlukan tetapi bukan sebagai penguasaan yang satu atas yang lain serta reduksi besar-besaran terhadap individu-individu di dalamnya. Negara adalah fasilitator, alat, dan bukan tujuan. Individu-individu di dalam negara tidak seharusnya direduksi. Sistem bukanlah liang kubur bagi keunikan individual. Negara beserta sistemnya haruslah mengakomodasi keunikan warga negaranya sehingga kualitas hidup dapat dicapai.

Sistem yang baik adalah sistem yang dinamis, dan menjadi warga negara yang baik adalah warga negara yang mampu menego sistem dan melakukan perubahan jika terbukti bahwa sistemnya memang usang. Jadi selalu ada dialektika antara sistem dan keunikan-keunikan individual. Sehingga hukum tidak terjebak pada paradigma hitam putih, positif negatif yang ujung-ujungnya mengandaikan adanya benturan apokaliptik di mana akan dimenangkan satu pihak. Dan pola pikir apokaliptik demikian inilah yang harus dikaji ulang dalam era multikultur ini.

Senin, 16 Agustus 2010

Ngawul Tenan!


kalok ada yang menduga hysteria kaya itu semoga doa yang akan segera terkabul. pada kenyataannya kami sering mencari dana dengan cara-cara yang tidak terduga. seperti INI misalnya. atau cek di fb: komunitas hysteria (grup)

Rabu, 11 Agustus 2010

Perang Ideologi dan Sponge Bob


oleh: Adin

Apakah yang terjadi jika mahkota kerajaan Neptune sebagai penguasa lautan dicuri? Tentu saja kekacauan. Mahkota kerajaan sebagai simbol kekuasaan haruslah ada di tangan raja. Tanpa itu sang raja bukan apa-apa. Kekuasaan membutuhkan simbol, butuh bendera, butuh ritual, dan tentu saja seperangkat aturan. Dan pada mahkota itulah simbol diletakkan serta pada tongkat Neptune yang berkekuatanlah kekuatan bersemayam. Keduanya tidak terpisahkan. Dan mahkota entah itu dipakai untuk menutupi kebotakan (seperti yang diungkapkan Mindy-anak King Neptune) atau memang berfungsi layaknya simbol menjadi sangat penting. Dan Tuan Krabs sebagai si tertuduh harus menanggung hukuman mati oleh sang raja karena fitnah Plankton.
Narasi di atas tentu saja hanya dapat ditemui dalam Sponge Bob the Movie. Film yang paling popular di Nickelodeon ini bercerita tentang pencurian mahkota raja oleh Plankton dengan si naïf Sponge Bob dan Patrick sebagai pahlawannya. Meski dalam animasi yang dibuat Stephen Hillenburg, ahli biologi laut, tidak tercantum kategori orang dewasa bukan berarti film ini tidak bisa dinikmati orang-orang dewasa. Malah dalam beberapa adegan film serinya banyak sekali bertebaran istilah yang hanya bisa dipahami orang-orang dewasa. Toh semua itu tidak menghalangi pemahaman anak-anak yang merupakan segmen Nickelodeon.
Beberapa karakter menonjol film ini antara lain Sponge Bob, Patrick, Tuan Krabs, Squidward, dan Plankton. Kalau mau lebih jeli sebetulnya karakter yang mereka ciptakan merupakan tipikal yang unik dan bisa diasumsikan mereka adalah representasi dari ideologi besar yang disusupkan tanpa kentara. Dan inilah saatnya bersikap kritis pada mereka yang barangkali akan menemukan pembacaan yang lebih menarik. Tidak hanya melihat secara sepintas saja pada film ini tetapi juga menyingkap ideologi apa yang disembunyikannya. Sponge Bob bagaimanapun bukan ‘sekedar’ film anak-anak. Dalam salah satu cerita serial televisinya suatu ketika Squidward memutuskan untuk mogok kerja karena gajinya kecil. Sponge Bob dengan jenaka ikut-ikutan mogok kerja dan berulang kali meneriakkan frasa ‘mogok kerja’ secara ceria. Seolah mogok kerja adalah sesuatu yang menyenangkan. Dia yang digambarkan sebagai tipikalitas anak-anak yang polos setelah menyadari arti mogok kerja mendadak muram dan cenderung putus asa. Disinilah lucunya, Sponge Bob yang yang mendukung aksi mogok kerja Squidward ternyata tidak memahami arti mogok kerja itu apa. Sebagaimana ditemui dalam aksi-aksi demo atau pemogokan tidak semuanya paham apa yang diteriakkan berikut konsekuensinya. Dan konsekuensi yang harus ditanggung Sponge Bob adalah dia tidak bisa bekerja lagi di dapur dan memegang penggorengnya! Betapa sederhana alasan Sponge Bob, sesederhana keinginan para pekerja. Bisa diasumsikan naluri Sponge Bob sebagai naluri orang kebanyakan. Tipikalitas rakyat yang lugu. Tentu saja Tuan Krusty tidak mau begitu saja menaikkan gaji Squidward. Mereka berdua (Sponge Bob dan Patrick) akhirnya harus nganggur dan yang paling merasa kehilangan adalah Sponge Bob. Tuan Krusty sebagai tipikal para majikan, pengusaha, bahkan korporasi multinasional tahu itu. Sponge Bob, rakyat, domba, butuh makan. Posisi mereka lemah, toh mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kekuasaan di tangan Tuan Krusty. Tinggal menunggu mereka menyerah saja pada kebutuhan mereka. Revolusi sosial sebagaimana diramalkan Marx yang akan menggulingkan Tuan Krusty pada tataran kapitalisme tidak akan terjadi karena Sponge Bob terlalu naïf, lemah, tidak memiliki nilai tawar dan Squidward sebagai actor intelektual tidak mempunyai modal cukup melawan korporasi Kruty Krabs. Melihat serial ini saya seperti diingatkan pada kegagalan Etienne mendemo para borjuasi di Voreaux dalam novel Emile Zola.
Lain Krusty lain pula Plankton. Tokoh yang sering mendapat kehormatan sebagai antagonis ini tidak kalah menarik. Tubuhnya yang kecil dengan ide-idenya yang sangat besar langsung mengingatkan saya pada Hitler. Apalagi dalam serial the movienya plankton menggunakan istilah Hitler untuk ritual kekuasaannya ‘Hail Hitler, Heil Mein Fuhrer’, diganti menjadi ‘all hail Plankton!”. Sangat ideologis bukan?
Dalam banyak serial diceritakan Plankton selalu berusaha untuk mencuri resep rahasia Krusty Krabs. Dengan Krabby Patty inilah Tuan Krusty mendulang kekayaan dan memang begitulah dia yang serakahnya minta ampun dalam hal uang. Seperti halnya Paman Gober dalam serial Donald Bebek. Bagi Plankton resep ini akan membuat laku restorannya , Chum Bucket. Tetapi apakah sesederhana itu persoalannya? Dalam episode lain diceritakan juga pada awalnya Tuan Krabs dan Plankton bersahabat. Hingga keduanya terpisah lantaran berbeda ideologi soal pengelolaan burger yang kelak dinamakan Krabby Patty. Tuan Krabs yang mengiginkan seluruh uang penduduk Bikini Bottom berlawanan kehendak dengan Plankton yang bertujuan menggunakan hasil penjualan itu untuk menguasai dunia.
“Kuasai dulu perutnya baru kepalanya,” kata Plankton suatu ketika. Istilah ini tentu saja tidak akan mudah dimengerti oleh anak-anak kecuali kelucuan-kelucuan dan imajinasi liar pengarangnya yang membuat mereka betah. Tapi bagi penonton dewasa tentu sangat mengerti pernyataan Plankton sangatlah ideologis. Sampai di sini tidak bisa tidak kita akan menganggap film ini bukan film sederhana. Pertentangan antara Plankton dan Tuan Krabs mengingatkan saya pada perang antara blok fasis melawan sekutu yang didominasi Amerika. Pengarang seperti hendak mengimajinasikan pertentangan gagasan antara fasisme dengan kapitalisme.
Dan pada Sponge Bob the Movie lah dapat dilihat motif pencurian mahkota hanya sebagai pancingan saja. Tujuan utamanya adalah menguasai dunia dengan cara mencuri resep krabby patty. Plankton telah membuat prototype helm chum bucket yang digratiskannya pada pelanggan yang makan di restorannya. Helm itu telah dipasangi antenna yang kelak dapat mengontrol isi kepala pemakainya. Dan terbuktilah ucapan Plankton di serial televisinya di Sponge Bob the Movie. Plankton menguasai perut mereka, kemudian pikiran mereka dan pada akhirnya dunia.
Tesis plankton dengan mudah akan ditemui referensinya pada gagasan-gagasan Marx. Karl Marx berpendapat bahwasanya dunia ekonomi akan menetukan suprastruktur yang sekarang ini eksis. Dunia ekonomi dalam dunia Sponge Bob direpresentasikan sebagai kelezatan Krabby Patty yang akan menyedot naluri konsumtif warganya. Baik Tuan Krusty dan Plankton tahu hal itu dan keduanya mempunyai rencana sendiri. Sedangkan korbannya selalu saja orang-orang lugu macam Sponge Bob dan Patrick.
Dalam film ini dan seperti kebanyakan serialnya Plankton harus mengalami kekalahan. Dan bukan Tuan Krusty penyelamatnya melainkan Sponge Bob dan Patrick. Orang-orang yang diidealisasi oleh kapitalisme sekaligus dihisap olehnyalah yang akan menyelamatkan kapitalisme. Bukan orang lain. Kita dihisap dan kita menyukainya! Karena kita adalah bagian hdari system itu dan kita harus bahagia karenanya! Kekalahan Plankton yang secara tidak sadar diramalkan penonton menjadi representasi kekalahan ideologi-ideologi lain di luar kapitalisme. Sebagamana halnya The End of history, the Last Man Standing-nya Francis Fukuyama.
Namun sepertinya kemenangan-kemenangan ini harus dikaji ulang mengingat saat ini dunia dalam krisis global. Dan Amerika sebagai simbol kapitalisme sedang digoncang mahkotanya. Mari kita lihat apakah ada neo-plankton yang hendak mencuri mahkota itu dan berniat menguasai lautan global ini..mari kita tunggu.

jalan remaja 1208


pemutaran film jalan remaja 1208
Kamis, 120810
kopikita, ruko PSIS A-2 Ketileng
16.00 WIB
jumat, 130810
SMAN1 Semarang
jl. mentri supeno Semarang
10.00
kegiatan ini merupakan refleksi hari remaja internasional yang diperingati tiap 12 agustus

Kamis, 05 Agustus 2010

screening film jalan remaja 1208

screening film Jalan Remaja 1208
130810
pkl: 09.30 WIB
di SMAN 1 Semarang, jalan mentri supeno
Semarang
CP Rusmiyanto dan Ima Rosyidah

pemutaran film ini merupakan program kerjasama Hsyteria dengan SMAN 1 Semarang terkait peringatan hari remaja internasional. pemutaran film ini dilaksanakan dua kali yakni tanggal 12 dan 13. berhubung berbagai hal maka pemutaran film di SMAN 1 diundur satu hari.