Sabtu, 30 Juli 2011

info dari KARAMBA, Selamat!

(dari karamba art)
membuat media alternatif adalah impian kami sejak lama. akhirnya di penghujung bulan juli 2011 ini kami bersuka hati berhasil mewujudkan impian sederhana kami itu. kami memberinya nama mixmagz.
mixmagz edisi perdana ini memuat tentang cikal bakal karamba art movement dari tahun 2007 sampai saat ini. adapula beberapa reportase acara dan tak ketinggalan pula karya-karya ciamik dari karamba art movement dan kawan-kawan.

silahkan download versi pdf yang full color melalui link
http://www.4shared.com/get/odI7q_JP/mixm​agz_1.html

untuk versi hitam putih..bisa didapatkan secara gratis bagi kawan-kawan yang ingin mendapatkan dan mengkoleksinya!

info : karambaartmovement@gmail.com / 085641150987

Rabu, 27 Juli 2011

screening AM


BUAH TANGAN#2 program baru hysteria. program ini dibuat sebagai forum berbagi teman/kelompok terkait dengan pengalamannya (bisa perjalanan, art project dll). pada kesempatan ini menampilkan Pemberontak Kedua Belas (OPENG) yang bberapa waktu lalu melakukan perjalanan ke BAndung. openg sempat presentasi di Commonroom dan berkunjung ke BAbakan Asih. BT diadakan Sabtu, 300711. di GAK 15.00. forum dibatasi 20 orang. mohon konfirm jika mau datang.

Kamis, 21 Juli 2011

BUAH TANGAN#1


BUAH TANGAN#1 program baru hysteria. program ini dibuat sebagai forum berbagi teman/kelompok terkait dengan pengalamannya (bisa perjalanan, art project dll). pada kesempatan ini menampilkanPurna Cipta Nugraha yang bberapa waktu lalu jadi observer dalam lokakarya penulisan visual di ruang rupa. BT diadakan Sabtu, 230711. di GAK 15.00. forum dibatasi 20 orang. mohon konfirm jika mau datang.

Jumat, 15 Juli 2011

Candradimuka, kawah untuk ‘menjadi’




Adin*

Kawah Candradimuka pada dasarnya bukan berarti kawah semata-mata. Bukan sekedar tempat menggodok seorang anak yang kemudian menjadi tempat peleburan berbagai macam senjata dewa dalam wadag jabang Tetuka. Sejatinya Kawah Candradimuka adalah bahasa metafor yang digunakan para penganggit kitab Mahabarata untuk menggambarkan kerasnya tempaan pendidikan sehingga seorang anak kelak menjadi sosok. Begitulah kira-kira hal yang ingin dijelaskan oleh bapak Mudjiono selaku pengampu sanggar Sarutomo dalam lakon wayang yang malah itu dibawakan anak didiknya. Gatotkaca jedhi, salah satu sub judul kisah pewayangan yang malam itu dibawakan dua dalang cilik, Anggit Laras Prabowo dan Canggih Tri Atmojo Krisno. Keduanya masih berusia 10 tahun, namun penampilan mereka di Sanggar Cakraningrat Rembang, asuhan Ki Sigid Ariyanto, Nampak memukau. Kedua dalang mengusai jalannya pertunjukan.

Pertunjukan yang terselenggara atas hibahYayasan Kelola yang terlaksana tanggal 24 Juli 2010 itu cukuplah menarik masyarakat Rembang. Penonton tampak antusias mengikuti jalannya pertunjukan wayang dari awal hingga akhir. Ada sekitar hampir seribuan penonton yang memadati arena pertunjukan. Yang lebih menarik antusiasme penonton tidak terhalangi oleh acara musik yang digelar tidak jauh dari tempat pementasan berlangsung. Saling rebut publik penonton pun terjadi dan terlihatlah bahwa pertunjukan malam itu sangat dinikmati masyarakat Rembang. Ada 3 panggung yang digunakan pertunjukan yang berlangsung selama hampir 4 jam, mulai dari pukul 21.00 – 23.00. Dua diguanakan untuk membawakan cerita dengan menggunakan wayang kulit dan satu panggung untuk wayang orang. Saling tukar panggung antara kedua dalang dan wayang orang berlangsung secara menarik. Ketiga panggung itu bisa saling melengkapi dan meramaikan suasana. Banyolan-banyolan para pemain yang rata-rata masih belia rupanya juga mampu mengocok penonton.

Sebetulnya ada dua lakon yang dibawakan pada malam itu. Yang pertama Kangsa Adu Jago yang dibawakan oleh Rakha Alfirdaus Hikmatyar dan Fakir Nugroho. Yang kedua Gatutkaca Jedhi sebagaimana keterangan sebelumnya. Keempat dalang itu membawakan kedua lakon secara antusias. Secara teknik pemanggungan tidaklah ada sesuatu yang teristimewa selain pemanggungan standar para dalang. Teknik layar banyak, misalnya pernah dibawakan oleh Wayang Sandosa, ulang alik teknik penceritaan antara wayang orang dan wayang kulit juga sering digunakan Enthus Susmono (bahkan Ki Enthus malah menggunakan wayang golek pula), namun pertunjukan malam itu cukuplah istimewa mengingat para pemainnya kebanyakan berusia muda yang kelak diharapkan inovasinya. Tidak banyak yang bisa dibicarakan kaitannya dengan teknik pencahayaan, setting dan lain-lain. Semua terlihat standar. Kata standar disini tentunya bukan istilah penggampangan pada capaian mereka. Justru standar di sini adalah hal paling sederhana dicapai oleh kreator pertunjukan. Namun kepiawaian para dalang cilik dan kekompakan para pemain sudah selayaknya mendapatkan acungan jempol.


Lakon Gatutkaca Jedhi sendiri bercerita tentang masa-masa kelahiran jabang Tetuka, anak dari ksatria Pandawa, Werkudara. Gatutkaca belia yang sedari lahir menampakkan bakat-bakat kesaktiannya mulai mendapatkan perhatian para dewa. Saat pemotongan tali pusar Tetuka, tiada seorangpun yang dapat memotongnya. Maka bersemedilah raden Arjuna memohon senjata untuk memotong tali pusar Tetuka. Permohonan Arjuna mendapat sambutan dari Narada, sayangnya karena keteledoran dewata Kunta itu diberikan pada karna yang memang saudara Arjuna dan berwajah mirip. Setelah tejadi perang adu senjata Kunta pun terpisah menjadi dua, sarung pusaka jatuh ke tangan Arjuna sedang senjatanya jatuh ke tangan Karna. Sarung senjata itulah yang kemudian berhasil memotong ari-ari tetuka. Tidak hanya itu saja, sarung itu kemudian menyatu dengan jasad Tetuka. Kebetulan pada saat itu di Kayangan terjadi huru-hara atas ulah Patih Sekipu. Sang patih yang menunaikan tugas dari Prabu Kalapracona dari Trabelasuket untuk melamar Batari Supraba akhirnya harus menghadapi jabang Tetuka. Keduanya kalah di tangan Tetuka yang setelah ditempa di Kawah Candradimuka berganti nama menjadi Gatutkaca.

Lain halnya Gatutkaca Jedhi, Kangsa Adu Jago menceritakan masa muda Narayana, Kakrasana, dan Bratajaya dalam menghadapi kemelut perebutan tahta di kerajaan Mandura. Untuk diketahui bahwasanya Narayana dan Kakrasana ini merupakan nama kecil tokoh yang kelak ikut menentukan arah perang Bharatayudha. Sri Kresna dan Baladewa lah nama kedua tokoh ini kelak.

Kalau mau merunut menarik juga Mudjiono menyajikan lakon-lakon yang dipentaskan dalam program hibah pentas keliling ini. Satu lakon lagi yang dipentaskan namun tidak dipertunjukkan malam itu adalah Cupu Manik Astagina. Cupu yang menjadi cikal bakal kerajaan kera yang sangat terohor dalam cerita Ramayana. Ketiga lakon merupakan lkon yang mengisahkan cikal bakal lahirnya tokoh-tokoh yang pilih tanding, inspiratif, sakti, dan kuat. Sangat pas untuk memberikan motivasi bagi para pelaku seni pedalangan dan karawitan yang masih berusia belia di Sanggar Sarutomo. Sebagaimana diyakini Mudjiono bahwasanya Candradimuka dipahami tidak hanya sebagai tempat. Ia adalah laku dan proses, oleh sebab itu ia adalah ‘menjadi’ dan bukan taken for granted (terberi). Candradimuka bisa saja berwujud Sanggar Sarutama, bangku kuliah, tempaan hidup yang kesemuanya itu kelak akan membentuk karakter individu. Lakon-lakon macam Kangsa Adu Jago dan Cupu Manik Astagina, sejatinya adalah candradimuka juga, dimana para tokoh diuji, gagal dan bangkit lagi untuk kemudian menjadi sesuatu. Oleh sebab itu lakon-lakon menjadi sangat relevan tidak hanya bagi para pemainnya yang sedang tumbuh dan berkembang tetapi juga untuk masyarakat yang selalu mentransformasi diri menghadapi berbagai macam situasi dan melubernya informasi dari manapun untuk kemudian diolah dan disaring dan kelak menempa masyarakat ini mau jadi apa.

Sayangnya karena waktu yang sangat singkat, para pegiat Sanggar Sarutomo belum bisa membagi proses kreatif mereka di Kota Kartini ini. Jadwal yang padat dan kesibukan personel yang rata-rata masih sekolah ini tidak memungkinkan mereka untuk berbagi cerita atau memberikan lokakarya singkat bagi anak-anak kecil di kota garam in

*penulis adalah direktur organisasi Hysteria dan dapat dijumpai di www.adinhysteria.blogspot.com. silakan pantau kegiatan kami di www.grobakhysteria.org :)ini adalah tulisan lama yang sengaja diposting penulisnya dengan semangat berbagi


Minggu, 10 Juli 2011

Sastra Balik Desa, Sebuah Laporan Singkat *




Oleh: Adin

Benarkah tanggung jawab menjadi sastrawan , penyair lebih-lebih kaitannya dengan dunia kesusastraan menjadi semata-mata tugas individu? Benarkah para ‘calon’ sastrrawan atau penyair harus mengurus dirinya sendiri berikut karyanya tanpa peduli pada konteks kultural apa ia tumbuh dan sistem apa yang melingkupinya? Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang mendominasi dalam berbagai diskusi yang digelar pada event “Sastra Balik Desa” 16-18 Mei 2008 lalu di desa Gebyok, Gunungpati Semarang. Komentar-komentar dari beberapa senior semakin mengukuhkan mitos itu bahwa untuk menjadi sastrawan Anda harus berdarah-darah sendirian karena media hanya akan memuat karya yang dianggapnya layak.

Yatim Kolektif

Pada tataran ideal dan iklim yang baik barangkali mitos-mitos di atas mendapatkan pembenarannya. Tetapi bagaiamana jika iklim tidak mendukung dan infrastruktur kesusastraan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan? Mengutip Raudal Tanjung Banua, pembicara dalam salah satu sesi diskusi “Sastra Balik Desa”, sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak hanya kesusastraan, tetapi juga kesenian, selalu dinomorduakan dan menjadi anak yatim di berbagai kota di Indonesia. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana perasaan yatim itu menjadi milik kolektif sehingga tercipta iklim saling membantu, support, dan mengisi kekurangan. Jadi tidak hanya menuntut kualitas tetapi juga memperbaiki sistem pembelajaran yang ada. Kalau saya misalkan dengan tradisi zakat, ada sebagian dari hak untuk para pemula yang dibawa oleh sastrawan yang telah mapan. Menyitir Faisal Kamandobat yang mengungkapkan ide tentang etika. Jadi tidak hanya perilaku kesusastraan saja dan tuntutan mengenai perbaikan kualitas teks, tetapi juga diperhatikan etika dalam berkesusastraan.

Kesemua hal itulah yang kelak akan menentukan perkembangan kesusastraan di suatu kota. Mengingat proses regenerasi sastrawan muda di Bali sangat pesat patutlah kita iri hati. Tentunya bukan semata-mata karena bibit di sana baik dan bibit di sini busuk, tetapi bukankah realitas adalah konstruksi sosial dan bukan semata terberi? Dan tentu saja menjadi tanggung jawab etik juga bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk turut serta membentuk iklim kondusif . jadi tidak hanya mengaharap kerja keras dan berdarah-darah sementara pekerjanya sendiri tidak diperhatikan nasibnya, kesehatannya, kebutuhan psikisnya, begtulah kira-kira analoginya.


Dari Arak-arakan, homestay dan gagasan festival tahunan


Acara “Sastra Balik Desa” ini memang secara tematik lebih dikhususkan pada pemertanyaan ulang terhadap infrastruktur kesusastraan di Indonesia dan terutama di daerah masing masing peserta.

Berbagai peserta dari Jepara(kom. Samudra), Kudus (Pojok Sastra), Purwokerto (Nyaman dkk), Pekalongan (Rumah Imaji, Catur dkk), Solo (Pawon, kom. Lidah Buaya), Jogja (Rumah Lebah), Karanganyar(HPK), Bandung (ASAS, Mnemonic), Magelang (kom. Merapi), Salatiga, Rembang, (Sanggar Pesisir) Tangerang (KSI), Kulonprogo (Lumbung Aksara), Cilacap, Ungaran (KSI), Semarang(KIAS), Kendal(Maos Ajar), dan Pati (Sampak Gusuran) bertempat tinggal dan membaur bersama warga.

Barangkali interaksi yang terjalin tidak memungkinkan untuk dipetik hasilnya secara ekstrim. Misalnya warga yang tiba-tiba menulis karya sastra yang baik atau mau membaca karya sastra. Tapi dari pertemuan singkat inilah kelak akan berdampak psikologis terhadap anak-anak yang selama ini dilibatkan. Dari kebiasaan berinteraksi dengan dunia luar diaharapkan ada iklim kebebasan yang tertanam sejak dini di benak mereka. Tidak hanya kebebasan untuk berpendapat tetapi juga mengekspresikan diri dan hal itu berkait erat dengan identitas. ‘Srawung’ yang dalam istilah warga artinya relasi yang terjadi secara kekeluargaan dan toleransi antar sesama menjadi semangat dalam event sastra ini. Meskipun dalam beberapa hal barangkali terdapat compang-camping dalam kerja kepanitiaan.


Acara yang dimeriahkan juga pembacaan puisi dari para sastrawan mapan dan pementasan teater ini dibuka dengan arak-arakan anak-anak dan warga mengelilingi pedusunan Gebyok. Para peserta dari berbagai kota mengikuti prosesi ini dan dilanjutkan launching antologi ‘Mencari Rumah’ yang diselenggarakan di pelataran rumah warga. Hari selanjutnya (17/05) ada beberapa sesi diskusi dengan pembicara antara lain Yudiono KS, Iskandar, Budi Maryono, Yopi Setia Umbara, Wowok Hesti Prabowo, Aulia Muhammad dan malamnya dilanjutkan pembacaan puisi dan pementasan teater Lingkar yang kebetulan tampil di Gebyok.

Hari terakhir (18/05) Gendot Wukir, Gema Yudha, Dian Hartati, Triyanto Triwikromo, Dwicipta, Faisal Kamandobat turut jua memeriahkan sesi diskusi. Kemudian malamnya dilanjutkan pembacaan puisi oleh Beno Siang Pamungkas, Timur Sinar Suprabana, Wijang Warek, Gunoto Saparie, Anis Sholeh Baasyin, tidak ketinggalan pula Komang Ira, Sunlie Thomas Alexander, Thendra, dan masih banyak lagi rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Konsep acara semacam ini memang bukanlah yang pertama, beberapa waktu lalu di Banten diadakan Ode Kampung yang menghasilkan manifesto bersama. Akan tetapi acara kali ini yang salah satu tujuannya untuk mencari (cari ) isu bersama ini nampaknya kurang berhasil. Tetapi sebagai sebuah perhelatan kami kira cukup berhasil (karena hampir tidak banyak yang menyimpang dari rundown semula) dan sekaligus bisa menjadi pintu bagi event-event serupa untuk tahun-tahun berikutnya. Karena tidak menutup kemungkinan Semarang kelak juga mempunyai event sastra yang memang disokong tidak hanya segelintir orang tetapi juga menjadi milik kolektif komunitas sastra di jawa Tengah.


(tulisan ini dibuat 3 tahun lalu, diposting ulang demi menyambut sastra balik desa kedua yang semoga bisa terlaksana pada akhir tahun 2011)


BOAT THAT ROCKED



screening ampe mampus (S.A.M) adalah program dari hysteria dan ruangrupa. kali ini mereka bekerjasama dengan Karamba Art Movement memutar film BOAT THAT ROCKED pada tanggal 30 Juni 2011 di UKM Unnes. BOAT THAT ROCKED adalah film komedi yang dirilis pada tahun 2009. Film ini bercerita tentang radio bajak laut yang bernama RADIO ROCK beserta para kru nya. mereka memutar dan menyiarkan lagu pop dan rock dari atas kapal di laut internasional. pemerintah inggris melarang keberadaan radio ini karena dianggap menyebabkan degradasi moral bagi para pendengarnya. tetapi mereka harus putar otak untuk menghentikan siaran RADIO ROCK, karena selain memiliki banyak fans, mereka juga berada di laut internasional di luar jangkauan hukum Inggris pada waktu itu.......

Jumat, 08 Juli 2011

Gelar Sastra Joglo 11

UNDANGAN SASTRA JOGLO 11 "TATAPAN MATA BONEKA", TBJT-SOLO, SELASA, 12 JULI 2011,... PKL. 19.30 WIB. Mohon kehadiran semua teman dalam acara ini. CERPENIS: Musyafak, Dendy RSS, Erna Suryandari, Kartika Catur P, Mariatul Kiptiah, Ryan Rachman, Santi Almufaroh, Setia Naka Andrian, Siti Fatimah, Teguh Trianton. PEMBICARA: Budi Maryono (Smg), Munawir Aziz (Pati). MOD: Adin (Hysteria, Smg). GRATIS + Buku. Salam

Sabtu, 02 Juli 2011

Oleh-oleh dari Raditya Art Community


Oleh: Adin*

Suara tembang mengalun mengantar para penari memasuki panggung pertunjukan, dengan perlahan-lahan 9 penari wanita masuk dari sisi kanan panggung secara beriringan, dengan gerakan-gerakan yang sangat lembut namun tetap menunjukkan keelokan gerak tubuh khas keraton para penari yang nampak begitu cantik dengan balutan busana jawa seperti menyambut para penonton yang hadir di Gedung serba guna Taman Budaya Raden Saleh. Itulah sedikit gambaran awal Gelar Karya Tari dan Karawitan yang disajikan oleh Raditya Art Community dari Surakarta di gedung serba guna gedung yang bertempat di Jalan Sriwijaya pada hari Kamis, 8 November 2007 Pukul 20.00 dan berakhir pukul 21.30 ini. Acara ini terselengggara berkat kerjasama dengan teater lingkar dan tentu saja support hibah dari Yayasan Kelola. Teater Lingkar selaku tuan rumah sengaja membarengkan pertunjukan tari tersebut dengan acara rutin mereka, wayang kulit malem jumat kliwonan.

Dengan tata panggung sederhana serta dibantu sorotan lampu dari sisi kanan dan kiri panggung pertunjukan tarian khas khas keraton nampak elegan. Meskipun terkesan ekslusif dan geraknya sangat halus namun tampaknya publik Semarang menikmati. Hal itu terbukti terpenuhinya 200 kursi yang disediakan panitia. Dan sampai akhir pertunjukan tidak ada yang meninggalkan bangku. Para penonton amat khusuk memperhatikan setiap gerakan yang disajikan para penari diatas panggung dengan latar belakang seting panggung wayang yang memang digelar setelah pertunjukan tari tersebut usai. Satu demi satu peradeganan tari disajikan. Sebagai pembuka Bedhaya Mangunsih ditampilkan. Tarian ini mengisahkan perjalanan Arjuna menuju Gunung Indrakila, mengasingkan diri, bertapa dan bergelar Begawan Mintaraga Bedaya Mangunsih, gendhing kethuk 2 kerep minggah Pareanom kalajengaken Ladrang Longsor, Suwuk, Buka Ketawang Playon, Laras Pelog Pathet Barang awal mulanya adalah karya (Iyasan Dalem) Paku Buwana IX ketika masih bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Jejak sindhenan Bedhaya Mangunsih sebenarnya sudah tidak ada, yang tertinggal hanya notasi balungan serta syair (cakepan) yang tertulis dalam Serat Pesindhen Bedhaya Mangunsih dan kemudian direkonstruksi oleh Suraji, S. Kar. M. Sn. Bersama Radhitya Art Community pada Juni 2003, sedangkan tari Bedhaya Mangunsih diciptakan kembali (recreate) oleh Noor Farida Rahmalina, Eko Kadarsih, dan BRM. Bambang Irawan. Bedhaya Mangunsih malam itu ditarikan oleh 9 penari wanita yang kesemuanya terlihat cantik dan elok dengan balutan busana jawa keraton, nampak begitu sempurna gerakan-gerakan yang tercipta. Tari Bedhaya Mangunsih ini mengingatkan tradisi kasunanan Surakarta yang memang disinyalir kuat unsur feminimnya. Sebagaimana diketahui, pada setiap acara kraton tarian Bedhaya memang menjadi salah satu penampilan wajib. Konon tari jenis ini diduga sebagai penghormatan simbolis pada Kanjeng Ratu Loro Kidul.

Lalu kemudian Klana Topeng. Beksan Klana Topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga sejak masa Kasultanan Panjang, Mataram, Kartasura, hingga Surakarta. Klana Topeng sangat jarang dipentaskan di lingkungan istana. Beksan Klana Topeng muncul kembali pada masa pemerintahan Paku Buana IV. Putra mahkota Pakubuwana IV yang kelak menjadi Paku Buwana V sangat peduli terhadap kehidupan kesenian keraton termasuk didalamnya tari topeng. Klana Topeng yang mengisahkan perasaan Prabu Klana Sewandana terhadap Dewi Sekartaji, namun keinginan Prabu Klana Sewandana terhadap Dewi Sekartaji, namun keinginan Prabu Klana Sewandana memperistri Dewi Sekartaji tidak dapat terlaksana, oleh Karena itu beksan Klana Topeng disebut juga dengan Klana Gandrung. Klana topeng sendiri ditarikan sendiri oleh Drs. BRM. Bambang Irawan, MSi. Dengan gerakan-gerakan layaknya seorang prabu yang sangat berwibawa tarian itu nampak begitu memesona walaupun sebenarnya kisah dalam tarian itu menggambarkan kesakithatian dan keputusasaan lelaki yang usahanya mendapatkan wanita pujaan gagal tercapai.

Dan terakhir Wirapratama, tari yang mengisahkan kesungguhan para putra Pandawa yaitu Gathutkaca, Abimanyu, Antasena dan Irawan yang membekali dirinya dengan olah kanuragan untuk membela yang lemah, menegakkan keadilan dan berdarma bagi sesama. Ditarikan oleh 4 orang lelaki dengan busana para Ksatria pewayangan, sangat padu dan kompak para penari memperagakan tarian itu, keluwesan dan kelincahan melebur menjadi suatu keindahan yang tersaji dalam panggung sederhana. Meskipun nasib keempat keturunan Pandhawa ini tragis namun kehadiran tarian ini seolah memberikan tafsir ulang pada yang sia-sia. Bahwasanya meskipun keempatnya gugur di kancah Baratayudha namun keempatnya mewariskan semangat ksatria utama.



Dari keseluruhan pertunjukan sangat menarik untuk diikuti, karena selain memang garapan tarian yang begitu baik, para penyaji tarian merupakan mereka yang dapat dikatakan para pakar tarian keraton, kesempurnaan gerak diopadu oleh alunan bunyi-buyian jawa mengajak para penonton untuk sejenak merasakan nuansa lingkungan keraton walaupun ruang pertunjukan sama sekali tidak diseting dengan seting keraton. Namun begitu rasa yang tercipta setelah para penonton disajikan tarian dan mendengarkan alunan suara yang mengalun benar-benar dapat mensugesti penonton untuk membawa angannya berkelana jauh dari tempat dimana raga berada. Saya anjurkan untuk mennton pertunjukan ini jika Anda menyukai keselarasan yang halus. Namun akan sangat membosankan jika anda mengharapkan gerakan-gerakan yang sifatnya meledak-ledak. Namun bukan berarti kelemahlembutan mereka diapriorikan sebagai kelembekan yang dioposisikan kejantanan. Tidak, sesungguhnya kehalusan gerak mereka menjadi semacam komposisi keindahan yang harus dinikmati lewat jalur perenungan.

Namun sayang sekali, pertunjukan yang seharusnya bisa memperkaya khasanah gerak penari, tidak banyak menarik minat para koreografer maupun penari Semarang. Terbukti dari pengamatan saya serta beberapa komentar dari senior tari di Semarang. Sebut misalnya Paminto dan Anik yang telah bergelut tari sejak kecil. Mereka bersepakat perihal antusiasme publik tari sendiri (di Semarang) dirasa rendah. Barangkali memang diperlukan usaha publikasi yang lebih serta, kalau perlu, diadakan workshop barang berapa hari. Minimal sharing, karena saya amati setelah pertunjukan tidak dibuka ruang dialog. Padahal kekayaan semacam ini patutlah untuk dibagi sehingga publik tidak sekedar menatap etalase dari pinggir jalan.

Apa yang Tersisa dari Fotografi?*


Oleh: Adin**

Di era ketika semua orang mempunyai kesempatan untuk memiliki kamera dengan mudah, baik itu kamera digital atau analog terlebih lagi ketika dengan mudah handphone keluaran terbaru sering menambahkan fitur kamera, maka apa yang tersisa dari dunia fotografi yang dulu pernah diagung-agungkan tidak hanya karena harganya mahal namun juga teknologinya terbatas orang yang menguasai? Apa yang membuat para fotografer ini bangga ketika semua kemewahan itu sekarang telah menjadi gaya hidup anak-anak muda zaman sekarang. Tidak hanya itu kamera SLR atau DSLR yang dulunya tidak banyak yang punya sekarang marak sekali terlihat dimana-mana. Kamera bagus itu yang dulu sering identik dengan fotografer professional sekarang tidak jauh amat dengan handphone keluaran terbaru. Kamera telah masuk dalam kategori gadget yang mempermudah mereka dalam pergaulan anak-anak gaul dan membuat mereka merasa diakui. Kamera dengan harga jutaan rupiah itu menjelma tren mode. Sayangnya perubahan radikal fungsi kamera ini tidak diimbangi perubahan radikal mereka dalam cara memandang sesuatu. Ia hanya menjadi gadget dan telah tercerabut dari fungsi awalnya untuk mencetak gambar-gambar terbaik dan, kalau menurut Susan Sontag, memiliki dimensi etis. Kamera-kamera ini tidak lebih dari handphone blackbery yang fungsi awalnya untuk memudahkan orang bekerja karena membutuhkan koneksi internet secara cepat. Ya, blackberry memang masih digunakan anak-anak muda ini untuk berinternet namun kebanyakan, berdasar asumsi pribadi dan pengalaman mengamati teman-teman yang memiliki blackberry, dipergunakan untuk mengakses facebook dan twitter. Demikian pula kamera-kamera mahal yang seharusnya menangkap citra-citra yang menggetarkan ini telah mengalami pendangkalan. Saya sering melihat anak-anak muda memakai kamera bagus ini hanya untuk memotret dirinya sendiri persis seperti ketika kita menggunakan kamera handphone.
Salahkah? Kalau berbicara soal salah atau benar tentu tidak akan ada habisnya. Toh sah-sah saja karena mereka membeli alat-alat itu dengan uangnya sendiri dan tentu saja mereka bebas memakai kamera yang telah dibeli untuk hal-hal semau mereka.


Kalau sudah begitu lantas apa yang ditawarkan oleh anak-anak muda yang menamakan dirinya Nirkonsep ini memamerkan citraan fotografis mereka di dunia banal yang semuanya bisa menjadi fotografer sesuai dengan kapasitasnya masing-masing? ‘Break The Wall (5 dimensions)’ , begitulah tajuk pameran yang mereka gelar. ‘Break the wall 5 dimensions’ berdasar pemahaman mereka hendak menembus jalan yang jarang sekali dilalui para fotografer di Semarang. Anak-anak muda ini sepertinya ingin menegaskan diri sebagai kelompok yang menggunakan kamera tidak hanya sebagai perekam objek tetapi lebih dari itu kamera adalah cara melihat (way of seeing) sekaligus representasi ideologis mereka. Bagi mereka kamera tidak lebih dari alat dan semestinya sebagai alat yang semua orang bebas menggunakannya tentu saja tidak ada nilai lebih jika tidak ada gagasan yang ditawarkan dari citraan-citraan yan dihasilkannya.

Nirkonsep = tanpa konsep (?)

Pada pameran kali ini Nirkonsep menyertakan lima orang yakni Helmy Y O Gaff, Bro Say Me, Bagas Bato, Septian Yudha, dan Pristyo Hari yang akan mendedahkan kerangka berpikir mereka dalam menyikapi fenomena ini. ‘Break the wall 5 Dimensions’ sebagai tema utama digunakan sebagai desain utama sekaligus batasan-batasan yang akan mereka aplikasikan dalam memperuncing gagasan sekaligus eksekusi teknis karya mereka. Tema utama mereka sendiri dipicu karena ketidakpuasan mereka atas praktik fotografi (terutama di Semarang) yang selalu berkutat pada bentuk, gambar-gambar bagus, dan persoalan teknis lainnya sedangkan eksplorasi konseptual jarang sekali tersentuh. Mau tidak mau pameran ini menjadi kritik bagi kecenderungan umum dalam praktik fotografi yang ada di Semarang. Tentu saja ini merupakan kecemasan tersendiri mereka mengingat tidak banyak yang bisa ditawarkan dalam praktik arus utama fotografi. Tentu kita ingat bagaimana kredo awal Nam Jun Paik, pionir video art, yang meyatakan bahwa televisi telah menjejali kita dengan banyak hal dan saatnya merebutnya kembali. Lalu lewat video artlah Nam Jun Paik merealisasikan gagasannya.
Pada karya-karya Helmy misalnya hampir semua visualisasi yang ditawarkan adalah hal-hal yang tidak biasa. Ada lima karya yang ditampilkan dan kesemuanya mengajak penonton memainkan inajinasinya untuk bersepakat atau tidak bersepakat dengan judul yang disematkan Helmy pada karyanya. Bagaimanapun untuk mengadapi citraan yang abstrak dan kadang cenderung tidak jelas, judul menjadi pagar bagi para jamaat penonton untk menafsirkan. Ia menjadi jalan masuk dan muasal definisi namun demikian bukan kesepakatan imajinatif yang diharapkan Helmy melainkan permainan-permainan interpretatif. Penonton sah dan boleh-boleh saja bersepakat atau bahkan menegasi citraan visual itu lantas memberinya judul lain. Jadi bisa dibilang citraan Helmy adalah teks terbuka yang memungkinkan pembacanya mengamini, tersesat atau bahkan menciptakan dunia baru.


Memang benar setiap teks selalu terbuka namun yang menjadi lain dalam karya Helmy keterbukaan ini menjadi ideologi dan tawaran perspektif sedari awal. Jadi dari awal memang diharapkan penonton akan membuka Pandora itu dan bermain-main dengan penyakit sekaligus harapan yang disimpannnya.
Lain halnya Tyo yang menggunakan teknik multiple exposure, dia seolah memanipulasi karyanya sehingga menghasilkan citraan yang aneh. Gambar-gambar itu seolah mahluk gaib dan seperti yang telah dia jelaskan sebenarnya dia sedang bermain-main dengan bentuk. Baik bentuk riil maupun imajinatif. Sanggupkan kamera memuaskan dahaganya akan bentuk? Dan jadilah ketiga karyanya menampilkan potongan orang yang terpisah. Teror bentuk yang tak lazim ini mengingatkan saya pada fenomena penampakan atau hantu pada tayangan televisi swasta yang belakangan marak lagi. Sebagaimana selama ini orang-orang lebih merasa nyaman dengan bentuk-bentuk yang sudah dikenali. Yang tidak dikenali dalam kelaziman adalah anomali dan untuk itu menyimpang dan sesegara mungkin dijinakkan dalam ranah pengetahuan kita. Sodoron bentuk Tyo barangkali juga menjadi anomali bagi para fotografer yang terbiasa memencet tuts-tuts kameranya pada tubuh yang gemulai dan view-view indah dan melenakan. Seberapa jauh Tyo akan memperkenalkan anomali ini pada khalayak sehingga kelak menjadi natural? Tentu tidak adil jika menuntut banyak pada pameran pertama dia. Dan terus terang saya menunggu teror bentuk lain yang kelak dia ajukan dalam pameran lainnya.

Karya lebih sederhana lagi ditunjukkan Bro Say Me yang menunjukkan foto lengkap keluarga berdasarkan identifikasi terhadap benda-benda yang sering dipakai keluarga itu. Ketiganya merupakan alas kaki. Alas kaki ini menjadi penanda bagi kehadiran kelamin dan status sosial anggota keluarga itu, yakni bapak, ibu dan anak. Semua foto disajikan secara hitam putih. Hal yang menarik mengingat kebanyakan potret keluarga ditandai dengan foto lengkap sekeluarga beserta atribut kebanggan mereka. Namun dalam foto ini salah satu atribut ini (alas kaki) menjadi penanda identitas dan kehadiran. Kalau dalam istilah bahasanya totem pro parte atau pars pro toto, keseluruhan mewakili sebagian atau sebagian mewakili keseluruhan. Alas kaki adalah keseluruhan representasi keluarga. Tetapi ada yang agak janggal dalam hal ini yakni pengidentifikasian anak sebagai sandal, bapak sebagai sepatu dan ibu sebagai sepatu cewek. Ketiga-tiganya saling tidak berakitan antara satu sama lain kecuali karena sama-sama alas kaki. Maksudnya andai foto alas kaki ibu sangat feminis mengapa suaminya tidak kontras maskulin, misalnya. Penggunaan ikon sepatu lars atau pantofel barangkali akan lebih mengena untuk merepresentasikan sang bapak.
Untuk karya-karya Bagas Bato terus terang saya agak kesulitan mencari benang merah antar satu karya dengan karya yang lain. Ketiganya mungkin adalah limpahan pengalaman pribadinya. Karya itu mengada karena diambil dengan kamera bekas dan dicuci cetak seperti kamera yang menggunakan roll film. Bato seperti mau bercerita begitu saja dan membagi momen-momen keterkejutan ketika dia mengambil gambar dan menyerahkan pada tukang cetak foto sambil harap-harap cemas foto mana yang sesuai dengan harapannya. Dan karenanya pita gulungan roll ini hanya berlaku sekali maka tidak ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan begitu sebalikyna tidak ada kesempatan untuk menjadi bagus lagi. Semuanya serba mengejutkan. Seperti kado yang diberikan pada kita secara rahasia dan kita hanya melihat hasil akhirnya tanpa bisa mempengaruhi mekanisme di dalamnya.

Sebetulnya tidak ada yang mengejutkan juga karya Septian Yudha yang berjudul ‘Birokrasi Kompleks’. Sepintas karya-karya ini manis dan segar tapi terus terang saya tidak bisa mengerem pikiran saya untuk tidak mengalami de javu. Saya seperti pernah melihat karya ini tapi dimana entah. Bukan berarti karya ini tidak orisinil namun bentukan-bentukan semacam ini saya pikir banyak dijumpai namun dalam bentuk yang bervariasi. Sekalipun saya mendukung mereka namun tetap saja mesti bersikap kritis jika memang ada hal-hal yang sepatutnya kurang cocok di hati saya. Bagaimanapun saya percaya menjadi baik adalah proses, yang perlu dilakukan kemudian adalah memperbanyak kesempatan dan memberikan kepercayaan pada mereka untuk terus belajar dan untuk terus meningkatkan standar estetis serta kecerdasan intelektualitas mereka. Di sinilah posisi Grobak A(r)t Kos yakni menjadi wadah bagi teman-teman yang masih muda, bersemangat, mau belajar dan terus bergerak ke arah lebih baik. Jika banyak pihak menuntut mereka tampil terbaik tanpa memikirkan mekanisme dan metode yang pas tentu tidak akan adil di tengah carut-marutnya kondisi infrastruktur kesenian di kota ini. Hal ini tak ubahnya standarisasi UAN yang kemudian diterapkan di daerah-daerah yang infrastrukturnya jelek. Tentu jangan salahkan mereka jika tidak banyak yang lulus, beberapa kemudian meresponsnya dengan cara ekstrim: trauma dan bunuh diri.
Setelah memperhatikan karya-karya mereka layakkah gagasan-gagasan yang dieksekusi dalam karya mereka layak tidak berkaitan dengan hal-hal yang tanpa konsep sama sekali? Atau barangkali mereka hanya bermain-main dalam ambiguitas wacana? Entahlah.



Demikian pengantar singkat pameran ‘Break the Wall 5 Dimensions’ dan sekali lagi saya tegaskan bahwa teknologi adalah alat, jika kemudian alat itu jatuh dalam wacana pasar (ekonomi) saatnya memberi counter issues melalui pemanfaatan terhadap teknologi itu sendiri. Demikian juga foto, jika memang arus utama yang digugat teman-teman Nirkonsep ini adalah fotografi ‘salon’ tentu saja mereka harus menampilkan hal-hal di luar arus itu. Apakah tawaran yang mereka ajukan cukup masuk akal dan menyita mata kita serta sejenak membuat kita berpaling? Mari kita lihat sejauh apa mata kita tergoda dengan citraan-citraan yang mereka tampilkan dalam pameran yang sederhana ini.

* esai ini merupakan pengantar singkat pameran fotografi ‘Break d Wall (5 dimension) yang diselenggarakan Nirkonsep bekerjasama dengan Hysteria
**penulis merupakan direktur Hysteria