Sabtu, 02 Juli 2011

Oleh-oleh dari Raditya Art Community


Oleh: Adin*

Suara tembang mengalun mengantar para penari memasuki panggung pertunjukan, dengan perlahan-lahan 9 penari wanita masuk dari sisi kanan panggung secara beriringan, dengan gerakan-gerakan yang sangat lembut namun tetap menunjukkan keelokan gerak tubuh khas keraton para penari yang nampak begitu cantik dengan balutan busana jawa seperti menyambut para penonton yang hadir di Gedung serba guna Taman Budaya Raden Saleh. Itulah sedikit gambaran awal Gelar Karya Tari dan Karawitan yang disajikan oleh Raditya Art Community dari Surakarta di gedung serba guna gedung yang bertempat di Jalan Sriwijaya pada hari Kamis, 8 November 2007 Pukul 20.00 dan berakhir pukul 21.30 ini. Acara ini terselengggara berkat kerjasama dengan teater lingkar dan tentu saja support hibah dari Yayasan Kelola. Teater Lingkar selaku tuan rumah sengaja membarengkan pertunjukan tari tersebut dengan acara rutin mereka, wayang kulit malem jumat kliwonan.

Dengan tata panggung sederhana serta dibantu sorotan lampu dari sisi kanan dan kiri panggung pertunjukan tarian khas khas keraton nampak elegan. Meskipun terkesan ekslusif dan geraknya sangat halus namun tampaknya publik Semarang menikmati. Hal itu terbukti terpenuhinya 200 kursi yang disediakan panitia. Dan sampai akhir pertunjukan tidak ada yang meninggalkan bangku. Para penonton amat khusuk memperhatikan setiap gerakan yang disajikan para penari diatas panggung dengan latar belakang seting panggung wayang yang memang digelar setelah pertunjukan tari tersebut usai. Satu demi satu peradeganan tari disajikan. Sebagai pembuka Bedhaya Mangunsih ditampilkan. Tarian ini mengisahkan perjalanan Arjuna menuju Gunung Indrakila, mengasingkan diri, bertapa dan bergelar Begawan Mintaraga Bedaya Mangunsih, gendhing kethuk 2 kerep minggah Pareanom kalajengaken Ladrang Longsor, Suwuk, Buka Ketawang Playon, Laras Pelog Pathet Barang awal mulanya adalah karya (Iyasan Dalem) Paku Buwana IX ketika masih bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Jejak sindhenan Bedhaya Mangunsih sebenarnya sudah tidak ada, yang tertinggal hanya notasi balungan serta syair (cakepan) yang tertulis dalam Serat Pesindhen Bedhaya Mangunsih dan kemudian direkonstruksi oleh Suraji, S. Kar. M. Sn. Bersama Radhitya Art Community pada Juni 2003, sedangkan tari Bedhaya Mangunsih diciptakan kembali (recreate) oleh Noor Farida Rahmalina, Eko Kadarsih, dan BRM. Bambang Irawan. Bedhaya Mangunsih malam itu ditarikan oleh 9 penari wanita yang kesemuanya terlihat cantik dan elok dengan balutan busana jawa keraton, nampak begitu sempurna gerakan-gerakan yang tercipta. Tari Bedhaya Mangunsih ini mengingatkan tradisi kasunanan Surakarta yang memang disinyalir kuat unsur feminimnya. Sebagaimana diketahui, pada setiap acara kraton tarian Bedhaya memang menjadi salah satu penampilan wajib. Konon tari jenis ini diduga sebagai penghormatan simbolis pada Kanjeng Ratu Loro Kidul.

Lalu kemudian Klana Topeng. Beksan Klana Topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga sejak masa Kasultanan Panjang, Mataram, Kartasura, hingga Surakarta. Klana Topeng sangat jarang dipentaskan di lingkungan istana. Beksan Klana Topeng muncul kembali pada masa pemerintahan Paku Buana IV. Putra mahkota Pakubuwana IV yang kelak menjadi Paku Buwana V sangat peduli terhadap kehidupan kesenian keraton termasuk didalamnya tari topeng. Klana Topeng yang mengisahkan perasaan Prabu Klana Sewandana terhadap Dewi Sekartaji, namun keinginan Prabu Klana Sewandana terhadap Dewi Sekartaji, namun keinginan Prabu Klana Sewandana memperistri Dewi Sekartaji tidak dapat terlaksana, oleh Karena itu beksan Klana Topeng disebut juga dengan Klana Gandrung. Klana topeng sendiri ditarikan sendiri oleh Drs. BRM. Bambang Irawan, MSi. Dengan gerakan-gerakan layaknya seorang prabu yang sangat berwibawa tarian itu nampak begitu memesona walaupun sebenarnya kisah dalam tarian itu menggambarkan kesakithatian dan keputusasaan lelaki yang usahanya mendapatkan wanita pujaan gagal tercapai.

Dan terakhir Wirapratama, tari yang mengisahkan kesungguhan para putra Pandawa yaitu Gathutkaca, Abimanyu, Antasena dan Irawan yang membekali dirinya dengan olah kanuragan untuk membela yang lemah, menegakkan keadilan dan berdarma bagi sesama. Ditarikan oleh 4 orang lelaki dengan busana para Ksatria pewayangan, sangat padu dan kompak para penari memperagakan tarian itu, keluwesan dan kelincahan melebur menjadi suatu keindahan yang tersaji dalam panggung sederhana. Meskipun nasib keempat keturunan Pandhawa ini tragis namun kehadiran tarian ini seolah memberikan tafsir ulang pada yang sia-sia. Bahwasanya meskipun keempatnya gugur di kancah Baratayudha namun keempatnya mewariskan semangat ksatria utama.



Dari keseluruhan pertunjukan sangat menarik untuk diikuti, karena selain memang garapan tarian yang begitu baik, para penyaji tarian merupakan mereka yang dapat dikatakan para pakar tarian keraton, kesempurnaan gerak diopadu oleh alunan bunyi-buyian jawa mengajak para penonton untuk sejenak merasakan nuansa lingkungan keraton walaupun ruang pertunjukan sama sekali tidak diseting dengan seting keraton. Namun begitu rasa yang tercipta setelah para penonton disajikan tarian dan mendengarkan alunan suara yang mengalun benar-benar dapat mensugesti penonton untuk membawa angannya berkelana jauh dari tempat dimana raga berada. Saya anjurkan untuk mennton pertunjukan ini jika Anda menyukai keselarasan yang halus. Namun akan sangat membosankan jika anda mengharapkan gerakan-gerakan yang sifatnya meledak-ledak. Namun bukan berarti kelemahlembutan mereka diapriorikan sebagai kelembekan yang dioposisikan kejantanan. Tidak, sesungguhnya kehalusan gerak mereka menjadi semacam komposisi keindahan yang harus dinikmati lewat jalur perenungan.

Namun sayang sekali, pertunjukan yang seharusnya bisa memperkaya khasanah gerak penari, tidak banyak menarik minat para koreografer maupun penari Semarang. Terbukti dari pengamatan saya serta beberapa komentar dari senior tari di Semarang. Sebut misalnya Paminto dan Anik yang telah bergelut tari sejak kecil. Mereka bersepakat perihal antusiasme publik tari sendiri (di Semarang) dirasa rendah. Barangkali memang diperlukan usaha publikasi yang lebih serta, kalau perlu, diadakan workshop barang berapa hari. Minimal sharing, karena saya amati setelah pertunjukan tidak dibuka ruang dialog. Padahal kekayaan semacam ini patutlah untuk dibagi sehingga publik tidak sekedar menatap etalase dari pinggir jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar