Kamis, 31 Maret 2011

PT PODO RUKUN NGAJAK PADU II




Nomor :
Hal :
Lamp :

Kepada Yth,
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang
di-
Tempat,

Dengan hormat,

Pada hari Kamis, 03 Maret 2011, YLBHI-LBH Semarang telah kedatangan seseorang dengan identitas sebagai berikut :

Nama : Adin
Alamat Jl. Stonen Nomor 29, RT 03,RW 04, Kel.Bendan Ngisor,Kec. Sampangan, Kota Semarang

Adapun maksud kedatangannya adalah untuk pengaduan atas kasus banjir lumpur yang diduga kuat disebabkan karena penataan lahan yang dilakukan oleh PT Podo Rukun. Berdasarkan informasi yang disampaikan kepada YLBHI-LBH Semarang, aktifitas PT Podo Rukun telah menyebabkan kerugian terhadap Ahmad Khairudin secara personal ataupun organisasi.
Adapun kronologis kasus yang disampaikan kepada YLBHI-LBH Semarang adalah sebagai berikut :

· Bahwa pada tanggal 26 Februari 2011 sekretariat HYSTERIA yang terletak di Jalan Stonen 29, Kel. Bendan Ngisor, Kec.Sampangan,Kota Semarang mengalami banjir lumpur. Banjir lumpur tersebut disebabkan karena aktifitas PT Podo Rukun yang melakukan penataan lahan perbukitan yang letaknya berada tepat di depan sekretariat HYSTERIA.
· Bahwa akibat banjir lumpur tersebut, Adin selaku Direktur HYSTERIA mengalami kerugian materiil berupa rusaknya peralatan elektronik karena terendam banjir lumpur seperti Handycame, speaker mini,printer, handphone, charger dan peralatan lain yang diperkirakan mencapai 5.805.000 ( lima juta delapan ratus lima ribu rupiah).
· Bahwa pada hari Senin, 28 Maret 2011, Tim dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang telah meninjau lapangan, namun sampai dengan saat ini belum ada langkah konkrit untuk menindaklajuti kasus tersebut.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup serta Perda Kota Semarang No 13 Tahun 2006 tentang pengendalian lingkungan hidup, maka aktifitas penataan lahan yang dilakukan oleh PT Podo Rukun wajib dilengkapi dengan perijinan atapun dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
selanjutnya disingkat UKL-UPL atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).

Selain berfungsi untuk meminimalisir dampak lingkungan, salah satu dari ketiga dokumen, baik AMDAL,UKL/UPL ataupun SPPL digunakan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan ijin usaha dan atau kegiatan. Berdasarkan Perda Kota Semarang No 13 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup, perijinan juga wajib memperhatikan rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Kami menduga PT Podo Rukun tidak mempunyai salah satu dokumen lingkungan, baik AMDAL, UKL/UPL ataupun SPPL. Kalaupun mempunyai salah satu dokumen tersebut, diduga kuat PT Podo Rukun tidak melaksanakan kwajibannya untuk meminimalisir dampak lingkungan. Kami juga menduga, PT Podo Rukun tidak mempuyai kelengkapan perijinan,karena pada dasarnya perijinan wajib memperhatikan RTRW, sedangkan RTRW Kota Semarang masih dalam proses pembahasan oleh Pansus DPRD Kota Semarang.

Sehubungan hal tersebut kami YLBHI-LBH Semarang menyampaikan :
1. Satpol PP Kota Semarang untuk mengentikan secara paksa apabila PT Podo Rukun belum mempunyai kajian lingkungan ataupun perijinan sebagaimana dimandatkan Perda Kota Semarang No 13 tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup;
2. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang untuk melakukan pengawasan terhadap aktifitas PT Podo Rukun sehingga tidak menyebabkan dampak lingkungan yang menyebabkan kerugian terhadap masyarakat sekitar;
3. PT Podo Rukun untuk segera memberikan ganti rugi kepada masyarakat akibat banjir lumpur tersebut.

Demikian surat ini kami sampaikan, agar segera ditindaklanjuti oleh institus pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Hormat kami,



Siti Rakhma Mary Herwati,SH
Direktur

Senin, 28 Maret 2011

PT PODO RUKUN NGAJAK PADU

Pers Release

LBHSMG No /SK/III/2011

Pembangunan berkelanjutan seharusnya memperhatikan sisi ekologis, ekonomi dan keadilan masyarakat. Namun seringkali sisi ekologi dikalahkan dengan mengatasnamakan investasi untuk pembangunan. Hal ini terbukti dengan munculnya kasus penataan lahan yang dilakukan oleh PT Podo Rukun di wilayah Stonen, Kelurahan Bendan Ngisor Kecamatan Gajahmungkur Semarang.

Proses penataan oleh PT Podo Rukun yang digunakan untuk kawasan perumahan telah menyebabkan dampak lingkungan berupa banjir lumpur. Hal ini terbukti ketika pada tanggal 26Februari 2011, perumahan di Jalan Stonen nomor 29 Bendan Ngisor menerima luberan air bercampur lumpur. Akibatnya perlatan rumah dan elektronik terendam air lumpur, diperkirakan kerugian mencapai 6,8 juta rupiah, meliputi handycame,printer dan Handphone, Hingga saat ini tidak ada etikat baik dari PT Podo Rukun untuk menyelesaikan kerugian masyarakat.

Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup, aktifitas penataan lahan seperti PT Podo Rukun harus dilengkapi kajian lingkungan hidup, baik Analis Dampak Lingkungan (AMDAL), Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat (UKL/UPL). Kajian lingkungan tersebut digunakan sebagai syarat untuk mendapatkann ijin usaha dan atau kegiatan PT Podo Rukun. Selain diduga tidak mempunyai Kajian Lingkungan,Diduga aktifitas PT Podo Rukun tidak dilengkap perijinan. Hal ini diperkuat dengan masih dibahasnya raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Semarang oleh Pansus DPRD Kota Semarang yang dijadikan landangan untuk mengeluarkan ijin usaha.

Hari ini (28 Maret 2011), Masyarakat BendanNgisor rencananya melakukan pengaduan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang, namun tim BLH dipimpin Ir Ginawan Kabid Pengawasan Lingkungan merespon dengan melakukan kunjungan lapangan ke lokasi penataan lahan PT Podo Rukun.

Melihat situasi tersebut diatas, maka YLBHI-LBH Semarang dan Masyarakat Bendan Ngisor menyatakan sikap dan menuntut :
1. Walikota Semarang untuk melakukan tindakan tegas berupa sangsi admistrasi berupa penghentian secara paksa aktifitasPT Podo Rukun karena diduga tidak mempunyai kajian lingkungan ataupun perijinan;
2. Menuntut pertanggungjawaban PT Podo Rukun untuk memberikann ganti rugi materiil sesuai yang dialami oleh masyarakat serta melakukan berbagai upaya untuk meminimalisi terjadinya ancaman banjir lumpur;

Demikian pers release ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih


Sukarman,SH
Ka.Program YLBHI-LBH Semarang

”Adin”
Masy Bendan Ngisor/HYsteria

Kamis, 24 Maret 2011

Mensana In Corpora Money

Mensana In Corpora Money
(sebentuk aksi seni yang digagas teman-teman aktivis di Rembang, kota kecil yang aktif korupsi, untuk menjaga akal sehat mereka ) hahaha

Senin, 21 Maret 2011

FORUM BUKIT STONEN

FORUM BUKIT STONEN
Lintas Disiplin, Lintas Kerja, Lintas G
REFLEKSI KETIDAKMERDEKAAN
”KORUPSI & NASIONALISME SETENGAH TIANG”

Hari, Tanggal : Rabu, 23 Maret 2011

Waktu : Pukul 18.30 WIB–selesai (didahului makan malam)

Tempat : Rektorat UNIMUS, Kedungmundu , Semarang

Pembicara :

1. Prof Susanto (Rektor Unimus, Semarang)
2. Prof Purbayu Budi Santosa (Guru Besar Ekonomi Undip)*dalam konfirmasi
3. Adin (direktur hysteria, Semarang)
4. Slamet S.H (LBH Semarang)
Moderator:
Prof Tjetjep Rohendi Rohidi (Guru Besar Antropologi Seni Unnes)
Pembacaan puisi:

Untung Surendro (Penyair Tua, Semarang)
Ribut Achwandi


penyelenggara:
Prof Tjetjep Rohendi Rohidi &
Komunitas Embun Pagi (KEP)
REFLEKSI KETIDAKMERDEKAAN
“KORUPSI & NASIONALISME SETENGAH TIANG”



* Ada semacam frustasi yang perlahan-lahan menggerogoti diri kita, tiap kali perbincangan tentang korupsi akan dimulai. Entah apa namanya, mungkin semacam bosan bercampur rasa mual karena terlalu sering diperbincangkan dan hasilnya: korupsi tetap terjadi.
* Tetapi apa yang terjadi, ketika tak ada lagi yang berbicara dan bekerja melawan korupsi. Korupsi memang masih terjadi, tetapi harapan tak boleh mati.
* Benar, melawan korupsi adalah amanat kehidupan yang panjang, sepanjang usia peradaban umat manusia. Berbagai seminar, diskusi, workshop, dan KPK telah diadakan, dan ternyata: melawan korupsi adalah melawan iblis yang bersarang dalam diri umat manusia. Perang abadi.
* Perbincangan tentang korupsi kali ini berusaha untuk tidak jatuh menjadi sekadar klangenan intelektual yang parau. Topik tentang korupsi ini dipilih sebagai pintu masuk untuk berbicara tentang suatu utopia yang semakin jauh: Nasionalisme setengah tiang.
* Dan apa yang terjadi ketika tak ada lagi intelektual –pemikir, aktivis, seniman, profesor, penulis, penyair, wartawan, mahasiswa dan sebagainya— yang mengkritik praktik korupsi bertopeng nasionalisme semacam itu? Praktik topeng monyet nasionalisme yang diperagakan para petinggi negara semacam itu harus membangunkan para pengkritiknya untuk bersuara lantang (critics of nationalism within nationalism—Prof. Edward W. Said).
* Meskipun kita tahu, kritik terhadap praktik korupsi telah banyak dilancarkan. Tetapi kita harus berani mengakui bahwa kritik terhadap korupsi –dan juga segala macam kebobrokan sosial-kultural-sistemik—seringkali diadakan dan didasarkan (hanya) atas suatu perbincangan monolog: satu disiplin, satu lingkungan kerja dan satu generasi.
* Perbincangan kita kali ini, dengan demikian, merupakan sebuah eksperimen kecil untuk melakukan kritik yang didasarkan atas dan dilemparkan dengan argumen kuat yang lahir dari suatu perbincangan yang cukup komprehensif: lintas disiplin, lintas kerja, lintas generasi. Singkat kata, suatu kritik lintas disiplin-kerja-generasi—suatu cara pandang yang harus dibudayakan dalam usaha memahami, mengkritik dan mengubah dunia.


TENTANG FORUM BUKIT STONEN

* Refleksi ketidakmerdekaan yang diselenggarakan Forum Bukit Stonen ini berupaya menciptakan momentum pemantik hidupnya kesadaran kritis masyarakat melalui forum yang rencananya akan diagendakan setiap bulan sebagai respon atas problem-problem sosio-politik-kultural kemasyarakatan.
* Forum Bukit Stonen merupakan gerakan swadaya masyarakat sipil yang bermula dari kegelisahan yang sebenarnya jamak tetapi terpendam oleh hingar-bingar berbagai wacana yang dihembuskan oleh rezim wacana; pemerintah dan media massa.
* Forum ini merupakan suatu upaya membangun jembatan komunikasi antara berbagai macam kaum cendekiawan lintas disiplin ilmu pengetahuan, lintas bidang kerja sosial-kebudayaan dan lintas generasi, terlebih sebagai jembatan dialog antara kaum akademisi dan non-akademisi dalam berbagai bidang tersebut.
* Forum Bukit Stonen, dengan demikian, bukanlah lembaga swadaya masyarakat, melainkan hanyalah paguyuban yang bersifat sosial dan tidak diikat oleh apapun, kecuali hanya oleh: kegelisahan dan ikhtiar sederhana untuk melakukan persemaian pemikiran—dengan pihak manapun yang memiliki visi yang sama: merawat akal sehat untuk Indonesia yang lebih baik.


Acara

18.30-19.00 Didahului dengan makan malam
19.00-19.15 Pembukaan
Pembacaan Puisi
19.15-selesai Diskusi

Minggu, 20 Maret 2011

diskusi "Desa Sebagai Sumber Kreatif "


Undangan Workshop Wayang Bambu dan Wayang suket, Minggu Tgl 27 Maret 2011 di Sanggar Suket mojosongo : jadwal : Workshop tgl 27 maret jam 2 siang sampai jam 5 dan MALAMNYA Diskusi Kesenian "Desa Sebagai Sumber Kreatif " -Pukul 19.00 wib-Pembicara : Adin dari HYsteria Semarang dan Arif Setyo Budi dari Solo Institut dan Janta Jabrik teater Tesa Solo , Moderator Slamet Gundono

Rabu, 16 Maret 2011

Hysteria, Anak Muda, dan Komunitas


Benar adanya isu mengenai pembubaran Komunitas Hysteria. Bentuk komunitas dirasa sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan kami. Untuk itu pembubaran komunitas ini sebuah keniscayaan. Keputusan untuk membubarkan komunitas memang berawal dari beban definitif terhadap komunitas itu sendiri. Sebagaimana umum diketahui, dalam komunitas tidak ada ikatan yang relatif ketat. Anggota bisa keluar masuk seenaknya sendiri tanpa harus ada ketentuan-ketentuan tertentu. Kondisi ini mnyebabkan Hysteria tidak beranjak dari aktivitas hobi semata. Meskipun pada kenyataannya terhitung sejak 2008 Hysteria mulai berkegiatan layaknya organisasi. Dan sejatinya pembubaran Hysteria sebagai komunitas dan kelahirannya kembali sebagai organisasi, tidak lebih dari penegasan diri bahwa Hysteria ingin beranjak menjadi organisasi lebih serius.
Kurang lebih 6 tahun lamanya Hysteria dikenali sebagai komunitas sastra yang menerabas batas-batas disiplin seni lain. Kami juga lebih dikenal sebagai komunitas yang sering menyelenggarakan event, sedangkan aktivitas kami di belakang layar nyaris tidak terpantau. Padahal aktivitas di belakang layar ini tidak kalah pentingnya, misalnya program pengarsipan film, mengkliping, dan pendokumentasian pamflet. Itu semua dilakukan demi membentuk bank arsip yang kelak bisa diakses siapapun.
Menginjak tahun ke tujuh ini Hysteria memantapkan diri sebagai organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas. Mengapa komunitas? Di tengah infrastruktur yang kacau dan menguatnya korporasi maupun negara yang tahap diimbangi mekanisme kontrol memadai pilihan untuk berkomunitas (baca berorganisasi) menjadi pilihan yang politis. Bagi kami komunitas bisa menjadi organ kecil untuk menularkan kesadaran yang lebih baik dan menawarkan nilai beda di antara tawaran nilai yang dominan. Untuk itu komunitas menjadi penting bagi kami di masa mendatang. Kami bermimpi suatu saat Semarang juga mempunyai infrastruktur lebih baik, tidak hanya di bidang seni saja tetapi juga yang lain. Minimal dari komuntias-komunitas yang diberdayakan suatu saat bisa saling peduli, mandiri, dan kelak bisa terlibat dalam satu lingkaran jejaring yang kuat sekaligus menguatkan.

Visi yang bergeser

Perubahan visi ini berkait dengan sumber daya yang dimiliki Hysteria dan bagaimana kelak Hysteria memanfaatkan seluruh ‘kekayaan’ ini. Sastra saja ternyata tidak cukup memenuhi hasrat kami karena sejatinya dari tahun ke tahun kami gagal membentuk ketertarikan yang intensif secara internal pada bidang ini. Dan setelah dianalisis lama memang wilayah kami tidak bisa disederhanakan dalam satu bidang saja.
Beberapa keadaan yang membuat kami berubah visi tidak lain disebabkan pengalaman Hysteria dalam kontestasi kehidupan berkesenian di Semarang. Dalam krun waktu 6 tahun telah kami saksikan banyak organisasi, komuntias, individu atau kelompok yang lahir dan mati silih berganti. Lama kami mencari tahu dan menggali apa penyebab dari semua ini. Sebab kalau ngomong soal usaha keras individu kita hanya akan terjebak pada usaha-usaha yang dilakukan individu untuk bertahan dan mematahkan mitos ‘kuburan seni’. Dalam kategori kesadaran, menurut Freire, tingkat kesadaran semacam ini adalah kesadaran naïf. Lan halnya kesadaran kritis yang melihat bagaimana sistem ini beroperasi sehingga akhirnya membentuk kenyataan yang kita hadapi sekarang ini. Tanpa usaha menyingkap itu semua kami pikir kita akan gagal dalam mencari solusi yang lebih efisien.
Mengapa kebanyakan dari kita ‘gagal’ di kota ini? Mengapa semua ini bisa terjadi? Bila mau jujur berapa banyak institusi, organisasi komunitas seni yang bertahan dan mempunyai program yang jelas dan terukur? Adakah ruang yang secara sadar dikonstruksi dan diarahkan mau kemana? Di mana peran dewan kesenian, pemerintah, lembaga budaya, dan atau siapapun yang menjadi stake holder di kota ini dalam memajukan kehidupan seni dan budaya? Lalu peran akademisi dan institusi pendidikan? Adakah warisan sistem yang memihak terhadap pertumbuhan kreatifitas anak-anak muda? Betapa banyak pertanyaan yang sekiranya muncul jika ini kami teruskan. Lantas apakah kemudian kita akan menyalahkan semuanya karena keadaan hari ini? Tentu saja tidak. Dan jelas keberadaan kami tidak untuk menyalahkan tetapi menjaid bagian dari solusi dari sekian permasalahan yang berlangsung secara menahun. Adapun pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah pemantik bahwasanya di luar potensi individu ada pra syarat yang harus dipenuhi sebuah kota jika ingin individu-individu dan segenap masyarakatnya teraktualisasi dengan baik. Pra syarat inilah yang kami sederhanakan sebagai infrastruktur. Jika infrastrukturnya telah mapan akan sangat mudah bagi siapapun utnuk sampai pada tujuan yang mereka inginkan. Sebaliknya infrastruktur yang kacau akan membuat potensi individu ini terhambat. Infrastruktur ini ditopang oleh relasi dari berbagai pihak. Jika relasi-relasi ini terjadi ketimpangan komunikasi bisa dipastikan bahwasanya kita akan berjalan sendiri-sendiri akibatnya akan sulit dicapai tujuan bersama. Pada relasi yang membentuk infrastruktur ini kesadaran masing-masing pihak untuk sadar diri pada posisinya tentu akan sangat penting supaya tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Sadar diri pada posisi barangkali menjadi point yang sangat penting kaitannya bagi setiap individu atau komunitas yang ingin tertahan di kotanya sendiri. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Butuh waktu, kedewasaan, militansi, bahkan kadang-kadang kegilaan dalam kadar tertentu.

Posisi HysTeria

Lalu di manakah posisi Hysteria dalam infrastruktur yang kacau balau dan ruang-ruang dialog yang macet? Kami yakin membuat sebuah organisasi atau komunitasyang stabil tentu tidak mudah. Pengalaman membuktikan hanya untuk menyatukan visi dan berbicara dalam forum secara dewasa ternyata sulitnya bukan main. Setidaknya melihat fenomena banyaknya komunitas yang mengalami perpecahan internal. Belajar dari pengalaman inilah Hysteria menegaskan diri sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya forum-forum yang lebih terbuka dan dialogis. Selain itu berbekal social network dan bank data kami berharap dapat membantu komunitas-komunitas ini memetakan dirinya sendiri. Memetakan diri pada konteksnya kami pikir menjadi salah satu point penting. Tanpa itu mereka akan gagal dan disorientasi mau dibawa kemana komunitas dan aktivitas mereka.
Selain melakukan kerjasama dengan komunitas Hysteria juga membekali diri dengan beberapa hal yang telah kami singgung di atas. Yakni bank data yang bisa diakses orang luar, art space, dan sumber daya manusia. Program-progam yang akan disusun ke depan juga lebih banyak berorientasi pada pengembangan komunitas. Misalnya lokakarya metodologi riset sejarah lisan (mengajar untuk sadar akan gerakan mencatat), lokakarya zine (kesadaran mengelola isu), dan lokakarya pengorganisasian (melakukan identifikasi, brainstorming dan penyusunan program yang lebih efektif dan efisien). Selain program lokakarya kegiatan lain seperti pameran, pemutaran film, forum kajian, mini konser, juga akan kami gelar sebagai upaya untuk memecah kebekuan komunikasi antar komunitas lintas disiplin. Kami percaya bahwa perubahan hanya bisa dicapai dengan bergeraknya segala lini. Tanpa itu semua mustahil membayangkan perubahan secara massif.
Dari keseluruhan aktivitas itu kami berharap bisa sedikit demi sedikit memetakan siapa saja yang sebenarnya berkepentingan terhadap perubahan ini untuk kemudian kami ajak duduk satu meja merumuskan masa depan yang lebih baik. Muluk-muluk memang, namun kami pikir hanya orang-orang yang punya mimpilah yang bisa merubah keadaan. Tanpa utopia ini mana mungkin kami bertahan sejauh ini.

(HYSTERIA)

Festival yang Tertunda



Sebenarnya telah lama kami ingin membuat pertanggung jawab perihal festival rutin yang kami janjikan tiap tahun. Terutama saat tahun 2010 lalu Hysteria ketika tidak mengadakan festival lintas disiplin sebagaimana 3 tahun sebelumnya (2007-2009). Banyak alasan yang membuat festival yang kami rencanakan ini gagal. Salah satunya adalah persoalan mendasar mengenai sebenarnya butuh tidak festival ini diadakan? Kalau hanya selebrasi dan membuat lelah apalagi tidak mempunyai imbas balik yang sepadan kenapa harus dipaksakan. Dari pertanyaan mendasar itulah akhirnya yang membuyarkan seluruh bangunan gagasan yang jauh-jauh hari kami konsep. Dan tentu saja masih banyak persoalan lain terkait pendanaan dan semacamnya.
Tiga tahun berturut-turut membuat festival Hysteria merasa gagal untuk mengkampanyekan ide betapa penting festival ini untuk mempertemukan berbagai kalangan dan membuat mereka semakin terbuka. Pada kenyataannya, dan seperti festival kebanyakan, meski dalam hati kita menginngnkan selebrasi semacam itu namun bukan berarti kita telah siap untuk dialog dan memutuskan bahwa: festival ini menjadi kebutuhan bersama. Festival biasanya diinisiasi dari atas ke bawah tanpa peran vital komunitas pendukung festival. Mereka hanya artis dan yang menyelenggarakan hanya EO. Tidak lebih dari itu. Maka layaknya EO yang baik ia harus bisa menggelar acara secara sukses, dan artis yang baik hanya perlu tampil sebaik-baiknya. Tidak ada pembicaraan yang intensif, serius, konstruktif setelahnya. Semua kembali ke rumah masing –masing tanpa berpikir untuk menjadikan apapun yang berkait dengan festival adalah persoalan bersama yang harus dihadapi dan saling peduli. Di titik itu kami merasa lelah untuk membuat acara-acara yang kami rasa, minimal secara internal, tidak kami butuhkan.
Membuat program sesuai kebutuhan menjadi kunci bagi kami untuk menyusun program di masa mendatang. Semua program yang kami rasa tidak efektif kami hentikan. Maka dari itu pada tahun 2010 kami memutuskan hanya membuat satu program yang kami anggap lebih penting, yakni ‘mapping project, petakota’. Program ini merupakan pemetaan yang kami lakukan terhadap fenomena sub kultur dan anak muda di Semarang. Pada project pertama kami mengangkat pameran poster dan pamflet gigs yang ada di Semarang kurun waktu 2007-2009. Bersama Aga Petir (kosong) kami menyelenggarakan acara hampir seminggu. Sebenarnya benih untuk membuat acara yang lebih kecil, spesifik, dan lebih efektif telah dimulai sejak 2009. festival lintas disiplin ‘Stonen Mini Fest: Jalur Alternatif’ menjadi pembuka program-program kami yang lebih intensif. Tahun itu kami mengumpulkan dan memamerkan zine yang terkumpul dari berbagai kota. Namun baru tahun 2010 pilihan mengadakan program semacam ini kami putuskan secara sadar sebagai konsekuensi dari butuh tidaknya program ini diadakan. Frieda Amalia sebagai penanggung jawab tahun itu cukup serius menyiapkan pameran. Namun sayangnya ada yang luput dari harapan kami. Pada awalnya kami berharap dari pameran ini akan terjadi analisis yang cukup tajam pembacaan teman-teman atas fenomena musik di Semarang ditinjau dari pamflet acara. Dari pembacaan itu bisa dilihat berbagai macam hal, misalnya berapa banyak acara dalam kurun waktu 3 tahun, siapa saja artis yang lahir atau mati, apa kecenderungan musik, siapa saja pegorganisisr event kolektif, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan itu akan membukan banyak pertanyaan lagi yang akhirnya akan membentuk pohon masalah. Berkait dengan ilmu organisasi setelah permasalahan ini diidentifikasi idealnya ada rencana dan strategi untuk membuat program yang lebih efektif. Kira-kira apa saja yang dibutuhkan untuk perkembangan musik di Semarang, siapa stake holder nya, posisi masing-masing pihak di mana dan masih banyak lagi yang bisa kita baca dari pemetaan itu. Sayangnya hal itu belum terjadi di pameran ini. Tanpa upaya-upaya analisis dan reflektif semacam itu kami pikir akan sulit bagi komunitas, kelompok musik, EO dan semua yang berkepentingan di dalamnya dapat menyusun program tepat sasaran.
Agak mengecewakan memang, namun sebagai langkah awal kami mulai menemukan format program apa yang akan kami susun kelak.
Telah banyak festival diselenggarakan, tapi lagi-lagi kami tidak yakin benarkah festival ini telah menjadi kebutuhan bersama dan keinginan banyak pihak? Daripada repot memikirkan hal itu dan mementahkan niat baik para penyelenggara festival, Hysteria memutuskan menghentikan festival lintas disiplin sebagai prioritas yang harus diadakan setahun sekali sampai suatu saat tercipta forum yang memang secara sadar membutuhkan adanya festival bersama. Membutuhkan dalam hal ini tidak hanya sekedar main dan menjadi artis, tetapi juga ikut memikirkan masa depan festival, urgensi festival dan bagaimana pengaruh festival ini bagi masyarakat penyokongnya.
Saat membuat pertanggungjawaban ini sebenarnya kami merasa geli juga. Karena tidak perlu repot-repot membuat catatan semacam ini toh tidak ada yang menanyakan program rutin kami ini. Ini menambah catatan bahwa kami telah gagal membuat festival sebagai bagian dari kebutuhan teman-teman. Pertanggungjawaban ini akhirnya dibuat semata-mata bentuk tanggung jawab kami terhadap perkataan, klaim, sesumbar kami di masa lalu bagi teman-teman yang pernah mendengar perkataan kami. Secara moral kami merasa terbebani karena kami tidak sanggup menanggung konsekuensi dari perkataan kami dan tidak bisa memegang komitmen dari kami sendiri. Para penyelenggara event pasti pernah mengalami hal ini, bahwa membuat festival itu ternyata tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi acara-acara yang katakanlah untuk keuntungan finansialnya tidak jelas, memakan banyak waktu, rawan terjadi salah paham dan banyak lagi persoalan lain yang kesemuanya itu sering membuat lelah dan memutuskan untuk menyerah. Kami tidak. Hysteria hanya menunda dan berusaha merealisasikan program-program yang sesuai dengan kebutuhan.
Demikian pertanggungjawaban ini kami tuturkan.

(Hysteria)

Senin, 14 Maret 2011

LOKAKARYA METODOLOGI RISET SEJARAH LISAN DAN PEMBUATAN ZINE


LOKAKARYA METODOLOGI RISET SEJARAH LISAN DAN PEMBUATAN ZINE
DI GROBAK A(R)T KOS JL. STONEN NO 29 SAMPANGAN SEMARANG
JUMAT, 18 MARET 2011 PKL 10.00 WIB -SELESAI
MATERI: METODOLOGI RISET SEJARAH LISAN
PEMATERI: ADDY 'FORGOTTEN' GEMBEL
SABTU, 19 MARET 2011 PKL 13.00 WIB- SELESAI
MATERI:PEMBUATAN ZINE
PEMATERI: IKA 'PEPI' VANTIANI

REGISTRASI RP. 10.000,- DAN TIDAK MENDAPAT FASILITAS APA-APA KECUALI MINUM DAN MATERI.
PESERTA DIBATASI HANYA 20 ORANG TERBUKA UNTUK UMUM (DIUTAMAKAN YANG MEMPUNYAI KOMUNITAS ATAU MEMPUNYAI KETERTARIKAN TERHADAP HAL TERSEBUT)


program ini disusun demi merespons analisis kekinian yang terjadi dalam lingkup perkotaan, terutama di Semarang. kesadaran mencatat yang rendah, mengelola isu secara massif dan berjejaring dengan sungguh-sungguh telah membuat banyak potensi anak-anak muda kurang maksimal. bagaimanapun kita tidak bisa berharap banyak pada media yang mempunyai agenda setting sendiri. kecuali kita memang mempunyai daya tawar besar sehingga ikut serta dalam pengelolan isu dan informasi. lokakarya ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran mencatat dan mendokumentasikan sejarah kita sendiri. siapa lagi yang mau mencatat kita jika bukan kita sendiri. siapa lagi yagn peduli pada 'sejarah-sejarah kecil' kita kalau bukan pecintanya sendiri. program ini juga bagian dari kampanye hysteria untuk mengajak seyogyanya sebuah komunitas atau organsasi belajar untuk mandiri. tidak hanya dalam pendanaan tetapi juga pengelolaan isu. hanya masyarakat yang sadar akan hak-haknyalah yang bisa mengimbangi massifnya kekuasaan korporasi atau negara yang kadang-kadang tidak memihak. kita banyak mengutuk, saatnya bergerak sesuai kemampuan kita masingmasing. setuju?



HYSTERIA MERUPAKAN ORGANISASI SENI YANG BERGERAK DI BIDANG PEMBERDAYAAN ANAK MUDA BERBASIS KOMUNITAS
KANTOR: JL. STONEN NO 29 SAMPANGAN SEMARANG
WWW.GROBAKHYSTERIA.ORG/ WWW.ADINHYSTERIA.BLOGSPOT.COM
0857270882350/ 085641778895

Sabtu, 05 Maret 2011

Hysteria pasca Komunitas


hysteria beraktivitas sejak tahun 2004-sekarang..memasuki tahun ke tujuh kami telah memutuskan sesuatu..

www.grobakhysteria.org
www.adinhysteria.blogsopt.com

Rabu, 02 Maret 2011

Tugu Keprihatinan



Oleh: adin

Sebuah tiang tegak memancang. Tiang itu berbentuk lingga terletak di bukit kecil. Kehadirannya yang sedirian sebagai sesuatu yang datang dari masa lalu semakin terkesan sunyi dan terabai. Ya. Situs watu tugu yang berada di daerah Jrakah, Semarang itu sekarng dalam kondisi yang memprihatinkan. Di sekujur situs terdapat banyak coretan-coretan, entah tanda tangan, pernyataan cinta, penanda kepernahhadiran, dan semacamnya semakin membuat kita miris. Konon situs yang pernah dikunjungi Thomas Stamford Raffles dan diceritakan secara dramatis dalam bukunya The History of Java ini dipercayai sebagai tapal batas kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Meskipun dalam penyelidikan lebih lanjut diketahui bahwa pendapat Raffles ini kurang meyainkan karena perbedaan angka tahun pendirian antara kerajaan Majapahi dan Pajajaran. Pada perkembangannya situs watu tugu diyakini sebagai situs yang sezaman dengan keberadaan Candi Prambanan. Itu berarti bahwa situs ini menjadi salah satu situs tertua di Semarang dan mendapat perhatian yang lebih sekurag-kurangnya dari Gubernur Jendral Inggris tahun 1800 an. Sebuah situs yang tentu saja merekam jejak kepedulian para pejabat yang notabene bukan pribumi namun mempunyai kepekaan yang lebih (keterangan ini diperoleh dari buku petunjuk yang dipegang oleh juru kunci situs).

Dalam perkembangannya kemudian situs watu tugu ini benar-benar kurang mendapat perhatian pemerintah kita sendiri. Tidak tahu entah ide siapa tahun 1980 an dbangunlah sebuah canfi sebagai ‘pelengkap’ situs yang munkgin dimaksudkan untuk mempercantik sehingga orang mau berkunjung. Namun apa lacur pembangunan candi ini belakangan malah kontra produktif karena barangkali tidak ada tindak lanjut yang lebih serius untuk perawatan cagar budaya. Keberadaan candi ini membuat situs ini dikenal sebagai candi palsu karena bangunannya yang relatif baru. Sejujurnya saya ingin tahu sejauh mana peran para seniman, budayawan dan arkeolog pada tahun- tahun itu sehingga candi berhasil dibangun. Padahal ada aturan yang melarang untuk mendirikan bangunan baru di sekitar situs karena bisa merusak atau mengurangi kadar keotentikan situs. Namun apa daya yang terjadi telanjur terjadi dan kita belum tahu harus bertanya pada siapa. Karena literasi tentang hal itu minim sekali. Dalam beberapa kesempatan ketika saya mencari informasi mengenai candi ini kebanyakan berkisar seputar mitos bahwa situs watu tugu adalah tapal batas Majapahit dan Pajajaran. beberapa informasi malah menjuluki candi ini sebagai candi palsu.

Barangkali karena dianggap palsu inilah situs watu tugu kurang mendapat perhatian baik para seniman, budayawan, dan arkeolog pada tahun-tahun berkutnya. Sehingga wajar jika terjadi vandalisme baik di sekujur tubuh watu maupun di candi penghias situs. Mengenaskan memang.

Jas Merah, kata Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sepertinya adagium itu tidak berlaku bagi watu tugu. Situs watu tugu adalah saksi bisu masa lalu yang hari ini diperlakukan semata-mata seonggok batu. Tanpa kita pernah tahu peristiwa apa yang bisa kita belajar darinya. Bangsa yang tidak punya ingatan adalah bangsa yang mudah sekali dibentuk dan diarahkan, bangsa yang selalu lupa akan dikutuk melakukan kesalahan yang sama di masa lalu. Dan situs tugu dalam hal ini barangkali menjadi representasi bagi kelalaian belajar dari masa lalu untuk membayangkan masa depan. Sebagaimana kealpaan kita untuk mecatat jejak sendiri sehingga wajar jika aktivitas teman-teman jarang dipetakan. Karena tidak ada pemetaan akhirnya kita selalu tersesat pada jalan yang sama dan sering terperosok di lubang yang sama. Berulang dan berulang kali.

Masa lalu dipahami sebagai yang usang dan dibiarkan terasing tanpa pernah ada usaha untuk meyingkap kearifan loka di dalamnya apalagi belajar pola. Begitulah yang saya asumsikan ketika mencari relasi psikologis antara situs tugu dengan denyut kehidupan berkesenian di kota ini.

Maka ketika muncul gagasan dari teman-teman (terutama dari Surakarta) sebenarnya saya malu bercampur antusias. Malu karena pada kenyataannya gagasan ini dipantik dari orang-orang luar kota yang tidak bersentuhan langsung dengan dinamika kesenian Semarang. Malu karena ternyata berdasar ingatan juru kunci hanya Edhie Prayitno dan Bowo Kajangan saja sebagai sosok seniman yang pernah membantu warga melakukan advokasi menolak pabrik batu bara dengan menggunakan watu tugu sebagai senjata kulturalnya. Sungguh hal ini membuat saya miris karena watu tugu barangkali tidak pernah menjadi penting bagi para budayawan di kota ini. di titik inilah saya merasa antusias untuk ikut serta berpartisipasi dalam gerakan keprihatinan watu tugu besok 12 Maret 2011.

Saya bermimpi situs ini bisa menjadi pengikat, terutama seniman-seniman muda, yang membutuhkan penanda memori kolektif mereka sehingga aksi semata-mata digerakkan atas dasar kepedulian. Bukan karena klaim-klaim sepihak yang rawan dimanipulasi. Dalam aksi ini tentu saja akan bersinggungan juga dengan warga sekitar situs yang menurut saya sangat menarik sebagai eksperimentasi sosial kawan-kawan setelah disesaki teori-teori relasi seni dan realitas. Tugu yang sendirian, terabai, disakiti (vandalisme, pabrik penggilingan batu dll), tidak punya ‘ayah’ (baca pemerhati dan perawat yang serius), kadang dipolitisir (sebagai alat melawan kuasa pabrik baru bara) barangkali sangat dekat dengan kehidupan sub kultur-sub kultur yang ada di Semarang. Saya berharap banyak tugu kelak akan menjadi pintu masuk terciptanya dialog antar komunitas yang punya keprihatinan yang sama. Bahwa ia sendirian, kita juga, namun karena senasib seyogyanya kesendirian-kesendirian kecil ini kelak dapat bertemu sehingga menciptakan lingkaran kesendirian yang saling merawat, kuat, dan menguatkan. Dan pada hari itu kita tidak akan bercakap lagi perihal kesendirian dan perasaan yatim karena sesungguhnya kita telah bersama dan saling peduli. Mari mencipta tradisi ini.