Rabu, 02 Maret 2011

Tugu Keprihatinan



Oleh: adin

Sebuah tiang tegak memancang. Tiang itu berbentuk lingga terletak di bukit kecil. Kehadirannya yang sedirian sebagai sesuatu yang datang dari masa lalu semakin terkesan sunyi dan terabai. Ya. Situs watu tugu yang berada di daerah Jrakah, Semarang itu sekarng dalam kondisi yang memprihatinkan. Di sekujur situs terdapat banyak coretan-coretan, entah tanda tangan, pernyataan cinta, penanda kepernahhadiran, dan semacamnya semakin membuat kita miris. Konon situs yang pernah dikunjungi Thomas Stamford Raffles dan diceritakan secara dramatis dalam bukunya The History of Java ini dipercayai sebagai tapal batas kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Meskipun dalam penyelidikan lebih lanjut diketahui bahwa pendapat Raffles ini kurang meyainkan karena perbedaan angka tahun pendirian antara kerajaan Majapahi dan Pajajaran. Pada perkembangannya situs watu tugu diyakini sebagai situs yang sezaman dengan keberadaan Candi Prambanan. Itu berarti bahwa situs ini menjadi salah satu situs tertua di Semarang dan mendapat perhatian yang lebih sekurag-kurangnya dari Gubernur Jendral Inggris tahun 1800 an. Sebuah situs yang tentu saja merekam jejak kepedulian para pejabat yang notabene bukan pribumi namun mempunyai kepekaan yang lebih (keterangan ini diperoleh dari buku petunjuk yang dipegang oleh juru kunci situs).

Dalam perkembangannya kemudian situs watu tugu ini benar-benar kurang mendapat perhatian pemerintah kita sendiri. Tidak tahu entah ide siapa tahun 1980 an dbangunlah sebuah canfi sebagai ‘pelengkap’ situs yang munkgin dimaksudkan untuk mempercantik sehingga orang mau berkunjung. Namun apa lacur pembangunan candi ini belakangan malah kontra produktif karena barangkali tidak ada tindak lanjut yang lebih serius untuk perawatan cagar budaya. Keberadaan candi ini membuat situs ini dikenal sebagai candi palsu karena bangunannya yang relatif baru. Sejujurnya saya ingin tahu sejauh mana peran para seniman, budayawan dan arkeolog pada tahun- tahun itu sehingga candi berhasil dibangun. Padahal ada aturan yang melarang untuk mendirikan bangunan baru di sekitar situs karena bisa merusak atau mengurangi kadar keotentikan situs. Namun apa daya yang terjadi telanjur terjadi dan kita belum tahu harus bertanya pada siapa. Karena literasi tentang hal itu minim sekali. Dalam beberapa kesempatan ketika saya mencari informasi mengenai candi ini kebanyakan berkisar seputar mitos bahwa situs watu tugu adalah tapal batas Majapahit dan Pajajaran. beberapa informasi malah menjuluki candi ini sebagai candi palsu.

Barangkali karena dianggap palsu inilah situs watu tugu kurang mendapat perhatian baik para seniman, budayawan, dan arkeolog pada tahun-tahun berkutnya. Sehingga wajar jika terjadi vandalisme baik di sekujur tubuh watu maupun di candi penghias situs. Mengenaskan memang.

Jas Merah, kata Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sepertinya adagium itu tidak berlaku bagi watu tugu. Situs watu tugu adalah saksi bisu masa lalu yang hari ini diperlakukan semata-mata seonggok batu. Tanpa kita pernah tahu peristiwa apa yang bisa kita belajar darinya. Bangsa yang tidak punya ingatan adalah bangsa yang mudah sekali dibentuk dan diarahkan, bangsa yang selalu lupa akan dikutuk melakukan kesalahan yang sama di masa lalu. Dan situs tugu dalam hal ini barangkali menjadi representasi bagi kelalaian belajar dari masa lalu untuk membayangkan masa depan. Sebagaimana kealpaan kita untuk mecatat jejak sendiri sehingga wajar jika aktivitas teman-teman jarang dipetakan. Karena tidak ada pemetaan akhirnya kita selalu tersesat pada jalan yang sama dan sering terperosok di lubang yang sama. Berulang dan berulang kali.

Masa lalu dipahami sebagai yang usang dan dibiarkan terasing tanpa pernah ada usaha untuk meyingkap kearifan loka di dalamnya apalagi belajar pola. Begitulah yang saya asumsikan ketika mencari relasi psikologis antara situs tugu dengan denyut kehidupan berkesenian di kota ini.

Maka ketika muncul gagasan dari teman-teman (terutama dari Surakarta) sebenarnya saya malu bercampur antusias. Malu karena pada kenyataannya gagasan ini dipantik dari orang-orang luar kota yang tidak bersentuhan langsung dengan dinamika kesenian Semarang. Malu karena ternyata berdasar ingatan juru kunci hanya Edhie Prayitno dan Bowo Kajangan saja sebagai sosok seniman yang pernah membantu warga melakukan advokasi menolak pabrik batu bara dengan menggunakan watu tugu sebagai senjata kulturalnya. Sungguh hal ini membuat saya miris karena watu tugu barangkali tidak pernah menjadi penting bagi para budayawan di kota ini. di titik inilah saya merasa antusias untuk ikut serta berpartisipasi dalam gerakan keprihatinan watu tugu besok 12 Maret 2011.

Saya bermimpi situs ini bisa menjadi pengikat, terutama seniman-seniman muda, yang membutuhkan penanda memori kolektif mereka sehingga aksi semata-mata digerakkan atas dasar kepedulian. Bukan karena klaim-klaim sepihak yang rawan dimanipulasi. Dalam aksi ini tentu saja akan bersinggungan juga dengan warga sekitar situs yang menurut saya sangat menarik sebagai eksperimentasi sosial kawan-kawan setelah disesaki teori-teori relasi seni dan realitas. Tugu yang sendirian, terabai, disakiti (vandalisme, pabrik penggilingan batu dll), tidak punya ‘ayah’ (baca pemerhati dan perawat yang serius), kadang dipolitisir (sebagai alat melawan kuasa pabrik baru bara) barangkali sangat dekat dengan kehidupan sub kultur-sub kultur yang ada di Semarang. Saya berharap banyak tugu kelak akan menjadi pintu masuk terciptanya dialog antar komunitas yang punya keprihatinan yang sama. Bahwa ia sendirian, kita juga, namun karena senasib seyogyanya kesendirian-kesendirian kecil ini kelak dapat bertemu sehingga menciptakan lingkaran kesendirian yang saling merawat, kuat, dan menguatkan. Dan pada hari itu kita tidak akan bercakap lagi perihal kesendirian dan perasaan yatim karena sesungguhnya kita telah bersama dan saling peduli. Mari mencipta tradisi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar