Selasa, 28 Juni 2011

Network Gathering dalam Nu:Substance Festival 2011 "POLARITIES"

Nu:Substance Festival 2011 "POLARITIES"
1 Juli 2011 - 16 Juli 2011
Info lebih lanjut Hub : Common Room Network Foundation

Network Gathering akan diikuti: Hysteria (SMG) bersama Tugitu (Solo), Indonesian Contemporary Art Network, K.U.N.C.I, House Of Natural Fiber (JGJ), Serat TUjah, Bandung ORal History, Openlabs (BDG), Ruang Rupa (JKT)
pada 5-6 Juli Di Common Room dari 15.00 WIB- selesai
jalan Kyai Gede Utama no 08 Bandung

launching antologi puisi Sepuluh kelok di Mouseland


ANTOLOGI PUISI "Sepuluh Kelok di Mouseland" adalah karya sepuluh penyair: Arif Fitra Kurniawan, Arther Panther Olii, Reski Kuantan, Aras Sandi, Delasari Pera, Lina Kelana, Kang Arief, Husni Hamisi, Noegi Arur. Diterbitkan oleh penerbit Kendi Aksara.

pembedah: Wardjito Soeharso & Janoary M Wibowo

moderator: A.Ganjar Sudibyo (Ganz Pecandukata)

Selebrasi oleh:
Agung Hima - KY (Musikalisasi Puisi)
Goge Musical

Performance Hysteria di Kaplink 'NYELUK'

oleh: OPENG

upaya untuk menumbuhkan penyelarasan dalam sebuah “reboisasi Kesenian” akan membawa kita pada keinginan lebih dan lebih lagi untuk membagi jatidiri dalam pemahaman, dan penghayatan terhadap kesenian. Kita akan ditarik mundur dari segala akivitas yang (solah-olah tidak) membebani. Makna kata reboisasi dalam kamus besar bahasa Indonesia ialah penghijauan kembali. Berarti reboisasi kesenian ialah sebuah usaha untuk menghijaukan kembali kesenian, atau menghidupkan sel-sel seni baru yang akan menjadi kian besar dan banyak jumlahnya.

Kita sebagai individu yang berpotensi menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi pribadi, golongan, maupun masyarakat luas memiliki kemampuan untuk melakukan rebisasi dalam kesenian. Yang sampai sekarang menjadi pertanyaan kami ialah tentang ada tidaknya kemauan untuk melakukan reboisasi tersebut bersama-sma? Bisa kita bayangkan, apabila satu orang saja mampu melakukan perubahan dalam berbagai lini, bagaimana jika kita bersama-sama melakukan hal itu?

Nyeluk yang kami gunakan sebagai judul pentas kami merupakan bentuk usaha kami untuk melakukan reboisasi kesenian. Di dalamnya kami memaknai nyeluk dalah tiga hal/simbol. Yang pertama ialah memanggil hujan, kedua memanggil jelangkung, dan yang ketiga kami ingin memanggil harapan-harapan baru.

Nyeluk udan/memanggil hujan, ialah representasi dari keinginan kami untuk menjaga agar dalam reboisasi kesenian tunas-tunas kesenian ini bisa terus segar, dan memiliki mineral-mineral wacana yang tak akan tatas saat diserap. Dengan berlangsungnya hal tersebut maka reboisasi kesenian akan memiliki nilai lebih, tidak hanya sekedar menanam tunas kesenian lalu membiarkannya berjuang sendiri untuk meti kembali.

Nyeluk jelangkung adalah usaha untuk menempatkan sebuah pergerakan kesenian/reboisasi kesenian dalam media yang bisa kita jaga bersama-sama dengan hati-hati. Sebagai contoh, pada saat paranormal memanggil jelangkung sebagai media untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur, paranormal itu akan sangat menjaga keberadaan jelangkung tersebut. Kami menarik satu benang merah yakni jelangkung ialah simbiol dari wadah/media kesenian yang (bisa) sangat disakralkan oleh pelaku-pelaku kesenian. Di dalam Nyeluk Jelangkung ini kita akan bersama-sama memanggil kembali spirit kesenian dan pada saat kita melakukan hal tersebut, kita akan menjaganya dengan sangat hati-hati.

Kami berkeinginan untuk mampu menjadi pemicu munculnya harapan-harapan terhadap kesenian yang hakiki. Tidak terkontaminasi oleh kepentingan apapun. Kita bisa berkesenian sesuai dengan apapun yang kita bisa. Di situlah kami mencoba untuk Nyeluk Karsa/memanggil harapan-harapan baru. Banyak hal yang bisa kita mulai lakukan sendiri, namun akan lebih banyak hal lgi yang bisa kita selesaikan bersama-sama.

Sabtu, 18 Juni 2011

Nyawiji Ing Tari, Menunggu Lahirnya Koreografer Tari Muda di Semarang*


Adin**

Tiap pertunjukan sudah barang tentu merupakan representasi dari gagasan sang seniman mengenai persoalan-persoalan yang menjadi perhatiannya pada saat itu. Jadi bisa dikatakan pertunjukan adalah perpanjangan gagasan yang meruang melalui persitiwa: peristiwa pertunjukan. Gagasan yang baik belum tentu selalu bisa dieksekusi dengan baik, tetapi pertunjukan yang baik selalu dan selalu mencerminkan gagasan yang baik pula, setidaknya gagasan artistik. Dengan demikian hasil akhir dari pertunjukan tentu saja peristiwa pertunjukan yang baik sehingga dari peristiwa itu meninggalkan kesan, keterpukauan, bahkan memantik tafsir yang beragam. Itulah oleh-oleh dari peristiwa pertunjukan yang barangkali bisa ditawarkan pada penonton. Para penonton merasa puas, sekali waktu bisa merasakan katarsis seperti Aristoteles, dan mengolahnya lagi menjadi ‘teater kedua’ (merujuk pada Afizal Malna) yang mengayakannya dalam memberi makna pada hidup.

Lantas bagaimanakah pertunjukan yang diniatkan untuk merespons suatu peristiwa aktual namun ternyata malah gagal menunjukkan bangunan gagasan yang runtut? Sudah barang tentu pertunjukan itu menjadi cacat dengan sendirinya. Bangunan indah itu runtuh oleh gagasan yang dibangun secara sepotong-sepotong dan tidak membentuk wacana yang padat. Begitulah yang kurasakan ketika melihat pementasan tari Nyawiji ing Tari yang digelar di ruang B6 FBS Unnes, 16 Juni lalu. Bisa dikatakan para koreografer ini menunjukkan pementasan yang layak tonton namun mempunyai cacat bawaan berupa gagasan awal yang tidak padu. Akan sangat lain jika misalnya panitia tidak menyediakan katalog pendek dan berusaha menjelas-jelaskan peristiwa apa yang berusaha direspons para penari. Nyatanya katalog itu menjadi pintu masuk untuk memaknai sekaligus membatasi dan celakanya pula katalog itu jugalah yang mereduksi esensi pertunjukan. Sebagai penonton yang seolah-olah menjadi kertas putih dan tanpa beban referensial saya berusaha untuk memasuki pertunjukan itu dengan lugu. Namun ‘berkat’ katalog itulah saya memasuki pintu tertentu yang mau tidak mau menjadi rujukan bagi pemaknaan saya ketika menonton repertoar tari.

Secara tematik, berdasar pengakuan para penarinya sendiri tema besar dari Nyawiji ing Tari ini adalah konservasi. Tidak dijelaskan lebih detil konservasi apa yang dimaksud, yang pasti tema ini adalah bagian dari kampanye Unnes sebagai universitas konservasi. Alhasil repertoar tari tahunan mahasiswa Unnes yang biasanya tanpa tema spesifik menjadi terbatasi oleh tema besar ini. Hampir keseluruhan penampil akhirnya menyiasati pertunjukan mereka dan berusaha membingkai gagasan mereka dengan satu tema tunggal: konservasi. Apapun bentuk yang disajikan berusaha dikait-kaitkan dengan upaya konservasi, minimal konservasi budaya. Yang pasti dari awal seertinya memang tidak ada landasan kuratorial jelas yang menjadi acuan pada mahasiswa/ mahasisiwi ini. Hasilnya adalah beberapa pertunjukan nampak patuh pada tema, sedang yang lain dipaksa-paksakan memasuki tema besar itu.

Kesenjangan Bingkai Kuratorial dengan Implementasi Gagasan

Repertoar pertama berjudul ‘Manggala Rini’ berkisah mengenai para perempuan perkasa yang bangkit melawan penjajahan Belanda. Perempuan yang identik dengan 3M (Masak, Macak, dan Manak: memasak, bersolek, dan fungsi reproduksi) tiba-tiba menjadi manusia –manusia garang yang menentang kekuatan imperialisme. Saya tidak bisa berkata banyak mengenai pertunjukan ini karena secara kualitas cukup memadai dan multitafsir. Perlawanan terhadap Belanda, sebuah tema yang sekarang ini tidak lagi up to date, tapi para penari ini berani mengusungnya. Sebuah tawaran tema yang menarik. Para penari mampu memperlakukan tubuhnya sebagai instalasi dalam beberapa kali adegan. Sungguh saya tidak heran, saya pernah melihat bentuk-bentuk semacam ini misalnya dalam tari- tari yang diusung kelompok Kesenian Jawa Undip, atau garapan-garapan Mas Paminto. Didukung oleh para pemusik profesional menjadikan pertunjukan ini semakin rancak. Mungkin kekurangan yang mencolok adalah penggarap pertunjukan ini yang notebene bukan anak kuliahan. Saya tidak menyebut bahwa Unnes gagal mengkader koreografer muda, tapi lemahnya aturan yang digunakan untuk mendukung penciptaan kader muda ini bagaimanapun adalah kelemahan pentas tahunan ini. Akan lebih menarik misalnya jika para koreografernya berasal dari kalangan mahasiswa sendiri. Dan pada repertoar pertama ini secara kualitas pertunjukan saya merasa terhibur meski kebingunan mencari relasi antara tema konservasi dan bangkitnya perlawanan terhadap Belanda yang diusung perempuan serta anak kecil.

Repertoar pertama hampir senada dengan yang terakhir. Bahkan pada karya ‘Fajar Di Bumi Hastinapura’ bisa dikatakan sebagai satu-satunya pertunjukan yang paling ribet, dalam urusan setting, pencahayaan dan kompleksitas musik pengiring. Pertunjukannya dikelola oleh orang-orang Ngesti Pandowo yang profesional. Sebuah repertoar cantik, langgam Ngesti, namun sekali lagi bukan garapan mahasiswa Unnes sendiri. Atau barangkali Unnes tidak berminat mencetak koreografernya sendiri? Atau ini hanya masalah waktu saja?
‘Fajar di bumi Hastinapura’ mau tidak mau mengantar saya pada peristiwa perang saudara di padang kuru. Dari sinopsis yang saya dapat saya tidak mendapat gambaran yang jelas mengenai petilan kisah siapa yang berusaha disajikan. Ada adegan yang identik dengan perang kembang dengan kemenangan di pihak denawa namun akhirnya setelah kelahiran bayi yang tidak jelas juga denawa yang berlaku pimpinan dikeroyok oleh bangsanya sendiri. Sungguh saya benar-benar bingung, bukankah dari dulu para denawa ini meskipun jahat termasuk golongan yang punya loyalitas tinggi terhadap korpsnya? Kenapa mereka amuk massal dan mengkudeta pemimpinnya sendiri? Lalu kaitannya dengan konservasi?
Tentu saya tidak menyalahkan para penari yang bersungguh-sungguh berproses, sekian jam latihan hampir tiap hari dan mengeluarkan kocek pribadi demi terlaksananya pertunjukan ini. Mereka luar biasa gigih. Namun sepertinya ketiadaan bingkai kuratorial yang jelas dan sistem yang mendukung lahirnya koreografer a la Unnes lah yang menyebabkan kekurangan-kekurangan ini merembes ke mana-mana.


Peran Pembimbing

Saya menduga para pembimbing ini kurang serius dalam memantau kerunutan gagasan para penari. Hal itu tampak jelas sekali dalam karya kedua ‘The Dance of Intruduce’. Adegan awal diisi oleh tari-tarian yang menunjukkan kekayaan seni yang dimiliki Indonesia. Scene berikutnya berupa petilan berita yang berisi pengklaiman Malaysia terhadap seni-seni Indonesia, lalu masuknya para dancer yang barangkali sebagai simbolisasi masuknya budaya asing, dan yang terakhir pertarungan keduanya yang dimenangkan tradisi. Saya bisa menangkap apa yang dimaksudkan mereka. Tapi sekali lagi bukankah gagasan benturan antara tradisi dan modernitas adalah tema yang usang? Lebih lagi solusi atas masalah mereka ditunjukkan dengan pertarungan antara keduanya. Ini merupakah stereotipe masyarakat kita dalam memandang tradisi dalam ranah hari ini. Masa lalu hadir sebagai artefak yang harus diuri-uri, dilestarikan, dijaga kesakralannya, sedangkan modernitas adalah ancaman serius bagi lokalitas. Keduanya saling meniadakan, bukan menegosiasi! Pola pikir semacam inilah yang membuat tradisi semakin asing dan sulit dipahami oleh generasi hari ini. Jika tari adalah perpanjangan gagasan dan intelektualitas, bisa dikatakan iman yang mereka amini sangat jadul dan berbahaya. Seni seperti yang pernah dikatakan Adorno (salah satu penganut mazhab frankfurt) tentu saja tidak bisa melakukan perubahan. Tetapi seni bisa digunakan sebagai jembatan kesadaran dan dari situ akan ada yang namanya revolusi berpikir untuk kemudian menuju revolusi sesungguhnya. Dari akar gagasannya saja karya ini sudah tidak relevan lagi, sikap eksklusivitas tradisi memandang modernitas terbukti semakin tidak populer. Anak-anak muda jaman sekarang cenderung menyukai yang mudah, ringan, eye catching, dan semacam itu. Tradisi yang tidak merevisi dirinya sendiri lambat laun akan ditinggalkan dan tidak mampu menjawab perubahan. Sekali lagi jika tari adalah perpanjangan gagasan, maka gagasan ini mungkin akan kontradiktif dengan tema awal pagelaran ini: konservasi.


Mengapa hal ini terjadi? Mau tidak mau sekali saya pertanyakan para pembimbingnya (mengingat ini adalah pentas presentasi mata kuliah). Sejauh apa mereka mentransformasikan gagasan bahwa tari tidak pernah sekedar tari. Tari adalah ideologi!

“Ketika mesin-mesin kendaraan bermotor mulai tercipta, manusia semakin mudah dalam menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari dan membuat arak semakin tidak berarti, dampak dari terciptanya mesin-mesin dan kendaraan bermotor tersebut dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai profesi. Dampak yang ditimbulkan diantaranya adalah.....akhirnya kini mereka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari...”

Paragraf di atas adalah kalimat yang tertera di katalog sebagai pengantar pertunjukan ketiga, ‘Pit’. Konon ini adalah salah satu pertunjukan yang koreografernya adalah mahasiswa sendiri. Sebuah pilihan beresiko dan butuh nyali tentunya. Karya ‘Pit’ secara garis besar hendak bercerita seperti yang dituturkan dalam sinopsis. Namun gara-gara sinopsis itulah terjadi generalisasi gagasan mengenai ‘kini mereka menggunakan sepeda’ sebagai solusi atas pemanasan global. ‘mereka’ dalam pemahaman saya atas teks di atas merujuk pada masyarakat. Lalu benarkah masyarakat ‘akhirnya kini mereka menggunakan sepeda’? sebagaimana kita tahu benar bahwasanya penggunaan sepeda bisa mengurangi pencemaran, toh yang mereka tawarkan sebenarnya adalah alternatif. Bukan gambaran perubahan perilaku masyarakat secara keseluruhan. Sungguh jika saya tidak membaca sinopsis saya bisa menerima ini sebagai tawaran gagasan, semacam lifestyle yang lagi in. Tapi cacat bawaan sinopsis ini sangat-sangat mengganggu saya. Ia meruntuhkan bangunan gagasan yang hendak dipresentasikan kelompok ketiga ini.
Ada hal – hal menarik yang saya jadikan catatan dalam pertunjukan ini. Pertama ini merupakan karya sendiri, hal ini menjadi nilai lebih. Sebetapapun lemahnya konsep mereka tapi mereka mempunyai kepercayaan diri yang luar biasa untuk mengusung karya sendiri. Sebuah modal awal untuk menjadi seniman sesungguhnya. Dan nyatanya hasilnya tidaklah mengecewakan. Yang kedua penggunaan langgam banyuwangian dalam tembang-tembang mereka menjadikan pilihan sebagai anomali atas kelompok lain. Ketiga kelompok lebih padat mengusung Jawa kidulan, sedangkan kelompok ini membawa nilai-nilai banyuwangian. Tidak jelas memang apa relasi antara banyuwangi dan sepeda. Saya menganggap ini adalah sebagai strategi identitas. Menggunakan pembeda untuk mudah ditandai. Sebuah strategi yang menarik. Sayangnya totalitas pengerjaan karya mendapat kekurangan di bagian kostum. Teatrikalisasi adegan cukup menarik, namun kostum yang kurang maksimal membuat pertunjukan ini sedikit terganggu.
Dari keempat pertunjukan ini tentu saja masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun Unnes adalah satu-satunya universitas di Semarang yang mempunyai jurusan seni. Karena satu-satunya itulah mau tidak mau banyak yang berharap Unnes menelurkan seniman-seniman yang tidak hanya mengerjakan proyek (baca PY: mencari uang semata) tetapi juga mempunyai gagasan-gagasan bernas di bidang kreativitas tari. Kita juga tahu tidak adanya kelompok tari yang diusung di kota lunpia ini. Ketiadaan ini tentu saja bisa jadi peluang dan tentu juga ancaman. Tidak mudah memang membuat seseorang berinisiatif menjadi seniman. Itu semua adalah pilihan hidup dan kehendak hati. Tapi kondisi itu bisa diciptakan. Dan Unnes mempunyai peluang untuk mengkader mahasiswanya menjadi seniman yang profesional pula.

Dengan melihat ketidakrunutan gagasan antara bingkai kuratorial yang jelas dan pertunjukan yang dieksekusi, saya tidak berharap bahwa ini adalah cerminan kerangka berpikir para pengambil kebijakan di Unnes dalam bidang seni tari. Bagaimanapun saya merasa beruntung menyaksikan pertunjukan ini. Bisa sejenak melupakan rutinitas dan bertegur sapa dengan pelaku disiplin lain. Saya pribadi berharap pertunjukan ini tidak menjadi akhir dari kreatifitas mereka. Seringkali saya merasa cemburu dengan mereka yang berlimpah ruah fasilitas dan dibekali kemampuan teknis yang memadai namun seluruh karunia dan potensi ini disia-siakan karena ketidakberanian ke luar dari zona aman. Dan saya melihat: mereka sangat potensial, bersemangat, dan mau belajar. Tidak ada kata lain untuk mereka selain selamat dan saya menunggu karya kalian berikutnya.

* tulisan ini dibuat sebagai ulasan singkat dalam pertunjukan tari yang digelar di gedung B6 Unnes pada tanggal 16 Juni 2011.
** penulis menjabat sebagai Direktur Hysteria, yakni organisasi seni yang peduli terhadap perkembangan komunitas

Repertoar Tari dalam Represi*



oleh: Openk**

tak peduli bagaimanapun susahnya, sebuah pertunjukan (entertaintment) harus berlangsung apik.


Kurasa itu adalah semboyan yang cocok untuk acara pergelaran tari 2011 di Unnes tanggal 16 Juni 2011. Aku bisa sedikit menggambarkan euphoria yang ada waktu pergelaran tersebut hendak, sedang, dan setelah dimulai. Pada saat aku menuju gedung B6 yang merupakan tempat di mana pergelaran tari yang diorganisir oleh mahasiswa-mahasiswi Unnes jurusan seni tari semester IV dan semester VI itu dilaksanakan. Di depan gedung aku melihat banyak sekali orang yang berdiri dan mengantri tiket masuk pergelaran. Aku tak kunjung masuk, karena teralu ramai aku tak mendapat kesempatan untuk meninjau harga tiket, apalagi masuk ke dalam gedung. Kemudian aku melangkah menuju ke sayap kanan gedung dan di sana aku melihat banyak sekali orang mengenakan kostum pertunjukkan kupikir mereka adalah penari/penyaji dalam acara ini. Belakangan aku tahu kalau ternyata acara pergerlaran tari 2011 itu merupakan bentuk tugas akhir bagi mahasiswa/mahasiswi semester VIII dimana mereka harus menyajikan sebuah karya mereka kepada apresiator. Aku melihat beragam ekspresi yang terpasang di raut muka para penyaji, ada yang cemas, bangga, takut, grogi, bahkan ada yang terkesan cuek bagiku. Karena cukup membosankan, maka kuputuskan untuk menunggu acara mulai dengan pergi ke warung kopi sembari ngobrol dengan teman-temanku. Namun kesan yang kudapat pada saat acara hendak mulai ialah rasa antusiasme penonton yang sangat tinggi terlepas dari hubungan dekat penonton dengan para penari.

Aku terlena dengan perbincangan di warung kopi sampai aku hampir lupa kalau acara ternyata sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Untungnya temanku yang bertugas sebagai pendukung prasarana pertunjukan menyempatkan waktu untuk memberi kabar via pesan singkat. Begitu kubaca langsung aku dan teman-teman menyudahi perbincangan kami di warung kopi dan segera menuju ke gedung pergelaran. Merasa kalau sudah tak ada tiket terjual, kami memutuskan untuk menontonnya saja dari layar yang disediakan oleh panitia. Aku melihat penyaji pertama sudah mulai tampil, menunjukkan kemampuan mereka menggerakan anggota tubuh mereka. Mereka menawarkan sesuatu yang bagiku sangat matang dalam hal konsep koreografi, dan gagasan yang kuat memang terpancar dari setiap gerakan yang dilakukan penari. Mereka mengemas semua itu dengan rapi, tertata, dan jelas struktur ceritanya. Cerita berkisar tentang kaum wanita yang notabene feminim ternyata juga bisa menjadi maskulin dan membela, merebut, bahkan mempertahankan hak-hak mereka. Dalam konteks tarian mereka ialah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ada satu hal yang buatku paling menarik dari pertunjukkan tari mereka, yaitu pada saat gadis kecil berlari mendatangi ibunya dan bertanya di mana ayahnya kemudian si ibu menjawab kalau ayahnya telah dibunuh orang asing/penjajah, kemudian anak kecil itu berlari sambil berkata kalau dia mau membunuh penjajah tersebut. Adegan itu bisa sangat reaktif bagiku, jika dilihat dari perspektif berbeda, aku melihat bahwa anak kecil bisa menjadi penggagas, atau pelopor terjadinya sebuah perubahan besar. Gambaran tersebut jelas bahwa akhirnya para wanita ini bersatu melawan penjajah dan memenangkan peperangan, itupun juga berkat andil anak kecil yang menembak penjajah pada saat perang. Kecerdasan koreografer sangat terlihat jelas dari penggunaan properti sebagai simbol, jadi pada saat properti tersebut dipisahkan dari tarian, dia bisa berdiri sendiri secara utuh sebagai hasil pemikiran yang matang, bukan cuma sebagai kebutuhan pertunjukan saja. Setelah perunjukkan mereka usai nama “Manggala Rini” disebutkan, aku kurang begitu tahu apakah itu nama kelompok mereka atau judul pertunjukkan mereka.

"The Dance Of Introduce", ialah judul pertunjukkan kelompok kedua. Pertunjukan kedua ini tidak memiliki gagasan yang kuat, sebab bagiku apa yang kubaca dari sinopsisnya terlalu dangkal dan cara penyampaiannya tidak terlalu mengena pemahamanku, sebab sudah sejak lama isu yang mereka angkat ini muncul di permukaan. Isu yang mereka angkat ialah tentang pencaplokan kebudayaan oleh negara tetangga. Dan jika melihat dari segi waktu isu tersebut sudah sangat lama sekali berada di permukaan Jadi apa yang mereka tawarkan itu terkesan gagap, dan meraih ide seadanya. Aku tak tahu seberapa lama persiapan mereka untuk menampilkan tarian tersebut, tapi yang aku lihat ialah koreografi yang standar, mereka mencampurkan beberapa tarian khas daerah dari Bali, Jawa, Sunda, hingga Aceh. Lebih apes lagi pada saat mereka sedang bermain, listrik yang ada dalam gedung padam, alhasil kejadian itu mengganggu konsentrasi mereka. Aku penasaran dengan apa yang mereka pikirkan pada saat listrik tersebut padam, namun yang buat aku cukup terkesima ialah mereka tetap menari, dan itu mendapatkan tepuk tangan yang riuh pada saat itu. Aku berkata dalam hati, kalau apa yang mereka lakukan ialah sesuatu yang keren. Mereka memiliki semangat profesional meskipun ada keterbatasan di dalam mereka. Ada satu bagian koreografi yang seolah-olah mempertemukan dan melawankan dua kebudayaan antara tarian tradisional yang bersifat etnis, dengan tarian modern yang merupakan representasi dari represifitas negeri asing. Melihat adegan tersebut aku jadi terpikir oleh satu negara maju, yaitu Jepang. Jepang bisa menjadi sangat maju pasca perang dunia II karena jepang sangat mau menerima imperialisme modern dari negara asing tetapi tetap menjunjung tinggi dan mempertahankan kebudayaan mereka, karena pada saat itu cuma kebudayaan warisan nenek moyang yang mereka miliki dan bisa dibanggakan oleh mereka. Sampai sekarang pun Jepang masih mempertahankan pola tersebut sehingga para pewaris kebudayaan yang masih muda tidak malu-malu untuk mempelajari bahkan mempromosikan kebudayaannya. Hal yang berlaku dan seperti harga mati di negara-negara maju ialah “kesenian/kebudayaan berada di garis paling depan, disusul oleh tekhnologi dan pengetahuan” . Sayangnya hal tersebut belum bisa berlaku di Indonesia, kesenian dan kebudayaan seakan dikebiri oleh kekuasaan pemerintah. Dapat kita ambil contoh pada saat band Koes Plus menyanyikan lagu dengan bahasa Inggris, presiden Soekarno langsung mengurung mereka ke dalam penjara. Lalu pada masa Orde Baru, banyak seniman yang hilang tanpa ditemukan lagi, belakangan diketahuia kalau mereka diculik oleh oknum-oknum pro pemerintah. Sekarang kesenian dan kebudayaan cuma menjadi sarana berpolitik bagi mereka yang memiliki kepentingan di beberapa tempat. Alhasil, banyak muda-mudi yang semakin tidak tahu pada akar kebudayaan mereka, karena kesenian, dan kebudayaan di negara kita sudah timpang. Mereka juga tidak tahu bagaimana mereka mempertahankan sesuatu yang tidak diketahui.
Pada adegan lain ada pemakaian properti yang ganjil bagiku. Pada saat ending, dua penari membanting kendi, aku tak tahu apa sebenarnya maksud mereka melakukan itu, apakah sebagai simbol tidak utuhnya lagi kebudayaan Indonesia, atau rusaknya moral bangsa sehingga menjangkit pada kebudayaan nasional? Terlepas dari semua itu kelompok penyaji kedua ini sangat total dan bersikap profesional yang patut kita tiru, dan mereka mau mengingatkan kita lagi untuk waspada terhadap pencaplokan kebudayaan lainnya.

Mencampur beberapa nuansa dalam satu koreografi pasti akan menghadirkan satu suguhan yang menarik dalam satu pertunjukkan, dan hal tersebut dilakukan oleh kelompok penyaji ketiga dengan judul "Pit". Mereka menghadirkan sesuatu yang berbeda dari ketiga kelompok lainnya. Pola gerakan dasar dalam tarian tradisional kemudian digabungkan dengan pola-pola tarian modern ditambah adanya sirkulasi penari bergantian menunjukkan kemampuan tariannya secara individu maupun kelompok. Sungguh satu hal yang sangat luar bisa yang mereka lakukan, pada saat mereka bisa memberi kesempatan penonton untuk mencerna apa yang mereka tawarkan kepada penonton dengan cara bergantian menari satu persatu di atas panggung kemudian menari bersama-sama diikuti oleh olah pencahayaan yang cukup membantu mempresentasian ide mereka meskipun aku melihat masih terkesan kaku dan kasar dalam segi pencahayaan. Penggunaan gerakan-gerakan atraktif memuat warna tersendiri bagi mereka. Sayangnya gagasan konsep yang mereka tawarkan masih kasar dan sekenanya, menyangkutkan pada tema pertunjukkan “Konservasi” . Kelompok ketiga ini memiliki wacana bahwa penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi sudah sangat meresahkan dan berpotensi untuk membuat efek rumah kaca dengan hasil pemanasan global. Tingkat polusi yang kian tinggi. Keengganan orang-orang untuk melakukan konservasi terhadap lingkungan. Namun bagiku pertunjukkan ketiga ini cuma sebatas pada pertunjukkan saja, sama halnya dengan para bangsawan Russia pada abad XVI yang senang pergi ke teater kota untuk menyaksikan betapa menyedihkannya kehidupan para petani waktu itu, namun setelah teater usai para bangsawan tersebut sama sekali tak memiliki empati atau perhatian terhadap para petani. Di sini ada kasus yang serius yakni pada saat kelompok ketiga menyuguhkan tarian dengan tema konservasi lingkungan yang memperhatikan perihal tingkat polusi yang tinggi dan pemanasan global yang kian menggila, mereka masih saja menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi mereka. Kekhawatiranku ialah jika hal detail itu sampai diperhitungkan oleh penilai, maka kelompok ketiga ini akan mendapat kritikan yang sangat tajam dari penilai sebab mereka cuma sebatas sebagai entertain yang memiliki gagasan standar.

Jujur aku sangat bingung dengan kelompok keempat ini, mereka menampilkan satu tarian yang sangat bagus, rapi, indah, namun sama sekali tidak ada korelasinya denga tema pertunjukkan. "Fajar di Bumi Hastinapura" yang menjadi judul pertunjukkan tersebut juga aku tak tahu itu kisah tentang apa, dan ada satu adegan di mana salah satu dari dewi-dewi melahirkan bayi, itu bayi siapa dan apa maksudnya aku kurang paham. Secara detail panggung dan koreografi, jelas itu dilakukan oleh orang yang profesional dan ahli di bidang tersebut. Begitu melihat setting panggung aku langsung berpikir kalau mahasiswi-mahasiswi belum akan memikirkan sampai ke detail-detailnya. Logikanya ialah, mereka mendapat waktu relatif singkat untuk menghafal koreografinya. Tapi jika itu memang benar garapan asli dari mahasiswi sendiri, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana bangganya mereka. Aku membaca sinopsisnyapun cukup kesulitan, karena yang aku baca malah terkesan seperti puisi, bukan narasi. Sampai sekarang aku masih belum terlalu tahu apa yang sebenarnya mereka mau sampaikan? Apakah tentang menumpas segala bentuk kebatilan dengan sikap satria, jujur,tulus ikhlas? Jika memang itu yang ingin mereka sampaikan, maka aku akan berkata kalau gagasan konsep mereka sangat dangkal. Cuma menonjolkan efek pencahayaaan, setting pangggung, koreografi yang matang saja. Dengan kata lain kelompok ke empat ini berhasil secara entertain namun dangkal dalam gagasan. Aku sama sekali tak mendapat kesan, ataupun pesan dari pertunjukkan mereka.

Setelah acara pergelaran itu selesai, aku melihat kelegaan yang begitu lepas dari masing-masing penampil. Mereka menyebar hampir di segala sisi gedung. Mendokumentasikan wajah bangga mereka masing-masing. Aku malah merasa terhibur oleh euphoria di luar gedung ini bagiku ini adalah hal yang biasa, namun selalu saja menyenangkan hati masing-masing orang.



Mana yang lebih penting, tentang proses atau hasil akhir?

Itu pertanyaan yang sering muncul dalam pemikiranku, karena jika kalian melihat hasil pergelaran yang seperti itu lalu bagaimana prosesnya? Apakah kalian tidak penasaran untuk melihat mereka berproses? Kebetulan aku juga hadir sejak tiga hari sebelum hari pergelaran. Ya, mereka berproses sejak lama namun aku berkesempatan menyaksikan proses mereka sejak tanggal 13 Juni kemarin dan aku ada di sana untuk menghantarkan Overheat Proyektor lalu iseng-iseng aku mengintip mereka melakukan proses. Dalam sesi latian para calon penampil itu sangat serius, lalu di sesi gladi bersih pertama masing-masing kelompok juga menampilkan segenap kemampuan mereka. Nah, yang jadi agak masalah ialah pada saat gladi selesai, para calon penampil dikumpulkan dan diberi evaluasi tentang hasil latian hari itu. Aku sangat kaget, yang aku lihat bukannya diskusi berbobot tentang gladi melainkan para calon penampil malah dihujani dengan segala kritikan yang dalam sudut pandangku itu sangat tidak membangun. Menurutku pembimbing dalam mengkritik tak perlu terbakar semangat membara sehingga tak terkesan marah yang meledak-ledak. Aku heran, mengapa pembimbing itu sepertinya sangat menyukai perannya sebagai kritikus evaluasi latian. Apakah dengan hal tersebut, pembimbing merasa mendapatkan power dan seakan-akan senioritasnya meluber kemana-mana sehingga bisa sampai dilihat oleh orang di luar forum diskusi tersebut. Di situ aku bisa menyimpulkan kalau sebagian besar pemahaman pembimbing mengenai seni pertunjukkan ialah bagaimana caranya menampilkan satu pertunjukkan dengan hasil tepuk tangan. Aku tertawa sesaat setelah menyadari hal tersebut, apakah harus seperti itukah beratnya orang dalam berproses? Bagiku apa yang pembimbing latian lakukan itu lebay. Bagaimana kita bisa memaknai sesuatu jika yang kita lihat secara garis besar ialah kemarahan? Apakah kita bisa menangkap itu sebuah nasihat, atau saran dari situ? Aku berpikir sungguh berat hari-hari para calon penampil akhir-akhir ini.

Jika dilihat di atas panggung memang setiap penampil harus melakukan segala sesuatu dengan maksimal hingga bisa dikatakan kalau apa yang mereka lakukan berhasil pada saat mendapatkan tepuk tangan yang meriah. Namun jika ternyata para penampil merasakan mendapat beban untuk melakukan hal tersebut apakah masih bisa dikatakan sebagai presentasi seni? Apalagi yang mereka tampilkan ialah bentuk interpretasi mereka terhadap konservasi seni. Bagiku sebuah pertunjukkan yang ideal ialah pada saat kita bisa menyampaikan apa yang kita bicarakan sesuai dengan ideologi masing-masing.

* tulisan ini dibuat sebagai ulasan singkat dalam pertunjukan tari yang digelar di gedung B6 Unnes pada tanggal 16 Juni 2011.
** penulis merupakan anak magang di Organisasi Hysteria, yakni organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas.

NGARIUNG BERSAMA REGGI KAYON MUNGGARAN


Oleh: Arif Fitra Kurniawan*

Acara ini adalah perhelatan yang diselenggarakan oleh hysteria sebagai wadah pemberdayaan komunitas, yang memiliki kejengahan terhadap pelbagai polemik yang acap menghantui keberlangsungan komunitas-komunitas kecil dan independen di semarang. Berlangsung di jalan Stonen 29- Semarang dari pukul 10.00 sampai pukul 16.00, pada hari Selasa 10 mei 2011. Sengaja hysteria mengundang kang Reggi, yang katanya tak betah bercelana panjang ketika mukim di Semarang, sudah berusaha dicoba, memakai celana panjang, namun ternyata cuma mampu bertahan selama 2 jam. Alamak, semarang mah teu sarua pisan jeung Bandung euy…: Panas teuing! Dan ngariung pun akhirnya dimulai pukul sepuluh lebih dengan kang Reggi yang pada akhirnya nyerah mengenakan celana kolor. Seperti biasa acara selalu dimulai dengan perkenalan, kang Reggi memperkenalkan dirinya sendiri, kemudian meminta masing-masing dari kami untuk memperkenalkan diri. Teman-teman yang datang antara lain Galih dari karamba Art, Mas Hamdani dan Muhlisin dari komunitas Mahasiswa lampung, Mas Purna Hysteria, Kang Addy ‘Forgotten’ Gembel dari Bandung Oral History, Attak dan Handini Desi dari Pati, Mas Garna, wartawan Suara merdeka, saya sendiri mewakili komunitas sastra LACIKATA, dan teman-teman lain yang datang perorangan dan tertarik untuk saling berbagi “keluh kesah”.

Setelah sesi perkenalan tuntas, Kang Reggi mempersilahkan kami menikmati dokumentasi pendek tentang komunitas yang tumbuh di kampung Babakan Asih, kampung yang dulunya menjadi sarang residivis dan dianggap daerah merah di Bandung itu, kemudian berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi daerah yang mampu memberdayakan seluruh komponen penghuninya untuk produktif dan kreatif. Hebat ! itulah yang keluar pertama-tama dari mulut dan benak saya, meskipun sebenarnya kekaguman saya sudah dari kemarin-kemarin, karena reputasi kampung Babakan dan yang berada disana sudah kelewat sering di ekspos di banyak media, di kompas, dan acara kick Andy juga saya pernah menyimak ulasan tentang kampung itu. Kang Reggi sudah mewanti-wanti bahwasanya ia tak mau diperlakukan sebagai pembicara, maka siang itu ia benar-benar mengalirkan seluruh kemampuanya mendongeng pada kami, dari awal perjuanganya sebagai seorang advokat yang masuk ke dalam “ sarang penyamun” dan benar-benar mengemukakan bagaimana, selama 8 tahun harus menjadi bagian dari para ‘penyamun’ itu cuma untuk menemukan identitas dari apa yang sedang ia perjuangkan, kemudian memutar kenop paradigma pikiran mereka untuk membangun semuanya dari nol, dengan seluruh keterbatasan dan stigma dari dunia luar, tapi benar kata kang Ipan Garniwa, atau yang sering dipanggil Iponk, residivis dari Babakan Asih, bahwa yang memelopori perubahan adalah dari diri sendiri : sampah saja bisa di daur, masak manusia kagak?! berkali-kali dia nyarios seperti itu Nah, dari pemutaran film dokumentasi itulah pembicaraan tetek bengek tentang komunitas di jembatani.

Betapa membangun sebuah komunitas menurut apa yang telah Kang Reggi jalani dan rasakan sendiri, adalah perihal mudah namun lelah. Artinya, mudah membangunnya, menjadikannya ada, namun ternyata perlu energi dan kegilaan untuk bisa bertahan. Dan bertahan inilah yang sering dan menjadi permasalahan paling sakral bagi sebuah komunitas di kota-kota seluruh Indonesia. sebab kerja kreatif komunitas membutuhkan orang-orang gila, tahan banting, individu-individu yang mesti siap berdarah darah ketika membawanya pada tujuan yang dikehendaki. Kang Reggi juga banyak memetakan tentang bagaimana posisi sebuah komunitas berhadapan dengan masalah-masalah beserta pengalamannya mencari solusi untuk lepas dari jerat konflik internal maupun yang datang dari luar komunitas. ia juga memaparkan bahwa sesungguhnya tak ada sebenarnya kemandirian yang benar-benar murni dalam berserikat, dan meyakinkan kami, bahwa komunitas yang merasa bisa berdiri sendiri akan segera mati! itulah sebabnya ia tekankan pentingnya memegang kesadaran ideologis dan kesabaran yang militan dalam kerangka internal komunitas. Sebab dengan pondasi bangunan seperti itu, akan mudah memetakan tujuan, akan dibawa kemana komunitas sebenarnya. Dan dia sendiri mencontohkan, bahwa Bandung, sebagai ikon kreatifitas anak muda usia produktifnya tak dapat disaingi dengan kota-kota lain, bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, ia juga sedikit berseloroh, bahwa bukan karena adanya ITB, Bandung menjadi kota penuh kreatifitas, tapi karena anak mudanya ‘pemabuk’. Dalam artian di sini, bahwa anak muda itu tak mau cuma terikat pada doktrin dan acuan undang-undang, mereka menjadi kreatif karena posisi menjadi pemabuk yang dicemooh, dijajah, dan mereka memberontak, memberontak dengan cara yang benar-benar bisa mereka pertanggungjawabkan dalama bentuk hasil, produktifitas. itulah sebabnya Bandung menjadi ikon kesuburan berkreatifitas. Di sana, antar komunitas kecil, yang tadinya merasa mampu berdiri sendiri membuat jalinan satu sama lain, sehingga segala sesuatu yang mempersulit keberlangsungan komunitas dapat dipecahkan secara bersama-sama.

Jadi jangan heran, jika di Bandung, katanya lagi, pemerintah kota akan bersedia mengucurkan dana berapapun besarnya untuk keperluan pengembangan komunitas, pemerintah begitu peduli dan merasa komunitas-komunitas pemberdayaan ini adalah bagian dari kultur dan kemapanan kota sendiri. adakah itu di kota selain bandung? Semarang? gelap, Pak! berimanlah pada cita-cita, bertaqwalah pada dialektika perubahan. kang regi meneruskan demikian setelah gelas-gelas kopi diseduh dan diputar ke seluruh penjuru ruangan. sebuah komunitas, harus bisa megartikulasikan dan menjembatani gagasan, dan yang pasti out of the box. dan itu susah. itulah yang bikin lelah. Membuat orang di luar sana menyukai apa yang kita kerjakan, membuat mereka kesengsem dengan produk yang kita hasilkan. maka kami senang-senang saja ketika diberi tahu dan dijabarkannya bagaimana mencari dan menemukan indikator-indikator, mendesain produk berupa program yang benar-benar mampu membuat sebuah komunitas mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan penanda sekaligus pembeda. ( saya ketawa ketika kang Reggi bilang, contohnya saya, di LBH saya paling terkenal, paling mudah dikenali, karena sumpah, seumur-umur cuma saya pengacara yang mentato sebagian besar tubuhnya, dengan itu saya menandai diri saya—dia ngakak sewaktu bilang itu) Pembicaraan demi pembicaraan pun berlangsung dengan seru,intens, dan yang pasti dengan cekakak,cekikik. pertanyaan-pertanyan dan keluh kesah dari teman-teman komunitas disambut dengan jawaban yang benar-benar pernah dan memungkinkan untuk diaplikasikan. tak ada kesan menggurui atau digurui. dan itu membuat saya dan teman-teman sangat betah menyimaknya hingga acara berakhir. saya berharap setelah momen ini, kita semua sebagai komunitas sadar akan pentingnya keberlangsungan. sukses selalu untuk komunitas-komunitas di Semarang. Saya mewakili LACIKATA mengucapkan ungkapan terimakasih atas terselenggarannya acara ini. Matur suwun dan salam hangat selalu. catatan tambahan: sekilas tentang aktifitas kang Reggi : LBH Bandung, Foot not Bombs, West Java Corruption Watch, FAMU, Solidaritas Independen Bandung, Jurnal Apokalips, Common room, Rumah Cemara, dan sekarang bersama PT Urbane pimpinan Ridwan Kamil mengelola Urbane Community (Ridwan Kamil juga menjadi ketua BAndung Creative City Forum). Selain itu Reggi juga pernah membantu Ucok mencari materi untuk album Homicide. Karena aktivitasnya itu sesaat lalu Reggi diundang dalam acara Kick Andy. Info lain Reggi baru saja pulang dari Amerika untuk kunjungan pendek.

*penulis merupakan penyair muda dan aktif di komunitas Lacikata


Selasa, 14 Juni 2011

Setelah Pertemuan Itu

Setelah Pertemuan itu..*
(reportase repertoar tari Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah sewaktu di Demak)

Dalam perjumpaan seringkali kita menemukan hal-hal baru. Pertemuan itu jugalah yang mengantarkan kita pada petualangan, sehingga kita tergelitik untuk menjelajahi hal-hal yang lebih menantang. Pada kesempatan lain, pertemuan untuk dianggap sebagai sebuah pertemuan haruslah diakhiri perpisahan. Dengan demikian pertemuan selalu menyiratkan perpisahan. Ini adalah paradoks, dan begitulah kita hidup, penuh dengan sesuatu yang paradoksal. Namun sesungguhnya segala sesuatu yang bertentangan (paradoksal) pada hakikatnya adalah saling melengkapi. Mereka satu dalam hal kebedaan. Gelap-terang, atas-bawah, laki-laki-perempuan, siang-malam, baik-jahat, pada hakikatnya adalah emanasi dari yang tunggal.

Begitulah filosofi topeng tari Cirebon yang terepresentasikan dalam tari topeng panji. Di dalamnya adalah perwujudan antara gerak dan diam. Tari topeng panji tidak menegaskan karakter yang tegas, apakah ia laki-laki atau perempuan. Ia adalah emanasi dari sang hyang tunggal. Segalanya berpaut dan padu. Kepenuhan sekaligus kekosongan. Tidak heran jika tari ini menjadi tari pembukaan dalam pagelaran tari yang dilakukan oleh Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. Rendezvous sendiri menjadi tajuk dalam pertunjukan yang digelar di makam Sunan Kalijaga, Kadilangu- Demak. Konsep pertunjukan yang disokong Kelola ini dimaksudkan untuk mencari berkah dari para makam orang-orang keramat. Ini sejalan dengan wasiat Mimi Rasinah sebelum meninggal, jika tampuk kepemimpinan dan regenerasi tari topeng Cirebon langgam Mimi Rasinah haruslah para penerusnya melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Mimi Rasinah. Sebagaimana diketahui bahwasanya perkembangan tari topeng cirebon tidak bisa dilepaskan dari massifnya penetrasi kekuasaan kerajaan Demak di berbagai daerah Pesisir Jawa. Bahkan disebutkan dalam Babad Cirebon Carang Satus tari topeng Cirebon digunakan untuk melakukan diplomasi budaya untuk menaklukkan pemberontakan di Cirebon. Konon diplomasi budaya ini digagas oleh Sunan Gunungjati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga. Bertolak dari itu wasiat Mimi Rasinah pada Mimi Wacih, sebagai penerus tari topeng Cirebon untuk mengunjungi Makam Ciweni, Makam Suta Jaya, Makam Wiralodra, Makam Lastra, Makam Sunan Gunung Jati, Makam Sunan Kali Jaga, dan Makam Syek Syaruf / Nyata / Nata menjadi syarat mutlak.

yang menarik kemudian adalah, Mimi Wacih melakukan ziarah tidak sekedar ziarah, melainkan juga melakukan pertunjukan keliling. Ada tiga kota yang menjadi tujuan yakni: Cirebon, Demak, dan Majalengka. Setelah dari Cirebon rombongan ini tidak langsung menuju Majalengka, tetapi ke Demak dulu. Konon hal ini dilakukan sesuai dengan laku spiritual Mimi Rasinah.
Konsep pertunjukan ini tentu mengingatkan kita pada laku ‘mbarang’ seniman-seniman dahulu. Konsep ‘mbarang’ yang juga merupakan laku dari para pelaku seni tradisi ini belakangan memang tidak segencar dahulu. Padahal laku ‘mbarang’ mempunyai konsep filosofis dan historis yang kuat. Sayangnya ‘mbarang’ sekarang ini sering distigmatisasi sebagai laku peminta-minta, tak ubahnya seperti pengemis. Tentu saja ‘mbarang’ sekaligus ziarah sanggar ini sangat jauh dari stigma tersebut. Konsep ‘mbarang’ hanya masuk pada ranah filosofi dari tema rendezvous itu sendiri. Sebuah silaturahmi dan pertemuan dengan hal-hal yang baru untuk menemu semangat yang baru pula. Lihat saja ketika Wacih Rasinah, Aerli Rasinah, Rani Fitriyah Rasinah dan rombongannya yang Cirebon bertemu dengan publik Demak yang jawa pesisir. Tentu ada pertemuan dua arus kebudayaan besar di situ. Yakni sunda dan jawa, dan bagaimanapun Cirebon sendiri merupakan daerah peralihan dan perkawinan dua kebudayaan tersebut. Namun tentu saja pertemuan Cirebon dan Demak memunyai kode bahasa yang khas sehingga mau tidak mau akan tercipta mis, kejutan, kesegaran, atau bahkan ketidakmengertian.
Makanya Edi Supriyadi selaku pimpinan produksi membatasi penggunaan dialog dan menggantinya dengan gerakan-gerakan. Hal itu tampak jelas dalam sesi lawak yang menjadi acara penyela selama pertunjukan berlangsung. Mereka berhasil melakukan komunikasi melalui bahasa tubuh, indikasinya dapat dilihat dari banyaknya penonton yang paham dan tertawa-tawa melihat lawakan mereka.



Sebelum menggelar pertunjukan mereka melakukan ritual dan menyiapkan beberapa sesaji di makam Sunan Kalijaga. Ritualnya sendiri dimulai sejak pagi, 07.00 baru kemudian pertunjukan tari dimulai dari pukul 15.00. Pada prinsipnya Ada enam tarian yang dibawakan dalam pertunjukan, yakni tari topeng Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, Kelana, dan Kelana Udeng. Ke enam tari tersebut secara bergantian dibawakan oleh Mimi Wacih dan Aerli Rasinah.
Tari Panji dibawakan Mimi Wacih dengan lugas, Panji sebagai simbol emanasi sang hyang tunggal ditafsirkan pula sebagai representasi dari masa-masa kelahiran. Asal muasal dan induk dari fase selanjutnya. Perkembangan berikutnya dilambangkan dengan tari topeng samba dengan Aerli Rasinah penarinya. Tari ini melambangkan perkembangan masa-masa remaja, feminim bahkan kadang terkesan genit. Kemudian dilanjutkan dengan tari topeng rumyang yang merupakan fase dewasa oleh Mimi Wacih.
Kedua jenis tari ini kalau merujuk pada Jakob Sumardjo merupakan turunan dari tari topeng Panji. Secara karakter dan warna topeng tentu berbeda dengan tari topeng Kelana yang didominasi gerak-gerak maskulin bahkan kadang cenderung beringas. Seperti yang disebutkan sejak awal bahwa perbedaan karakter ini sejatinya adalah manifestasi dari yang tunggal. Keduanya harus seimbang untuk menjaga keteraturan hukum kosmos.
Tari topeng samba dan rumyang yang kontras dengan kelana dalam pertunjukan 21 Mei 2011 ini mau tidak mau mengingatkan saya pada dua pandangan besar menyoal aliran Apolonysian yang berseberangan dengan Dionysian. Yang satu melambangkan ketenangan yang satunya lagi melambangkan kekuatan yang meledak-ledak. Itulah yang saya tangkap ketika menikmati repertoar ini. Satu lagi tarian yang terlupa yakni tari topeng tumenggung yang menggambarkan seorang patih yang menyambut raja. Tari ini juga menarik dan sepertinya sengaja tari ini dibawakan di tengah-tengah. Masa peralihan dari karakter samba dan rumyang untuk masuk dalam kelana.
Secara pertunjukan bisa dikatakan pagelaran ini berjalan lancar. Hal ini tentu tidak lepas dari jam terbang Mimi Wacih dan Aerli Rasinah yang lumayan tinggi. Tidak ada halangan yang berarti selama berlangsungnya pertunjukan. Secara stamina team ini bisa dikatakan luar biasa mengingat mereka melakukan pertunjukan ini selama tiga hari berturut-turut dengan waktu yang sangat padat. Kendala bahasa juga bisa diatasi menggunakan gerakan.
Kursi yang disediakan panitia terisi penuh. Namun selama pertunjukan berlangsung terjadi pengurangan jumlah penonton. Namun setidaknya 60 % kursi dari total kursi 150an masih terisi hingga pertunjukan berakhir. Hal ini tidak terlepas dari pelibatan kelurahan Kadilangu yang sangat mendukung acara ini. Untuk menyiasati soundsystem dan pemanggungan, Edi Supriyadi sengaja membawa peralatan dari Cirebon langsung karena tidak ingin kualitas pertunjukan harus kacau gara-gara persoalan teknis. Hanya saja pilihan waktu di siang hari, apalagi di daerah pesisir yang cenderung cuacanya panas, sedikit mengurangi bangunan suasana pertunjukan. Menurut Edi sendiri pilihan waktu ini juga sudah disiasati sedemikian rupa mengingat banyak keterbatasan yang lain. Namun di luar itu semua pertunjukan berlangsung sukses dan masyarakat antusias menyimak.
Pada akhirnya tiap pertemuan (rendezvous) pastilah menyimpan kesan-kesan dari para pelakunya. Kesan-kesan inilah yang kelak tinggal, mengendap menjadi jalinan memorabilia dan pelajaran yang kelak bisa kita ambil. ‘ngalap barokah’ atau mencari berkah adalah bahasa spiritual untuk mencari soul (jiwa) sehingga tari tidak berhenti sebagai keterampilan semata. Tari adalah laku dan filosofi hidup, barangkali itulah yang membentuk Mimi Rasinah menjadi seorang maestro yang sekarang berusaha diwariskan ke anak-anaknya. Rendezvous lagi-lagi adalah sebentuk kerendahhatian untuk melakukan silaturahmi dan berkenalan dengan hal-hal yang baru, usaha untuk mengenali dan peduli terhadap di luar ‘keakuan’ kita. Pertemuan yang baik akan menyisakan kesan yang baik, kadang mendalam dan ispiratif. Dari sanalah kita semua dapat belajar: kesungguhan dan konsistensi tanpa syarat seorang maestro: Mimi Rasinah.

*ditulis oleh Adin (Direktur Hysteria, sebuah organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas yang berkantor di Semarang)



NYAWIJI ING TARI


sebuah repertoar tari yang digelar di ruang B 6 FBS Unnes Sekarang Gunungpati. pertunjukan akan dilakukan mulai pkl 19.00 WIB besok 16 Juni 2011.
ada empat repertoar yang akan disajikan. karya pertama bercerita tentang penjajahan belanda, karya kedua ketegarangna antara tradisi dan modernitas, ketiga tentang sepeda, dan terakhir bercerita tentang wayang.
silakan datang..dan dapatkan informasinya di 085727248783





Jumat, 10 Juni 2011

PETIK PUITIKA#1


PETIK PUITIKA#1

para penyair yang akan tampil;
1. Devika Herfiningtyas (IKIP PGRI)
2.Niza Palevi (UNNES)

penampil yang spektakuler;
-Goge Musical
-Teatrikal; Cakra
-Selebrasi Puisi

sekilas tentang penyair;
*Devika;
anak kedua dari dua bersaudara, lahir di kendal 13 desember 1992, dan sekarang sedang kuliah di IKIP PGRI Semarang jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa semester 2
*Niza
seorang mahasiswi UNNES yang berusia 20 tahun inilahir di tengah keluarga demokratis. Demokratis disini maksud niza sebagai seorang anak tidak harus menjadi dokter atau guru seperti kebanyakan orang tua menginginkan hal itu. "Walaupun pada akhirnya sekarang saya kuliah untuk menjadi guru.." pengakuannya ya begitulah akhirnya.

*****saksikan penampilan dan cerita mereka soal puisi, cantik, pintar dan berbakat plus memiliki jiwa seni yang terus diasah. jangan sampai dilewatkan y... :`)

cp
; arif (085727472442)
vivi (081227327581)

MEMPERTEMUKAN PUISI, MENEMUKAN DIRI (DAN) PUISI

Sebuah ulasan cukup singkat mengenai puisi-puisi Devika dan Niza*

Bagian I

Aku menuliskan indahmu

Dengan tinta angan

Dan kanvas angin

Tergores rapi penuh arti

.....

(Tentangmu)

Menafsir-bacakan puisi-puisi Devika, saya dihantar menuju masa lalu yang begitu remaja. Sarat dengan kisah penyepian, mimpi, rindu, dan percintaan. Puisi-puisi Devika mencoba untuk memperkenalkan bagaimana daya pencitraan seseorang menangkap moment-moment puitik yang sering dijumpai oleh diri seusianya (seusia karyanya) dengan warna emosi serupa. Dalam hal ini, puisi-puisinya memberikan sentuhan sebagai penulis baru yang menciptakan gaya penulisan “lurus” atau mengalir sesuai dengan apa yang ia temukan saat itu. Penggalan puisi yang berjudul “Tentangmu” di atas mencitrakan bahwa si penulis ingin mengapresiasi seseorang dengan perasaan mendayu dan ada harapan yang dilesapkan dalam pemaknaan puisi tersebut. Gaya penulisannya yang melankolia kerap ditemui di puisi-puisi sebagai berikut:

Ini telapak tangan untuk kamu

Seusap cinta dan rindu menunggu mengusap

Menengadah merayu senyum

Lembut menyentuh janji

.....

(Telapak Tangan ini untuk Kamu)

Puisi tersebut menawarkan interpretasi tentang bagaimana cinta itu diolah sedemikian rupa menjadi susunan kepuitisan yang menarik. Sehingga pembaca pun, bisa dibawa untuk supaya lebih mudah memahami bagaimana cinta itu. Dengan demikian, pembaca tidak perlu bersusah untuk mendapatkan atau menemu makna atas puisi tersebut. Si penulis bisa dikatakan masih memberikan ruang ketelanjangan bagi puisinya dengan atau tanpa sadar. Keadaan demikian memicu puisi-puisi tersebut merujuk ke tema-tema monoton, seperti halnya “Sepi”:

Sepi, sunyi, dingin …

Tersudut harapan mulai padam

Dalam malam

Di lain halnya, penulis seakan mengejar usaha-usaha puitiknya untuk menemukan esensi sepi yang terbenak dalam pengalamannya. Tampak, si penulis sebenarnya tak ingin menemui kesendirian di hadapannya. Namun, realita yang ia hadapi memberikan stimulus kuat sehingga tercetak dalam puisi berjudul “Sepi” tersebut. Bahwa memang sangat benar bila dikatakan jika kemunculan suatu karya sastra tidak didasari oleh latar belakang atau ruang yang kosong. Sebab, keberadaan stimulus yang bersifat netral tersebut telah berulang kali ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang. Kali ini, si penulis sebagai seorang penulis puisi ingin menyatakan bahwa sepi di sini sebenarnya adalah sepi. Sendiri adalah sendiri. Malam adalah malam. Bukan pagi yang sedang bersemedi.

Dalam puisi-puisinya ia tak banyak mempergunjingkan keberadaan yang seketika menyudutkan dirinya ke arah positivistik kebohongan. Di puisi di bawah ini, ia mencoba menulis dengan emosi yang masih putih bugar. Artinya, ia mencoba menghindari energi-energi negatif yang mana sarat tanggungan derita atau perjalanan diri ke ruang pesakitan. Bisa saja ini merupakan puisi rasa keterkesanan atau impresivionismenya terhadap kebaruan. Kebaruan yang dimaksud di sini adalah suatu pengalaman emosional yang didirikan oleh faktor eksternal penulis. Kedatangan pagi seolah mempertontonkan fenomena gunung es yang dicetuskan oleh Freud (seorang psikoanalisis) sebagai alam ketidaksadaran. Secara unconscious kerinduan akan langit baru telah menumpuk dan kemudian mencari waktu yang tepat untuk ditumpahkan di perjalanan kepenulisan selanjutnya. Berikut nukilan puisinya:

....

Berjalan menuju tujuan

Mengalir riuh pagi baru

Salam datang tersambut

Kepada pagi baru

....

(Teruntuk Embun Pagi)

Keberadaan emosi dalam puisi-puisinya mencerminkan bagaimana kondisi ketidaksadarannya itu bekerja. Proyeksi perasaan senyatanya kental di puisi-puisi lekas. Puisi-puisi yang bersegera supaya para mata pembaca dengan mudah menembus kabut-kabut metafora. Pembaca manapun pasti bisa dengan mudah mengaili makna untuk diucapkan ke diri masing-masing. Meski demikian, ini merupakan suatu tahapan tersendiri bagi penulis yang baru beranjak menjemukan dirinya ke jalan yang ingin ia pertemukan. Jalan yang mempunyai kebebasan arah. Tahapan ini merupakan tahapan biasa bagi para penulis awal bagaimana “menteka-tekikan” apa yang di depannya ke dalam kata. Bilamana si penulis mungkin terlalu cepat menyusun sebuah karya, itu persoalan lain. Sebab keberfungsian pengontrolan indera untuk menulis adalah hal utama yang bisa membawa diri untuk menuju tahap selanjutnya. Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana melawan kebiasaan diri itu sendiri. Mengolahnya untuk menghasilkan kehadiran lain dan semangat lain menjadi seorang creator bukan sebagai seorang yang semata-mata ditakdirkan mati. Sehingga diri pun kehilangan diri. Puisi kehilangan puisi, yang sama halnya dengan nama pelampiasan atas ketidakpuasan atau penghindaran dari stressor.

Motif si penulis ini kemudian terlihat cukup mencuatkan persoalan kepenulisannya. Di judul puisi “Untukmu Pujangga”, terdapat semiotika kata yang dapat diinterpretasikan sebagai kesaksian si penulis terhadap dirinya:

Untukmu pujangga

Aku tak berkarya untuk alam

Aku berdiri atas nama duniawi

....

Kosa kata yang memadai dan masih tidak banyak bergerak ke persinggahan lain dalam proses kreatif gaya penciptaan puisi-puisinya mendapati keadaan istilah yang homogen. Yang kemudian dalam puisi tersebut ditarik dalam predikat kepenyairan. Sehingga kelekatan image tentang untuk siapa dan atas nama apa berkarya itu, secara tidak langsung meruwat dirinya sebagai seorang yang masih memposisikan diri dalam tingkat jangkauan dekat. Selebihnya tidak ada maksud untuk membuat puisi itu sebagai karya yang utuh dalam proses kepenyairan, namun sebagai katarsis emosional. (Dan mungkin untuk sementara waktu.) Jikalau ada stimulus yang ditemui dari pengalaman-pengalamannya itu ditangkap dengan kedangkalan persepsi maka ada kemungkinan menimbulkan respon yang akan sama. Dengan demikian gaya kepenulisan tidak mudah untuk berkembang. Oleh karena itu, perlunya penulis untuk terus berlatih dalam mengontrol kedalaman indera dalam capaian berpuisi, pun untuk menjumpai diri yang bukan bayangan di bawah lampu suatu malam sarat kegigilan.

Bagian II

Realisme sosialis antara anak dan ibu nampak menjadi taruhan di puisi-puisi Niza Pahlevi, yang mana ruang-ruang dunia itu diperlihatkan dalam puisi “Pesan Sebatang Rokok dari Bapak”:

Nak...

Sembilan bulan ibu mengandung

Sembilan bulan ibu termenung

memikirkanmu...

Taruhan itu berarti bahwa bisa saja menciptakan keberhasilan dalam mengungkap sisi kehidupan yang dimata-matai oleh ironisme. Di lain sisi, ada sisi epikurian yang mencoba untuk memberanikan diri berjalan melewati kebrutalan gelap nasib. Bahwa ia akan berhasil menemukan ketitikterangan adalah sebuah pemikiran belakangan. Penggalan puisi tersebut seolah ingin mengatakan tentang diri yang diketemukan dalam rupa tubuh ibu. Diri itu terus mencari ke mana ia mesti muncul dari persembunyiannya. Dengan kata lain, ada semacam mekanisme pembelaan diri yang dialihkan ke tubuh lain. Dalam bahasa psikoanalisis adalah displacement. Keadaan tersebut berlanjut ketika ia mencoba mendiskripsikan mengenai titik kebebasan sebagai langkah untuk menghirup nafas sepanjang-panjangnya di luas lapang. Ia sedemikian getol mengeksplorasi kemerdekaan dirinya melalui penggalan puisi yang berbunyi demikian:

...

Akulah seorang muda yang dulu meneriakkan proklamasi

dengan lantang

...

(Doa Proklamasi)

Di sini kata-kata “proklamasi” menjadi isyarat tentang bagaimana diri itu dimaknai sebagai langkah kebebasan. Si penulis mengembalikan kekinian yang ia hadapi melalui kegairahan dalam semangat pamfletisme Rendra. Selanjutnya, saya melihat proses Niza tidak berhenti atau melulu berkutat soal hal tersebut dalam menampilkan ekspresionisme menulisnya. Ia pun mulai berbicara tentang cinta yang dilesapkan sedemikian rupa:

....

oh, sayangku

indah benar pagi itu kurasa

cerah betul mentari saat itu

bahagia pula hatiku

itu yang kurasa dulu

....

(Kelopak Bunga Berwarna Abu)

Niza mungkin ingin meminimalisasi bagian “percintaan remaja”nya dalam tubuh puisi. Bisa saja sengaja, sebab ia masih belum ingin menyinggungnya atau barangkali ada semacam penghindaran pengalaman traumatik (membaca kalimat: itu yang kurasa dulu). Di kajian psikopragmatik (masalah nilai-nilai atau fungsi-fungsi sastra yang terkait dengan pembaca), kehidupan psikis seseorang akan muncuk jelas melalui karya-karyanya. Bilamana menengok puisi-puisi Niza, terdapat jarak yang dekat antara diri pribadinya dengan orang tua (bapak atu ibu) atau malah sebaliknya. Misalnya, dalam puisi “Blazer dari Ayah”:

...

blazer tua,

sepeda tua

ayah meninggalkannya untukku

...

Kata “meninggalkannya” menguraikan tentang pengalaman masa lalu, dan melalui puisi tersebut, seolah ingin memaparkan peninggalan masa lalu yang mempunyai cerita tersendiri. Kata benda “blazer” dan “sepeda” yang dikonstruksikan dengan kata “tua” sebagai bentuk pendiskripsian yang representatif yang sekaligus sebagai gambaran psikisnya terhadap kelekatan waktu. Sebab dengan menciptakan perasaan sedemikian rupa, puisi ini ikut merayakan rasa anak kepada bapaknya. Sebuah eksperimentasi yang merujuk pada pengekalan unsur moralitas bapak ke dalam diri: “jangan ragu...”

Pada badan puisi yang bertajuk ibu, Niza melakukan semacam pledoi terhadap realitas yang ia jumpai. Realitas yang sebenarnya tidak ada ibu di sana. Yang ada mungkin hanyalah “para penyanyi”. Begini bunyi penggalan puisinya:

...

namun, ibu tidak akan sama dengan

para penyanyi yang melenggak-lenggokkan

tubuhnya untuk para serdadu nafsu

...

(Dendang Nada)

Peradaban yang sedang melanda proses kreatif si penulis adalah peradaban attachment terhadap orang-orang terdekatnya sekaligus jauh. Peradaban ini muncul kental dengan landasan kerinduan yang tertumpuk di alam prasadar si penulis. Hal tersebut memungkinkan adanya tahapan regresi (kembali ke tahapan masa lalu, seketika masa itu dirasa “membebaskan”) dalam pola pikir penulis, seperti pada nukilan puisi berikut:

...

anak kecil dengan kaki kecil

berlari menancapkan

ranting-ranting kecil

sebagai tanda

tanah milik bapak

(Kumbang Menyeringai)

Maka, sejalan dengan Richard Hurd (seorang psikopragmatis) bahwa di dalam karya sastra yang tampak terdapat dugaan-dugaan seperti adanya alasan lahan pelarian jiwa sehingga pengarang maupun pembaca merasa bebas, tanpa ada tekanan setelah membaca. Kemudian, adanya karya sastra yang menahbiskan sebagai obat. Artinya , setelah menulis dan atau membaca karya sastra terjadi relaksasi secara fisiologis maupun psikologis. Dan karya sastra yang diam-diam menjadi teror kejiwaan yang menggerakkan emosi, keinginan, dan harapan. Ketiga dugaan ini terasa ketika saya mengurut mata, membaca satu per satu karyanya. Setidaknya, dugaan ini memberikan kritik sastra secara psikologis. Untuk kembali mempertanyakan--memurnikan, sudah yakinkah Anda mempertemukan puisi dengan diri Anda dan menemukan diri untuk menulis puisi?

Semarang, 2011

* Esai ini dibuat oleh Ganz P. (A.Ganjar Sudibyo – seorang mahasiswa psikologi dan pengurus komunitas sastra LACIKATA Semarang) untuk keperluan acara Petik Puitika yang diadakan oleh LACIKATA pada tanggal 19 Juni 2011.