Sabtu, 18 Juni 2011

NGARIUNG BERSAMA REGGI KAYON MUNGGARAN


Oleh: Arif Fitra Kurniawan*

Acara ini adalah perhelatan yang diselenggarakan oleh hysteria sebagai wadah pemberdayaan komunitas, yang memiliki kejengahan terhadap pelbagai polemik yang acap menghantui keberlangsungan komunitas-komunitas kecil dan independen di semarang. Berlangsung di jalan Stonen 29- Semarang dari pukul 10.00 sampai pukul 16.00, pada hari Selasa 10 mei 2011. Sengaja hysteria mengundang kang Reggi, yang katanya tak betah bercelana panjang ketika mukim di Semarang, sudah berusaha dicoba, memakai celana panjang, namun ternyata cuma mampu bertahan selama 2 jam. Alamak, semarang mah teu sarua pisan jeung Bandung euy…: Panas teuing! Dan ngariung pun akhirnya dimulai pukul sepuluh lebih dengan kang Reggi yang pada akhirnya nyerah mengenakan celana kolor. Seperti biasa acara selalu dimulai dengan perkenalan, kang Reggi memperkenalkan dirinya sendiri, kemudian meminta masing-masing dari kami untuk memperkenalkan diri. Teman-teman yang datang antara lain Galih dari karamba Art, Mas Hamdani dan Muhlisin dari komunitas Mahasiswa lampung, Mas Purna Hysteria, Kang Addy ‘Forgotten’ Gembel dari Bandung Oral History, Attak dan Handini Desi dari Pati, Mas Garna, wartawan Suara merdeka, saya sendiri mewakili komunitas sastra LACIKATA, dan teman-teman lain yang datang perorangan dan tertarik untuk saling berbagi “keluh kesah”.

Setelah sesi perkenalan tuntas, Kang Reggi mempersilahkan kami menikmati dokumentasi pendek tentang komunitas yang tumbuh di kampung Babakan Asih, kampung yang dulunya menjadi sarang residivis dan dianggap daerah merah di Bandung itu, kemudian berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi daerah yang mampu memberdayakan seluruh komponen penghuninya untuk produktif dan kreatif. Hebat ! itulah yang keluar pertama-tama dari mulut dan benak saya, meskipun sebenarnya kekaguman saya sudah dari kemarin-kemarin, karena reputasi kampung Babakan dan yang berada disana sudah kelewat sering di ekspos di banyak media, di kompas, dan acara kick Andy juga saya pernah menyimak ulasan tentang kampung itu. Kang Reggi sudah mewanti-wanti bahwasanya ia tak mau diperlakukan sebagai pembicara, maka siang itu ia benar-benar mengalirkan seluruh kemampuanya mendongeng pada kami, dari awal perjuanganya sebagai seorang advokat yang masuk ke dalam “ sarang penyamun” dan benar-benar mengemukakan bagaimana, selama 8 tahun harus menjadi bagian dari para ‘penyamun’ itu cuma untuk menemukan identitas dari apa yang sedang ia perjuangkan, kemudian memutar kenop paradigma pikiran mereka untuk membangun semuanya dari nol, dengan seluruh keterbatasan dan stigma dari dunia luar, tapi benar kata kang Ipan Garniwa, atau yang sering dipanggil Iponk, residivis dari Babakan Asih, bahwa yang memelopori perubahan adalah dari diri sendiri : sampah saja bisa di daur, masak manusia kagak?! berkali-kali dia nyarios seperti itu Nah, dari pemutaran film dokumentasi itulah pembicaraan tetek bengek tentang komunitas di jembatani.

Betapa membangun sebuah komunitas menurut apa yang telah Kang Reggi jalani dan rasakan sendiri, adalah perihal mudah namun lelah. Artinya, mudah membangunnya, menjadikannya ada, namun ternyata perlu energi dan kegilaan untuk bisa bertahan. Dan bertahan inilah yang sering dan menjadi permasalahan paling sakral bagi sebuah komunitas di kota-kota seluruh Indonesia. sebab kerja kreatif komunitas membutuhkan orang-orang gila, tahan banting, individu-individu yang mesti siap berdarah darah ketika membawanya pada tujuan yang dikehendaki. Kang Reggi juga banyak memetakan tentang bagaimana posisi sebuah komunitas berhadapan dengan masalah-masalah beserta pengalamannya mencari solusi untuk lepas dari jerat konflik internal maupun yang datang dari luar komunitas. ia juga memaparkan bahwa sesungguhnya tak ada sebenarnya kemandirian yang benar-benar murni dalam berserikat, dan meyakinkan kami, bahwa komunitas yang merasa bisa berdiri sendiri akan segera mati! itulah sebabnya ia tekankan pentingnya memegang kesadaran ideologis dan kesabaran yang militan dalam kerangka internal komunitas. Sebab dengan pondasi bangunan seperti itu, akan mudah memetakan tujuan, akan dibawa kemana komunitas sebenarnya. Dan dia sendiri mencontohkan, bahwa Bandung, sebagai ikon kreatifitas anak muda usia produktifnya tak dapat disaingi dengan kota-kota lain, bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, ia juga sedikit berseloroh, bahwa bukan karena adanya ITB, Bandung menjadi kota penuh kreatifitas, tapi karena anak mudanya ‘pemabuk’. Dalam artian di sini, bahwa anak muda itu tak mau cuma terikat pada doktrin dan acuan undang-undang, mereka menjadi kreatif karena posisi menjadi pemabuk yang dicemooh, dijajah, dan mereka memberontak, memberontak dengan cara yang benar-benar bisa mereka pertanggungjawabkan dalama bentuk hasil, produktifitas. itulah sebabnya Bandung menjadi ikon kesuburan berkreatifitas. Di sana, antar komunitas kecil, yang tadinya merasa mampu berdiri sendiri membuat jalinan satu sama lain, sehingga segala sesuatu yang mempersulit keberlangsungan komunitas dapat dipecahkan secara bersama-sama.

Jadi jangan heran, jika di Bandung, katanya lagi, pemerintah kota akan bersedia mengucurkan dana berapapun besarnya untuk keperluan pengembangan komunitas, pemerintah begitu peduli dan merasa komunitas-komunitas pemberdayaan ini adalah bagian dari kultur dan kemapanan kota sendiri. adakah itu di kota selain bandung? Semarang? gelap, Pak! berimanlah pada cita-cita, bertaqwalah pada dialektika perubahan. kang regi meneruskan demikian setelah gelas-gelas kopi diseduh dan diputar ke seluruh penjuru ruangan. sebuah komunitas, harus bisa megartikulasikan dan menjembatani gagasan, dan yang pasti out of the box. dan itu susah. itulah yang bikin lelah. Membuat orang di luar sana menyukai apa yang kita kerjakan, membuat mereka kesengsem dengan produk yang kita hasilkan. maka kami senang-senang saja ketika diberi tahu dan dijabarkannya bagaimana mencari dan menemukan indikator-indikator, mendesain produk berupa program yang benar-benar mampu membuat sebuah komunitas mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan penanda sekaligus pembeda. ( saya ketawa ketika kang Reggi bilang, contohnya saya, di LBH saya paling terkenal, paling mudah dikenali, karena sumpah, seumur-umur cuma saya pengacara yang mentato sebagian besar tubuhnya, dengan itu saya menandai diri saya—dia ngakak sewaktu bilang itu) Pembicaraan demi pembicaraan pun berlangsung dengan seru,intens, dan yang pasti dengan cekakak,cekikik. pertanyaan-pertanyan dan keluh kesah dari teman-teman komunitas disambut dengan jawaban yang benar-benar pernah dan memungkinkan untuk diaplikasikan. tak ada kesan menggurui atau digurui. dan itu membuat saya dan teman-teman sangat betah menyimaknya hingga acara berakhir. saya berharap setelah momen ini, kita semua sebagai komunitas sadar akan pentingnya keberlangsungan. sukses selalu untuk komunitas-komunitas di Semarang. Saya mewakili LACIKATA mengucapkan ungkapan terimakasih atas terselenggarannya acara ini. Matur suwun dan salam hangat selalu. catatan tambahan: sekilas tentang aktifitas kang Reggi : LBH Bandung, Foot not Bombs, West Java Corruption Watch, FAMU, Solidaritas Independen Bandung, Jurnal Apokalips, Common room, Rumah Cemara, dan sekarang bersama PT Urbane pimpinan Ridwan Kamil mengelola Urbane Community (Ridwan Kamil juga menjadi ketua BAndung Creative City Forum). Selain itu Reggi juga pernah membantu Ucok mencari materi untuk album Homicide. Karena aktivitasnya itu sesaat lalu Reggi diundang dalam acara Kick Andy. Info lain Reggi baru saja pulang dari Amerika untuk kunjungan pendek.

*penulis merupakan penyair muda dan aktif di komunitas Lacikata


Tidak ada komentar:

Posting Komentar