Sabtu, 18 Juni 2011

Repertoar Tari dalam Represi*



oleh: Openk**

tak peduli bagaimanapun susahnya, sebuah pertunjukan (entertaintment) harus berlangsung apik.


Kurasa itu adalah semboyan yang cocok untuk acara pergelaran tari 2011 di Unnes tanggal 16 Juni 2011. Aku bisa sedikit menggambarkan euphoria yang ada waktu pergelaran tersebut hendak, sedang, dan setelah dimulai. Pada saat aku menuju gedung B6 yang merupakan tempat di mana pergelaran tari yang diorganisir oleh mahasiswa-mahasiswi Unnes jurusan seni tari semester IV dan semester VI itu dilaksanakan. Di depan gedung aku melihat banyak sekali orang yang berdiri dan mengantri tiket masuk pergelaran. Aku tak kunjung masuk, karena teralu ramai aku tak mendapat kesempatan untuk meninjau harga tiket, apalagi masuk ke dalam gedung. Kemudian aku melangkah menuju ke sayap kanan gedung dan di sana aku melihat banyak sekali orang mengenakan kostum pertunjukkan kupikir mereka adalah penari/penyaji dalam acara ini. Belakangan aku tahu kalau ternyata acara pergerlaran tari 2011 itu merupakan bentuk tugas akhir bagi mahasiswa/mahasiswi semester VIII dimana mereka harus menyajikan sebuah karya mereka kepada apresiator. Aku melihat beragam ekspresi yang terpasang di raut muka para penyaji, ada yang cemas, bangga, takut, grogi, bahkan ada yang terkesan cuek bagiku. Karena cukup membosankan, maka kuputuskan untuk menunggu acara mulai dengan pergi ke warung kopi sembari ngobrol dengan teman-temanku. Namun kesan yang kudapat pada saat acara hendak mulai ialah rasa antusiasme penonton yang sangat tinggi terlepas dari hubungan dekat penonton dengan para penari.

Aku terlena dengan perbincangan di warung kopi sampai aku hampir lupa kalau acara ternyata sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Untungnya temanku yang bertugas sebagai pendukung prasarana pertunjukan menyempatkan waktu untuk memberi kabar via pesan singkat. Begitu kubaca langsung aku dan teman-teman menyudahi perbincangan kami di warung kopi dan segera menuju ke gedung pergelaran. Merasa kalau sudah tak ada tiket terjual, kami memutuskan untuk menontonnya saja dari layar yang disediakan oleh panitia. Aku melihat penyaji pertama sudah mulai tampil, menunjukkan kemampuan mereka menggerakan anggota tubuh mereka. Mereka menawarkan sesuatu yang bagiku sangat matang dalam hal konsep koreografi, dan gagasan yang kuat memang terpancar dari setiap gerakan yang dilakukan penari. Mereka mengemas semua itu dengan rapi, tertata, dan jelas struktur ceritanya. Cerita berkisar tentang kaum wanita yang notabene feminim ternyata juga bisa menjadi maskulin dan membela, merebut, bahkan mempertahankan hak-hak mereka. Dalam konteks tarian mereka ialah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ada satu hal yang buatku paling menarik dari pertunjukkan tari mereka, yaitu pada saat gadis kecil berlari mendatangi ibunya dan bertanya di mana ayahnya kemudian si ibu menjawab kalau ayahnya telah dibunuh orang asing/penjajah, kemudian anak kecil itu berlari sambil berkata kalau dia mau membunuh penjajah tersebut. Adegan itu bisa sangat reaktif bagiku, jika dilihat dari perspektif berbeda, aku melihat bahwa anak kecil bisa menjadi penggagas, atau pelopor terjadinya sebuah perubahan besar. Gambaran tersebut jelas bahwa akhirnya para wanita ini bersatu melawan penjajah dan memenangkan peperangan, itupun juga berkat andil anak kecil yang menembak penjajah pada saat perang. Kecerdasan koreografer sangat terlihat jelas dari penggunaan properti sebagai simbol, jadi pada saat properti tersebut dipisahkan dari tarian, dia bisa berdiri sendiri secara utuh sebagai hasil pemikiran yang matang, bukan cuma sebagai kebutuhan pertunjukan saja. Setelah perunjukkan mereka usai nama “Manggala Rini” disebutkan, aku kurang begitu tahu apakah itu nama kelompok mereka atau judul pertunjukkan mereka.

"The Dance Of Introduce", ialah judul pertunjukkan kelompok kedua. Pertunjukan kedua ini tidak memiliki gagasan yang kuat, sebab bagiku apa yang kubaca dari sinopsisnya terlalu dangkal dan cara penyampaiannya tidak terlalu mengena pemahamanku, sebab sudah sejak lama isu yang mereka angkat ini muncul di permukaan. Isu yang mereka angkat ialah tentang pencaplokan kebudayaan oleh negara tetangga. Dan jika melihat dari segi waktu isu tersebut sudah sangat lama sekali berada di permukaan Jadi apa yang mereka tawarkan itu terkesan gagap, dan meraih ide seadanya. Aku tak tahu seberapa lama persiapan mereka untuk menampilkan tarian tersebut, tapi yang aku lihat ialah koreografi yang standar, mereka mencampurkan beberapa tarian khas daerah dari Bali, Jawa, Sunda, hingga Aceh. Lebih apes lagi pada saat mereka sedang bermain, listrik yang ada dalam gedung padam, alhasil kejadian itu mengganggu konsentrasi mereka. Aku penasaran dengan apa yang mereka pikirkan pada saat listrik tersebut padam, namun yang buat aku cukup terkesima ialah mereka tetap menari, dan itu mendapatkan tepuk tangan yang riuh pada saat itu. Aku berkata dalam hati, kalau apa yang mereka lakukan ialah sesuatu yang keren. Mereka memiliki semangat profesional meskipun ada keterbatasan di dalam mereka. Ada satu bagian koreografi yang seolah-olah mempertemukan dan melawankan dua kebudayaan antara tarian tradisional yang bersifat etnis, dengan tarian modern yang merupakan representasi dari represifitas negeri asing. Melihat adegan tersebut aku jadi terpikir oleh satu negara maju, yaitu Jepang. Jepang bisa menjadi sangat maju pasca perang dunia II karena jepang sangat mau menerima imperialisme modern dari negara asing tetapi tetap menjunjung tinggi dan mempertahankan kebudayaan mereka, karena pada saat itu cuma kebudayaan warisan nenek moyang yang mereka miliki dan bisa dibanggakan oleh mereka. Sampai sekarang pun Jepang masih mempertahankan pola tersebut sehingga para pewaris kebudayaan yang masih muda tidak malu-malu untuk mempelajari bahkan mempromosikan kebudayaannya. Hal yang berlaku dan seperti harga mati di negara-negara maju ialah “kesenian/kebudayaan berada di garis paling depan, disusul oleh tekhnologi dan pengetahuan” . Sayangnya hal tersebut belum bisa berlaku di Indonesia, kesenian dan kebudayaan seakan dikebiri oleh kekuasaan pemerintah. Dapat kita ambil contoh pada saat band Koes Plus menyanyikan lagu dengan bahasa Inggris, presiden Soekarno langsung mengurung mereka ke dalam penjara. Lalu pada masa Orde Baru, banyak seniman yang hilang tanpa ditemukan lagi, belakangan diketahuia kalau mereka diculik oleh oknum-oknum pro pemerintah. Sekarang kesenian dan kebudayaan cuma menjadi sarana berpolitik bagi mereka yang memiliki kepentingan di beberapa tempat. Alhasil, banyak muda-mudi yang semakin tidak tahu pada akar kebudayaan mereka, karena kesenian, dan kebudayaan di negara kita sudah timpang. Mereka juga tidak tahu bagaimana mereka mempertahankan sesuatu yang tidak diketahui.
Pada adegan lain ada pemakaian properti yang ganjil bagiku. Pada saat ending, dua penari membanting kendi, aku tak tahu apa sebenarnya maksud mereka melakukan itu, apakah sebagai simbol tidak utuhnya lagi kebudayaan Indonesia, atau rusaknya moral bangsa sehingga menjangkit pada kebudayaan nasional? Terlepas dari semua itu kelompok penyaji kedua ini sangat total dan bersikap profesional yang patut kita tiru, dan mereka mau mengingatkan kita lagi untuk waspada terhadap pencaplokan kebudayaan lainnya.

Mencampur beberapa nuansa dalam satu koreografi pasti akan menghadirkan satu suguhan yang menarik dalam satu pertunjukkan, dan hal tersebut dilakukan oleh kelompok penyaji ketiga dengan judul "Pit". Mereka menghadirkan sesuatu yang berbeda dari ketiga kelompok lainnya. Pola gerakan dasar dalam tarian tradisional kemudian digabungkan dengan pola-pola tarian modern ditambah adanya sirkulasi penari bergantian menunjukkan kemampuan tariannya secara individu maupun kelompok. Sungguh satu hal yang sangat luar bisa yang mereka lakukan, pada saat mereka bisa memberi kesempatan penonton untuk mencerna apa yang mereka tawarkan kepada penonton dengan cara bergantian menari satu persatu di atas panggung kemudian menari bersama-sama diikuti oleh olah pencahayaan yang cukup membantu mempresentasian ide mereka meskipun aku melihat masih terkesan kaku dan kasar dalam segi pencahayaan. Penggunaan gerakan-gerakan atraktif memuat warna tersendiri bagi mereka. Sayangnya gagasan konsep yang mereka tawarkan masih kasar dan sekenanya, menyangkutkan pada tema pertunjukkan “Konservasi” . Kelompok ketiga ini memiliki wacana bahwa penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi sudah sangat meresahkan dan berpotensi untuk membuat efek rumah kaca dengan hasil pemanasan global. Tingkat polusi yang kian tinggi. Keengganan orang-orang untuk melakukan konservasi terhadap lingkungan. Namun bagiku pertunjukkan ketiga ini cuma sebatas pada pertunjukkan saja, sama halnya dengan para bangsawan Russia pada abad XVI yang senang pergi ke teater kota untuk menyaksikan betapa menyedihkannya kehidupan para petani waktu itu, namun setelah teater usai para bangsawan tersebut sama sekali tak memiliki empati atau perhatian terhadap para petani. Di sini ada kasus yang serius yakni pada saat kelompok ketiga menyuguhkan tarian dengan tema konservasi lingkungan yang memperhatikan perihal tingkat polusi yang tinggi dan pemanasan global yang kian menggila, mereka masih saja menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi mereka. Kekhawatiranku ialah jika hal detail itu sampai diperhitungkan oleh penilai, maka kelompok ketiga ini akan mendapat kritikan yang sangat tajam dari penilai sebab mereka cuma sebatas sebagai entertain yang memiliki gagasan standar.

Jujur aku sangat bingung dengan kelompok keempat ini, mereka menampilkan satu tarian yang sangat bagus, rapi, indah, namun sama sekali tidak ada korelasinya denga tema pertunjukkan. "Fajar di Bumi Hastinapura" yang menjadi judul pertunjukkan tersebut juga aku tak tahu itu kisah tentang apa, dan ada satu adegan di mana salah satu dari dewi-dewi melahirkan bayi, itu bayi siapa dan apa maksudnya aku kurang paham. Secara detail panggung dan koreografi, jelas itu dilakukan oleh orang yang profesional dan ahli di bidang tersebut. Begitu melihat setting panggung aku langsung berpikir kalau mahasiswi-mahasiswi belum akan memikirkan sampai ke detail-detailnya. Logikanya ialah, mereka mendapat waktu relatif singkat untuk menghafal koreografinya. Tapi jika itu memang benar garapan asli dari mahasiswi sendiri, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana bangganya mereka. Aku membaca sinopsisnyapun cukup kesulitan, karena yang aku baca malah terkesan seperti puisi, bukan narasi. Sampai sekarang aku masih belum terlalu tahu apa yang sebenarnya mereka mau sampaikan? Apakah tentang menumpas segala bentuk kebatilan dengan sikap satria, jujur,tulus ikhlas? Jika memang itu yang ingin mereka sampaikan, maka aku akan berkata kalau gagasan konsep mereka sangat dangkal. Cuma menonjolkan efek pencahayaaan, setting pangggung, koreografi yang matang saja. Dengan kata lain kelompok ke empat ini berhasil secara entertain namun dangkal dalam gagasan. Aku sama sekali tak mendapat kesan, ataupun pesan dari pertunjukkan mereka.

Setelah acara pergelaran itu selesai, aku melihat kelegaan yang begitu lepas dari masing-masing penampil. Mereka menyebar hampir di segala sisi gedung. Mendokumentasikan wajah bangga mereka masing-masing. Aku malah merasa terhibur oleh euphoria di luar gedung ini bagiku ini adalah hal yang biasa, namun selalu saja menyenangkan hati masing-masing orang.



Mana yang lebih penting, tentang proses atau hasil akhir?

Itu pertanyaan yang sering muncul dalam pemikiranku, karena jika kalian melihat hasil pergelaran yang seperti itu lalu bagaimana prosesnya? Apakah kalian tidak penasaran untuk melihat mereka berproses? Kebetulan aku juga hadir sejak tiga hari sebelum hari pergelaran. Ya, mereka berproses sejak lama namun aku berkesempatan menyaksikan proses mereka sejak tanggal 13 Juni kemarin dan aku ada di sana untuk menghantarkan Overheat Proyektor lalu iseng-iseng aku mengintip mereka melakukan proses. Dalam sesi latian para calon penampil itu sangat serius, lalu di sesi gladi bersih pertama masing-masing kelompok juga menampilkan segenap kemampuan mereka. Nah, yang jadi agak masalah ialah pada saat gladi selesai, para calon penampil dikumpulkan dan diberi evaluasi tentang hasil latian hari itu. Aku sangat kaget, yang aku lihat bukannya diskusi berbobot tentang gladi melainkan para calon penampil malah dihujani dengan segala kritikan yang dalam sudut pandangku itu sangat tidak membangun. Menurutku pembimbing dalam mengkritik tak perlu terbakar semangat membara sehingga tak terkesan marah yang meledak-ledak. Aku heran, mengapa pembimbing itu sepertinya sangat menyukai perannya sebagai kritikus evaluasi latian. Apakah dengan hal tersebut, pembimbing merasa mendapatkan power dan seakan-akan senioritasnya meluber kemana-mana sehingga bisa sampai dilihat oleh orang di luar forum diskusi tersebut. Di situ aku bisa menyimpulkan kalau sebagian besar pemahaman pembimbing mengenai seni pertunjukkan ialah bagaimana caranya menampilkan satu pertunjukkan dengan hasil tepuk tangan. Aku tertawa sesaat setelah menyadari hal tersebut, apakah harus seperti itukah beratnya orang dalam berproses? Bagiku apa yang pembimbing latian lakukan itu lebay. Bagaimana kita bisa memaknai sesuatu jika yang kita lihat secara garis besar ialah kemarahan? Apakah kita bisa menangkap itu sebuah nasihat, atau saran dari situ? Aku berpikir sungguh berat hari-hari para calon penampil akhir-akhir ini.

Jika dilihat di atas panggung memang setiap penampil harus melakukan segala sesuatu dengan maksimal hingga bisa dikatakan kalau apa yang mereka lakukan berhasil pada saat mendapatkan tepuk tangan yang meriah. Namun jika ternyata para penampil merasakan mendapat beban untuk melakukan hal tersebut apakah masih bisa dikatakan sebagai presentasi seni? Apalagi yang mereka tampilkan ialah bentuk interpretasi mereka terhadap konservasi seni. Bagiku sebuah pertunjukkan yang ideal ialah pada saat kita bisa menyampaikan apa yang kita bicarakan sesuai dengan ideologi masing-masing.

* tulisan ini dibuat sebagai ulasan singkat dalam pertunjukan tari yang digelar di gedung B6 Unnes pada tanggal 16 Juni 2011.
** penulis merupakan anak magang di Organisasi Hysteria, yakni organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar