Selasa, 14 Juni 2011

Setelah Pertemuan Itu

Setelah Pertemuan itu..*
(reportase repertoar tari Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah sewaktu di Demak)

Dalam perjumpaan seringkali kita menemukan hal-hal baru. Pertemuan itu jugalah yang mengantarkan kita pada petualangan, sehingga kita tergelitik untuk menjelajahi hal-hal yang lebih menantang. Pada kesempatan lain, pertemuan untuk dianggap sebagai sebuah pertemuan haruslah diakhiri perpisahan. Dengan demikian pertemuan selalu menyiratkan perpisahan. Ini adalah paradoks, dan begitulah kita hidup, penuh dengan sesuatu yang paradoksal. Namun sesungguhnya segala sesuatu yang bertentangan (paradoksal) pada hakikatnya adalah saling melengkapi. Mereka satu dalam hal kebedaan. Gelap-terang, atas-bawah, laki-laki-perempuan, siang-malam, baik-jahat, pada hakikatnya adalah emanasi dari yang tunggal.

Begitulah filosofi topeng tari Cirebon yang terepresentasikan dalam tari topeng panji. Di dalamnya adalah perwujudan antara gerak dan diam. Tari topeng panji tidak menegaskan karakter yang tegas, apakah ia laki-laki atau perempuan. Ia adalah emanasi dari sang hyang tunggal. Segalanya berpaut dan padu. Kepenuhan sekaligus kekosongan. Tidak heran jika tari ini menjadi tari pembukaan dalam pagelaran tari yang dilakukan oleh Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. Rendezvous sendiri menjadi tajuk dalam pertunjukan yang digelar di makam Sunan Kalijaga, Kadilangu- Demak. Konsep pertunjukan yang disokong Kelola ini dimaksudkan untuk mencari berkah dari para makam orang-orang keramat. Ini sejalan dengan wasiat Mimi Rasinah sebelum meninggal, jika tampuk kepemimpinan dan regenerasi tari topeng Cirebon langgam Mimi Rasinah haruslah para penerusnya melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Mimi Rasinah. Sebagaimana diketahui bahwasanya perkembangan tari topeng cirebon tidak bisa dilepaskan dari massifnya penetrasi kekuasaan kerajaan Demak di berbagai daerah Pesisir Jawa. Bahkan disebutkan dalam Babad Cirebon Carang Satus tari topeng Cirebon digunakan untuk melakukan diplomasi budaya untuk menaklukkan pemberontakan di Cirebon. Konon diplomasi budaya ini digagas oleh Sunan Gunungjati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga. Bertolak dari itu wasiat Mimi Rasinah pada Mimi Wacih, sebagai penerus tari topeng Cirebon untuk mengunjungi Makam Ciweni, Makam Suta Jaya, Makam Wiralodra, Makam Lastra, Makam Sunan Gunung Jati, Makam Sunan Kali Jaga, dan Makam Syek Syaruf / Nyata / Nata menjadi syarat mutlak.

yang menarik kemudian adalah, Mimi Wacih melakukan ziarah tidak sekedar ziarah, melainkan juga melakukan pertunjukan keliling. Ada tiga kota yang menjadi tujuan yakni: Cirebon, Demak, dan Majalengka. Setelah dari Cirebon rombongan ini tidak langsung menuju Majalengka, tetapi ke Demak dulu. Konon hal ini dilakukan sesuai dengan laku spiritual Mimi Rasinah.
Konsep pertunjukan ini tentu mengingatkan kita pada laku ‘mbarang’ seniman-seniman dahulu. Konsep ‘mbarang’ yang juga merupakan laku dari para pelaku seni tradisi ini belakangan memang tidak segencar dahulu. Padahal laku ‘mbarang’ mempunyai konsep filosofis dan historis yang kuat. Sayangnya ‘mbarang’ sekarang ini sering distigmatisasi sebagai laku peminta-minta, tak ubahnya seperti pengemis. Tentu saja ‘mbarang’ sekaligus ziarah sanggar ini sangat jauh dari stigma tersebut. Konsep ‘mbarang’ hanya masuk pada ranah filosofi dari tema rendezvous itu sendiri. Sebuah silaturahmi dan pertemuan dengan hal-hal yang baru untuk menemu semangat yang baru pula. Lihat saja ketika Wacih Rasinah, Aerli Rasinah, Rani Fitriyah Rasinah dan rombongannya yang Cirebon bertemu dengan publik Demak yang jawa pesisir. Tentu ada pertemuan dua arus kebudayaan besar di situ. Yakni sunda dan jawa, dan bagaimanapun Cirebon sendiri merupakan daerah peralihan dan perkawinan dua kebudayaan tersebut. Namun tentu saja pertemuan Cirebon dan Demak memunyai kode bahasa yang khas sehingga mau tidak mau akan tercipta mis, kejutan, kesegaran, atau bahkan ketidakmengertian.
Makanya Edi Supriyadi selaku pimpinan produksi membatasi penggunaan dialog dan menggantinya dengan gerakan-gerakan. Hal itu tampak jelas dalam sesi lawak yang menjadi acara penyela selama pertunjukan berlangsung. Mereka berhasil melakukan komunikasi melalui bahasa tubuh, indikasinya dapat dilihat dari banyaknya penonton yang paham dan tertawa-tawa melihat lawakan mereka.



Sebelum menggelar pertunjukan mereka melakukan ritual dan menyiapkan beberapa sesaji di makam Sunan Kalijaga. Ritualnya sendiri dimulai sejak pagi, 07.00 baru kemudian pertunjukan tari dimulai dari pukul 15.00. Pada prinsipnya Ada enam tarian yang dibawakan dalam pertunjukan, yakni tari topeng Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, Kelana, dan Kelana Udeng. Ke enam tari tersebut secara bergantian dibawakan oleh Mimi Wacih dan Aerli Rasinah.
Tari Panji dibawakan Mimi Wacih dengan lugas, Panji sebagai simbol emanasi sang hyang tunggal ditafsirkan pula sebagai representasi dari masa-masa kelahiran. Asal muasal dan induk dari fase selanjutnya. Perkembangan berikutnya dilambangkan dengan tari topeng samba dengan Aerli Rasinah penarinya. Tari ini melambangkan perkembangan masa-masa remaja, feminim bahkan kadang terkesan genit. Kemudian dilanjutkan dengan tari topeng rumyang yang merupakan fase dewasa oleh Mimi Wacih.
Kedua jenis tari ini kalau merujuk pada Jakob Sumardjo merupakan turunan dari tari topeng Panji. Secara karakter dan warna topeng tentu berbeda dengan tari topeng Kelana yang didominasi gerak-gerak maskulin bahkan kadang cenderung beringas. Seperti yang disebutkan sejak awal bahwa perbedaan karakter ini sejatinya adalah manifestasi dari yang tunggal. Keduanya harus seimbang untuk menjaga keteraturan hukum kosmos.
Tari topeng samba dan rumyang yang kontras dengan kelana dalam pertunjukan 21 Mei 2011 ini mau tidak mau mengingatkan saya pada dua pandangan besar menyoal aliran Apolonysian yang berseberangan dengan Dionysian. Yang satu melambangkan ketenangan yang satunya lagi melambangkan kekuatan yang meledak-ledak. Itulah yang saya tangkap ketika menikmati repertoar ini. Satu lagi tarian yang terlupa yakni tari topeng tumenggung yang menggambarkan seorang patih yang menyambut raja. Tari ini juga menarik dan sepertinya sengaja tari ini dibawakan di tengah-tengah. Masa peralihan dari karakter samba dan rumyang untuk masuk dalam kelana.
Secara pertunjukan bisa dikatakan pagelaran ini berjalan lancar. Hal ini tentu tidak lepas dari jam terbang Mimi Wacih dan Aerli Rasinah yang lumayan tinggi. Tidak ada halangan yang berarti selama berlangsungnya pertunjukan. Secara stamina team ini bisa dikatakan luar biasa mengingat mereka melakukan pertunjukan ini selama tiga hari berturut-turut dengan waktu yang sangat padat. Kendala bahasa juga bisa diatasi menggunakan gerakan.
Kursi yang disediakan panitia terisi penuh. Namun selama pertunjukan berlangsung terjadi pengurangan jumlah penonton. Namun setidaknya 60 % kursi dari total kursi 150an masih terisi hingga pertunjukan berakhir. Hal ini tidak terlepas dari pelibatan kelurahan Kadilangu yang sangat mendukung acara ini. Untuk menyiasati soundsystem dan pemanggungan, Edi Supriyadi sengaja membawa peralatan dari Cirebon langsung karena tidak ingin kualitas pertunjukan harus kacau gara-gara persoalan teknis. Hanya saja pilihan waktu di siang hari, apalagi di daerah pesisir yang cenderung cuacanya panas, sedikit mengurangi bangunan suasana pertunjukan. Menurut Edi sendiri pilihan waktu ini juga sudah disiasati sedemikian rupa mengingat banyak keterbatasan yang lain. Namun di luar itu semua pertunjukan berlangsung sukses dan masyarakat antusias menyimak.
Pada akhirnya tiap pertemuan (rendezvous) pastilah menyimpan kesan-kesan dari para pelakunya. Kesan-kesan inilah yang kelak tinggal, mengendap menjadi jalinan memorabilia dan pelajaran yang kelak bisa kita ambil. ‘ngalap barokah’ atau mencari berkah adalah bahasa spiritual untuk mencari soul (jiwa) sehingga tari tidak berhenti sebagai keterampilan semata. Tari adalah laku dan filosofi hidup, barangkali itulah yang membentuk Mimi Rasinah menjadi seorang maestro yang sekarang berusaha diwariskan ke anak-anaknya. Rendezvous lagi-lagi adalah sebentuk kerendahhatian untuk melakukan silaturahmi dan berkenalan dengan hal-hal yang baru, usaha untuk mengenali dan peduli terhadap di luar ‘keakuan’ kita. Pertemuan yang baik akan menyisakan kesan yang baik, kadang mendalam dan ispiratif. Dari sanalah kita semua dapat belajar: kesungguhan dan konsistensi tanpa syarat seorang maestro: Mimi Rasinah.

*ditulis oleh Adin (Direktur Hysteria, sebuah organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas yang berkantor di Semarang)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar