Jumat, 15 Juli 2011

Candradimuka, kawah untuk ‘menjadi’




Adin*

Kawah Candradimuka pada dasarnya bukan berarti kawah semata-mata. Bukan sekedar tempat menggodok seorang anak yang kemudian menjadi tempat peleburan berbagai macam senjata dewa dalam wadag jabang Tetuka. Sejatinya Kawah Candradimuka adalah bahasa metafor yang digunakan para penganggit kitab Mahabarata untuk menggambarkan kerasnya tempaan pendidikan sehingga seorang anak kelak menjadi sosok. Begitulah kira-kira hal yang ingin dijelaskan oleh bapak Mudjiono selaku pengampu sanggar Sarutomo dalam lakon wayang yang malah itu dibawakan anak didiknya. Gatotkaca jedhi, salah satu sub judul kisah pewayangan yang malam itu dibawakan dua dalang cilik, Anggit Laras Prabowo dan Canggih Tri Atmojo Krisno. Keduanya masih berusia 10 tahun, namun penampilan mereka di Sanggar Cakraningrat Rembang, asuhan Ki Sigid Ariyanto, Nampak memukau. Kedua dalang mengusai jalannya pertunjukan.

Pertunjukan yang terselenggara atas hibahYayasan Kelola yang terlaksana tanggal 24 Juli 2010 itu cukuplah menarik masyarakat Rembang. Penonton tampak antusias mengikuti jalannya pertunjukan wayang dari awal hingga akhir. Ada sekitar hampir seribuan penonton yang memadati arena pertunjukan. Yang lebih menarik antusiasme penonton tidak terhalangi oleh acara musik yang digelar tidak jauh dari tempat pementasan berlangsung. Saling rebut publik penonton pun terjadi dan terlihatlah bahwa pertunjukan malam itu sangat dinikmati masyarakat Rembang. Ada 3 panggung yang digunakan pertunjukan yang berlangsung selama hampir 4 jam, mulai dari pukul 21.00 – 23.00. Dua diguanakan untuk membawakan cerita dengan menggunakan wayang kulit dan satu panggung untuk wayang orang. Saling tukar panggung antara kedua dalang dan wayang orang berlangsung secara menarik. Ketiga panggung itu bisa saling melengkapi dan meramaikan suasana. Banyolan-banyolan para pemain yang rata-rata masih belia rupanya juga mampu mengocok penonton.

Sebetulnya ada dua lakon yang dibawakan pada malam itu. Yang pertama Kangsa Adu Jago yang dibawakan oleh Rakha Alfirdaus Hikmatyar dan Fakir Nugroho. Yang kedua Gatutkaca Jedhi sebagaimana keterangan sebelumnya. Keempat dalang itu membawakan kedua lakon secara antusias. Secara teknik pemanggungan tidaklah ada sesuatu yang teristimewa selain pemanggungan standar para dalang. Teknik layar banyak, misalnya pernah dibawakan oleh Wayang Sandosa, ulang alik teknik penceritaan antara wayang orang dan wayang kulit juga sering digunakan Enthus Susmono (bahkan Ki Enthus malah menggunakan wayang golek pula), namun pertunjukan malam itu cukuplah istimewa mengingat para pemainnya kebanyakan berusia muda yang kelak diharapkan inovasinya. Tidak banyak yang bisa dibicarakan kaitannya dengan teknik pencahayaan, setting dan lain-lain. Semua terlihat standar. Kata standar disini tentunya bukan istilah penggampangan pada capaian mereka. Justru standar di sini adalah hal paling sederhana dicapai oleh kreator pertunjukan. Namun kepiawaian para dalang cilik dan kekompakan para pemain sudah selayaknya mendapatkan acungan jempol.


Lakon Gatutkaca Jedhi sendiri bercerita tentang masa-masa kelahiran jabang Tetuka, anak dari ksatria Pandawa, Werkudara. Gatutkaca belia yang sedari lahir menampakkan bakat-bakat kesaktiannya mulai mendapatkan perhatian para dewa. Saat pemotongan tali pusar Tetuka, tiada seorangpun yang dapat memotongnya. Maka bersemedilah raden Arjuna memohon senjata untuk memotong tali pusar Tetuka. Permohonan Arjuna mendapat sambutan dari Narada, sayangnya karena keteledoran dewata Kunta itu diberikan pada karna yang memang saudara Arjuna dan berwajah mirip. Setelah tejadi perang adu senjata Kunta pun terpisah menjadi dua, sarung pusaka jatuh ke tangan Arjuna sedang senjatanya jatuh ke tangan Karna. Sarung senjata itulah yang kemudian berhasil memotong ari-ari tetuka. Tidak hanya itu saja, sarung itu kemudian menyatu dengan jasad Tetuka. Kebetulan pada saat itu di Kayangan terjadi huru-hara atas ulah Patih Sekipu. Sang patih yang menunaikan tugas dari Prabu Kalapracona dari Trabelasuket untuk melamar Batari Supraba akhirnya harus menghadapi jabang Tetuka. Keduanya kalah di tangan Tetuka yang setelah ditempa di Kawah Candradimuka berganti nama menjadi Gatutkaca.

Lain halnya Gatutkaca Jedhi, Kangsa Adu Jago menceritakan masa muda Narayana, Kakrasana, dan Bratajaya dalam menghadapi kemelut perebutan tahta di kerajaan Mandura. Untuk diketahui bahwasanya Narayana dan Kakrasana ini merupakan nama kecil tokoh yang kelak ikut menentukan arah perang Bharatayudha. Sri Kresna dan Baladewa lah nama kedua tokoh ini kelak.

Kalau mau merunut menarik juga Mudjiono menyajikan lakon-lakon yang dipentaskan dalam program hibah pentas keliling ini. Satu lakon lagi yang dipentaskan namun tidak dipertunjukkan malam itu adalah Cupu Manik Astagina. Cupu yang menjadi cikal bakal kerajaan kera yang sangat terohor dalam cerita Ramayana. Ketiga lakon merupakan lkon yang mengisahkan cikal bakal lahirnya tokoh-tokoh yang pilih tanding, inspiratif, sakti, dan kuat. Sangat pas untuk memberikan motivasi bagi para pelaku seni pedalangan dan karawitan yang masih berusia belia di Sanggar Sarutomo. Sebagaimana diyakini Mudjiono bahwasanya Candradimuka dipahami tidak hanya sebagai tempat. Ia adalah laku dan proses, oleh sebab itu ia adalah ‘menjadi’ dan bukan taken for granted (terberi). Candradimuka bisa saja berwujud Sanggar Sarutama, bangku kuliah, tempaan hidup yang kesemuanya itu kelak akan membentuk karakter individu. Lakon-lakon macam Kangsa Adu Jago dan Cupu Manik Astagina, sejatinya adalah candradimuka juga, dimana para tokoh diuji, gagal dan bangkit lagi untuk kemudian menjadi sesuatu. Oleh sebab itu lakon-lakon menjadi sangat relevan tidak hanya bagi para pemainnya yang sedang tumbuh dan berkembang tetapi juga untuk masyarakat yang selalu mentransformasi diri menghadapi berbagai macam situasi dan melubernya informasi dari manapun untuk kemudian diolah dan disaring dan kelak menempa masyarakat ini mau jadi apa.

Sayangnya karena waktu yang sangat singkat, para pegiat Sanggar Sarutomo belum bisa membagi proses kreatif mereka di Kota Kartini ini. Jadwal yang padat dan kesibukan personel yang rata-rata masih sekolah ini tidak memungkinkan mereka untuk berbagi cerita atau memberikan lokakarya singkat bagi anak-anak kecil di kota garam in

*penulis adalah direktur organisasi Hysteria dan dapat dijumpai di www.adinhysteria.blogspot.com. silakan pantau kegiatan kami di www.grobakhysteria.org :)ini adalah tulisan lama yang sengaja diposting penulisnya dengan semangat berbagi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar