Oleh: Adin
Benarkah tanggung jawab menjadi sastrawan , penyair lebih-lebih kaitannya dengan dunia kesusastraan menjadi semata-mata tugas individu? Benarkah para ‘calon’ sastrrawan atau penyair harus mengurus dirinya sendiri berikut karyanya tanpa peduli pada konteks kultural apa ia tumbuh dan sistem apa yang melingkupinya? Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang mendominasi dalam berbagai diskusi yang digelar pada event “Sastra Balik Desa” 16-18 Mei 2008 lalu di desa Gebyok, Gunungpati Semarang. Komentar-komentar dari beberapa senior semakin mengukuhkan mitos itu bahwa untuk menjadi sastrawan Anda harus berdarah-darah sendirian karena media hanya akan memuat karya yang dianggapnya layak.
Yatim Kolektif
Pada tataran ideal dan iklim yang baik barangkali mitos-mitos di atas mendapatkan pembenarannya. Tetapi bagaiamana jika iklim tidak mendukung dan infrastruktur kesusastraan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan? Mengutip Raudal Tanjung Banua, pembicara dalam salah satu sesi diskusi “Sastra Balik Desa”, sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak hanya kesusastraan, tetapi juga kesenian, selalu dinomorduakan dan menjadi anak yatim di berbagai kota di Indonesia. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana perasaan yatim itu menjadi milik kolektif sehingga tercipta iklim saling membantu, support, dan mengisi kekurangan. Jadi tidak hanya menuntut kualitas tetapi juga memperbaiki sistem pembelajaran yang ada. Kalau saya misalkan dengan tradisi zakat, ada sebagian dari hak untuk para pemula yang dibawa oleh sastrawan yang telah mapan. Menyitir Faisal Kamandobat yang mengungkapkan ide tentang etika. Jadi tidak hanya perilaku kesusastraan saja dan tuntutan mengenai perbaikan kualitas teks, tetapi juga diperhatikan etika dalam berkesusastraan.
Kesemua hal itulah yang kelak akan menentukan perkembangan kesusastraan di suatu kota. Mengingat proses regenerasi sastrawan muda di Bali sangat pesat patutlah kita iri hati. Tentunya bukan semata-mata karena bibit di sana baik dan bibit di sini busuk, tetapi bukankah realitas adalah konstruksi sosial dan bukan semata terberi? Dan tentu saja menjadi tanggung jawab etik juga bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk turut serta membentuk iklim kondusif . jadi tidak hanya mengaharap kerja keras dan berdarah-darah sementara pekerjanya sendiri tidak diperhatikan nasibnya, kesehatannya, kebutuhan psikisnya, begtulah kira-kira analoginya.
Dari Arak-arakan, homestay dan gagasan festival tahunan
Acara “Sastra Balik Desa” ini memang secara tematik lebih dikhususkan pada pemertanyaan ulang terhadap infrastruktur kesusastraan di Indonesia dan terutama di daerah masing masing peserta.
Berbagai peserta dari Jepara(kom. Samudra), Kudus (Pojok Sastra), Purwokerto (Nyaman dkk), Pekalongan (Rumah Imaji, Catur dkk), Solo (Pawon, kom. Lidah Buaya), Jogja (Rumah Lebah), Karanganyar(HPK), Bandung (ASAS, Mnemonic), Magelang (kom. Merapi), Salatiga, Rembang, (Sanggar Pesisir) Tangerang (KSI), Kulonprogo (Lumbung Aksara), Cilacap, Ungaran (KSI), Semarang(KIAS), Kendal(Maos Ajar), dan Pati (Sampak Gusuran) bertempat tinggal dan membaur bersama warga.
Barangkali interaksi yang terjalin tidak memungkinkan untuk dipetik hasilnya secara ekstrim. Misalnya warga yang tiba-tiba menulis karya sastra yang baik atau mau membaca karya sastra. Tapi dari pertemuan singkat inilah kelak akan berdampak psikologis terhadap anak-anak yang selama ini dilibatkan. Dari kebiasaan berinteraksi dengan dunia luar diaharapkan ada iklim kebebasan yang tertanam sejak dini di benak mereka. Tidak hanya kebebasan untuk berpendapat tetapi juga mengekspresikan diri dan hal itu berkait erat dengan identitas. ‘Srawung’ yang dalam istilah warga artinya relasi yang terjadi secara kekeluargaan dan toleransi antar sesama menjadi semangat dalam event sastra ini. Meskipun dalam beberapa hal barangkali terdapat compang-camping dalam kerja kepanitiaan.
Acara yang dimeriahkan juga pembacaan puisi dari para sastrawan mapan dan pementasan teater ini dibuka dengan arak-arakan anak-anak dan warga mengelilingi pedusunan Gebyok. Para peserta dari berbagai kota mengikuti prosesi ini dan dilanjutkan launching antologi ‘Mencari Rumah’ yang diselenggarakan di pelataran rumah warga. Hari selanjutnya (17/05) ada beberapa sesi diskusi dengan pembicara antara lain Yudiono KS, Iskandar, Budi Maryono, Yopi Setia Umbara, Wowok Hesti Prabowo, Aulia Muhammad dan malamnya dilanjutkan pembacaan puisi dan pementasan teater Lingkar yang kebetulan tampil di Gebyok.
Hari terakhir (18/05) Gendot Wukir, Gema Yudha, Dian Hartati, Triyanto Triwikromo, Dwicipta, Faisal Kamandobat turut jua memeriahkan sesi diskusi. Kemudian malamnya dilanjutkan pembacaan puisi oleh Beno Siang Pamungkas, Timur Sinar Suprabana, Wijang Warek, Gunoto Saparie, Anis Sholeh Baasyin, tidak ketinggalan pula Komang Ira, Sunlie Thomas Alexander, Thendra, dan masih banyak lagi rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Konsep acara semacam ini memang bukanlah yang pertama, beberapa waktu lalu di Banten diadakan Ode Kampung yang menghasilkan manifesto bersama. Akan tetapi acara kali ini yang salah satu tujuannya untuk mencari (cari ) isu bersama ini nampaknya kurang berhasil. Tetapi sebagai sebuah perhelatan kami kira cukup berhasil (karena hampir tidak banyak yang menyimpang dari rundown semula) dan sekaligus bisa menjadi pintu bagi event-event serupa untuk tahun-tahun berikutnya. Karena tidak menutup kemungkinan Semarang kelak juga mempunyai event sastra yang memang disokong tidak hanya segelintir orang tetapi juga menjadi milik kolektif komunitas sastra di jawa Tengah.
(tulisan ini dibuat 3 tahun lalu, diposting ulang demi menyambut sastra balik desa kedua yang semoga bisa terlaksana pada akhir tahun 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar