oleh: Adin
Kritik tidak selalu harus dilontarkan secara kasar. Tetapi kritik bisa diarahkan secara halus dan satir. Bahkan kritik akan lebih mudah menyusup melalui humor. Selain itu humor bisa menjadi sarana aktif untuk mencairkan suasana. Penggunaan humor inilah yang menjadi karakter khas film The Simpson untuk melancarkan kritik-kritiknya mengenai isu lingkungan. Simpson the movie yang dirilis pada tahun 2007 ini bercerita tentang kehidupan keluarga simpson yang tiba-tiba harus berubah karena kecerobohan Homer yang membuang sampah sembarangan. Kebetulan pada saat itu di tempat mereka tinggal sedang menggalakkan kampanye lingkungan. Dan sungai di kota mereka dinyatakan dalam keadaan status gawat.
Tentu tidak ada yang menyangka bahwa tindakan kecil Homer dapat merubah seluruh perwajahan danau Spriengfield. Adegan ini seolah hendak memberitahu bahwasanya seberapa kecil tindakan kita akan bepengaruh terhadap dunia yang lebih luas. Sebagiamana pernah saya singgung dalam dunia makro dan dunia mikro. Tindakan Homer yang mengalami pendahsyatan bisa jadi merupakan gambaran orang kebanyakan. Dan pendahsyatan yang bisa dilihat sebagai olok-olok ini menjadi gambaran menarik jika kita mau berkaca pada diri sendiri. Dan banyak lagi adegan-adegan menarik yang akan saya deskripsikan berdasar ketertarikan pribadi.
Adegan menarik lain yakni ketika kakek Bart yang tiba-tiba seolah kesurupan yang kemudian meracau ramalan masa depan yang belakangan terbukti secara kebetulan. Hal ini memang tidak berbeda jauh dengan cara berpikir kita yang terkadang sok rasional tetapi pada saat-saat tertentu menjadi dangat mistis karena mengadapi realitas yang kita tidak sanggup menalarnya.
Bagaimanapun juga cara berpikir mistis seperti yang pernah dikritik Tan Malaka di dalam Madilog tetap akan ada. Atau memang ini bukti dari religious insting manusia? Entahlah.
Pencemaran parah itu tidak lantas disikapi oleh pemerintah dengan usaha-usaha manusiawi. Penduduk Spriengfield menjadi penduduk percontohan kemurkaan tuhan karena kecerobohan mereka. Negara lantas lepas tangan bahkan pilihan pemerintah dalam memutuskan kebijakan hanya berdasar tebak-tebakan semata. Pada akhirnya Spriengfield diisolasi dalam kubah raksasa tembus pandang. Adegan ini mengingatkan saya pada karya Pramoedya yang berjudul Rumah Kaca (Panopticon). Bahkan pada adegan lain perilaku negara dalam mengontrol perilaku warganya sampai pada tahap mencemaskan. Misalnya ketika percakapan Marge dan Lisa dapat disadap oleh pemerintah. Bukankah hal ini tidaklah asing ditemui di negara-negara yang totaliter?
Adegan lain yang mengesankan saya pada film yang diangkat dari karya Matt Groening yakni ketika Homer mendapat pencerahan. Saya masih belum mengerti nampaknya Groening hendak menonjolkan kekuatan-kekuatan di luar rasionalitas untuk mengatasi masalah. Ataukah hal itu menjadi bahan olok-olok Groening. Bagaimanapun juga film ini telah sukses menyuntikkan kritiknya tidak secara kasar dan menggurui .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar