Sabtu, 30 November 2013

Kota di Antara Hutan dan Tanaman yang Merambat

kunstlerhaus, tempat pemutaran film tentang Fluxus yang menggerakkanku ke kota ini
kunstlerhaus, tempat pemutaran film tentang Fluxus yang menggerakkanku ke kota ini


(bagian ke sepuluh)

Butuh waktu dua hari untuk menimbang-nimbang perjalan ke Stuttgart, kota yang jadi bagian Negara Baden-Wurttemberg, Jerman. Ini terkait dengan projectku untuk mempelajari Fluxus selama di Wiesbaden. Soal projectku nanti akan aku tulis dalam naskah terpisah. Niat untuk ke Stuttgart ini dipicu oleh email dari Amanda Rath, seorang dosen dan peneliti di Goethe Universitat Frankfurt am Main yang menginformasikan adanya pemutaran film tentang Fluxus yang dibuat berdasar penelitian Dorothee Richter (Zurich Universities of Applied Sciences and Arts). Penasaran akhirnya Selasa (15/10) aku beli tiket kereta juga. Menghemat biaya aku ambil tiket paling murah dengan resiko perjalanan lama dan berganti-ganti kereta. Ini juga jadi perjalanan pertama terjauhku di sini.

Heilbronn, kota yang berhadapan langsung dengan sungai
Heilbronn, kota yang berhadapan langsung dengan sungai

Sebelumnya aku sempat mencari informasi kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia atau teman yang tinggal di Stuttgart, namun rupanya hingga hari H tak ada aku temukan kontak. Buat jaga-jaga saja kalau kemalaman. Tapi memang sudah aku niati kalau tak dapat tempat menginap aku akan berjaga semalaman di stasiun kereta bawah tanah di pusat kota, biasanya lebih hangat. Lagian Stuttgart termasuk kota yang aman, jadi tak ada alas an untuk khawatir. 
Tepat pukul 12.38 aku naik kereta berkode RB 15715 menuju Darmstadt. Butuh ganti kereta hingga empat kali untuk mencapai Stuttgart. Benar saja, jika naik kereta cepat bias ditempuh hanya 2 atau 3 jam, kali ini harus 4 jam. Namun ternyata perjalanan memakan waktu lebih lama. Jadwal dan jenis kereta yang kunaiki mempunyai sedikit perbedaan sehingga 45 menit aku terkatung-katung di sebuah kota yang entah lupa namanya. Dari sekian stasiun kota yang kusinggahi, Darmstadt, Heidelberg, hingga Heilbronn, yang terakhirlah yang paling keren. Kota ini persis menghadap sungai dan pemukimannya naik ke atas bukit. Hampir mirip dengan Rudesheim, tetapi tetap beda. Sempat tersirat sebelum balik ke Wiesbaden aku akan mampir dulu ke Heilbronn. Namun rupanya saat pulang kereta memiliki jalur lain, yakni lewat Karlsruhe dan Mainz. Heilbronn ini sungguh cantik, sayangnya aku hanya bias melihat dari balik kaca kereta.

Old Kastil, bekas tempat  pemeliharaan kuda pada tahun 950 dan sekarang difungsikan menjadi museum kota setelah renovasi berkali-kali
Old Kastil, bekas tempat pemeliharaan kuda pada tahun 950 dan sekarang difungsikan menjadi museum kota setelah renovasi berkali-kali

Di sini kalau beli tiker satu hari,tak tergantung dengan kereta mana mau berangkat. Misalnya aku beli tiket untuk hari ini, bebas mau naik kereta apa saja asal masih satu kelas. Mau berangkat jam berapapun tak masalah asal masih pada tanggal yang sama. Kalau mau murah bisa beli tiket pulang pergi dalam sehari. Untuk tipe kereta IC atau ICE sekali perjalanan dari Wiesbaden ke Stuttgart bisa lebih murah asal tergantung pada jam tertentu. Artinya sekali telat ya sudah tak akan bisa menggunakan tiket itu lagi. 
Aku sampai di Stuttgart hamper pukul 19.00, acara dimulai sejam lagi dan aku benar-benar buta terhadap kota itu. Hujan tipis-tipis. Aku Tanya orang-orang dan akhirnya sampai juga di Kunsterlhaus Stuttgart. Hingga acara rampung aku belum memikirkan mau tidur di mana. Sempat berkenalan dengan orang-orang di sana, termasuk Lilian Scholtes, ibu-ibu dari Stuttgart dan pernah terlibat dalam event 5 tahunan Documenta pada tahun 2007 lalu.
Sewaktu hendak mengaso di stasiun, Lili menelpon menawarkan tempat tidur di apartemennya, naluri keibuannya mengatakan aku butuh pertolongan. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan ini. Selama hampir semalaman kami ngobrol tentang macam-macam. Mulai dari soal seni hingga isu-isu social lainnya. Lili pula yang memberikanku arahan untuk pagi harinya menemukan hal menarik di kota ini. Seperti tiap perjalanan yang tak kusiapkan sungguh-sungguh, selalu ada penyesalan tiap pulang karena pasti ada tempat menarik yang luput untuk aku singgahi, yakni Old State Gallery dan New State Gallery. Di museum ini terdapat karya seniman terkenal, misalnya, Rembrandt, Monet, Renoir, Cézanne and Beuys, Max Beckmann, Dalí, Matisse, Miró, Picasso, Klee, Chagall dan Kandinsky. Aku melewatkannya..

Hegel Haus
Hegel Haus



Namun demikian di kota berpenduduk sekitar 600 ribu jiwa ini aku masih sempat menyambangi Hegel Haus, Stiftirsche, Schillerplatz, dan beberapa objek menarik lainnya. Kota ini cukup indah, terletak tak jauh dari Black Forest, di sela-sela kota masih ada kebun anggur. Kalau istilah orang Stuttgart terletak di antara hutan dan tanaman yang merambat, romantis bukan. Adapun Stiftkirsche adalah gereja dengan arsitektur campuran antara romawi, ghotic, dan arsitektur modern. Jejak gereja ini bisa dilacak hingga abad ke 12, berkali-kali mengalami renovasi dan terakhir rusak parah karena perang dunia kedua. Direstorasi lagi dan sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari Schillerplatz, Bangunan Fruchtkasten, Prinzenbau, Old Chancellery dan Old Castle. Bangunan-bangunan bersejarah ini berada dalam radius 100 meter kira-kira, letaknya saling berdekatan. Di Schillerplatz, tempat yang didedikasikan untuk penyair jerman Fridrich Schiller seminggu dua kali diadakan pasar untuk rakyat. Patung Schiller ini merupakan karya Bertel Thorvaldsen.

Schillerplatz, didedikasikan untuk penyair kenamaan Jerman, Friedrich Schiller
Schillerplatz, didedikasikan untuk penyair kenamaan Jerman, Friedrich Schiller
Tak jauh dari Scillerplatz, ada Hegel Haus. Rumahnya mungil dan berada di pojok perempatan jalan. Tak sulit mencapai Hegel Haus karena di sudut-sudut jalan terdapat papan pentunjuk yang mengarah tempat-tempat penting. Jika dibanding dengan Goethe Haus di Frankfurt, Hegel Haus lebih kecil. Di sinilah konon Hegel menghabiskan masa kecilnya.
Terakhir aku ke Württembergische Kunstverein Stuttgart, menyaksikan pameran yang sedang berlangsung. Masuk harus membayar 3 Euro dan aku di dalamnya berjam-jam. Tak sengaja aku melihat karya Kiri Dalena, seorang kawan lama dari Filipina. Pertama kali bertemu dengannya saat di Bandung 2009 lalu. Aku menjadi guide yang mengantar Kiri menjelajah kota. Puas menjelajahi kota, pukul 14.59 tanggal 16 Oktober aku kembali ke Wiesbaden, tak sabar menjelajah hal-hal lain selama di Eropa. (Adin)

*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

Stuttgart dari atas
Stuttgart dari atas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar