Kamis, 28 April 2011
Suara Dari Pati
(pameran sub kultur punk dari Pesisir Pantura)
oleh: Adin
Pada awalnya adalah api yang menyala. Kalau ditanya hendak membakar apa? Ya..membakar apa aja yang bisa dibakar – Attak Instruktiffight
Aku bertemu Attak sekitar tahun 2008 di Festival Mata Air (Salatiga). Saat itu aku melihat anak muda di kelilingi zine dan bersetia di tempat itu untuk lapakan. Sempat terlontar pertanyaan yang nadanya meremehkan dariku waktu aku Tanya berasal dari mana dan dia bilang dari Pati. “Emangnya di Pati ada yang beginian?” hahaha rasis dan naif banget pertanyaan waktu itu.
Pertemuan kami selanjutnya terjadi di Blora waktu mengenang 1000 harinya Pramoedya Ananta Toer. Dari situ aku merasa bahwa anak ini menarik. Tapi sampai sejauh itu aku berlum tergerak untuk menggali lebih dalam. Baru setelah tahun 2010an aku merasa perlu untuk menjalin hubungan dengan Attak di Pati.
Membicarakan Attak tentu ikut membicarakan pula instruktifffight, roemah geogah, masuk angin, tikus hitam, super samin inc, kasus semen dan seabrek kegiatan lain yang dia tekuni selama bertahun-tahun. Attak yang bernama lengkap Jatra Palepati ini (lahir 08 Agustus 1980) telah bersetia di jalur Hardcore Punk sejak SMP hingga sekarang. Sebuah kesetiaan yang menurutku cukup tangguh dan menjadi alasan kenapa Hysteria mengundangnya untuk mempresentasikan gagasannya dalam bentuk karya. Tidak penting bagiku apakah semua karya orisinil atau tidak. Praksis yang menahunlah yang membuat aktivitasnya terdengar lebih ideologis ketimbang sok-sok an dan angin-anginan.
Besar di Palembang membuatnya bersentuhan banyak dengan aktivitas permusikan hingga akhirnya pada tahun 2004 Attak mengikuti saran keluarganya pindah Pati. Di kota Saridin ini hampir-hampir Attak mengalami kemandegan. Pati, kota kecil yang jauh dari hingar bingar gerakan sub kultur (jika dibandingkan dengan Jogja, Bandung, Jakarta dan kota-kota besar lain) telah memaksanya untuk lebih banyak melakukan inisiatif daripada harus menunggu umpan. Akhirnya di tengah keterbatasannya lahirlah Santai Zine tahun 2004, terbitan alternative pertama yang disusun secara kolase. Zine ini berbicara tentang kultur punk yang tercerabut dari konteksnya: perlawanan secara massif dan simultan terhadap budaya dominan yang cenderung jinak dan tanpa daya kritis. Punk harus menanyakan nilai-nilai itu dan memberinya tawaran nilai yang baru sebagaimana akar dari punk itu sendiri. Baginya punk yang dijaja-jajakan dalam ruang-ruang festival yang ditanggung oleh sponsor besar tak lebih dari punk yang terdomestifikasi dan terjebak pada gaya hidup tanpa menyadari konten dan konteksnya.
Kegelisahan Attak tidak berhenti di situ saja, pada tahun 2006 ia memutuskan lebih banyak beraktivitas di Blora bersama Koko (supersamin inc). Di Blora, Attak bersinggungan dengan persoalan-persoalan yang lebih membumi: Bupati yang korupsi, Blok Cepu dan kehidupan anak-anak di sana yang kadang (dan hingga sekarang) sering disalah pahami. Kadang-kadang Attak dan teman-teman di sana membuat demo tentang hari bumi, demo angkot, dan tentu saja mengorganisir acara musik. Hingga mereka dipertemukan dengan masyarakat Samin yang pada tahun-tahun itu bersikutat dengan persoalan penolakan terhadap PT Semen Gresik.
Di beberapa karyanya Attak mempunyai perhatian besar terhadap kasus semen. PT Semen Gresik yang bernafsu menambang di daerah kendeng yang merupakan pegunungan karst. Pegunungan Kendeng sendiri menyimpan potensi sebagai daerah resapan dan konon mempunyai sungai bawah tanah. Dan pada kenyataannya di daerah sekitar Gunung Kendeng ini tanahnya cukup subur. Tentu saja kasus ini tidak berhenti di sini karena mundurnya PT Semen Gresik dibarengi dengan massifnya invasi Indosemen untuk membangun pabrik semen di daerah itu-itu juga. Apalagi RTRW Provinsi yang tanpa didukung Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) mengondisikan pegunungan Kendeng memang diperuntukkan sebagai daerah tambang!
Yap! Berbicara Attak mau tidak mau berbicara segala hal yang bersinggungan dengan hal-hal besar pula. Menyadari bahwa suara-suara ini adalah suara yang patut didengar dan diperhatikanlah Hysteria menggelar pameran ini. karya-karya yang dipajang tentu bukanlah karya-karya khas dwimatra sebagaimana selama ini sering bercokol di benak rekan-rekan. Yang dipamerkan di sini berupa foto, sablon, stencil, dokumentasi, zine, kliping Koran, dan berkas-berkas yang merepresentasikan Attak dan dinamikanya di Pati dan kota sekitar.
Sampai hari ini Attak masih aktif menggelar karya di jalanan dan ikut mengadvokasi secara artistik kasus semen di Pati dan isu-isu sosial lain. Tidak semua karya kontekstual dengan persoalan di Pati tentunya. Ada beberapa isu besar yang diangkat Attak yang sampai hari ini pun masih kontroversial di Pati. Artikel beberapa waktu lalu yang ditulis oleh Suara Merdeka menunjukkan bahwa aktivitas Attak telah menarik perhatian pemkot Pati dan konon gara-gara itu pula ikut mempersulit keadaan anak-anak street punk dan elemen lain yang belum siap untuk bergerak secara radikal. Konon Attak bahkan menghindari mesin fotokopi dan memilih menyablon poster-posternya sendiri untuk ditempel di ruang publik. Strategi ini ditempuh bukan untuk nggaya-nggayanan tetapi lebih karena aktivitasnya telah mengakibatkan usah perfotokopian dipantau oleh satpol PP dan intel di Pati. Menurut satpol PP Attak dan kawan-kawan telah melanggar UU Reklame kota.
Kalau ditanya apa sih yang mempengaruhinya selama ini, selain pergaulan Attak tidak akan menyembunyikan keterpengaruhannya pada Marginal, Homicide, Balcony, Runtah, DOM 65, Sex Pistol, Rancid, Crass, dan warisan darah sang ibu yang ternyata mempunyai ketertarikan kuat di bidang dokumentasi (Ibu Attak mempunyai hobi Fotografi). Warisan budaya mendokumentasikan inilah kiranya yang membuat Attak rapi dalam hal pengarsipan dan beruntunglah kita bisa menikmatinya dalam pameran ini, belajar bersama dan seperti statement Attak: bisa membakar apa saja! Membakar api kreativitas dan daya kritis kita.
Pameran ini terselenggara atas kerjasama antara Hysteria dengan Roemah Goegah. Pameran berlangsung sejak 27 April hingga 08 Mei 2010.
Jumat, 22 April 2011
Kamis, 21 April 2011
Bumi, Ibu Kehidupan Yang Luluh Lantak
(Peringatan 41 Tahun Hari Bumi Internasional)
Filosofi yang berkembang di masyarakat seluruh dunia meyakini bahwa bumi adalah ibu dari kehidupan. Apabila mempelajari sejarah filsafat, pada abad sebelum masehi, manusia selalu mendiskursuskan tema mengenai asal kehidupan yang tidak sedikit para filsuf berkeyakinan bahwa bumi menjadi ibu dari kehidupan (J.Copleston S.J, 1990). Pada era yang membicarakan asal kehidupan dengan mengaitkannya kepada kosmos inilah muncul istilah kosmologi.
Sebagai seorang ibu, bumi menyediakan kebutuhan hidup bagi “anak-anaknya” (manusia, hewan, dan tumbuhan). Dari seluruh anak-anak yang bumi miliki, manusia adalah “anak” yang paling tidak menghormati ibunya. Bumi sering menanggung perbuatan-perbuatan tidak wajar dari manusia yang mengeksploitasi dirinya (sebut saja sebagai kejahatan atas bumi). Pengrusakan, pencemaran, dan tindakan-tindakan pengabaian eksistensi bumi kerap terjadi disebabkan oleh faktor ekonomi maupun faktor ketidak-perdulian (kultural).
Terminologi bumi di sini lebih akrab diganti dengan terminology lingkungan hidup (environment). Meskipun demikian makna yang dimaksud tidaklah berbeda. Apabila melihat kasus kejahatan atas bumi yang dilakukan dalam lingkup global, dengan mudah dapat disebut permasalahan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Pemanasan global ini berpengaruh terhadap mencairnya es di kutub-kutub bumi sehingga permukaan air laut juga menjadi naik dan pengaruh terhadap siklus iklim. Kenaikan permukaan air laut mengakibatkan banjir lebih besar dari waktu sebelumnya dan iklim yang lebih sukar diprediksi memakan korban di seluruh negara tetapi khususnya negara-negara miskin yang penghidupannya masih sangat dipengaruhi oleh iklim.
Hasil Konferensi PBB Untuk Perubahan Iklim (United Nation Climate Change Conference) di Kopenhagen, 192 negara yang hadir sepakat merumuskan beberapa aksi yang akan diambil yakni; pertama penetapan peningkatan suhu dunia maksimal berkisar 2°c; kedua menuntut Negara maju mengalokasikan dana US$ 30 Miliar yang akan digunakan untuk biaya adaptasi dan mitigasi Negara berkembang; ketiga menentukan format penyampaian informasi mengenai mitigasi dan adaptasi dari negara maju ke negara berkembang; keempat mengadakan mid-review pada 2015.
Poin kedua di atas diberi font berbeda dan digaris-bawahi bertujuan untuk memberi fokus penulisan. Dana US$ 30 Milyar ini berasal dari sumbangan negara-negara maju khususnya negara-negara yang maju industrinya karena dari industry merekalah penyumbang gas karbon terbesar. Sebagai contoh, Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah negara dengan konsumsi minyak bumi terbesar dan negara industry terbesar yang menyumbang gas karbon juga terbesar. Dengan kata lain, Amerika Serikat sangat berkontribusi terhadap pencemaran global sehingga ia diwajibkan membayar biaya mitigasi dan adaptasi terbesar. Dana ini dijadikan dana pembiayaan atas memitigasi laju suhu serta untuk dana adaptasi di negara-negara miskin dan berkembang. Dari hasil Konfrensi PBB tersebut terdapat kecendrungan pihak barat mau menekan usaha laju perkembangan negara-negara dunia ke-3 dengan mengurangi emisi gas buang mereka, padahal sebagai mana kita ketahui sebagian besar proses kemajuan zaman didukung oleh industrialisasi yang sebagian besar berhubungan dengan produksi emisi gas buang. Sebagai contoh kegiatan industri di beberapa wilayah di Indonesia dan beberapa negara asia lainnya akan berhenti karna acuan hasil konfrensi PBB tersebut. Saat kegiatan tersebut dihentikan demi mengurangi emisi gas buang negara maka akan berdampak pula pada menganggurnya ribuan pekerja yang menggantungkan pekerjaan mereka pada hal tersebut.
Indonesia sebagai anggota UNFCC dengan luasan wilayah yang sangat besar dan sebagai negara dengan luasan hutan termasuk terbesar di dunia akan mendapatkan dana pembiayaan yang besar dari dana mitigasi ini. Sekaligus Indonesia akan mendapatkan biaya juga untuk adapatasi.. Korupsi menggila di negara ini juga membuat masyarakat cemas apakah dana pembiayaan dari UNFCCC benar-benar akan dialokasikan untuk menanggapi perubahan iklim. Program UNFCCC ini biasa disebut Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Jika tidak dipergunakan benar-benar untuk membantu masyarakat Indonesia yang rentan menjadi korban perubahan iklim, maka Pemerintah Indonesia sama saja dengan membiarkan masyarakat mati pelan-pelan akibat keganasan perubahan iklim.
Apa yang dipaparkan di atas adalah kasus global yang berelasi dengan kasus nasional. Tetapi pembicaraan tidak berhenti pada ini saja. Kejahatan terhadap bumi terjadi hingga ke wilayah-wilayah yang lebih kecil dari negara Indonesia ini, yakni kota. Untuk Kota Semarang, data yang dimiliki YLBHI-LBH Semarang sepanjang tahun 2010 terjadi banyak sekali kejahatan terhadap bumi. Mulai dari pencemaran air oleh pabrik, penambangan illegal, kerusakan lingkungan akibat industry dan pertambangan, banjir akibat reklamasi, dan sebagainya.
Apa penyebab dari semua ini? Kebijakan pemerintah jawabannya. Pemerintah Kota Semarang lemah sekali dalam menjaga kelestarian bumi di Semarang. Sebagai contoh, Pemkot tidak berani menindak tegas PT. IPU (Indo Perkasa Usahatama) di pesisir utara Semarang yang nyata-nyata merusak lingkungan pesisir Semarang. Ini baru kasus di tahun 2010 yang tercatat oleh LBH Semarang. Pada tahun 2011 ada serangkaian kejahatan terhadap bumi yang terjadi di kota ini. Sebagai contoh yang nyata, dapat ditunjuk kasus Bukit Stonen yang menjadi korban dari pengusaha yang tidak bertanggung jawab dalam penataan dan pemanfaatan lahan yang mereka miliki. Pengusaha di sini adalah PT. Podo Rukun. Akibatnya, terjadi banjir lumpur di jl. Stonen Bendan Ngisor dari hasil pengerjaan proyek PT ini. Lagi-lagi, Pemkot lalai dalam pemberian ijin serta dalam menindak perbuatan PT yang merugikan masyarakat sekitar. Kerugian masyarakat berupa harta materiil dan berupa pencemaran sumur-sumur konsumsi di wilayah ini.
Ketidak-perdulian Pemerintah Kota Semarang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diterbitkan. Pada tahun 2010, Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Jawa Tengah telah diberlakukan. Otomatis, setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah harus segera menyusun Perda RTRW Kabupaten/Kota. Pada Perda RTRW Provinsi Jateng, Pemprov tidak mempertimbangkan secara cermat mengenai penataan dan pemanfaatan ruang. Terlihat dari ditetapkannya kawasan lindung pegunungan karst Kendheng Selatan sebagai kawasan pertambangan/industri. Tentu saja melanggar perundangan yang lebih tinggi, yakni UU Tata Ruang Nasional. Kekeliruan dan kecerobohan penataan dan pemanfaatan lahan ini disebabkan karena perda ini mengabaikan nilai penting dari dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). KLHS menjadi penting karena sebelum menerbitkan perda, pemerintah diwajibkan membuat suatu kajian mendalam mengenai keadaan lingkungan hidup.
Untuk Raperda RTRW Kota Semarang juga demikian. KLHS diabaikan dengan alasan yang serupa dengan alasan pengabaian KLHS dalam Perda RTRW Provinsi. Alasannya, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan penyusunan KLHS pada setiap peraturan hukum yang berimplikasi kepada lingkungan hidup, belum memiliki peraturan pemerintah sebagai acuan teknis penyusunan KLHS. Pemkot maupun Pemprov lalai dalam melihat bahwa KLHS bukan sekedar dokumen formalitas (dimana seperti biasanya dokumen formalitas selalu menemui ruang untuk dibuat sekenanya atau bahkan tidak dibuat) yang menunggu tindakan pro aktif dari pemerintah pusat dulu (untuk membuat peraturan pemerintahnya) barulah pemerintah daerah menyusun KLHS.
KLHS harus dilihat sebagai dokumen yang memang sudah sewajarnya perlu ada dalam Perda RTRW karena jika Pemerintah Provinsi Jateng dan Kota Semarang melihat ini sebagai kebutuhan dalam melestarikan lingkungan hidup, Pemprov Jateng dan Pemkot dapat melakukan penyusunan KLHS yang substansial (KLHS yang substansial pasti mengedepankan aspek-aspek substantive tanpa menyerah kepada mekanisme formal yang ternyata bertele-tele) bukan KLHS yang formal (KLHS formal dimaksud adalah KLHS yang harus menunggu peraturan pemerintah dibuat dahulu baru KLHS disusun).
Pada akhirnya, kesimpulan dari penulisan ini adalah bumi selalu menjadi korban dari kerakusan anaknya, manusia. Manusia global yang industrialis melakukan kejahatan terhadap bumi berupa pencemaran melalui pelepasan karbon hasil industri dan dengan ekstra-konsumtif atas penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi). Sementara manusia di Negara Indonesia khususnya pemerintah sibuk dengan transaksi REDD yang rawan korupsi. Sedangkan manusia di Provinsi Jateng dan Kota Semarang “khilaf” dan “lemas” dalam perlindungan kelestarian bumi di wilayahnya, sehingga penyusunan kajian perlindungan atas bumi terpentok kepada mekanisme formal yang bertele-tele.
Narasi di atas menjadi landasan gagasan yang akan di direspons secara artistic oleh Lingkar Bumi (perlindungan dan pelestarian bumi). Lingkar Bumi digagas oleh LBH Semarang, Hysteria, Karamba Art Movement (seni rupa), Molek (tari), LAcikata, Teater ASA dan Teater EMka.
IMAJINASI ADALAH ENERGI
Senin, 18 April 2011
launching LACIKATA di Grobak a(r)t Kos
"LACIKATA merupakan sebuah komunitas sastra hasil inisiasi dari HYSTERIA. LAcikata secara resmi berdiri pada 30 April 2011 setelah embrionya disiapkan sejak Januari 2011. Komunitas ini bervisi untuk menjadi ikon sastra di Semarang, dengan misi meningkatkan kualitas SDM Lacikata; menjalankan program konstruktif dan berkualitas; memperluas dan menjaga aksesbilitas dengan komunitas lain. Grup Facebook LACIKATA ini ditujukan untuk menyebarkan informasi tentang kegiatan komunitas kami dan juga menjalin keakraban. Para Pendiri komunitas ini antara lain: Adin (direktur hysteria) Vivi Andriani Arif Fitra Kurniawan Ganz Pecandukata"
Senin, 11 April 2011
Asep Menulis tentang sastra Indonesia dan Pengarang2 LEKRA
Asep Samboja Menulis, Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra | Asep Sambodja | Ultimus Maret 2011 | xiv +378 halaman | Rp 75.000
Oleh : Slamet Wahedi
Sejarah sastra Indonesia adalah jejak rekam estetika yang ditulis di tengah ...ketegangan ‘intrik’ pelaku seni dan ambisi politik kekuasaan. banyak peristiwa dan sosok yang kadang terlupakan. Begitu juga banyak gagasan dan pernyataan yang perlu dipertanyakan.
Sejak awal perintisannya (meminja istilah A. Teeuw), kita sepakati pada 1920-an sejarah Indonesia bergerak dalam sangkar ‘emas’. Pihak Belanda yang bertindak sebagai pemegang otoritas penerbitan membonsai dan mengebiri gagasan para pengarang dengan lembaga Balai Pustaka-nya. Bahkan lewat lembaga itu pula , pihak Belanda melabeli beberapa karya anak pribumi dengan tanda silang merh dan isu miring.
Pada masa pasca kemerdekaan, tepatnya pada 1960an, ketegangan sejarah sastra Indonesia semakin menmukan muaranya. Polemik kebudayaan antara Lekra dan Manikebu yang tanpa dihindari juga merupakan ketegangan politik, melahirkan kutub pahamsastra yang terus tarik menarik. Hingga kini, realisme sosialis yang diusung Lekra dan Humanisme Universal yang dikumandangkan Manikebu terus bergulat, bernegosiasi.
yang lebih parah keduanya pun saling sikut. Tak ayal, sejarah sastra yang lahir adalah sejarah sastra yang ditulis dan diperuntukkan orang-orang berkuasa. Dengan kata lain, perjalanan sastra Indonesia mengalami reduksi kenyataan dan kebenaran.
Lalu, bagaimanakah seharusnya sejarah sastra itu ditulis dan dipahami? Mungkin jawaban atas pertanyaan itulah yang dicoba diemban buku Asep Samboja menulis, Tentang sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra.
Mengenai sejarah sastra, buku ini menyarankan pentingnya dilakukanpenulisan ulang dari waktu ke waktu. Hal itu, menurut Asep, berdasar dua alasan. Pertama, bertambahnya jumlah satrawan dan karyanya seiring dengan perkembangan jaman. kedua, untuk leboh mengakomodasi banyaknya karya sastra yang lahir dalam rentang waktu tertentu (hal.9)
Penulisan ulang tersebut juga bisa dimaknai sebagai usaha merekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Dengan demikian, beberapa kelemahan dan ‘kesalahan’ penyusunan sejarah sastra kita selama ini dapat disempurnakan. Kaburnya awal sastra Indonesia dan batasan hakikat sastra Indonesia dapat diteliti dan diungkap secara komprehensif. Pun, beberapa karya terabaikan dapat diselamatkan.
Buku yang dikumpulkan dari serakan tulisan almarhum Asep Sambodja di jejaring sosial facebook yang diniatkan sebagai ‘kado’ kenangan 100 hari kematiannya memuat sekitar 52 esai yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama tentang sastrawan dan karyanya dalam mengekslporasi dan pencapaian estetika. Bagian kedua berbicara tentang para pengarang Lekra. Mereka yang terusir dan karya-karyanya yang terabaikan.
Mengenai sastra Indonesia, Asep mencoba menyoroti fenomena dan bahaya kanonisasi sastra dan tarik ulur identitas sastra cyberpunk. Menurut dia , dua gejala kesustraan itu telah mengakibatkan terjadinya ‘perselingkuhan’ dan ketidakjujuran para pelaku seni tentang pencapaian estetika.
Perselingkuhan itu berkutat pada ranah mitos otoritas para empu kuasa estetika. Sedangkan ketidakjujuran yang bisa dirasakan misalnya penolakan anugrah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer. Mereka-yang menolak- telah tidak jujur bahkan tidak adil atas capaian estetika seorang pengarang.
Selain persoalan sejarah sastra yang masih ‘buram’, Asep juga menaruh perhatian terhadap polemik sastra pusat (Goenawan Mohamas cs) dan sastra daerah (Bumiputra). Dalam empat esai bersambungnya, Asep secara panjang lebar mengurai paradoks dan misteri yang terselubung di tengah politik kebudayaan yag ditengarai hanya sebagai arena umpatan, makian, dan fitnahdaripada sebagai arena menemukan gagasan sastra Indonesia yang apik.
Jurnal Bumipoetra yang selama ini begitu gigih dan gencar menyerang Goenawan Mohamad cs dengan berbagai isu miring, terutama sastra perkelaminan, ternyata diam-diam juga memuat sastra yang berbau kelamin. Saya sama sekali tidak menganggap cerpen mini Hasan basri ini buruk. Justru sebaliknya, cerpen hasan basri ini puitis dalam menggambarkan perselingkuhan..yang saya pertanyakan, kenapa Boemipoetra bisa menerima cerpen Hasan Bisri, namun menolak novel Ayu Utami meskipun pada hakikatnya keduanya berbicara mengenai masalah yang sama? (hal.130)
Sedangkan mengenai para pengarang Lekra, Asep berani mengupayakan untuk mereka tempat yang layak. Dalihnya, semata-mata demi pembacaan sejarah sastra Indonesia yang lebih komprehensif. Bukan berdasar tendensi. Apalagi, ambisi politik kekuasaan.
Karena itu, bermunculanlah dalam tulisannya nama-nama pengagarang yang selama ini raib (atau diraibkan). Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, A.S. Dharta, Putu Oka Sukananta, Chalik hamid, Mawie Ananta Jonie, H.R. bandaharo, Agam Wispi, dan Hersri Setiawan. Tidak hanya mengapresiasi dalam memberikan ruang nilai yang layak, Asep juga mencoba meluruskan berbagai isu yang sempat dipelintir oleh sebagian mereka yang kini memegang tampuk kekuasaan sastra.
*) Santri Ponpes Mathali’ul Anwar, Sumenep, bergiat di Bibliopolis dan Komunitas Rebo Sore
**) Jawa Pos, 3 April 2011