(Peringatan 41 Tahun Hari Bumi Internasional)
Filosofi yang berkembang di masyarakat seluruh dunia meyakini bahwa bumi adalah ibu dari kehidupan. Apabila mempelajari sejarah filsafat, pada abad sebelum masehi, manusia selalu mendiskursuskan tema mengenai asal kehidupan yang tidak sedikit para filsuf berkeyakinan bahwa bumi menjadi ibu dari kehidupan (J.Copleston S.J, 1990). Pada era yang membicarakan asal kehidupan dengan mengaitkannya kepada kosmos inilah muncul istilah kosmologi.
Sebagai seorang ibu, bumi menyediakan kebutuhan hidup bagi “anak-anaknya” (manusia, hewan, dan tumbuhan). Dari seluruh anak-anak yang bumi miliki, manusia adalah “anak” yang paling tidak menghormati ibunya. Bumi sering menanggung perbuatan-perbuatan tidak wajar dari manusia yang mengeksploitasi dirinya (sebut saja sebagai kejahatan atas bumi). Pengrusakan, pencemaran, dan tindakan-tindakan pengabaian eksistensi bumi kerap terjadi disebabkan oleh faktor ekonomi maupun faktor ketidak-perdulian (kultural).
Terminologi bumi di sini lebih akrab diganti dengan terminology lingkungan hidup (environment). Meskipun demikian makna yang dimaksud tidaklah berbeda. Apabila melihat kasus kejahatan atas bumi yang dilakukan dalam lingkup global, dengan mudah dapat disebut permasalahan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Pemanasan global ini berpengaruh terhadap mencairnya es di kutub-kutub bumi sehingga permukaan air laut juga menjadi naik dan pengaruh terhadap siklus iklim. Kenaikan permukaan air laut mengakibatkan banjir lebih besar dari waktu sebelumnya dan iklim yang lebih sukar diprediksi memakan korban di seluruh negara tetapi khususnya negara-negara miskin yang penghidupannya masih sangat dipengaruhi oleh iklim.
Hasil Konferensi PBB Untuk Perubahan Iklim (United Nation Climate Change Conference) di Kopenhagen, 192 negara yang hadir sepakat merumuskan beberapa aksi yang akan diambil yakni; pertama penetapan peningkatan suhu dunia maksimal berkisar 2°c; kedua menuntut Negara maju mengalokasikan dana US$ 30 Miliar yang akan digunakan untuk biaya adaptasi dan mitigasi Negara berkembang; ketiga menentukan format penyampaian informasi mengenai mitigasi dan adaptasi dari negara maju ke negara berkembang; keempat mengadakan mid-review pada 2015.
Poin kedua di atas diberi font berbeda dan digaris-bawahi bertujuan untuk memberi fokus penulisan. Dana US$ 30 Milyar ini berasal dari sumbangan negara-negara maju khususnya negara-negara yang maju industrinya karena dari industry merekalah penyumbang gas karbon terbesar. Sebagai contoh, Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah negara dengan konsumsi minyak bumi terbesar dan negara industry terbesar yang menyumbang gas karbon juga terbesar. Dengan kata lain, Amerika Serikat sangat berkontribusi terhadap pencemaran global sehingga ia diwajibkan membayar biaya mitigasi dan adaptasi terbesar. Dana ini dijadikan dana pembiayaan atas memitigasi laju suhu serta untuk dana adaptasi di negara-negara miskin dan berkembang. Dari hasil Konfrensi PBB tersebut terdapat kecendrungan pihak barat mau menekan usaha laju perkembangan negara-negara dunia ke-3 dengan mengurangi emisi gas buang mereka, padahal sebagai mana kita ketahui sebagian besar proses kemajuan zaman didukung oleh industrialisasi yang sebagian besar berhubungan dengan produksi emisi gas buang. Sebagai contoh kegiatan industri di beberapa wilayah di Indonesia dan beberapa negara asia lainnya akan berhenti karna acuan hasil konfrensi PBB tersebut. Saat kegiatan tersebut dihentikan demi mengurangi emisi gas buang negara maka akan berdampak pula pada menganggurnya ribuan pekerja yang menggantungkan pekerjaan mereka pada hal tersebut.
Indonesia sebagai anggota UNFCC dengan luasan wilayah yang sangat besar dan sebagai negara dengan luasan hutan termasuk terbesar di dunia akan mendapatkan dana pembiayaan yang besar dari dana mitigasi ini. Sekaligus Indonesia akan mendapatkan biaya juga untuk adapatasi.. Korupsi menggila di negara ini juga membuat masyarakat cemas apakah dana pembiayaan dari UNFCCC benar-benar akan dialokasikan untuk menanggapi perubahan iklim. Program UNFCCC ini biasa disebut Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Jika tidak dipergunakan benar-benar untuk membantu masyarakat Indonesia yang rentan menjadi korban perubahan iklim, maka Pemerintah Indonesia sama saja dengan membiarkan masyarakat mati pelan-pelan akibat keganasan perubahan iklim.
Apa yang dipaparkan di atas adalah kasus global yang berelasi dengan kasus nasional. Tetapi pembicaraan tidak berhenti pada ini saja. Kejahatan terhadap bumi terjadi hingga ke wilayah-wilayah yang lebih kecil dari negara Indonesia ini, yakni kota. Untuk Kota Semarang, data yang dimiliki YLBHI-LBH Semarang sepanjang tahun 2010 terjadi banyak sekali kejahatan terhadap bumi. Mulai dari pencemaran air oleh pabrik, penambangan illegal, kerusakan lingkungan akibat industry dan pertambangan, banjir akibat reklamasi, dan sebagainya.
Apa penyebab dari semua ini? Kebijakan pemerintah jawabannya. Pemerintah Kota Semarang lemah sekali dalam menjaga kelestarian bumi di Semarang. Sebagai contoh, Pemkot tidak berani menindak tegas PT. IPU (Indo Perkasa Usahatama) di pesisir utara Semarang yang nyata-nyata merusak lingkungan pesisir Semarang. Ini baru kasus di tahun 2010 yang tercatat oleh LBH Semarang. Pada tahun 2011 ada serangkaian kejahatan terhadap bumi yang terjadi di kota ini. Sebagai contoh yang nyata, dapat ditunjuk kasus Bukit Stonen yang menjadi korban dari pengusaha yang tidak bertanggung jawab dalam penataan dan pemanfaatan lahan yang mereka miliki. Pengusaha di sini adalah PT. Podo Rukun. Akibatnya, terjadi banjir lumpur di jl. Stonen Bendan Ngisor dari hasil pengerjaan proyek PT ini. Lagi-lagi, Pemkot lalai dalam pemberian ijin serta dalam menindak perbuatan PT yang merugikan masyarakat sekitar. Kerugian masyarakat berupa harta materiil dan berupa pencemaran sumur-sumur konsumsi di wilayah ini.
Ketidak-perdulian Pemerintah Kota Semarang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diterbitkan. Pada tahun 2010, Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Jawa Tengah telah diberlakukan. Otomatis, setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah harus segera menyusun Perda RTRW Kabupaten/Kota. Pada Perda RTRW Provinsi Jateng, Pemprov tidak mempertimbangkan secara cermat mengenai penataan dan pemanfaatan ruang. Terlihat dari ditetapkannya kawasan lindung pegunungan karst Kendheng Selatan sebagai kawasan pertambangan/industri. Tentu saja melanggar perundangan yang lebih tinggi, yakni UU Tata Ruang Nasional. Kekeliruan dan kecerobohan penataan dan pemanfaatan lahan ini disebabkan karena perda ini mengabaikan nilai penting dari dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). KLHS menjadi penting karena sebelum menerbitkan perda, pemerintah diwajibkan membuat suatu kajian mendalam mengenai keadaan lingkungan hidup.
Untuk Raperda RTRW Kota Semarang juga demikian. KLHS diabaikan dengan alasan yang serupa dengan alasan pengabaian KLHS dalam Perda RTRW Provinsi. Alasannya, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan penyusunan KLHS pada setiap peraturan hukum yang berimplikasi kepada lingkungan hidup, belum memiliki peraturan pemerintah sebagai acuan teknis penyusunan KLHS. Pemkot maupun Pemprov lalai dalam melihat bahwa KLHS bukan sekedar dokumen formalitas (dimana seperti biasanya dokumen formalitas selalu menemui ruang untuk dibuat sekenanya atau bahkan tidak dibuat) yang menunggu tindakan pro aktif dari pemerintah pusat dulu (untuk membuat peraturan pemerintahnya) barulah pemerintah daerah menyusun KLHS.
KLHS harus dilihat sebagai dokumen yang memang sudah sewajarnya perlu ada dalam Perda RTRW karena jika Pemerintah Provinsi Jateng dan Kota Semarang melihat ini sebagai kebutuhan dalam melestarikan lingkungan hidup, Pemprov Jateng dan Pemkot dapat melakukan penyusunan KLHS yang substansial (KLHS yang substansial pasti mengedepankan aspek-aspek substantive tanpa menyerah kepada mekanisme formal yang ternyata bertele-tele) bukan KLHS yang formal (KLHS formal dimaksud adalah KLHS yang harus menunggu peraturan pemerintah dibuat dahulu baru KLHS disusun).
Pada akhirnya, kesimpulan dari penulisan ini adalah bumi selalu menjadi korban dari kerakusan anaknya, manusia. Manusia global yang industrialis melakukan kejahatan terhadap bumi berupa pencemaran melalui pelepasan karbon hasil industri dan dengan ekstra-konsumtif atas penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi). Sementara manusia di Negara Indonesia khususnya pemerintah sibuk dengan transaksi REDD yang rawan korupsi. Sedangkan manusia di Provinsi Jateng dan Kota Semarang “khilaf” dan “lemas” dalam perlindungan kelestarian bumi di wilayahnya, sehingga penyusunan kajian perlindungan atas bumi terpentok kepada mekanisme formal yang bertele-tele.
Narasi di atas menjadi landasan gagasan yang akan di direspons secara artistic oleh Lingkar Bumi (perlindungan dan pelestarian bumi). Lingkar Bumi digagas oleh LBH Semarang, Hysteria, Karamba Art Movement (seni rupa), Molek (tari), LAcikata, Teater ASA dan Teater EMka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar