(bagian 5)
Tak terbayangkan keberadaanku
di Wiesbaden tanpa bantuan teman-teman mahasiswa dari Indonesia.
Merekalah yang mau bersusah-susah membantu mencari tempat, mengajari
masak, membeli hal-hal dasar dan mengajak berkeliling pada periode awal
kedatangan. Perkenalan dengan mereka juga cukup dari internet. Anastasia
Dwi Rahmi lah yang sedari awal membantu banyak hal, termasuk
mendorongku untuk berkenalan dengan para mahasiswa yang ada di sini.
Adalah Maya Puspita Sari, mahasiswa Teknik Lingkungan di Hochschule
Rhein Main Wiesbaden yang banyak membantuku mencarikan tempat tinggal.
Dia juga yang mengenalkanku dengan teman-teman di sini seperti Brilly,
Pascal, Nuri, Kiki, Leo, dan lain-lain. Sebelum kenal Maya, Nadia
Andhini yang menyarankanku untuk kontak Maya. Sebelumnya entah siapa
yang aku hubungi sudah lupa. Tahu-tahu paling intensif sama Maya
ini. Terus terang meski Hyteria jadi tempat singgah tak resmi band-band
'backpacker' dari belahan dunia lain tapi aku tak akrab dengan mereka
betul-betul, hanya beberapa. Jadi meskipun menjalin hubungan dengan
mereka, aku urung minta bantuan.
|
beberapa teman mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman, main kartu di tempat Nuri |
Teman-teman
dari negeri asal inilah yang sedemikian ramah memperlakukan teman satu
negaranya. Pertama kali datang ke Wiesbaden aku diajak keliling ke
kota, menyaksikan Kurhaus, kasino, jam kikuk raksasa, dan tempat-tempat
lain yang aku tak tahu itu tempat apa. Pokoknya bagus saja dan tak tahu
namanya. Mereka juga mengajari membeli tiket bulanan supaya murah dan
kiat-kiat hidup di sini supaya tak boros. Semua teman yang kukenal
rata-rata bisa masak sendiri. Hal itu jauh lebih irit daripada beli di
luar. Tak sampai 1 Euro kita bisa beli beras, 3 Euro beli ayam yang
tinggal dimasukin open dan sudah bisa makan sehari. Jika dibanding harus
beli di luar jauh lebih mahal. Kebanyakan tempat makan eropa untuk
merasakan daging harganya di atas 10 euro sekali makan. Alternatif lain
kalau jajan di luar yakni beli di kedai kebab Turki. Awal-awal aku
sering beli kebab. Harganya variatif, mulai dari 2 Euro hingga 10 an
Euro. Karena porsinya besar biasanya beli sekali bisa dimakan dua
kali. Pertama belanja sama Maya aku beli seprai, mie instan, dan
beberapa kebutuhan lainnya. Bersama Nadia aku diberi tahu tempat-tempat
belanja murah di Wiesbaden. Belakangan, pasangan suami istri Pascal dan
Nuri banyak membantuku saat awal-awal pindah dari Rüsselsheim ke
Wiebaden. Nurilah yang paling rajin mencari informasi saat itu dan
mengajariku masak! Di tempat Nuri kami sering makan bersama masakan
Indonesia.Seperti aku tulis sebelumnya, di Rüsselsheim aku tak terlalu
akrab dengan tetangga, jadi untuk masak, aku segan memakai alat-alat
yang ada di sana dan kebetulan rumah yang aku tempati relatif baru,
alat-alat masak milik personal. Berbeda dengan saat tinggal di Wiesbaden
per 1 Oktober 2013, teman-teman satu rumah lebih akrab dan mereka
mengijinku menggunakan alat masak mereka. Praktis sejak itu aku lebih
banyak masak di rumah dari pada jajan di luar. Nuri yang kuliah di
Johannes Gutenberg Universität Mainz hingga saat ini cukup sabar
mengajariku banyak hal.
Menonton Sepakbola di Mainz
|
para suporter Mainz 05
|
Sabtu,
19 September kami merencanakan untuk menonton sepak bola bersama di
Coface Arena Mainz. Aku, Pascal, Nuri, Brilly, dan Wowon menonton
pertandingan sepakbola antara Mainz dan Schalke. Rombongan kami tentu
saja mendukung Mainz karena paling dekat dengan tempat kami tinggal.
Meski akhirnya Mainz takluk, namun pengalaman singkat itu cukup
mengesankan. Jujur di Indonesia aku jarang menonton sepak bola live. Di
sini, di sebuah stadiun berkapasitas 34 ribu orang, penonton bertingkah
tertib membuat nyaman untuk menonton laga sepakbola. Sempat was-was juga
karena banyak tampang-tampang ganas dan sesama suporter saling ejek.
Sama sekali tak lucu kalau tiba-tiba ada perang suporter seperti
pengalaman di negeri sendiri. Wajar was-was karena beberapa kali
sebelumnya sempat mendapat perlakuan agak rasialis. Di sebuah stasiun
kereta api aku sempat diteriakin cina dengan nada tak enak. Di
Rüsselsheim juga pernah. Kalau dipikir-pikir aneh juga, cina dari mana..
sepertinya orang-orang di sini sulit membedakan dari ras mana, asal
Asia pokoknya cina, seperti kesulitan kita saat mengenali orang Eropa
dari bagian mana, pokoknya bule.Untunglah itu hanya kecemasan tak
berdasar, hingga usai pertandingan penonton pulang secara tertib. Meski
banyak yang minum alkohol toh tak terjadi apa yang namanya lepas
kontrol. Coface Arena sendiri cukup besar dan megah. Warna merah
mendominasi stadiun yang dibangun pada tahun 2011 ini.
|
ular-ularan penonton setelah pertandingan usai, Sabtu (19/9) |
Jarak
dari stasiun kereta ke stadiun tak terlalu jauh, cukup naik trem sekali
kita sudah langsung menuju lokasi. Perjalanan memakan waktu hanya
beberapa menit saja. Kami tak perlu membayar tiket trem karena dalam
tiket pertandingan sudah mencakup tiket perjalanan di area pertandingan
itu selama sehari penuh. Jadi kalau pada hari itu mau muter menggunakan
angkutan publik menggunakan tiket pertandingan sangat mungkin dan
gratis. Pintu masuknya cukup banyak, aku tak sempat menghitung namun
para penonton harus masuk sesuai dengan pintu yang tertera dalam tiket
sehingga masuknyapun tak berdesak-desakkan. Menuju tribun kami disambut
orang yang membagikan kerta ukurun 40 centi meter persegi untuk tempat
duduk. Meski akhirnya tak benar-benar kami gunakan karena sepanjang
pertandingan hampir semua penonton berdiri. Setelah pertandingan kami
pun pulang dengan trem yang sama. Meskipun antrian sangat panjang orang
masuk secara tertib sehingga perjalanan cukup nyaman. Kami tak langsung
pulang, karena Nuri mengajak untuk mampir ke rumah keluarganya Pascal.
Di sana kami diperlakukan sangat baik, kehangatan keluarga Eropa.
Perlakuan mereka yang hangat membuatku serasa kembali ke rumah, tempat
yang sekali waktu aku rindukan sangat. (Adin)
|
Coface Arena, dilihat dari atas (courtesy Mainz05.de) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar