Sabtu, 10 September 2011

Sebuah Rumah Bagi Generasi Yatim Piatu



Oleh: Dwicipta

Dalam suatu perbincangan bersama Ernest Hemingway, F Scott Fitzgerald dan beberapa penulis muda lingkaran Paris di rumahnya, Gertrude Stein berujar dengan nada masygul pada para penulis muda itu: “Kalian semua adalah generasi yang hilang!” Keganasan Perang Dunia I bukan hanya berakibat hancurnya berbagai sarana fisik, lenyapnya harta benda, dan kelumpuhan ekonomi-politik di Eropa, namun juga lenyapnya satu generasi manusia akibat tak bermatanya peluru dan bom. Di bawah bayang-bayang sia-sianya peradaban yang telah dibangun ratusan tahun, generasi yang tersisa itu harus menerima kenyataan untuk menemukan peran sejarahnya sendiri dan menegakkan kembali harkat kemanusiaan setelah dihancurkan perang.

Di Perancis, mereka berkumpul di Paris, di seputaran Shakespeare & Co. yang dikelola oleh Sylvia Beach, Gertrude Stein, Ezra Pound; di Inggris mereka berkumpul di Bloomsburry, di seputaran usaha penerbitan yang dikelola oleh Leonard Woolf, Virginia Woolf, T. S. Eliot, dan Bertrand Russel. Bergerak dari diskusi-diskusi, salon, museum, galeri, perpustakaan, pesta-pesta kecil, dan kerja-kerja kreatif keras, mereka mendinamisasikan sastra dan kesenian Eropa dan Amerika modern sehingga menemukan fondasinya yang kokoh. Kelompok Paris dan kelompok Bloomsburry inilah yang kemudian melahirkan generasi penulis dan seniman Eropa dan Amerika paling cemerlang dalam sejarah sastra dan kesenian modern Barat.

Kisah tentang generasi yang hilang ini muncul di benak saya ketika menyaksikan kerja-kerja kultural yang telah, sedang, dan akan terus dilakukan oleh Hysteria. Barangkali jauh panggang dari api untuk membandingkan antara apa yang telah terjadi di Paris dan London dibandingkan dengan apa yang terjadi di Semarang. Namun penghadap-hadapan dua kasus ini menarik untuk dikemukakan, terutama agar kita bisa melihat berbagai kemungkinan yang bisa digali darinya.


Teriakan Histeris Generasi Yatim-Piatu


Apabila lahirnya ‘generasi yang hilang’ di Eropa dan Amerika pasca Perang Dunia I disebabkan oleh kejahatan perang, maka ‘generasi yatim-piatu’ yang terjadi di Semarang lebih disebabkan karena ‘matinya’ kesadaran dan kerja-kerja pengasuhan hampir semua pihak terhadap sebuah generasi yang sedang lahir dan ingin menemukan peran sejarahnya dalam arena kebudayaan di Semarang. Pendakuan generasi muda kota ini sebagai generasi yatim-piatu ini diungkapkan oleh A. Khairudin atau Adin, aktivis kebudayaan dan direkrtur Hysteria, dalam berbagai kesempatan diskusi atau peristiwa-peristiwa budaya baik di Semarang maupun di luar Semarang. Tiadanya infrastruktur pendukung seperti perpustakaan, galeri, kalender tetap peristiwa kesenian dan kebudayaan, kelompok-kelompok diskusi, dan penerbitan yang kuat menyebabkan anak-anak muda yang ingin mengaktualisasikan hasrat, ambisi, dan kecintaannya pada dunia sastra dan kesenian pada umumnya hanya menemui jalan buntu. Keadaan buntu semacam ini makin diperparah oleh tiadanya kepedulian atau tanggungjawab pengasuhan generasi yang lebih tua pada generasi yang lebih muda.

Berangkat dari kondisi sosio-historis semacam inilah, Yuswinardi, Adin, Tulis Gus Yon dan Heri CS mendirikan komunitas Hysteria untuk mewadahi setiap ide-ide kreatif dan kerja-kerja sastra dan kebudayaan generasi muda pada umumnya. Nama Hysteria sendiri diambil dari buletin indie yang diprakarsai Yuswinardi dan telah terbit semenjak 11 September 2004. Mulanya kegiatan berkomunitas hanya diisi dengan pembacaan puisi dan tradisi saling mengkritik karya di Taman Imam Barjo depan gerbang Undip Peleburan sebelum tulisan dimunculkan dalam bentuk buletin. Dari pertemuan rutin itulah mulai muncul ide-ide mengenai persoalan apa yang sedang terjadi di Semarang berkait dengan dunia kepengarangan dan tulis menulis.

Seiring berlalunya waktu, terasa kalau ruang gerak di dunia sastra, berupa pembacaan karya sampai penerbitan buletin, tak bisa lagi menampung aspirasi mereka yang terus menerus meluas ke bidang-bidang kesenian lainnya. Mati surinya berbagai komunitas sastra seperti Lengkong cilik, sanggar seni Paramesthi, komunitas Seribu pintu dan juga galeri-galeri yang sampai tahun 2005-an terdengar heboh, membuat mereka memikirkan strategi kebudayaan baru dan lebih kontekstual agar bisa menyiasati selalu berulangnya kondisi sekarat dunia kebudayaan Semarang setelah masa-masa perkecambahan selama beberapa waktu tertentu. Jangkauan kegiatan mereka meliputi Ngobrol Sastra, Rerasan Budaya, Hari Rabu yang Puisi, penerbitan buletin alternatif, hingga berbagai Festival lintas-bidang semacam Grobak Art Fest, Festival Kesenian Semarang 2008: Konsoemsi Ataoe Mati!, Sastra Balik Desa, dan Stonen Mini Fest 2009.

Rumah Kesenian bagi generasi Yatim-Piatu di Tengah Kuburan?


Sudah menjadi citra buruk yang Melekat selama puluhan tahun –terutama ketika dibandingkan dengan kota-kota seperti Solo, Yogya, Jakarta, Bandung, Bali dan Makassar– kalau Semarang telah menjadi lubang kubur bagi para seniman dan pekerja budaya lokal atau pun pendatang yang berusaha menyalurkan energi kreatifnya di kota ini. Tak heran kalau kelahiran dan bertahannya Hysteria sebagai sebuah komunitas sastra dan budaya di kota ini serupa membangun sebuah rumah di antara lubang kubur mengerikan yang setiap waktu bisa menelan mereka. Di bawah terpaan kritik dan pandangan sumir berbagai pihak, ketidakacuhan generasi yang lebih tua, tiadanya sarana dan prasarana pendukung –perpustakaan, galeri, sumbangan dana yang cukup–, rendahnya semangat berkesenian warganya, bahkan teror dari kelompok-kelompok anti-kebudayaan, sekumpulan generasi muda yang histeris ini bergerak melawan stigma buruk Semarang dengan bekerja membangun fondasi yang kuat bagi penciptaan ruang kultural yang kondusif bagi semua pihak.

Mereka menggugah ‘orang-orang tua’ di Semarang yang tenggelam dalam romantika masa lalunya atau mengkritik mereka yang senang menyalurkan hasrat megalomaniaknya dengan mengisahkan heroisme masa lalu yang tak lagi menemukan signifikansinya di masa kini. Berlainan dengan aktivitas komunitas atau lembaga lain yang biasanya hanya sibuk dengan dirinya sendiri, mereka menginisiasi kelompok atau komunitas budaya baru untuk menciptakan aktivitas kebudayaan yang lebih variatif. Di samping itu, secara teratur mereka mengundang berbagai komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan mereka, mempelajari kebangkitan dan kejatuhannya, dan mencari peluang bagi kerja-kerja kebudayaan secara bersama-sama. Dibandingkan dengan komunitas atau lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan lainnya di kota ini, Hysteria lebih memiliki kemampuan untuk memasuki ruang-ruang baru dan asing, dengan menundukkan segala prasangka yang ada dalam dirinya untuk menemukan sesuatu yang bisa dimanfaatkan darinya.

Sadar bahwa kehidupan kultural sebuah kota bukan hanya kerja internal warga kota itu sendiri, mereka memasuki ruang-ruang dan kegiatan kebudayaan di berbagai kota, mengundang para pekerja kebudayaan kota lain untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta melakukan kerja-kerja kebudayaan secara bersama-sama. Ketrampilan dan daya tahan Hysteria dalam memetakan seluruh potensi dan resiko-resiko yang ada di depannya, melibatkan kelompok atau lembaga-lembaga lain, membuat persiapan SDM untuk kepentingan alih generasi, dan memobilisasikan generasi tua yang semula acuh tak acuh pada tanggungjawab kebudayaannya, membuat lembaga ini mampu bertahan di tengah-tengah fenomena tumbuh dan cepat matinya sebuah komunitas atau lembaga kebudayaan di kota Semarang.


Apa yang mesti dilakukan sekarang?

Kelompok anak-anak muda dari generasi yatim-piatu secara kultural ini memang masih menuntut secara berlebihan, misalnya, agar mereka dan orang-orang segenerasinya diberi ruang lebih luas di berbagai media massa atau ruang-ruang aktivitas kebudayaan yang lain dengan mengabaikan kemampuan intelektual dan sumberdaya lainnya dalam diri mereka. Namun dalam ruang dimana kehidupan intelektual betul-betul mati suri, tiadanya galeri, perpustakaan yang memadai, dan museum-museum yang mengundang dan memfasilitasi pengunjungnya; di ruang kota dimana transfer ilmu pengetahuan dan modal-modal kultural lain antara generasi tua dan generasi muda tidak terjadi, saat negara lewat pemerintah kota dan daerah lalai dalam memberdayakan institusi-institusi kebudayaannya untuk memfasilitasi generasi yatim-piatu ini, apa yang bisa dilakukan oleh mereka selain berteriak menuntut? Haruskah generasi demi generasi di pusat aktivitas ekonomi-politik propinsi ini terus menerus mengharapkan bantuan dari rekan-rekan sekerjanya dari daerah atau wilayah lain untuk menghidupkan dinamika kesenian dan kebudayaannya sendiri?

Tantangan lain yang harus dihadapi Hysteria adalah melakukan penguatan fondasi intelektual di antara anggotanya sendiri dan dalam kegiatan-kegiatannya. Munculnya kritik dari komunitas ini atas kenyataan bahwa selama satu dekade terakhir Semarang tak mampu melahirkan pemikir sosial-budaya yang mumpuni, pengarang dan penyair cemerlang, dan pekerja kesenian yang inspiratif lebih disebabkan karena tiadanya kerja keras secara intelektual di antara mereka. Ada beban historis besar yang secara sadar atau tidak menghantui mereka. Pada suatu masa Semarang pernah menjadi salah satu pusat gerakan intelektual dan politik. Lahirnya sastrawan peranakan Tionghoa, kuatnya lembaga-lembaga penerbitan buku, sampai aktivitas Syarekat Islam dan lahirnya gerakan Komunis terjadi di kota. Sejarah masa lalunya yang gemilang dan ketidakmampuan generasi sesudahnya untuk mewarisi kebesaran itu memunculkan kompleks rendah dalam diri mereka. Kondisi ini semakin runyam karena orientasi masyarakat kota ini yang lebih menghargai capaian-capaian bersifat materialistik daripada mental-spiritual. Pekerjaan besar yang terus menghantui mereka dalam kerja-kerja kebudayaannya ke depan adalah mencari titik setimbangan yang tepat di antara dua orientasi yang sering dihadap-hadapkan secara diametral ini.

Kurang kuatnya fondasi intelektual dan pemberdayaannya dalam berbagai aktivitas kebudayaan menyebabkan berbagai resiko. Pertama, fondasi intelektual ini menyebabkan tidak akan terciptanya produk-produk kebudayaan yang cemerlang dan bisa menjadi batu penjuru bagi kegiatan kebudayaan di masa mendatang. Ini merupakan jawaban otentik terhadap kenestapaan yang digembar-gemborkan lama di Semarang dimana kota ini tak mampu melahirkan karya-karya sastra, lukisan, traktat -traktat filsafat ataupun hukum, dan pemikiran-pemikiran sosial-ekonomi, bahkan festival-festival berkualitas. Kedua, kerapuhan intelektual ini menyebabkan ketidakmampuan para pekerja budayanya untuk melakukan pemetaan kerja-kerja kebudayaan secara visioner dan sistematis, termasuk menentukan sasaran dan harapan pencapaian output dari kerja yang mereka lakukan. Kelemahan ini hampir menjadi karakter umum dari berbagai komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan, bukan hanya di Semarang namun juga di berbagai wilayah lain. Ketiga, kelemahan ini membuat anggota lembaga dan kemudian komunitas-komunitas binaannya gagap dalam mengkomunikasikan diri mereka dengan pihak-pihak lain atau masyarakat umum. Dan terakhir, sebagai akibat dari resiko ketiga, ia membuka kemungkinan pada terciptanya kesalahpahaman pihak-pihak lain dalam memahami gagasan-gagasan dan praktek kerja-kerja kebudayaan mereka. Inilah saya kira yang membedakan kelompok Hysteria dengan dua contoh besar –kelompok Paris dan Bloomsburry– yang saya kemukakan di atas

Tak bisa dipungkiri, selama lebih dari enam tahun terakhir, Hysteria telah membuktikan diri berhasil melawan stigma negatif Semarang sebagai ‘kuburan’ bagi para pekerja budaya yang beraktivitas di kota ini. Setelah mengalami bongkar-pasang pengurus berkali-kali, di bawah kerja keras Adin dan teman-teman mudanya yang bersemangat, komunitas –dan kemudian berubah menjadi lembaga– ini terus menyuarakan aspirasi generasinya untuk mendapatkan tempat yang layak dan bisa bertahan dalam ruang kebudayaan yang sekarat. Daya tahan mereka terhadap berbagai halangan, hinaan, teror, dan serta minimnya perhatian dan dukungan dari berbagai pihak adalah sesuatu yang pantas dihargai. Kemampuan mereka dalam mengelola jaringan-jaringan kebudayaan lokal dan regional, mengharmonisasikan kerja-kerja berbagai jaringan kebudayaan tersebut untuk memeriahkan aktivitas kebudayaan di kota ini, dan melibatkan berbagai pihak di luar diri mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas kebudayaan ini bisa menjadi bahan studi menarik tentang strategi kebudayaan selanjutnya di Semarang dan sekitarnya.

Kini genap tujuh tahun usia komunitas dan lembaga Hysteria, dan telah tujuh tahun pula ikut mewarnai aktivitas kebudayaan di Semarang dan di berbagai kota lain di Indonesia. Dari sekedar jeritan histeris anak-anak muda yatim-piatu yang gelisah, seiring berjalannya waktu, ia menjelma rumah kultural yang menantang bagi generasinya dan generasi sesudahnya. Dirgahayu!

(esai ini dimuat di Harian Suara Merdeka (11 sept 2011-karena alsan teknis dilakukan pengeditan. esai ini diterbitkan dalam edisi lengkap, agak berbeda dengan yang di koran namun intinya sama.selamat menikmati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar