keinginan untuk mengajak para fotografer ini berpameran sebenarnya sudah sejak lama. hanya saja niat ini baru teralisasi sekarang. pada awalnya adalah pertemanan. ya, saya berteman dengan mereka. bahwa kemudian pelan-pelan saya ketahui ketertarikan minat mereka pada fotografi adalah lain hal. hobi dan minat mereka yang cukup besar akhirnya mengantarkan kami dalam pameran yang bertajuk Comfort Zone ini.
kenapa perempuan? kenapa fotografi? kenapa comfort zone? kami sadari betul setiap pilihan mengandung resiko dan kemungkinan. sebagaimana diketahui seringkali perempuanlah yang menjadi objek fotografi, meskipun pendapat ini bisa disangkal, tetapi kebudayaan patriarki yang sejak lama kukuh dan dikukuhkan membuktikan bahwa presentase yang menganggap perempuan sebagai objek dan komoditas selalu lebih besar. untuk itu penting bagi kami untuk dalam pameran ini mendudukkan perempuan ini sebagai sang subjek.
tema zona nyaman sendiri, mengacu pada kondisi ideal yang dicita-citakan manusia. mungkin semacam titik bahagia dimana kemapanan telah terengkuh. sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa zona nyaman itu kilatan singkat diantara jutaan kegelisahan yang berseiweran. bahkan kebih jauh lagi zona nyaman adalah keadaan yang harus dihindari karena itu bisa menjebak kita untuk tidak gelisah dan kehilangna gerak mencari. zona dimana manusia akan merasa puas diri dan mandeg! nah!
ketika tema ini diwacanakan pada para cewek-cewek ini, tema ini kemudian diterima, diolah, dan direspons, dieksekusi sebagai karya fotografis berdasar tafsir masing-masing. Hysteria sebagai inisiator, dan kemudian saya yang berlaku sebagai partner mereka dalam memilih dan memilah karya tidak lantas menjadikan tema ini sebagai tema yang kaku. mereka bebas meresepesi, mengukuhkan, atau menegasi dengan mempertanyakan dan menggugat tema ini. hasilnya adalah 25 karya foto yang tersaji di Grobak A(r)t Kos, Jl. Stonen no 29 Semarang ini.
karya-karya Annisa Rizkiana terdiri dari 3 buah yang masih satu seri. Annisa yang berlatar belakang sebagai artworker dan pembuat zine ini bisa dibilang sebagai peserta paling muda (19 th) dan berasal dari Semarang. "Bagiku perasaan nyaman itu, sungguh tak perlu aku memiliki banyak hal,tak perlu aku mengejar banyak hal,dan tak perlu aku mengetahui banyak hal" begitulah konsep dia mengenai "nyaman". lebih jauh lagi dalam penjelasan dia mengenai konsep karyanya Annisa banyak mengulik periihal rindu. tiga karyanya secara berurutan berjudul: 1) Peuntun Cahaya, 2) Jangan Dicubit, 3) Tak Merasa Malu, ada hasil akhir setelah kami berdebat panjang mengenai karya yang hendak ditampilkan. tiga series itu menggambarkan seorang gadis dengan citraan memiuh sedang berjalan dan bergandeng tangan. wajahnya sengaja tidak ditampilkan secara gamblang untuk menghindari citraan identitas pribadi seseorang. berdasar pengakuannya juga ini adalah karya fotografi dia yang dipamerkan.
bersebelahan dengan karya Annisa, ada Riksa Afiaty (25 th) yang menjejer-jejerkan 15 karyanya secara acak. 15 karya itu bercerita tentang sisa-sisa makanan yang sulit diidentifikasi lagi sisa makanan apa itu. riksa berkeyakinan bahwa kenyamanan adalah sisa-sisa. ia hanya bisa dinikmati sebagai sisa-sisa dari keluruhan yang besar dan telah habis. meski dari sisa itu sudah tidak bisa teridentifikasi lagi tetapi dari sisa tu bisa dilacak sejarah dari keseluruhan yang tinggal sisa. dan itulah kenyamanan. ia tidak permanen tetapi sesuatu yang diperjuangakan, dinikmati, dicerna, untuk kemudian kesan-kesan itulah yang tinggal. riksa yang berasal dari Bandung ini merasa bahwa menjadi manusia adalah persoalan, untuk itu, gelisah itu niscaya, dan berada di zona nyaman barangkali belum menjadi piihan menarik baginya.
ada empat karya yang ditawarkan Mahar Gireta Rosalia (21 th). kesemuanya adalah objek manusia telanjang. dalam Nudity Series, Ocha, begitu Mahar lebih akrab disapa, seakan ingin menelanjangi kemunafikan manusia era sekarang. ketelanjangan telah sedemikian rupa dipolitisir. tuuh-tubuh itu telah didisiplinkan oleh berbagai norma dan aturan, seolah-olah yang telanjang itu tidak beradab. padahal pada era yunani, tubuh manusia mengalami pemuliaan sedemikan rupa, pun ketelanjangan. tapi sekarang agama, dan aparatus kekuasaan lain telah mendefinisi ketelanjangan sebagai sesuatu yang salah dan itu harus dilarang. ia adalah manifestasi ideologi penguasa yang sangat patriarikis. maka merayakan ketelanjangan adalah sub versi bagi ideologi dominan masayarakat. being honest (menjadi jujur) yang dimaknai Ocha sebagai ketelanjangan adalah titik yang paling nyaman dalam persepsi dia.
perempuan ke empat, Dinda Wulanhari Suci (22 th) memasang tiga karyanya yang bertajuk egoism. ketiga karya dinda mengambarkan perempuan yang sedang berada pada posisi nyaman ketika menjadi dirinya sendiri mislanya marah, sedih, dll. hanya saja tidak terlihat jelas ekpresi apa yang ditunjukkan dari objek-objek tersebut.
berada di deretan paling akhir dalam ruang display kecil GAK, Hysteria adalah Mikako Ando. ada empat karya yang secara berurutan berjudul 1) The Beginning, 2) A Planet, 3) Landing, dan 4) Door. zona nyaman bagi Mika adalah angkasa, karena dari sanalah dia bisa membayangkan ada dunia lain yang barnagkali tidak dia kenal tapi ia rasakan ada. rasa penasaran itulah yang menggerakkanya untuk mengabadikan objek-objek yang bagi orang lain terasa asing. the beginning adalah muasal dari rasa ingin tahu itu, dari sanalah yang mengggerakkan manusia kepada planet, objek di luar sang subjek dan rasa ingin tahunyalah yang telah melemparkannya pada pendaratan (landing). Narasi ini mengingatkan kita mada kisah Adam yang terlempar ke dunia karena tergoda buah pengetahuan. Di akhir serinya ada door (pintu) yang merupakan jalan kembali kepada muasal. Lubangnya adalah kematian yang mungkin bukan akhir tetapi mengantarkannya pada lorong lain sebagaimana pilihan objeknya yang membidik lubang dalam wastafel. Pemaknaan ini barangkali sangat berlainan dengan yang dimaksudkan seniman. Tetapi bukankan menjadi resiko ketika tanda dilempar terjadi negosiasi dalam pemaknaan dalam cakrawala pengetahuan sang subjek bukan?
Sebagaimana telah saya jelaskan di atas bahwasanya pada mulanya adalah pertemuan dan perkenalan kami tetapi mereka memang cukup layak untuk merespons tema ini. Annisa misalnya sedari SMA rajin membuat handycraft dan zine, Mikako mempunyai rekam jejak berpameran di Jepang ketika kuliah dengan ikut klub foto, Dinda, mahasiswi Dekave yang sedang magang di Hysteria juga cukup menjanjikan sebagai salah satu kader, Riksa, lama bergiat di Jendela Ide, pemagang Kelola dan rajin ngulik foto, dan terakkhir Mahar Gireta yang bekerja di studio foto dan masih mau meluangkan diri untuk membuat karya-karya yang sesuai idealismenya.
Pameran ini juga sebagai salah satu upaya Hysteria untuk memberikan kesempatan para fotografer ini untuk terus berproses tanpa henti. Setelah beberapa program sebelumnya berfokus pada komunitas pelan-pelan Hysteria juga member porsi untuk potensi personal. Silakan mengapresiasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar