Senin, 13 Februari 2012

Agama Hari Ini


Oleh: Adin

Apa itu agama? Bagaimana konsep tentang agama diterjemahkan dalam perilaku anak muda hari ini? pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak disodorkan dalam mental histoire. Anak-anak muda yang punya hobby sama dalam fotografi ini akhirnya mendefinisikan agama melalui perspektifnya masing-masing. Beberapa tahun belakangan gerakan primordialisme dan konservatisme agama kian marak. Itu tidak saja memecah belah kerukunan tetapi juga menciptakan ledakan konflik yang kadang sudah tidak terantisipasi lagi.
Seruan untuk menjaga persaudaraan dan membangun pengertian ini akhirnya menggaung kemana-mana. Tren agama meningkat lagi. Mulai dari yang lunak hingga garis keras. Dalam pameran ini terangkum enam fotografer muda yang merespons tema ini secara beragam.
Pada karya Hindrawan (Solo) dan Pius Rahardian (Jogja) agama dipahami sebagai ritual ibadah yang sebagaimana kita bisa saksikan sehari-hari. Objek-objek yang diambil rata-rata adalah pribadi yang mempunyai ketaatan yang normal. Dalam artian jika kita bandingkan ritual yang menjadi objek Aditya Surya Putra (Jogja). Objek Pius misalnya menggambarkan orang-orang biasa yang larut baik dalam ritual maupun pada artefak agama, begitu juga Hindra yang menampilkan orang yang sedang melakukan peribadatan. yang menarik adalah pilihan Aditya yang ingin menampilkan tradisi yang mengakar tua dalam kepercayaan orang-orang di Filipina. Ritual mereka tampak kontras dengan objek sebelumnya. Dalam Penance misalnya, orang-orang ini rela untuk dicampuk, dan disalibkan sebagai upaya penebusan dosa.




Tradisi ini sekarang tidak banyak yang melakukan memang. Tetapi ini menjadi sangat menarik karena kita telah dibukakan mata bahwa menyakiti diri sendiri, merasa terhina, da rendah adalah sebagian metode penebusan dosa yang akan mendekatkan diri pada Tuhan. Ritual ini tentu saja berkebalikan dengan keyakinan orang modern yang sangat rasional. Tetapi lewat momentum ini kita bisa disadarkan kembali bahwa ritual ini masih menemukan konteksnya. Barangkali masokisme (yang selalu dinisbatkan pada tindakan patologis) menemukan akarnya pada ritual ini.



Pada titik ini karya Aditya melengkapi dua tema yang diangkat oleh Pius dan Hindra. Lain halnya mereka bertiga, Gatot Caesario Tolanda menampilkan sisi lain agama yang ingin menyakiti. Seorang cowok berkalungkan dinamit yang ingin meledakkan siapapun di sekitarnya. Tentu saja ini langsung mengingatkan pada aksi bom bunuh diri dan aksi terorisme yang belakangan marak. Juga kekerasan atas nama agama dalam berbagai bentuknya. Kejadian semacam perusakan gereja di Temanggung, kasus Ahmadiah dan banyak lagi adalah kotra ritual agama yang dipahami secara sangat lain dengan konsep rahmat bagi alam semesta. Mendadak saja wajah agama menjadi ganas dan berbahaya!
Pada karya Victor Puguh Harsanto (Jakarta) agama berwarna lain lagi. Victor yang kesehariannya di Jakarta merasa bahwa konsep agama, kalau melihat dalam karya-karyanya tidak berhenti sebagai ritual ibadah seperti pada umumnya. Agama adalah kecepatan, waktu, dan hal-hal yang kita buru secara riil. Ia bisa sangat profane seperti halnya kebutuhan akan halnya uang. Tuhan bisa dimana-mana, bisa di halte, dalam trans Jakarta, perempatan senen, bahkan pensi SMA! Atau Tuhan tidak dimana-mana, bukan sesuatu yang abstrak, tetapi artefak, relic, persitiwa-peristiwa keseharian yang dimistiskan macam agama. Semacam pemujaan terhadap artis pujaan kita atau gelegar konser musik.




Fotografer terakhir, Tommas Titus Kurniawan, menampilkan karya lain. Ada empat wajah yang keempatnya ditutupi dengan gambar kupu-kupu. Ia menyebutnya butterfly effect. Sebagaimana diketahui teori butterfly effect dikenalkan Edward Norton Lorenz, teori itu meyakini bahwa kepakan kupu-kupu di pedalaman Brazil bisa mengakibatkan tornado di Texas. Yang artinya hal-hal kecil itu bisa berdampak pada sesuatu yang besar. Pada awalnya agama adalah kepercayaan individu yang terinternalisasi baik melalui pemahaman orang tua maupun institusi agama. Agama menorehkan jejak yang cukup panjang pada tiap individu, dan jejak-jeja kecil ini kelak bisa sangat mempengaruhi kepribadian individu dan pembentukan karakternya kelak. Mungkin seperti itukah yang ingin dikatakan Tommas melalui empat subjek yang bisa diimajinasikan sebagai anggota keluarga?



Ketjil Bergerak, sebagai inisiator pameran bekerjasama dengan Hysteria tentu tidak ingin memberi simpulan terhadap pameran ini. Justru lewat pameran inilah mereka ingin menggedor naluri kritis para penikmatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar