Oleh: Openk Hysteria
Semangat cinta tanah air bisa diwujudkan dalam banyak cara. Dengan talenta dan keahlian putra-putri, semangat serta pemaknaan terhadap keberagaman Indonesia sebagai bangsa yang berkebudayaan sangat mungkin mengkristal menjadi sesuatu yang kreatif dan inovatif. Teater Gema dari IKIP PGRI misalnya, mereka menyelenggarakan festival drama pelajar Nasional setiap tahun yang diikuti oleh sanggar teater pelajar senusantara. Dalam festival yang terselenggara pada 21-28 Mei 2012 ini tercatat ada 24 sanggar teater pelajar yang mengikuti festival tersebut. Mulai dari sma sederajat di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah berpartisipasi di gedung utama IKIP PGRI Semarang lantai 7 itu. Untuk festival kali ini melibatkan tim Juri yang tak bisa dianggap enteng seperti Apito Lahire seorang pegia sastra dan teater yang peduli terbukti sejak SLTA telah menulis puisi, cerpan, cerbung, monolog dan naskah drama. Kemampuannya lebih terasa setelah belajar di ASDRAFI dan ISI Jogjakarta. Sepulang dari Jogja, ia segera “mencangkul ladang kreativitas dengan mendirikan KST-teater Pawon bersama Julis Nur Husein, Ufti Adenda Aulia dan beberapa rekan lainnya. Prestasinya membawanya jauh menuju puncak berkesenian hingga sekarang masih aktif menulis dan berteater di Tegal Jawa Tengah. Ada juga N. Riantiarno seorang aktor, penulis, juga sutradara. Dia berteater sejak 1965 di Cirebon tahun 1967 bergabung dengan Teguh Karya dan mendirikan teater POPULER lantas masuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya 1968. Pada tahun 1977 tepatnya 1 Maret 1977 mendirikan teater KOMA. Semenjak itu dia mulai menulis skenario film dan memenangkan berbagai penghargaan di Indonesia maupun di Internasional. Tak ketinggalan juga Afrizal Malna seorang penggerak teater SAE bersama Budi S Otong tahun 1993. Lebih dikenal sebagai penulis, karya tulisnya sudah terkenal di dunia. Serta mendaat penganugrahan bersifat internasional. Sampai sekarang masih aktif menulis dan tinggal di Jogja.
Kegiatan ini menunjukkan konsistensi teater Gema IKIP PGRI Semarang dalam mengambangkan seni teater yang ada di Indonesia. Selain itu teater Gema memiliki tujuan menjadi wadah apresiasi bagi seluruh mahasiswa IKIP PGRI Smarang agar para mahasiswa tidak hanya memiliki kapasitas dalam ranah akademisi namun mampu juga mengaplikasikan segala ilmu yang didapatkan dalam bentuk kreativitas seni pertunjukkan. Teater Gema berdiri sejak tahun 1987 dan selama 15 tahun sudah melakukan 15 pementasan, 9 penyelenggaraan even, dan 13 festival. Selain itu juga meraih penghargaan dalam ranah perteateran Indonesia. Antara lain meraih penghargaan aktor terbaik ketiga pada PEKSIMIDA tahun 2002, juara 2 Patrol SCTV, dan Juara 2 lomba Rebana Se-jateng IKAMABA pada tahun 2003, juara 3 dalam festival monolog PEKSIMIDA pada tahun 2006, juara 1 lomba lawak “Ger Ame Dia” se-jateng DIY, juara 1 festival monolog PEKSIMIDA, juara 2 festival monolog PEKSIMINAS, juara 1 lomba perkusi “Klothekan” se-Jateng, juara 1 lomba gema takbir pada tahun 2008, serta juara 1 lomba Tiung show pada tahun 2009. Dilihat dari riwayat teater Gema, kita bisa menangkap kesungguhan teater Gema untuk benar benar memberikan sarana apresiasi yang mewadahi segala kemungkinan dalam dunia seni teater. Gema mampu memperlihatkan ketahan yang tidak bisa dianggap gampang mengingat di Semarang pertumbuhan jalinan kerja sama intern maupun ekstern memang lambat. Semarang memiliki masalah yang cukup pelik, yaitu tingkat konsistensi eksponen-eksponen masyarakat (dalam hal ini ) kesenian sungguh susah diraih atau setidaknya menjadi sesuatu yang signifikan bagi kotanya. Dalam konteks ini Gema bisa dikatakan konsisten menjaga sebuah festival selama 13 tahun dengan semangat besar. Tak banyak sanggar teater (di Semarang) yang memiliki kegigihan yang luar biasa seperti itu.
Sebuah festival yang menjadi agenda tahunan bisa menjadi salah satu alat identifikasi orang terhadap tingkat konsistensi sebuah komunitas. Di Semarang, banyak komunitas yag memiliki festival besar namun kurang memiliki nilai karena sebagian dari mereka hanya mengejar kuantitas bukan kualitas. Masyarakat seni di Semarang selalu berorientasi pada jumlah pengunjung, tingkat keramaian, besarnya sebuah festival mengacu pada hal-hal yang sifatnya artistik. Bagi saya, hal tersebut kurang tepat karena kota Semarang membutuhkan basis nilai, bukan basis massa. Manurut saya, pada saat basis nilai sudah terbentuk sehingga masyarakat sadar akan kebutuhan mereka, maka semua itu bisa menggerakkkan massa. Di Semarang polanya terbalik. Basis massa dulu yang diraih baru mengejar basis nilai, sementara belum ada yang benar-benar menjadi tokoh atau menjadi keren di mata masyarakat. Teater Gema sudah mencoba dan cukup berhasil pada tataran membangun basis nilai di mana tidak melulu mengharapkan banyaknya orang yang terlibat, namun lebih pada mengajak orang-orang untuk lebih menyadari kebutuhan mereka lewat seni teater. Seperti yang sudah dilakukan oleh Tanto Mendut dengan Festival Lima Gunung, TUK Salatiga dengan Festival Mata Air, Kandang Gunung dengan Festival Pohon. Mereka-mereka ini lebih menitikberatkan pada pembangunan nilai dan karakter sesuai dengan konteks yang mereka miliki, tidak lantas mereduksi kearifan lokal dengan mendatangkan ribuan massa. Gema di mata saya seperti sebuah desa yang di dalamnya memiliki kearifan lokal ( ala Gema) dalam bertindak. Beberapa kali saya mampir ke teater Gema dan berdiskusi bersama mereka. Di sana saya menemukan banyak hal yang bisa saya gunakan untuk meningkatkan daya kreativitas juga spirit yang dibangun bersama.
Saya harap Gema akan selalu mengalami peningkatan spiritual, seperti yang sudah mereka lakukan saat ini. Dan apakah kalian sepakat pada pertanyaan saya pada Gema, yaitu “Apa yang akan kalian lakukan dan tawarkan kepada kami?” dan jangan menanti jawaban berupa kata-kata dari teater gema, mari menanti jawaban mereka lewat tindakan. opnk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar