Sabtu, 30 November 2013

Belajar Merawat Masa Lalu dari Goethe Haus



(bagian ke sebelas)

Berkunjung ke rumah Goethe (Goethe Haus) di Frankfurt bukan artefaknya yang membuatku merenung. Tetapi bagaimana artefak itu dihadirkan kembali. Konon rumah pemilik nama lengkap Johann Wolfgang von Goethe (1749- 1832) ini tak luput dari bombardir sekutu saat perang dunia kedua. Apalagi saat itu Frankfurt menderita cukup parah karena kota penting bagi Hitler. Seperti halnya kota-kota lainnya yang luluh lantak lalu bangkit dari puing-puing kehancuran. Masa lalu hadir kembali, semirip mungkin, meskipun selalu ada yang luput namun mereka ada untuk mengingatkan tradisi panjang eropa yang terus berkesinambungan.

Aku ke rumah Goethe Sabtu (7/9), saat itu diajak Sara Stehr, curator di Nassauischer Kunstverein Wiesbaden dan suaminya yang kebetulan bekerja di Goethe Haus. Sara dan suaminya, Gerrit BrĂ¼ning  mengajakku berkeliling ke beberapa galeri di Frankfurt dan sempat pula ke Goethe Haus. Hal menarik perhatianku adalah bagaimana Goethe Haus merekonstruksi ulang rumah tersebut jika perang dunia kedua luluh lantak. Gerrit menjelaskanku untuk rekonstruksi rumah Goethe mereka berbekal drawing, catatan, lukisan, apapun yang sifatnya dokumentatif dari zaman Goethe dan tentang rumah tersebut. Pada suatu ketika keluarga Goethe melelang barang-barang di rumah, dan barang yang dilelang tersebut dicatat secara rinci! Dari berbagai sumber penelusuran dimulai. Termasuk menyusun ulang koleksi buku dalam perpustakaan Goethe Haus di lantai II. Di rumah itu juga masih bisa dilacak beberapa artefak yang masih asli, selebihnya barang-barang yang ditambahkan namun dalam kurun waktu yang berdekatan dengan usia rumah tersebut.

salah satu ruangan di Goethe Haus

Tradisi dokumentatif beratus tahun memudahkan mereka melacak tradisi ratusan bahkan ribuan tahun. Makin ke sini aku semakin tambah tak habis pikir sebenarnya kota-kota di Indonesia disusun menggunakan apa? Masa lalu itu apa bagi mereka. Karena sepanjang pengalaman, boro-boro merestorasi, kalau perlu menghancurkan sama sekali bangunan yang ada dan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Yang tak baru juga sebetulnya, hanya ‘dikesankan’ baru karena diimport entah dari mana. Coba tengok kota-kota di Jerman, hampir semuanya menjadi korban pengeboman sekutu, namun mereka masih bisa menyajikan masa lalu begitu gemilang. Apa sih pentingnya masa lalu?
Persoalan identitas muncul berjalin kelindan dengan rasa frustasi di sini karena deadline ini itu yang belum rampung.
Di titik ini aku jadi penasaran dengan Hirosima dan Nagasaki yang juga luluh lantak, jadi kota apakah keduanya. Bagaimanapun fajar pencerahan di Indonesia muncul bersamaan dengan politik etis Belanda pada saat itu. Semua serba barat. Belum tuntas memverifikasi masa lalu, modernitas, industrialisasi, postmodern, dan semua isme-isme itu datang bersamaan. Barangkali karena ini pula yang membuat Indonesia gamang. Belum lagi politik yang ditempatkan di atas seluruh agenda berbangsa dan bernegara. Akhirnya yang ada hanyalah negosiasi-negosiasi untuk mencapai kekuasaan yang singkat. Ah barangkali aku saja yang berlebihan.

perpustakaan pribadi ayah Goethe


alat-alat dapur di Goethe Haus
Berbeda dengan Grimm bersaudara yang tumbuh dalam serba kekurangan, Goethe lahir dari keluarga yang cukup kaya sehingga mendapat pendidikan yang memadai dan berbagai fasilitas. Di Goethe ada tiga lantai dan satu lantai bawah. Masing-masing lantai ini berisi hal-hal yang berbeda, misalnya lantai satu ada anteroom, music room, dan peking. Peking ini ruangan untuk menerima tamu ayah Goethe dan kawan-kawannya, dinamakan Peking karena merujuk pada kain sutra berwarna merah yang saat itu mencerminkan gaya hidup bangsawan yang menggunakan kain sutra dari cina.
Di akhir hidupnya, Goethe memilih untuk tinggal di Weimar. Berkat dialah kota kecil menjadi kotanya para intelektual. Banyak nama-nama terkenal pernah berada di kota ini, misalnya Sebastian Bach, Schiller, Hummel, Nietszche dan lain-lain. Makanya kota ini masuk dalam daftar kunjung November mendatang. (Adin)


*tulisan ini akan diposting secara berkala tentang apa-apa yang aku kerjakan selama menjalani residensi di Nassauischer Kuntverein Wiesbaden, Jerman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar